Bentuk Masyarakat dan Pola Adaptasi Ekol

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1.

Pendahuluan
Masyarakat desa adalah komunitas yang tinggal di dalam satu daerah yang sama,

yang bersatu dan bersama-sama, memiliki ikatan yang kuat dan sangat mempengaruhi
satu sama lain. Hal ini dikarenakan pada masyarakat desa tradisi itu masih sangat kuat
dan kental. Bahkan terkadang tradisi ini juga sangat mempengaruhi perkembangan desa.
Di sisi lain banyak hal yang mengakibatkan sebuah desa sulit untuk mengalami
pembaharuan, antara lain isolasi wilayah, yaitu desa yang wilayahnya berada jauh dari
pusat ekonomi daerah, desa yang mengalami ketertinggalan di bidang pembangunan jalan
dan sarana-sarana lainnya, sulitnya akses dari luar, bahkan desa yang mengalami
kemiskinan dan keminiman tingkat pendidikan.
Namun, isu mengenai lingkungan hidup semakin sering terdengar ketika geliat
modernisasi semakin mengudara. Lingkungan hidup sebagai tempat tinggal manusia
menjadi korban ulah manusia yang melakukan perubahan tanpa memperhatikan aspek
jangka panjang. Manusia sebagai makluk berbudaya melakukan eksploitasi alam besarbesaran dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup. Hingga akhirnya semboyan mengenai
penyelamatan lingkungan kian gencar dilakukan oleh para pelaku pemerhati lingkungan.
Berbagai upaya dilakukan agar dapat menyelaraskan diri dengan alam. Studi pun gencar

dilakukan dengan berbagai pendekatan ekologi.
Ekologi yang merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya, baik yang bersifat hidup (biotik) maupun
tidak hidup (abiotik). Hubungan yang terjalin antara keduanya menyebabkan adanya
hubungan yang saling membutuhkan atau muncul suatu saling ketergantungan yang
berlangsung secara terus-menerus dan berkesinambungan. Pendekatan ekologi banyak
dilakukan oleh masyarakat yang menganut sistem organik, yaitu masyarakat pedesaan.
Hal ini menurut Durkheim disebabkan masyarakat pedesaan lebih peka terhadap alam
karena ketergantungan terhadap alam masih sangat tinggi. Masyarakat pedesaan berupaya
selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Hal inilah yang disebut sebagai
Page 1

adaptasi. Adaptasi tidak serta merta hadir dalam diri individu, melainkan memerlukan
proses yang berlangsung lama secara bertahap.
1. 2.

Rumusan Masalah
Adapun hal yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan bentuk masyarakat dan pola adaptasi ekologi?
2. Seperti apakah contoh dari bentuk masyarakat dan pola adaptasi ekologi?


Page 2

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1.

Bentuk Masyarakat dan Pola Adaptasi Ekologi
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, adaptasi adalah penyesuaian diri dengan

lingkungan, pekerjaan, dan sebagainya.

Dalam kamus The Penguin Dictionary of

Sociology, Adaptasi yang dalam bahasa Inggris disebut adaptation merujuk pada teori
evolusi masyarakat yang dikemukakan Claude Henry Saint Simon, Auguste Comte,
Herbert Spencer dan kebanyakan sosiolog dan antropolog fungsionalis. Mereka menyebut
diri sebagai neo-evolusionisme Darwin dan mengaitkan seleksi alam dan adaptasi sebagai
bagian dari ilmu biologi.
Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan

sekitarnya untuk bertahan hidup. Makhluk hidup melakukan penyesuaian diri terhadap
lingkungan di sekitar habitat tempat hidupnya tidak terkecuali manusia. Adaptasi yang
dilakukan makhluk hidup bertujuan untuk dapat bertahan hidup dari kondisi lingkungan
yang mungkin kurang menguntungkan. Organisme yang mampu beradaptasi terhadap
lingkungannya mampu untuk:


memperoleh air, udara dan nutrisi (makanan).



mengatasi kondisi fisik lingkungan.



mempertahankan hidup



bereproduksi.




merespon perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Biologi dari jerman
yaitu Ernest Haekel pada tahun 1866. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi
antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos
("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik
interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
Page 3

lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau
sistem dengan lingkungannya. Menurut Odum dan Cox (1971), ekologi adalah suatu
studi yang mempelajari struktur dan fungsi ekosistem atau alam dimana manusia adalah
bagian dari alam. Struktur mencirikan keadaan sistem tersebut. Fungsi menggambarkan
hubungan sebab akibatnya. Jadi pokok utama ekologi adalah mencari pengertian
bagaimana fungsi organisme di alam. Sehingga pola adaptasi ekologi dapat diartikan
sebagai kebisaan yang ada di lingkungan tempat tinggal masyarakat. Adaptasi ekologi
berlangsung terus-menerus dan spesifik ruang dan waktu.

Secara axiologis, ekologi manusia diperkaya oleh munculnya fenomena risk
society dalam sistem etika dan estetika peradaban modern. Sistem masyarakat berisiko
terbentuk sebagai akibat penggunaan teknologi dan gaya hidup modern yang serba “short
cut”, eksploitatif terhadap sumberdaya alam, serta serba instant tanpa mengindahkan
dampaknya pada generasi mendatang. Munculnya sistem sosial modern yang
unsustainable telah menumbuhkan dan menguatkan perhatian para scholars pada eco
ethics beraliran etika ekosentrisme (sebagai pengganti aliran antroposentrisme ) bagi
kehidupan sosial kemasyarakatan masa depan. Realitas ini dijelaskan dengan baik oleh
para ahli sosiologi lingkungan yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan ekologi
manusia (lihat Buttel, 1987 dan Beck, 1992). Hingga titik ini, ekologi manusia telah
menjadi ajang perseteruan akademik para penganut arus-arus utama pemikiran yang
seringkali berseberangan satu sama lain. Fakta ini memberikan perkembangan yang
menggembirakan karena secara keilmuan kini terdapat beragam pilihan kemungkinan
jalan keluar atas suatu persoalan ekologis yang dihadapi oleh alam dan manusia.
Bidang ilmu ekologi manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu
pengetahuan, dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan
konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan
interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological change)
yang terjadi di alam. Perubahan ekologis itu, terutama berkenaan dengan munculnya
destabilitas ekosistem sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam

oleh karena meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia/masyarakat.
Page 4

Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan
alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu
sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah
pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling
memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu
sama lain.
Konsep-konsep ekologi klasikal seperti adaptasi ekologi dan socio ecological
adjustment disertai konsep kompetisi suksesi menjadi konsep-konsep dasar yang sangat
penting untuk meretas jalan pemahaman ekologi manusia. Fokus perhatian investigasi
teoritik pada tataran ini dengan sengaja menuju pada upaya pemetaan pola-pola adaptasi
ekologi spesifik/khas lokalistik yang dilakukan oleh sistem-sistem sosial “kecil terisolasi”
(dalam bahasa developmentalisme mereka sering dilabelkan secara keliru dengan istilah
“suku terasing”). Pemahaman terhadap peta budaya sistem masyarakat kecil ini
menghasilkan peta yang lengkap tentang pola-pola adaptasi ekologi komunitas asli
(misal: Komunitas Dayak di Kalimantan, Komunitas Anak Dalam di Sumatera,
Komunitas Baduy di Jawa, Komunitas Dani dan Amungme di Papua). Pada titik ini
ekologi manusia menjadi tak ada bedanya dengan disiplin cultural anthropology yang

memulai investigasi teoritiknya dengan fokus kajian sistem statik pada homeostasis yang
dihadapi oleh suku-suku asli di pelosok dunia. Homeostasis adalah ilmu yang
mempelajari semua proses yang terjadi dalam organisme hidup untuk mempertahankan
lingkungan interna didalam kondisi agar optimal bagi kehidupan organisme yang
bersangkutan (Tambayong, 1999). Hak politik alam untuk mengatur dan eksis, menuntut
adanya pengembangan tradisi pemikiran dan cara pandang baru dalam memahami
konstelasi kekuasaan dalam menjalankan pembangunan. Perspektif ekologisme
dilahirkan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Sebuah tradisi‐pemikiran yang senantiasa
diasah, dikaji, dibangun, dan akhirnya menuntun orang secara disiplin dalam
mengkonstruksikan gagasan dan cara pandangnya (theoretical

way

of

thinking).

Perspektif untuk memahami how human beings are related and are relating to the planet
(paling tidak dalam jangka waktu kini dan masa depan), telah mengkristal menjadi
sebuah ideologi baru yang dibingkai dan disebut oleh Dobson (1995) sebagai green

(political) thought. Cara pandang dalam ekologi tersebut menilai adanya kesatuan yang
Page 5

sangat erat dari dua sistem yang mandiri, yaitu sistem ekologi dan sistem sosial, yang
(sesungguhnya) keduanya tak bisa dipisahkan begitu saja dalam setiap hubungan
produksi, relasi sosial, ataupun relasi kekuasaan (Marten, 2001). Menurut perspektif
pemikiran green, setiap aksi di sistem sosial selalu menimbulkan dampak/reaksi pada
sistem ekologi dan sebaliknya. Sehingga sistem produksi ekonomi yang pada masa lalu
sangat steril terhadap persoalan ekologi (memisahkan secara tegas kepentingan ekonomi
dan ekologi), kini pandangan tersebut tak bisa ditolerir lagi . Disini kemudian muncul
persoalan keadilan sosial versus keadilan ekologis. Dalam hal pembagian konsesi
(wilayah) bagi masing‐masing entitas sosial (misalnya, antara masyarakat pemegang Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) dengan komunitas warga desa setempat), maka pembagian
mungkin dirasakan telah “adil dan mencukupi”, manakala pembagian wilayah telah
menciptakan situasi “social harmony and integration”. Namun stabilitas sosial tersebut
tetap menyimpan disharmoni hubungan antara masing‐masing masyarakat dengan
lingkungan alamnya. Persoalan inequality dan pembagian keadilan lingkungan, tetap
berlangsung antara human society (HPH dan warga desa) melawan alam lingkungan
(hutan). Sejarah pemikiran munculnya konflik dua macam rasionalitas yang memiliki
tolok ukur berbeda, diawali oleh hadirnya “zero growth” debate yang sebelumnya telah

digagas dalam teori “Limits to Growth” oleh Club of Rome di tahun 1972. Dalam debat
tersebut, pihak penganut rasionalitas ekologi menandaskan, bahwa faktor pengendala
pertumbuhan ekonomi adalah alam dan kemiskinan. Dalam thesis “limits to growth” itu
ditandaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dipacu secara terus‐menerus hanya akan
berakibat pada dua muara yang sangat memprihatinkan dunia, yaitu: kemiskinan
(poverty) dan kerusakan alam yang tidak terperikan (irrepairable natural resources
damages). Tesis ini dibangun bukanlah tanpa alasan yang tak berdasar. Hukum kekekalan
energi yang mengatakan bahwa “energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan kecuali
berubah bentuk”, sangatlah mengilhami pemikiran “limits to growth”. Artinya, setiap
materi‐ energi yang terakumulasi melalui pertumbuhan ekonomi di satu tempat, pasti
akan meminta sejumlah biaya berupa pengurangan akumulasi materi dan energi di tempat
yang lain. Sementara itu, “zero growth” thesis sangat berkeyakinan bahwa: banjir,
kekeringan, wabah penyakit, adalah “upaya sang alam” mengkoreksi pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, sehingga prestasi pertumbuhan ekonomi yang ada akan terkoreksi
Page 6

dan terus‐menerus ditekan kembali ke taraf semula. Dengan kata lain, pembangunan yang
mengabaikan kepentingan dan “rasa” keadilan alam, akan senantiasa menghasilkan
stagnasi atau bahkan pemburukan kualitas kehidupan, sebagaimana diilustrasikan oleh
gambaran “seseorang yang berlari maju‐ke‐atas, pada sebuah eskalator yang bergerak

menurun dengan laju yang lebih cepat”
2. 2.

Contoh Bentuk Masyarakat dan Pola Adaptasi Ekologi
Adaptasi yang dilakukan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai dan

menggantungkan sumber penghidupannya dari sumber daya yang ada, menunjukkan
adanya keragaman. Di berbagai daerah di Sumatera dan Sulawesi, misalnya terdapat
kelompok-kelompok masyarakat yang mengembangkan cara hidup dengan bertempat
tinggal di perahu yang sekaligus berfungsi sebagai alat dalam kegiatan penangkapan ikan.
Contohnya adalah beberapa kelompok masyarakat Suku Bajo atau Suku Laut yang secara
tradisional hidup berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah lain (nomaden) dan
tinggal/hidup di atas perahu.
Contoh lain yang menunjukkan bagaimana masyarakat yang tinggal di tepi pantai
mengadaptasikan dirinya, berkaitan dengan permukiman/tempat tinggal mereka, adalah
pola permukiman kelompok masyarakat Kampung Laut di kawasan Sagara Anakan atau
daerah-daerah lain yang mengembangkan dan membangun rumah-rumah mereka di atas
tiang-tiang pancang yang relatif tinggi yang menyesuaikan kepada pasang surut laut yang
terjadi secara reguler.
Selain contoh di atas, pada banyak kasus, pertumbuhan penduduk yang tinggi

mendorong penduduk di kawasan pantai untuk merambah/membuka kawasan hutan ,
mangrove, atau “menciptakan” lahan-lahan baru yang dapat digunakan sebagai lokasi
permukiman dan, terutama, sebagai lahan usaha.

Page 7

BAB III
PENUTUP
3. 1.

Kesimpulan
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan

lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos
("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk
hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya
Secara axiologis, ekologi manusia diperkaya oleh munculnya fenomena risk
society dalam sistem etika dan estetika peradaban modern. Sistem masyarakat berisiko
terbentuk sebagai akibat penggunaan teknologi dan gaya hidup modern yang serba “short
cut”, eksploitatif terhadap sumberdaya alam, serta serba instant tanpa mengindahkan
dampaknya pada generasi mendatang
Bidang ilmu ekologi manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu
pengetahuan, dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan
konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan
interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological change)
yang terjadi di alam

Page 8

DAFTAR PUSTAKA

Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial. Jakarta: kencana Prenada media Grup. 2011.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. 2006.
Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2013
http://thedreaming89.blogspot.co.id/2012/11/pola-adaptasi-ekologi.html
http://bentukadaptasilingkungan.blogspot.com/2011/04/bentuk-adaptasi-lingkungan.html

Page 9