pengertian umum teori dan klasifikasi me

Pengertian, Teori, dan Klasifikasi Metafora

Pengertian
Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan
dua kata Yunani—―meta‖ (diatas) dan ―pherein‖ (mengalihkan/memindahkan).
Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna ―transfer‖ atau
―transpor‖. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau
kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000: 941).
Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada
suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan
kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora ―Pelanggan adalah
raja,‖ berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh,
posisi,

dan

sebagainya

dipindahkan

kepada


pelanggan.

Ungkapan

Shakespeare yang sangat terkenal ―All the world's a stage‖ adalah contoh
metafora yang sering dikutip. Metafora ini mengindikasikan bahwa ―the world‖
dan ―stage‖ adalah dua hal yang analog.
Karena metafora merupakan sebuah topik kajian utama berbagai
disiplin ilmu, terutama linguistik, teori kesusastraan, filsafat, dan psikologi,
konsep-konsep tentang metafora, termasuk definisinya, sangat beragam
(Picken: 1988: 108). Hingga saat ini, terdapat paling tidak empat teori
metafora yang mengungkapkan metafora dengan berbagai sudut pandang.

Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut, yang secara
khusus ditinjau dari perspektif penerjemahan.

2. Teori Metafora
a. Teori Perbandingan (Comparison Theory)
Teori perbandingan, yang identik dengan definisi etimologis di atas,

digagas oleh Aristoteles pada abad keempat masehi. Menurut Aristoteles,
metafora merupakan sarana berpikir yang sangat efektif untuk memahami
suatu konsep abstrak, yang dilakukan dengan cara memperluas makna
konsep tersebut dengan cara membandingkannya dengan suatu konsep lain
yang sudah dipahami. Melalui perbandingan itu terjadi pemindahan makna
dari konsep yang sudah dipahami kepada konsep abstrak. Batasan ini
biasanya diungkapkan dengan rumus ―A adalah B dalam konteks X, Y, Z …‖
Sebagai contoh, dalam metafora ―Guru adalah matahari bangsa‖, fungsi
‗matahari‘ sebagai pemberi ‗terang‘ dan ‗kehangatan‘ dipindahkan kepada
‗guru‘. Pemindahan ini membuat ―guru‖ menjadi ―pemberi terang dan
kehangatan‖ kepada bangsa. Oleh Aristoteles, ungkapan-ungkapan linguistik
yang dihasilkan dari metafora sebagai sarana berpikir itu disebut sebagai
stilistika.
Menurut Ortony (1993: 3), bagi Aristoteles, fungsi utama metafora
adalah sebagai stilistika atau ornamen retoris, khususnya majas. Danesi

(2004:

118)


menambahkan

bahwa

majas

tersebut

digunakan

untu

memperindah ungkapan-ungkapan dalam puisi. Dengan kata lain, Aristoteles
lebih mementingkan metafora sebagai ekspresi linguistik, bukan sebagai
konsep berpikir yang menghasilkan ekspresi tersebut.
Sejak dicanangkan oleh Aristoteles, metafora menjadi salah satu
bidang kajian utama bidang filsafat, linguistik dan kritik sastra di Barat.
Namun, menurut Punther (2007: 10-12), penekanan pada fungsi metafora
sebagai ornamen retoris mengakibatkan kajian-kajian itu hanya terfokus pada
upaya upaya untuk membedakan bahasa harfiah dan bahasa figuratif.

Akibatnya, selama hampir 16 abad metafora tidak dianggap sebagai bagian
integral diskursus filsafat dan bahasa sehari-hari, dan pengertian metafora
sebagai perbandingan antara sebuah konsep yang asing (topik) dengan
suatu konsep lain yang sudah dipahami (citra) yang menghasilkan kemiripan
(titik kesamaan) diantara keduanya, yang kemudian dipindahkan kepada
topik sehingga pemahaman terhadapnya meningkat juga tidak mengalami
perubahan secara substantif.
Teori perbandingan ini didukung oleh Larson (1998: 271-271) yang
menekankan bahwa, seperti simile, metafora merupakan ungkapan figuratif
yang didasarkan pada perbandingan. Dia menjelaskan bahwa metafora dan
simile merupakan bentuk-bentuk gramatikal yang mewakili dua proposisi
dalam struktur semantik. Sebuah proposisi terdiri sebuah topik dan

penjelasan mengenai topik itu. Dalam ungkapan ―Guru adalah matahari
bangsa‖, ―guru‖ merupakan topik dan ―adalah matahari bangsa‖ merupakan
penjelasan. Hubungan antara kedua proposisi tersebut merupakan sebuah
perbandingan yang terdapat dalam bagian penjelasan. Penjelasan tersebut
mengungkapkan kemiripan atau menunjukkan titik kesamaan tertentu. Dalam
contoh di atas, bagian penjelasan mengungkapkan kemiripan antara ―guru‖
dan ―matahari‖ sebagai pemberi ‗terang‘ dan ‗kehangatan‘.


b. Teori Interaksi
Pemunculan konsep metafora yang berbeda dengan konsep
Aristoteles diawali oleh Richards. Perbedaan itu terlihat paling tidak dalam
dua poin. Pertama, Richards (1936: 90) menyatakan bahwa metafora
sesuatu yang istimewa dan hanya digunakan oleh orang-orang berbakat
sebagai ornamen retoris. Dengan kata lain, dia menolak pandangan bahwa
metafora digunakan secara khusus hanya dalam karya sastra.
Kedua, Richards (1936: 93-96) menekankan bahwa metafora
merupakan proses kognitif yang dilakukan untuk memahami suatu gagasan
yang asing (vehicle) melalui interaksi gagasan tersebut dengan gagasan lain
yang maknanya secara harfiah sudah lebih dikenal (tenor), bukan melalui
pemindahan makna. Gagasan baru yang dihasilkan melalui interaksi vehicle
dan tenor disebut ground. Dalam ―Guru adalah matahari bangsa‖, misalnya,

tidak terjadi pemindahan makna dari ―matahari‖ kepada ―guru‖. Kedua kata itu
tetap pada makna harfiah masing-masing. Namun sebagian wilayah makna
kedua kata itu, seperti makna ‗mendidik‘ dan ‗mengajar‘ berinteraksi dengan
makna ‗menerangi‘ dan ‗menghangatkan‘, dan menghasilkan gagasan
―melalui pendidikan dan pengajaran yang dilakukannya, guru menerangi dan

memberi kehangatan pada bangsa‖. Secara grafis, proses kognitif yang
menghasilkan metafora ini digambarkan dalam Bagan 3 di bawah ini.

Pada bagan tersebut, tampak dua lingkaran yang disatukan, masingmasing menampilkan wilayah makna ―guru‖ dan wilayah makna ―matahari‖.
Sebahagian dari kedua wilayah makna itu bertumpang tindih (ditampilkan
oleh bagian yang diarsir), dan hal itu menunjukkan adanya sekumpulan
komponen makna penyama (ground) atau makna yang sama-sama dimiliki
kedua wilayah makna. Dalam konteks metafora ini, makna penyama tersebut

terdiri dari ―hangat‖ dan ―menerangi.‖ Meskipun wilayah makna itu menyatu,
makna harfiah ―guru‖ dan ―matahari‖ tidak menghilang, melainkan ada di latar
belakang makna metaforis. Itulah sebabnya Richard menekankan bahwa
dalam metafora tidak terjadi substitusi makna melainkan interaksi makna.
Istilah vehicle yang diajukan Richard ini mirip dengan ‗topik‘, istilah
tenor mirip dengan ―citra,‖ dan istilah ground mirip dengan ―titik kesamaan‖.
Menurut Stockwell (2002: 106), dalam ungkapan stilistik posisi vehicle selalu
mendahuli tenor, meskipun dalam skema proses kognitifnya tenor diletakkan
sebelum vehicle. Jadi, dalam metafora ―Guru adalah matahari bangsa‖,
―Guru‖ merupakan vehicle dan ―matahari‖ merupakan tenor‖. Fitur umum
yang terdapat diantara keduanya, seperti ‗hangat‘ dan ‗menerangi‘, disebut

ground.
Berdasarkan

gagasan

Richards,

Black

mengembangkan

teori

interaksi dengan menekankan bahwa metafora pada hakikatnya merupakan
instrumen kognitif yang tidak dapat berlangsung tanpa adanya interaksi antar
elemen-elemen pembentuknya, yang terdiri dari aspek konteks, situasi,
pembicara/pendengar, penulis/pembaca, dan tema pertuturan. Esensi aspekaspek kontekstual ini dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut.

(1) Ali adalah anak kecil.
(2) Toto mahir berakting.


Kalimat (1) di atas merupakan metafora jika dilihat dari konteksnya
bahwa Ali berumur 40 tahun. Dalam konteks ini, ―Ali‖ dianalogikan sebagai
―anak kecil‘ karena memiliki sifat kekanak-kanakan. Akan tetapi, kalimat itu
bukan sebuah metafora jika diketahui Ali masih berumur lima tahun. Kalimat
(2) merupakan metafora jika diketahui Toto bukan seorang pemain film
(aktor) namun pandai bersandiwara bagaikan seorang aktor. Sebaliknya,
kalimat

itu bukan metafora jika Toto benar-benar seorang aktor. Melalui

penjelasan dan contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa dalam teori interaksi
Black kriteria pokok yang menentukan apakah sebuah tuturan merupakan
metafora atau hanya sekedar pernyataan harfiah adalah konteks dan
situasinya.
Jika konsep Aristoteles dibandingkan dengan konsep Richards dan
Black, akan terlihat bahwa konsep metafora Aristoteles dilandaskan pada
perbandingan antara tenor (citra) dan vehicle (topik), sedangkan konsep
metafora Richards dan Black didasarkan pada interaksi kedua ranah
tersebut. Namun, walau berbeda dalam hal hubungan antara tenor dan

vehicle, konsep Aristoteles, Richards, dan Black sama-sama menekankan
bahwa konteks yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua
sisi makna: makna metaforis di satu sisi dan makna harfiah di sisi yang

lainnya. Selain itu, ketiga konsep itu juga sama-sama menekankan fungsi
metafora sebagai bahasa figuratif.

c. Teori Pragmatik
Teori pragmatik merupakan penolakan terhadap konsep adanya
perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra,
atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Dengan kata lain, teori
pragmatik membantah konsep teori perbandingan dan teori interaksi.
Davidson (1978: 32) mempertanyakan asumsi standar tentang keberadaan
makna metaforis yang berbeda dengan makna harfiah. Menurut Davidson,
metafora pada hakikatnya tidak berbeda dengan ungkapan linguistik lainnya.
Metafora

mengungkapkan

makna


kata-kata

sesuai

dengan

makna

harfiahnya, tidak lebih dari itu. Bagi Davidson, persoalan metafora
merupakan ranah pragmatik, bukan semantik. Metafora tidak membentuk
makna-makna yang berbeda karena metafora tidak berkreasi; metafora
merupakan kata-kata yang makna harfiahnya digunakan untuk membentuk
pemahaman. Dengan kata lain, makna sebuah metafora ditentukan oleh
makna harfiah kata-kata maupun kalimat yang membentuknya, dan
bagaimana makna tersebut digunakan. Jadi, metafora tidak memiliki makna
khusus. Metafora adalah penggunaan ungkapan harfiah untuk menyarankan,

mengakrabkan, atau mengarahkan penutur kepada makna yang mungkin
diabaikannya.

Sama dengan Davidson, Searle (1981: 76-103) juga menolak konsep
perubahan makna pada topik karena adanya pemindahan makna dari citra,
atau karena adanya interaksi vehicle dengan tenor. Menurut Searle, di dalam
metafora sama sekali tidak ada perubahan makna. Searle mengakui bahwa
makna ungkapan metaforis berbeda dengan makna harfiah kata-kata atau
kalimat penyusunnya. Namun hal itu tidak disebabkan oleh perubahan makna
elemen-elemen

leksikal,

melainkan

karena

penutur

bermaksud

mengungkapkan makna yang lain melalui kata-kata atau kalimat tersebut. Hal
ini, secara sederhana, diungkapkan dengan rumusan bahwa penutur
mengatakan ―S adalah P‖, padahal yang dimaksudkannya adalah ―S adalah
R‖.Sehubungan dengan itu, Searle mengusulkan bahwa untuk menjelaskan
metafora perlu dibedakan antara makna harfiah kata-kata atau kalimat
dengan makna yang disampaikan penutur (makna metaforis yang ingin
diungkapkan melalui makna harfiah kata-kata atau kalimat yang digunakan).
Sumbangan utama teori pragmatik terhadap konsep metafora adalah
pemahaman bahwa proses pembentukan makna metaforis tidak hanya
ditentukan oleh pemindahan makna dari citra ke topik atau oleh interaksi
antara kedua ranah tersebut. Makna metaforis itu juga dibentuk oleh

hubungan internal elemen-elemen kontekstual tuturan tersebut, termasuk
makna yang disampaikan penutur.

d. Teori Kognitif
Wilayah kajian metafora yang dulu cenderung mengacu pada
ungkapan figuratif mulai berubah sejak Lakoff dan Johnson menerbitkan
Metaphors We Live By pada tahun 1980. Dalam buku ini mereka
menegaskan bahwa metafora tidak hanya digunakan dalam karya sastra
tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut mereka, ―metaphors are
pervasive in our ordinary everyday way of thinking, speaking, and acting.‖
Pendapat ini merupakan penolakan mereka terhadap pendapat umum dalam
linguistik konvensional bahwa ungkapan metaforis merupakan alternatif bagi
pertuturan harfiah. Danesi (2004: 120), menjelaskan bahwa secara khusus
mereka menentang asumsi Grice bahwa seseorang akan mencoba
mendahulukan interpretasi harfiah jika dia mendengar sebuah kalimat. Jika
konteks kalimat tersebut tidak memungkinkan baginya untuk memperoleh
pemahaman, barulah dia mencoba interpretasi metaforis. Menurut Lakoff dan
Johnson, asumsi ini terkesan benar hanya karena pengguna bahasa tidak
menyadari bahwa banyak ungkapan-ungkapan yang biasa mereka gunakan
sebenarnya didasarkan pada struktur metaforis. Sebagai contoh, kalimat
yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti: ―Pendapatmu

tidak dapat dipertahankan‖, ―Aku berhasil menghancurkan argumentasinya‖
dan ―Dia selalu menang dalam perdebatan‖, sebenarnya merupakan variasi
metafora

linguistik

yang

dibentuk

berdasarkan

metafora

konseptual

ARGUMEN MERUPAKAN PERANG, seperti terlihat dari uraian yang
diadopsi dari penjelasan Lakoff dan Johnson berikut.

metafora konseptual:

ARGUMEN MERUPAKAN PERANG

metafora linguistik

a) Pendapatmu tidak dapat dipertahankan.
b) Aku berhasil mementahkan argumentasinya.
c) Dia selalu menang dalam perdebatan.

Selain itu, berbagai kalimat sering diinterpretasikan secara metaforis
tanpa

memperhatikan

―Pembunuhnya

adalah

makna

sebenarnya.

binatang‖

Sebagai

cenderung

contoh,

kalimat

diinterpretasikan

secara

metaforis. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa kata ―binatang‖ dalam kalimat
itu adalah hewan sesungguhnya (singa, beruang, dan sebagainya), barulah
pendengar menginterpretasikannya secara harfiah.
Menurut Ortony (1993: 208-209), prinsip utama dalam teori kongnitif
Lakoff dan Johnson adalah bahwa metafora berlangsung dalam tataran
proses berpikir. Metafora menghubungkan dua ranah konseptual, yang
disebut ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain).
Ranah sumber terdiri dari sekumpulan entitas, atribut atau proses yang

terhubung secara harfiah, dan secara semantis terhubung dan tersimpan
dalam pikiran. Hal-hal itu diungkapkan dalam pertuturan melalui seperangkat
kata atau ungkapan yang dianggap terhimpun dalam kelompok-kelompok
yang serupa dengan kumpulan tersebut—yang sering disebut oleh linguis
sebagai ‗kelompok leksikal‘ (lexical sets) atau ‗bidang-bidang leksikal‘ (lexical
fields). Ranah sasaran cenderung bersifat lebih abstrak dan mengikuti
struktur yang dimiliki ranah sumber melalui pemetaan ontologis. Pemetaan
inilah yang disebut metafora konseptual. Oleh karena itu, entitas, atribut, dan
proses dalam ranah sasaran diyakini berhubungan satu sama lain seperti
pola yang dipetakan dari hubungan antara entitas, atribut, dan proses dalam
ranah sumber. Pada tataran bahasa, seluruh. entitas, atribut, dan proses
dalam ranah sasaran dileksikalkan melalui kata-kata dan ungkapan dari
ranah sumber. Kata-kata atau ungkapan inilah yang disebut dengan metafora
linguistik.
Senada dengan penjelasan Ortony tentang teori Lakoff dan Johnson di
atas, Kovecses (2010: 4) juga menyatakan bahwa metafora konseptual
berada pada tataran proses berpikir, yang digunakan untuk memahami suatu
ranah konseptual dengan cara mengaitkannya dengan suatu ranah
konseptual lain. Pendapat ini dirumuskan (dengan hurup kapital) sebagai
berikut: RANAH KONSEPTUAL A ADALAH RANAH KONSEPTUAL B.
Sedangkan metafora linguistik adalah berbagai ungkapan linguistik yang

dihasilkan dari sebuah metafora konseptual. Berdasarkan rumusan ini,
sebagai contoh, untuk konsep DUNIA dapat dibentuk metafora konseptual
DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA. Dalam konteks ini pemahaman
tentang sandiwara digunakan untuk memahami kehidupan. Dari metafora
konseptual DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA dapat dibentuk
berbagai metafora linguistik, seperti: ―Pertolongan yang diberikannya
hanyalah sandiwara‖; ―Para anggota parlemen itu hanyalah badut-badut
politik‖; ―Kehidupan pernikahannya tak lebih dari sinetron belaka‖; dan
sebagainya.
Bagi pendukung teori kongnitif, pikiran dianggap lebih penting dari
bahasa. Teori kongnitif tidak dimaksudkan untuk menjelaskan ungkapanungkapan

bahasa

yang

digunakan,

yang

dianggap

hanya

sebagai

manifestasi permukaan dari fenomena yang jauh lebih penting. Meskipun
demikian, pola-pola ungkapan bahasa merupakan data yang digunakan
sebagai bukti utama untuk menyajikan teori ini. Data-data linguistik tersebut
biasanya dihasilkan secara intuitif, baik oleh peneliti maupun informan.
Namun selama beberapa tahun terakhir beberapa peneliti mulai menganalisis
data linguistik yang diperoleh secara alami.
Berdasarkan berbagai teori dan definisi yang cukup beragam tersebut,
terlihat bahwa pengertian metafora relatif sama sejak zaman Aristoteles.
Meskipun dinyatakan melalui ungkapan-ungkapan yang cukup variatif,

definisi-definisi itu tetap bermuara kepada dua tataran, yakni: metafora
konseptual dan metafora linguistik. Metafora konseptual merupakan proses
pemindahan sebuah konsep yang dikenal kepada konsep lain yang masih
asing agar konsep yang asing itu dapat dipahami. Pemindahan konsep itu
bisa melalui perbandingan, interaksi, atau pemetaan. Metafora linguistik
merupakan ekspresi linguistik yang diperoleh dari sebuah metafora
konseptual.
Perbedaan yang terdapat dalam berbagai definisi dan teori metafora di
atas terletak pada penekanan esensi dan fungsi kedua jenis metafora
tersebut. Bagi Aristoteles, metafora linguistik lebih penting dari metafora
konseptual dan sangat diperlukan sebagai bahasa figuratif (majas) dalam
puisi dan kajian sastra.

Bagi Lakoff dan Johnson, metafora yang paling

esensial adalah metafora konseptual, dengan alasan bahwa

metafora

linguistik merupakan manifestasi linguistis dari metafora konseptual (sebagai
sistem berpikir yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari manusia).
Krennmayr (2011: 11) menegaskan bahwa berbeda dengan pandangan filsuf
dan linguis terdahulu, yang memandang bahasa terpisah dari pikiran, linguis
kontemporer sejak pemunculan linguistik kognitif memandang bahasa
berinteraksi dengan persepsi, memori, dan pikiran.
Karena dilandaskan pada perbandingan antara sebuah benda, ide,
atau tindakan dengan sebuah benda, ide, atau tindakan lain, metafora juga

mencakup

personifikasi,

karena

personifikasi

juga

didasarkan

pada

perbandingan benda atau binatang dengan manusia. Dalam personifikasi
―Nyiur melambai-lambai‖ terdapat perbandingan antara gerakan daun nyiur
dengan gerakan tangan manusia. Perbandingan itu menghasilkan titik
kesamaan berupa ―gerakan gemulai dari kanan ke kiri atau sebaliknya‖. Jadi,
proses pembuatan personifikasi sama dengan metafora. Mendukung konsep
ini, Alm-Arvius (2003: 129) menegaskan bahwa personifikasi merupakan subkategori metafora yang bersifat lebih umum dan komprehensif. Dengan kata
lain, metafora merupakan atasan personifikasi, dan personifikasi merupakan
subordinat

metafora.

Penjelasan

Alm-Arvius

ini

menjelaskan

bahwa

perbedaan di antara metafora dan personifikasi terletak hanya pada ruang
lingkup. Metafora membandingkan semua benda ide, atau tindakan dengan
sebuah benda, ide, atau tindakan lain, sedangkan personifikasi khusus
menampilkan benda atau hewan sebagai manusia.

3. Komponen Metafora
Berdasarkan paparan di atas, terungkap bahwa struktur sebuah
metafora dapat dibagi ke dalam tiga komponen: (1) konsep atau hal yang
dibicarakan agar lebih dipahami (topik atau vehicle); (2) konsep yang sudah
dipahami (citra atau tenor); dan (3) makna atau kualitas yang memperlihatkan

persamaan antara citra dan topik (ground atau ―titik kesamaan‖). Dengan
demikian, dalam contoh ―Guru adalah matahari bangsa‖ di atas, ―Guru‖
merupakan ‗topik‖, ―matahari‖ merupakan ―citra‖, dan ―menerangi‖ dan
―menghangatkan‖ merupakan ―titik kesamaan‖.
Ketiga komponen pembangun metafora tidak selalu disebutkan secara
eksplisit. Adakalanya, salah satu dari ketiga bagian itu (topik, sebagian dari
citra, atau titik kemiripan) dinyatakan secara implisit. Sehubungan dengan itu,
Orrecchioni (dalam Zaimar, 2002: 48-49) membedakan metafora ke dalam
dua jenis: metafora in praesentia, yang bersifat eksplisit dan metafora in
absentia, yang bersifat implisit. Dalam metafora ―Tono adalah buaya darat‖,
misalnya, kedua unsur yang dibandingkan muncul--―Tono‖ sebagai vehicle
dan ―buaya darat‖ sebagai tenor). Sedangkan dalam metafora ―Banyak
pemuda yang ingin mempersunting

mawar

desa itu‖, kata mawar

dibandingkan secara in absentia dengan gadis. Dalam konteks ini, ―mawar‖
sebagai citra muncul, sedangkan ―gadis‖ sebagai topik tidak muncul. Dengan
demikian, terjadi perbandingan implisit. Untuk mengetahui titik kemiripan
dalam metafora seperti ini, diperlukan pengetahuan tentang konteks tempat
metafora tersebut digunakan, pemahaman terhadap makna ‗mawar‘ dalam
masyarakat penutur, dan unsur implisit lainnya.

4. Prosedur Mengidentifikasi Metafora
Pemahaman atas definisi, komponen, dan tipe metafora belum
menjamin kemampuan mengidentifikasi keberadaan majas ini dalam wacana,
apalagi bila wacana yang dianalisis merupakan korpus yang besar.
Krennmayr (2011: 15-16) menegaskan bahwa pendekatan ―I-know-it-when-Isee-it‖ atau intuitif tidak bisa diharapkan untuk menghasilkan identifikasi
metafora yang akurat. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu prosedur yang
terukur. Untuk menjawab kebuutuhan ini, kelompok Pragglejaz menyusun
Metaphor Identification Procedure (MIP), yang dirancang secara khusus bagi
para peneliti untuk mengenali metafora dalam bahasa lisan dan tulisan.
Prosedur ini bertujuan untuk menentukan apakah unit leksikal tertentu dalam
wacana berperan sebagai metafora dengan melihat hubungan unit leksikal
tersebut dalam wacana. Karena banyak kata yang berfungsi sebagai
metafora dalam konteks yang berbeda, untuk menerapkan MIP diperlukan
kemampuan untuk membedakan kata-kata yang menyampaikan makna
metaforis dan yang tidak.
Secara terperinci, kelompok Pragglejaz (2007) merumuskan MIP
sebagai berikut:
1.

Baca wacana secara menyeluruh untuk membangun pemahaman umum
tentang maknanya.

2. Tentukan unit leksikal dalam wacana:

3. (a) Untuk setiap unit leksikal dalam teks, lihat maknanya dalam konteks,
yaitu, bagaimana makna itu berlaku sebagai suatu entitas, relasi, atau
atribut dalam situasi yang ditimbulkan oleh teks (makna kontekstual).
Perhitungkan apa yang datang sebelum dan setelah unit leksikal.
(b) Untuk setiap unit leksikal, tentukan apakah unit itu memiliki makna
kontemporer yang lebih mendasar dalam konteks lain daripada dalam
konteks tersebut. Dalam identifikasi metafora ini, makna dasar
cenderung: (i) lebih nyata (apa yang diungkapkan lebih mudah
dibayangkan, dilihat, didengar, diraba, dicium, dan dirasakan); (ii)
terkait dengan tindakan fisik; (iii) Lebih tepat (tidak samar-samar); dan
(iv) secara historis lebih tua.Makna dasar harus merupakan makna
yang paling sering muncul dari unit leksikal tersebut.
(c) Jika unit leksikal memiliki makna kontemporer yang lebih mendasar
dalam konteks lain dibandingkan dengan konteks yang ada, periksa
apakah makna kontekstual berbeda dengan makna dasar tetapi dapat
dimengerti melalui perbandingan dengan makna dasar tersebut.
4. Jika ya, tandai unit leksikal tersebut sebagai metafora.

Untuk membantu pemahaman terhadap MIP, kelompok Pragglejaz
menyajikan kalimat pertama sebuah artikel berjudul ―Sonia Gandhi stakes
claim for top job with denunciation of Vajpayee‖ sebagai contoh. Kalimat

tersebut berbunyi: ―For years, Sonia Gandhi has struggled to convince
Indians that she is fit to wear the mantle of the political dynasty into which she
married, let alone to become premier.‖ Berdasarkan pembacaan menyeluruh
atas wacana tersebut (langkah 1) dipahami bahwa artikel itu membahas
politik kontemporer di India, khususnya kontroversi mengenai peran Sonia
Ghandi sebagai politisi.
Pada langkah ke-2, unit-unit leksikal kalimat tersebut diidentifikasi
sebagai berikut: / For / years /, Sonia Gandhi / has / struggled / to / convince
/ Indians / that / she / is / fit / to /wear/ the / mantle / of / the / political / dynasty
/ into / which / she / married / let alone / to / become / premier /.
Selanjutnya, makna setiap unit leksikal diperiksa secara berurutan.
Sebagai contoh, makna kontekstual preposisi ―for‖ mengungkapkan durasi
sebuah periode waktu. Makna dasar ―for‖ bisa menyatakan pengenalan
terhadap penerima suatu tindakan, seperti dalam kalimat ―I‘ve brought a cup
of tea for you.‖ Inilah makna utama ―for‖ yang disajikan dalam kamus. Makna
kontekstual yang ditemukan di atas berbeda dengan makna dasar. Namun
makna kontekstual tidak bisa dipahami melalui perbandingan dengan makna
dasar tersebut.

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa preposisi ―for‖

bukanlah sebuah metafora (langkah ke-4).
Hal yang sama ditemukan pada kata ―years‘, ‗Sonia Gandhi‖ dan ―has‘.
Ketiganya bukan merupakan metafora. Namun hasil berbeda ditemukan pada

kata ―struggled‖. Dalam wacana ini, kata ―struggled‖ mengindikasikan upaya,
kesulitan, dan kendala dalam mencapai suatu tujuan, yaitu merubah
pandangan

dan

mengungkapkan

sikap
bahwa

negatif
makna

orang

lain.

dasar

Penelusuran

verba

di

―struggled‖

kamus
adalah

‗menggunakan kekuatan fisik terhadap sesuatu atau seseorang. Terlihat
bahwa makna kontekstual berbeda dengan makna dasar, dan makna
kontekstual tersebut dapat dipahami melalui perbandingannya dengan makna
dasar. Makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan konflik psikis
dapat dipahami melalui makna berbentuk upaya, kesulitan, perlawanan dan
konflik fisik. Dengan demikian, kata ―struggled‖ dalam wacana ini merupakan
metafora.
Melalui penerapan MIP pada kalimat di atas, ditemukan bahwa enam
dari seluruh 27 unit leksikal yang ada merupakan metafora, yakni
―struggled‖, ―fit‖, ―wear‖, ―mantle‖, ―dynasty‖ dan ―into‖.

5. Jenis-Jenis Metafora
Metafora dapat diklasifikasikan dalam berbagai kelompok sesuai
dengan banyaknya sudut pandang dan kriteria yang bisa digunakan sebagai
landasan. Dalam paparan ini, yang diuraikan hanyalah klasifikasi yang
banyak diacu oleh bidang sastra dan penerjemahan.

a. Klasifikasi Berdasarkan Unsur Fungsional Sintaksis
Ditinjau dari segi sintaksis, Wahab (1995: 72) membagi metafora ke
dalam tiga kelompok, yaitu metafora nominatif, metafora predikatif, dan
metafora kalimatif. Metafora nominatif merupakan metafora yang makna
kiasnya terdapat pada nomina kalimat, sedangkan komponen-komponen lain
hanya menyatakan makna langsung. Karena nomina bisa berposisi sebagai
subjek dan objek dalam kalimat, metafora ini dibagi lagi menjadi dua macam,
yaitu metafora subjektif dan metafora objektif. Dalam metafora subjektif, yang
juga disebut sebagai metafora nominatif, makna kias hanya muncul pada
subjek saja. Sebagai contoh, dalam ungkapan ―Badai derita tak henti
melanda‖, subjek ―badai derita‖ mengaitkan ‗badai‘ dengan sesuatu yang
abstrak, yaiutu ‗derita‘. Subjek ini merupakan metafora, sedangkan
komponen lainnya, yaitu ―tak henti melanda‖ mengungkapkan makna literal.
Dalam metafora objektif, yang juga disebut sebagai metafora komplementatif,
makna kias hanya muncul pada objek saja. Dalam ungkapan ―Wajahnya
diselimuti mendung kelabu‖, misalnya, kelompok kata ―diselimuti mendung
kelabu‖ berfungsi sebagai komplemen dan mengungkapkan makna kias,
yang berarti ―kemuraman atau kesedihan.‖
Dalam metafora predikatif, makna kias hanya terdapat pada predikat
kalimat saja, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat itu (jika

ada) menyatakan makna literal. Sebagai contoh, dalam ungkapan ―Sumpah
serapah mengalir dari mulutnya‖, kata ―mengalir‖ merupakan predikasi yang
cocok untuk air. Namun dalam konteks kalimat ini, kata itu merupakan
metafora yang menekankan bahwa orang dimaksud tak henti-hentinya
mengucapkan sumpah serapah.
Dalam metafora kalimatif, seluruh lambang kias yang dipakai tidak
terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek maupun yang
berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja, melainkan pada seluruh
komponen dalam kalimat metaforis itu, seperti dalam ―Fajar kemerdekaan
akan mengusir kelam derita.‖

b. Klasifikasi Larson
Larson (1998: 274-275) membedakan metafora ke dalam dua
kelompok: metafora mati (dead metaphor) dan metafora hidup (live
metaphor). Metafora mati merupakan bagian dari konstruksi idiomatis dalam
leksikon sebuah bahasa. Ketika sebuah metafora mati digunakan, pendengar
atau pembaca tidak memikirkan makna literal kata-kata pembentuknya, tetapi
langsung memikirkan makna idiomatik ungkapan tersebut secara langsung.
Sebagai contoh, ketika mendengar metafora berbentuk idiom 'kaki meja',
pendengar tidak perlu memikirkan makna kata ―kaki‖ dan ―meja‖ secara
terpisah untuk memahami metafora tersebut. Ungkapan ini sudah digunakan

terus-menerus dalam bahasa Indonesia hingga penutur tidak perlu berpikir
tentang perbandingan anatara kata ―kaki‖ dan ―meja‖. Dalam bahasa Inggris,
terdapat banyak idiom seperti ―run into debt‖, ―foot of the stairs‖, dan ―the
head of state‖. Ungkapan-ungkapan ini merupakan metafora karena penutur
bahasa Inggris dapat langsung memahami maknanya tanpa harus berpikir
tentang perbandingan antara kata-kata penyusunnya. Metafora mati disebut
―mati‖ karena eksistensinya sebagai metafora hampir tidak disadari oleh
penutur. Ungkapan yang termasuk dalam metafora mati cenderung tidak lagi
dianggap sebagai metafora tetapi sebagai kata-kata sederhana dengan
makna fungsional sederhana. Kecenderungan ini merupakan salah satu
pendorong berkembangnya bahasa. Penutur mencoba untuk menjelaskan
sesuatu dengan membuat sebuah ungkapan yang memunculkan citra yang
tidak lazim, dan akhirnya ungkapan itu menjadi standar sedangkan citra
aslinya yang hilang atau berevolusi.
Metafora hidup adalah metafora yang dibentuk oleh penulis atau
pembicara pada saat dia ingin menjelaskan sesuatu yang kurang dikenal
dengan membandingkannya kepada sesuatu yang sudah dipahami. Berbeda
dengan metafora mati yang sudah lama digunakan sehingga kesan
metaforisnya tidak begitu menonjol, kesan metaforis metafora hidup terasa
sangat kental setelah perbandingan antar dua hal dalam ungkapan tersebut
dipahami dengan baik. Metafora hidup sering digunakan untuk menarik minat

pembaca atau pendengar, karena jika ungkapan yang didengar atau dibaca
tidak sesuai dengan pola makna yang biasa, seorang pendengar atau
pembaca akan dipaksa untuk berpikir keras tentang makna ungkapan
tersebut,

penggunaannya,

dan

tujuan

pembicara

atau

penulis

menggunakannya. Kata kata bercetak-miring dalam kalimat berikut adalah
beberapa contoh metafora hidup.
(1)

Banyak partai politik yang ada saat ini hanya berfungsi sebagai perahu
pemimpinnya untuk memuaskan syahwat politik mereka menjadi
presiden.

(2)

Pemimpin sekarang perlu menjadikan korupsi musuh utama.

c. Klasifikasi Newmark
Newmark (1998: 106) mengklasifikasikan metafora ke dalam enam
jenis: metafora mati (dead metaphor), metafora klise (cliché metaphor),
metafora standar (standard or stock metaphor), metafora kontemporer
(recent metaphor), metafora orisinal (original metaphor), dan metafora
saduran (adapted metaphor). Masing-masing metafora tersebut diuraikan
pada bagian berikut.
Metafora mati merupakan metafora yang eksistensinya sebagai
metafora hampir tidak disadari oleh penutur. Metafora jenis ini biasanya
menggunakan kata-kata yang universal mengenai ruang, waktu, ide, bagian-

bagian tubuh, unsur-unsur ekologi, dan aktivitas-aktivitas utama manusia,
seperti puncak, dasar, kaki, mulut, warna, dan sebagainya. Beberapa contoh
metafora mati adalah: ―kaki gunung‖, ―mulut sungai‖, dan ―puncak karir‖.
Menurut Newmark, metafora mati banyak digunakan untuk memperjelas atau
mendefinisikan konsep dan bahasa ilmiah, seperti ―landasan teori‖ dan ―dari
lubuk hati yang terdalam‖. Kutipan dari puisi Rendra (dalam McGlynn, 1990:
70) berikut adalah satu contoh lain metafora mati: ―di perut kota New York.‖
Metafora klise merupakan metafora yang digunakan oleh penutur
secara otomatis. Karena sudah sering digunakan, kesan metaforisnya tidak
begitu kental. Menurut Newmark, metafora ini biasa digunakan untuk
menggantikan ungkapan (khususnya yang bersifat emosional) yang secara
harfiah sudah jelas namun kaitannya dengan inti permasalahan tidak ada.
Newmark memberikan kalimat ―The country school will in effect become not a
backwater but a breakthrough‖ sebagai contoh metafora klise. Kata
backwater secara harfiah mengacu pada ―bagian sungai yang airnya
mengalir perlahan-lahan‖, namun dalam konteks kalimat di atas, kata ini
mengacu pada sebuah ―tempat yang tenang‖. Kata breakthrough pada
awalnya bermakna ―sebuah dorongan penyerangan yang menembus dan
melampaui garis pertahanan lawan dalam peperangan.‖ Tapi, dalam konteks
kalimat di atas, kata ini bermakna ―terobosan‖.

Metafora standar merupakan metafora yang sudah mapan dan
digunakan secara efektif dalam komunikasi informal untuk mengungkapkan
situasi mental atau fisik. Newmark menambahkan bahwa metafora jenis ini
memiliki kehangatan emosional dan tidak ―mati‖ walaupun sering digunakan.
Beberapa contoh metafora standar adalah: ―muka tembok‖, ―Biarkan ketel itu
tetap mendidih‖, ―secercah sinar harapan‖.
Metafora kontemporer merupakan metafora berbentuk neologisme
(ungkapan bentukan baru, atau kata lama yang dipakai dengan makna baru)
namun penggunaannya sudah meluas bahkan di dalam bahasa-bahasa lain.
Beberapa contoh metafora jenis ini adalah: ―walkman‖, yang dibentuk dari
kata lama ―walk‖ dan ―man‖ namun dalam pengertian baru mengacu pada
―alat pemutar kaset yang bisa dibawa-bawa (portable casette player)‖;
―software‖, dibentuk dari kata lama ―soft‖ dan ―ware‖ namun dalam pengertian
baru mengacu pada perangkat pemrograman dalam komputer; dan ―headhunting‖, yang mengacu pada ―proses rekrutmen sumber daya manusia‖.
Jika digunakan untuk mengungkapkan obyek atau proses yang masih
baru,

metafora

kontemporer

identik

dengan

metonimi

(majas

yang

mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena
mempunyai pertalian yang sangat dekat, seperti pertalian antara penemu
dengan temuannya, pemilik dengan barang yang dimiliki, akibat dengan
sebab, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya). Sebagai contoh,

dalam ungkapan ―Mingguan itu banyak memuat gosip‖, kata ―mingguan‖ yang
pada awalnya berarti sesuatu yang terjadi seminggu sekali dihubungkan
dengan surat kabar sehingga membentuk makna baru: ―surat kabar yang
terbit sekali seminggu.‖
Metafora orisinal merupakan metafora yang mengandung inti pesan,
kepribadian dan pandangan seorang penulis. Metafora orisinal biasanya
merupakan metafora puitis yang diciptakan untuk mengungkapkan sesuatu
yang spesifik pada sebuah peristiwa. Sebagai contoh, kesan yang
ditangkapnya setelah menyaksikan berbagai bantuan kemanusiaan bagi para
korban tsunami di Asia awal tahun 2005, Presiden World Vision, Stearns
menyatakan: “This tidal wave of generosity will help them rebuild…” Dalam
ungkapan ini, ―tidal wave‖ yang biasanya mengacu pada bencana alam
digunakan untuk mengungkapkan kebaikan. Kutipan dari puisiTaufik Ismail
(dalam McGlynn, 1990: 70) berikut adalah contoh lain metafora orisinal:
―Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropa, Meksiko, Habsyi dan Cina,
…‖ Sebagai hasil kreativitas, metafora orisinal tidak berhubungan erat
dengan konvensi-konvensi budaya dan linguistik. Oleh karena itu, faktor
paling krusial dalam upaya memahaminya adalah konteks.
Metafora saduran, menurut Dickins (2005: 237), adalah metafora yang
diadaptasi (dengan cara membuat perubahan) dari sebuah metafora
kontemporer. Contoh yang diberikan Newmark (1998: 108) untuk metafora

saduran adalah ungkapan ―the ball is a little in their court‖, yang diadaptasi
dari idiom metaforis kontemporer ―the ball is in their court‖.
Klasifikasi Wahab, yang membedakan metafora ke dalam metafora
nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif, di atas menegaskan
bahwa unsur ungkapan yang membentuk metafora bisa berbentuk sebuah
kata, frasa, klausa maupun kalimat. Sebuah metafora bisa berwujud subjek,
objek, prediket, atau mencakup seluruh komponen sebuah kalimat. Klasifikasi
Larson dilandaskan pada sadar atau tidaknya penutur akan eksistensi
ungkapan metaforis tersebut sebagai metafora. Kriteria ini diikuti oleh
Newmark ketika membedakan metafora mati dan metafora kontemporer.
Akan tetapi, selain kriteria tersebut, Newmark juga menggunakan kriteria
rentang waktu penggunaan ketika membedakan metafora klise dan metafora
kontemporer dan kriteria keberadaan dan ketiadaan kreativitas penulis atau
pembicara ketika membedakan metafora orisinal dan metafora saduran.
Dengan demikian, meskipun klasifikasi Newmark terkesan lebih terperinci,
hal itu didasarkan pada kriteria yang multidimensional sehingga kriteriakriteria yang membedakan ke enam jenis metafora tersebut tidak begitu
tegas. Bahkan, Newmark sendiri mengakui kriteria metafora klise tumpang
tindih dengan metafora standar (1998: 108).

Referensi
Alm-Arvius, Christina. Figures of Speech. (Sweden: Studentlitteratur, Lund,
2003).
Classe, Oliver (Ed.). Encyclopedia of Literary Translation into English. (Vol.
2). (London: Fitzroy Dearborn Publishers, 2000).
Danesi, Marcel. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in
Semiotics and Communication Theory (3rd Ed.) (Toronto: Canadian
Scholars‘ Press Inc., 2004)
Davidson, Donald. "What Metaphors Mean," Critical Inquiry 5(1), 31-47.
(Chicago: The University of Chicago Press, 1978).
Dickins, James. ―Two Models for Metaphor Translation‖. Target, 17(2), 2005
Krennmayr, Tina. Metaphor in Newspapers. (Utrecht: LOT, 2011).
Lakoff, George and Mark Johnson. ―Conceptual Metaphor in Everyday
Language‖. Dalam The Journal of Philosophy, Vol. 77, No. 8 (Aug.,
1980), pp. 453-486, http://www.jstor. org/stable/2025464 (diakses 20
Februari 2011)
Larson, Mildred L. Meaning-Based Translation: a Guide to Cross-Language
Equivalence. (Lanham and London: University Press of America,
1998).
McGlynn, John H. (Ed. & Transl.).On Foreign Shores: American Images in
Indonesian Poetry. (Jakarta: The Lontar Foundation, 1990).
Newmark, Peter. A Textbook of Translation. (New York: Prentice-Hall
International, 1988).
Ortony, Andrew (Ed.). Metaphor and Thought. (2nd ed.). (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993)
Pragglejaz Group. MIP: A Method for Identifying Metaphorically Used Words
in Discourse. Dalam Metaphor and Symbol, 22(1), 1–39. (Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 2007).
Picken, Jonathan D. Literature, Metaphor, and the Foreign Language
Learner. (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2007)

Punter, David. Metaphor. (New York: Routledge, 2007).
Richards, Ivor Amstrong. The Philosophy of Rhetoric. (New York: Oxford
University, Press, 1936).
Searle, John R. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech
Acts. (Cambridge: Cambridge University Press, 1981).
Stockwell, Peter. Cognitive Poetics: An introduction. (New York: Routledge,
2002).
Wahab, Abdul. Isu Linguistik dan Pengajaran bahasa dan Sastra. (Surabaya:
Airlangga University Press., 1995).
Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. Majas Dan Pembentukannya. Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 6, No. 2, (Depok: Universitas
Indonesia, 2002) hh. 48-49, 1986.