CONTOH KASUS PENYELESAIAN SENGKETA PERBU

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Bidang Ketenagakerjaan setelah
diberlakukannya Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Oleh : Agus Budi Susilo, SH., MH
(Hakim PTUN Medan 2004-2008, saat ini Hakim PTUN Semarang)

A. Latar Belakang Penulisan
Sebagai negara berkembang, Indonesia saat ini sedang membangun diberbagai sektor. Di
sektor perekonomian misalnya, sejalan dengan isu globalisasi yang tidak dapat dielakkan
lagi, negara kita tidak dapat menutup mata begitu saja terhadap dampak perkembangan
ekonomi dunia.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi politik, globalisasi merupakan proses perubahan
organisasi dari fungsi kapitalisme yang ditandai dengan munculnya integrasi pasar dan
perusahaan-perusahaan transnasional dan tertinggalnya institusi supranasional. Pengertian
globalisasi disini memberikan indikasi bahwa deregulasi dan privatisasi merupakan ciri
utama globalisasi yang mengarah pada pengurangan peran pemerintah dibidang ekonomi
termasuk di bidang ketenagakerjaan di satu pihak, dan peningkatan peran pasar di lain pihak.
Berangkat dari konsep globalisasi tersebut, pembahasan implikasi globalisasi terhadap
masalah hukum ketenagakerjaan menjadi sangat penting dan menarik untuk ditelaah. Hal ini
dikarenakan akhir-akhir ini banyak permasalahan yang timbul terhadap para pekerja (buruh)
baik mengenai tidak sesuainya UMR (upah minimum regional), PHK (pemutusan hubungan

kerja), kurang harmonisnya hubungan serikat pekerja dengan pengusaha maupun antar serikat
pekerja, dll.
Karena peliknya masalah yang berkenaan dengan para pekerja, perlu upaya-upaya dari
pemerintah dalam menghadapi era globalisasi yang kaitannya dengan ketenagakerjaan. Oleh
sebab itu dituntut peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut, setidak-tidaknya
meminimalisir permasalahan ketenagakerjaan/ perburuhan yang timbul.
Sebelum tahun 2004, pemerintah dalam melakukan upaya tindakan preventifnya adalah
dengan membentuk lembaga P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan
P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, agar masalah
ketenagakerjaan/ perburuhan dapat diselesaikan dengan baik dan adil.
Disinilah dituntut suatu lembaga penyelesian sengketa perburuhan yang dapat bekerja
optimal menuju suatu keadilan dengan tidak mengesampingkan independensinya. Akan tetapi
lembaga P4D dan P4P bagaimanapun juga eksistensinya masih dirasakan cukup lemah,
karena keberadaannya dibawah lembaga eksekutif yaitu Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Meskipun demikian, keputusan yang dihasilkan oleh P4D maupun P4P tidaklah bersifat final
melainkan masih dimungkinkannya suatu upaya hukum lagi bila pihak yang merasa
dirugikan belum merasa puas akan hasil penyelesaian sengketa perburuhan oleh P4D dan
P4P. Upaya hukum yang dimaksud yaitu upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Adanya upaya administratif ini adalah merupakan bagian dari suatu sistem peradilan
administrasi, karena upaya administratif merupakan kombinasi atau komponen khusus yang
berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan memelihara
keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan rukun antara
pemerintah dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (1).
Meskipun dengan adanya upaya administrasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa
ketenagakerjaan yang masuk dalam lingkup hukum administrasi negara, tetapi dalam
perkembangannya banyak kalangan (terutama yang awam terhadap hukum administrasi
negara) berpendapat perkara khusus harus diselesaikan dengan peradilan khusus, artinya agar
dicapainya suatu keadilan perlu dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus untuk
menyelesaikan perkara-perkara tertentu. Salah satunya adalah dengan dibentuknya
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang kedudukannya berada dibawah Peradilan Umum
serta menghapuskan keberadaan P4D dan P4P.
Dengan didudukannya PHI sebagai peradilan khusus mungkin para penganut paham tadi
mengasumsikan bahwa masalah hubungan industri ketenagakerjaan merupakan masalah

khusus sehingga harus diselesaikan secara khusus pula. Selain itu, upaya dari pemerintah dan
DPR membentuk PHI adalah agar penyelesaian sengketa hubungan industrial dapat cepat,
tepat, adil dan murah. Tetapi bagaimanakah realisasi setelah dibentuknya PHI, apakah
sengketa ketenagakerjaan sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara
(KTUN) bukan lagi menjadi kewenangan PTUN ?. Dari permasalahan tersebut, penulis
mencoba mendeskripsikan serta mengajak rekan-rekan atau para pembaca untuk mengkaji
lebih lanjut dengan menggunakan analisa yuridis normatif dan mengenyampingkan anasiranasir non yuridis, akan tetapi aspek penekanannya menggunakan hukum administrasi negara
di Indonesia.
B. PHI Sebagai Pranata Penegakan Hukum Ketenagakerjaan
Berangkat dari permasalahan diatas, penulis mencoba untuk mengkaji fungsi dan
kedudukan PHI menurut Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Aspek filosofis dibentuknya PHI adalah adanya suatu keinginan agar terwujud suatu
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan yang secara optimal sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Apabila kita melihat nilai yang terkandung diatas, maka
keberadaan PHI memang sangat dibutuhkan bahkan sangat urgen melihat masalah
ketenagakerjaan yang semakin kompleks.
Dalam hal ini, eksistensi PHI dapat dijadikan sebagai pilar hukum ketenagakerjaan.
Dikatakan “pilar” karena hukum ketenagakerjaan yang pada umumnya berupa norma tidak
dapat diterapkan atau dipatuhi bila tidak ada suatu lembaga hukum yang mempunyai daya

paksa untuk mengimplementasikan norma hukum ketenagakerjaan tersebut, untuk itulah
condito sine quanon dibentuk PHI.

Meskipun sudah ada lembaga penegakan hukum ketenagakerjaan baik yang berada
dibawah naungan lembaga eksekutif ( dahulu seperti P4D dan P4P) maupun lembaga
yudikatif, tetapi masih dirasa belum mumpuni dalam hal penegakan norma hukum
ketenagakerjaan. Oleh karena masalah-masalah ketenagakerjaan mempunyai nilai
problematik yang khas, maka disepakati baik oleh pemerintah maupun DPR perlu lembaga
penegak hukum khusus masalah ketenagakerjaan dan lembaga itu adalah PHI.
Dengan adanya kekhasan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan, maka dalam PHI inipun
membatasi perselisihan hubungan industrial ke dalam beberapa jenis, yaitu : perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara
para serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 2 Undang-Undang
tentang PPHI).
Tetapi dengan adanya perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut, bukan
berarti setiap perselisihan ketenagakerjaan ini selalu harus diselesaikan melalaui PHI. Karena
adanya PHI merupakan jalan terakhir apabila perselisihan dalam ketenagakerjaan, sedangkan
upaya yang harus dilalui terlebih dahulu menurut nilai-nilai dalam Pancasila adalah
dirundingkan atau dimusyawarahkan karena dengan adanya musyawarah para pihak yang
berselisih diyakini apabila terselesaikan akan lebih baik dibanding diselesaikan melalui PHI.

Karena penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui PHI merupakan jalan terakhir,
maka diberikan kesempatan kepada para pihak yang berselisih melakukan penyelesaian
melalui beberapa macam cara, seperti : bipartit, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi.
Segi positif dalam sistem penyelesaian sengketa perselisihan hubungan industrial menurut
Undang-Undang tentang PPHI adalah penyelesaian lewat PHI lebih sederhana karena proses
penyelesaian sengketa harus sudah selesai dalam kurun waktu kurang lebih 140 hari (2), dan
ini berbeda dengan penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan sebelumnya yang bisa
memakan waktu sampai 3 tahun.
Tugas dan wewenang PHI menurut Pasal 55 Undang-Undang tentang PPHI adalah
memeriksa dan memutus :
1.
2.
3.
4.

Perselisihan Hak sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan Kepentingan sebagai pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir.
Perselisihan PHK sebagai pengadilan tingkat pertama.
Perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan sebagai pengadilan tingkat pertama
sekaligus terakhir.


Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan ada dua perkara (perselisihan hak dan PHK)
yang dapat diupayakan hukum lagi yaitu langsung melalui Kasasi (tanpa ada Banding).
Sedangkan untuk dua perkara yang lain yaitu perselisihan kepentingan dan perselisihan antar
SP/SB dalam satu perusahaan tidak ada upaya hukum lagi melainkan putusan yang ada sudah
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Yang menarik untuk dikaji dalam hal komposisi Majelis Hakim pada PHI adalah satu orang
Hakim Pengadilan Negeri (yang diangkat oleh Ketua MA), satu orang Hakim Ad-hoc dari
kalangan serikat pekerja/buruh, dan satu orang Hakim Ad-hoc dari kalangan organisasi
pengusaha. Dikatakan menarik karena prosedur pengangkatan Hakim tidak sebagaimana
umumnya/ layaknya yaitu dari kalangan SP/SB serta Pengusaha, hanya berdasarkan

pengusulan yang selanjutnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu 5
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Selain itu salah satu persyaratan
penting untuk menjadi Hakim Ad-hoc bukan harus dari seorang sarjana hukum melainkan
strata satu (S1) yang berpengalaman di bidang hubungan industrial minimal 5 tahun.
Sedangkan mengenai hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata disamping
hukum
acara
yang

ada
dalam
Undang-Undang
tentang
PPHI.
Sejak 14 Januari 2004 Undang-Undang tentang PPHI secara hukum sudah berlaku sah serta
dapat diterapkan, dan beberapa wilayah di Indonesia saat ini sudah memiliki lembaga PHI
sepeti : Jakarta, Medan, Semarang, dll.
C. Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan di PTUN sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan TUN oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi pangkal sengketa dalam Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) adalah Keputusan TUN. Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (3).
Melihat pada definisi tersebut, yang menjadi pangkal sengketa dalam PTUN itu sangat
terbatas pada keputusan saja, dan ini pun dipersempit lagi hanya Keputusan TUN yang
tertulis saja. Hal ini berarti, tidak semua tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini
dapat digugat melalui PTUN. Namun, yang dapat digugat melalui PTUN sebatas Keputusan
TUN saja. Tindakan-tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tanpa Keputusan

TUN tidak menjadi obyek sengketa tata usaha negara (4).
Dari pengertian Keputusan TUN ini pula, apabila ditelaah lebih dalam lagi ternyata
pengertian tersebut belumlah tuntas. Karena, pengertian Keputusan TUN yang termaktub
dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang PTUN itu masih dikurangi dengan apa yang
tercantum dalam Pasal 2 dan masih ditambah lagi dengan apa yang tercantum dalam Pasal 3
Undang-Undang tentang PTUN. Oleh karena itu Keputusan TUN yang bersifat konkret,
individual, dan final inilah yang dapat digugat ke PTUN yang kemudian di putus oleh Hakim
Tata Usaha Negara.
Apabila dipahami adanya Keputusan TUN meliputi beberapa bidang, seperti : bidang
kepegawaian, pertanahan, perpajakan, ketenagakerjaan/perburuhan, dll. Sepanjang Badan
atau Pejabat TUN mengeluarkan keputusan dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan
dan masuk dalam kriteria Pasal 1 angka 3 Undang-Undang tentang PTUN, maka apabila ada
sengketa yang berkenaan dengannya sudah masuk kewenangan absolut PTUN untuk
menyelesaikannya.
Selain Keputusan TUN yang menjadi patron untuk mengetahui kompetensi absolut PTUN,
maka perlu dikaji siapakah yang disebut Badan atau Pejabat TUN. Menurut ketentuan Pasal 1
angka 1 dan 2 Undang-Undang tentang PTUN, yang dimaksud Badan atau Pejabat TUN
adalah Badan atau Pejabat TUN (administrasi negara) yang melaksanakan fungsi atau urusan
pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Beranjak dari pengertian tersebut timbul suatu pertanyaan apa dan siapa

sajakah yang dapat melaksanakan fungsi atau urusan pemerintahan ? apakah hanya Badan
atau Pejabat TUN (eksekutif) saja ?. Untuk menjawab permasalah tersebut perlu pemahaman
secara komprehensif keilmuan hukum administrasi negara.

Menurut hukum administrasi negara (hukum publik), wewenang-wewenang dalam urusan
pemerintahan (eksekutif) bukanlah merupakan monopoli instansi-instansi resmi di
lingkungan pemerintah dibawah Presiden saja. Demikian halnya karena dalam kenyataan
kehidupan sehari-hari berbagai tugas pemerintahan berada pada instansi-instansi di luar
pemerintah, seperti : badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah sendiri (mis
: BUMN/BUMD dan Bank Pemerintah), instansi-instansi yang merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah dengan pihak swasta (mis : Pemda DKI kerjasama dengan PT
Pembangunan Jaya), dan kadangkala suatu badan swasta murni melalui peraturan perundangundangan atau sistem perizinan diberi wewenang untuk melaksanakan dan bertindak sebagai
pelaksana suatu bidang urusan pemerintahan (mis : lembaga-lembaga swasta yang bergerak
dibidang pendidikan, kegiatan sosial, kesehatan, dll). Dengan alasan itulah, menurut
Indroharto bahwa apa saja atau siapa saja yang dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat
TUN dengan nama apapun secara garis besar dapat dikelompokkan dalam (5) :
1.
2.
3.
4.

5.

Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai kepala
eksekutif.
Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu urusan
pemerintahan.
Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak
swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
sistem perizinan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Dari uraian diatas, menurut penulis dalam kenyataanannya hukum administrasi negara
terlihat sudah semakin berkembang pesat dan maju. Hal ini dikarenakan semakin berkembang
dan majunya suatu negara banyak terjadi pelimpahan-pelimpahan wewenang yang banyak
dimiliki oleh pemerintah. Proses pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada instansi
diluar pemerintah ini merupakan suatu keharusan karena dinamika kehidupan sosial dan
pembangunan/ modernisasi yang menuju kepada globaliasi sesuatu yang tidak bisa dihindari

lagi. Adanya era globalisasi membuat tugas-tugas yang diemban pemerintah semakin
kompleks sehingga untuk efisiensi dan efektifitas pembangunan secara politis dan sesuai
konstitusi sudah disepakati perlu adanya pelimpahan wewenang tersebut sepanjang bukan
yang berkenaan dengan pengambil kebijakan publik maupun menyangkut kepentingan hajat
hidup rakyat Indonesia.
Setelah ditelusuri mengenai apa saja yang bisa dijadikan sebagai subjek dan objek dalam
sengketa TUN, maka permasalahan selanjutnya apakah setelah dibentuknya PHI sengketa
TUN yang berkenaan dengan ketenagakerjaan sudah bukan lagi menjadi kewenangan PTUN
untuk mengadilinya ?.
Sebagaimana telah penulis nyatakan, berdasarkan uraian yuridis diatas sepanjang sengketa
TUN tersebut berupa keputusan TUN sebagaimana dimaksud dengan Pasal 1 angka 3
Undang-Undang tentang PTUN dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Pasal
1 angka 1, 2, dan 6 Undang-Undang tentang PTUN, maka tetap menjadi kewenangan PTUN
untuk memeriksa dan mengadilinya, tanpa memilah-milah bidang apa pun.

Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa melalui upaya administrasi sebagaimana
dimaksud Pasal 48 Undang-Undang tentang PTUN, penulis berpendapat setelah dibentuknya
PHI berdasarkan Pasal 125 Undang-Undang tentang PPHI, PTTUN selaku pengadilan tingkat
pertama sudah tidak berwenang lagi menyelesaikan perselisihan ketenagakerjaan/perburuhan
karena P4D dan P4P sudah tidak ada lagi eksistensinya.
Dalam hal ini pun penulis sependapat PHI berada dibawah Peradilan Umum karena
perselisihan yang terjadi antara tenaga kerja/ buruh atau SP/SB dengan organisasi pengusaha
biasanya bersifat keperdataan. Tetapi perlu dicatat, bahwa tidak selamanya sengketa yang
berkenaan dengan ketenagakerjaan/ perburuhan bersifat perdata/ privat, karena pada dasarnya
ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan/ buruh itu kadangkala masuk wilayah hukum publik.
Oleh karena itu penulis sependapat dengan Koko Kosidin yang dalam disertasinya
menyatakan mengenai pemahaman yang luas dari hukum ketenagakerjaan atau perburuhan
ini, yaitu di samping bersifat keperdataan juga bersifat publik karena menyangkut pula
pengaturan mengenai kebijakan pemerintah di dalamnya6). Pendapat yang sama diungkapkan
oleh Hari Supriyanto dalam salah satu penelitiannya tentang hukum ketenagakerjaan/
perburuhan dengan menyitir pendapat Pitlo dan Utrecht, yang menyatakan pengaturan
lapangan hukum ketenagakerjaan/ perburuhan termasuk pengaturan yang menyangkut van
openbare orde (aturan-aturan hukum publik), yaitu aturan-aturan yang menyangkut atau
meliputi bagian-bagian yang esensial daripada struktur kehidupan masyarakat, dari sinilah
pemerintah tidak dapat menghindari adanya campur tangan dilapangan ketenagakerjaan/
perburuhan. Turut campur tangannya pemerintah secara aktif di lapangan ketenagakerjaan
karena pemerintah dalam segala segi kehidupan sosial membawa suatu “enorme utibouw van
de sociale wetgeving” dan suatu “enorme groei van het adminitrative recht”, dengan
demikian aktifnya pemerintah tersebut adalah dalam rangka penyelenggaraan kesejahteraan
umum yang menuju suatu negara kesejahteraan (welfare state) 7).
D. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang ada dan argumentasi hukum oleh penulis, maka dapat
disimpulkan berkenaan dengan materi yang sedang dibahas yaitu kedudukan PHI sebagai
peradilan khusus sudah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu berada di
bawah Peradilan Umum, sedangkan mengenai fungsi dan kewenangannya adalah hanya
menangani masalah ketenagakerjaan/ perburuhan yang bersifat keperdataan maupun pidana,
sedangkan yang sifatnya sengketa tata usaha negara termasuk wilayah HAN bukanlah
merupakan kompetensi PHI untuk menyelesaikan perkara tersebut melainkan kewenangan
absolut PTUN. Dengan demikian, penulis mengajak para pembaca (terutama bagi kalangan
eksekutif, politisi, akademisi maupun praktisi) dalam membentuk dan menerapkan suatu
aturan harus memilah dari segi keilmuan hukum, atau dengan kata lain janganlah sampai
terjadi disharmonisasi atau overlap peraturan perundang-undangan (inilah yang sering terjadi
di Indonesia), oleh karenanya harus mengacu pada teori-teori suatu bidang keilmuan hukum
serta menghilangkan anasir-anasir politis/ non yuridis.
1) SF.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
1997, Yogyakarta, hlm.83.
2) Menurut Pasal 103, Majelis Hakim wajib memberi putusan dalam waktu selambatlambatnya 50 hari kerja terhitung sejak hari pertama sidang dan dalam Pasal 115 apabila
salah satu pihak mengajukan Kasasi maka Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari

kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan Kasasi harus sudah memutusa perkara
tersebut.
3) Lihat : Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Tentang PTUN.
4) Menurut sistem hukum kita, kewenangan untuk menilai perbuatan materiil dari badan atau
pejabat TUN ini tidak termasuk kompetensi PTUN, Kewenangan untu menilai perbuatan ini
diserahkan kepada Peradilan Umum atau perdata, yang didasarkan penafsiran yang luas dari
Pasal 1365 KUHPerdata (tentang onrechtmatig daad)
5) Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 135-137.
6) Koko Kosidin, Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Lingkungan
Perusahaan Perseroan (PERSERO), Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung, 1996, hlm.305-307.
7) lihat Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik (Studi Hukum
Perburuhan di Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2004, hlm.77 dan 81.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebuah sistem Jaminan sosial yang diberlakukan di
Indonesia. Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warganegaranya untuk
memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang
HAM tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.[1]


Dasar Hukum
1. Dasar Hukum pertama dari Jaminan Sosial ini adalah UUD 1945 dan perubahannya
tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, pasal 34.
2. Deklarasi HAM PBB atau Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan
konvensi ILO No.102 tahun 1952.
3. TAP MPR RI no X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
4. UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN
Keterangan
UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program jaminan sosial yang
ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil
memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena jumlah pesertanya kurang,
jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen
program tersebut.

Manfaat program Jamsosnas tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua,
asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini
akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka termasuk
pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.
Paradigma Jamsosnas
Sistem jaminan sosial nasional dibuat sesuai dengan “paradigma tiga pilar” yang
direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilar-pilar itu adalah :
1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber
keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok
mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat yang terbukti mempunyai
kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana alam, konflik sosial, menderita
penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana bantuan ini diambil dari APBN dan dari
dana masyarakat setempat.
2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik dari
perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan berdasarkan
tingkat pendapatan/gaji, dan berdasarkan suatu standar hidup minimum yang berlaku
di masyarakat.
3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat dibeli oleh
peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih tinggi daripada
jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program asuransi sosial wajib. Iuran
untuk program asuransi swasta ini berbeda menurut analisis risiko dari setiap peserta.
Asas Jamsosnas
Program Jamsosnas diselenggarakan menurut asas-asas berikut ini:
1. Asas saling menolong (gotong royong): peserta yang lebih kaya akan membantu
peserta yang kurang mampu, peserta yang mempunyai risiko kecil akan membantu
peserta yang mempunyai risiko lebih besar, dan mereka yang sehat akan membantu
mereka yang sakit
2. Asas kepesertaan wajib: seluruh penduduk Indonesia secara bertahap akan diwajibkan
untuk berpartisipasi dalam program Jamsosnas
3. Asas dana amanah (trust fund): dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola
oleh beberapa Badan Pengelola Jamsosnas dalam sebuah dana amanah yang akan
dipergunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh
peserta
4. Asas nirlaba: dana amanah ini harus bersifat nirlaba dan dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan jaminan sosial seluruh peserta
5. Keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas: dasar
pengelolaan ini akan digunakan sebagai dasar pengelolaan program Jamsosnas
6. Portabilitas: peserta akan terus menjadi anggota program Jamsosnas tanpa
memedulikan besar pendapatan dan status kerja peserta, dan akan terus menerima
manfaat tanpa memedulikan besar pendapatan dan status keluarga peserta sepanjang
memenuhi kriteria tertulis untuk menerima manfaat program tersebut.
7. Jaminan Hari Tua

Program jaminan hari tua (JHT) adalah sebuah program manfaat pasti (defined benefit) yang
beroperasi berdasarkan asas “membayar sambil jalan” (pay-as-you-go). Manfaat pasti
program ini adalah suatu persentasi rata-rata pendapatan tahun sebelumnya, yaitu antara 60%
hingga 80% dari Upah Minimum Regional (UMR) daerah di mana penduduk tersebut
bekerja. Setiap pekerja akan memperoleh pensiun minimum pasti sejumlah 70% dari UMR
setempat. Jaminan Kesehatan
Program Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (JKSN) ditujukan untuk memberikan manfaat
pelayanan kesehatan yang cukup komprehensif, mulai dari pelayanan preventif seperti
imunisasi dan Keluarga Berencana hingga pelayanan penyakit katastropik seperti penyakit
jantung dan gagal ginjal. Baik institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta dapat
memberikan pelayanan untuk program tersebut selama mereka menandatangani sebuah
kontrak kerja sama dengan pemerintah [2]
Badan Penjamin Jaminan Sosial
Berdasarkan [[UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) adalah :
1. Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (pasal
1 ayat 6)
2. Badan hukum nirlaba (pasal 4 dan Penjelasan Umum)
3. Pembentukan dengan Undang-undang (pasal 5 ayat 1)
Lihat pula
1. ^ http://sjsn.menkokesra.go.id/dokumen/publikasi/buku_reformasi_sjsn_ind.pdf
2. ^ http://www.smeru.or.id/report/workpaper/jamsosnas/Jamsosnasind.pdf

Sistem Jaminan Sosial Nasional: Apakah itu?
Monday, 13 September 2010 20:43 administrator
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak
berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur.
Kenyataannya jauh panggang dari api, sudah lewat lima tahun UU SJSN itu disahkan,
hingga kini belum kunjung terealisasi. Berikut adalah beberapa hal yang diatur dalam UU
SJSN ini. Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan memberi kepastian perlindungan dan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seumur hidup. Melalui program ini, setiap
penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi halhal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatannya, karena menderita
sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
SJSN seperti yang diatur dalam UU No. 40/2004 adalah jaminan sosial yang berbentuk
asuransi sosial dan bantuan sosial atau kombinasi keduanya. Asuransi sosial maksudnya
tiap orang yang bekerja dan yang mempekerjakan orang lain, baik itu di sektor formal

ataupun informal selama dia mampu wajib mengiur tiap bulannya sesuai dengan prosentasi
tertentu untuk jaminan sosialnya.
Sedangkan bantuan sosial maksudnya pemerintah akan memberikan bantuan iuran bagi
penduduk miskin atau orang tidak mampu. Intinya SJSN harus menjamin bahwa seluruh
rakyat baik itu PNS, buruh formal ataupun informal, petani, nelayan, pedagang kecil dan
sebagainya mendapatkan benefit (manfaat) yang sama atas jaminan sosial, yang berarti
sama-sama hidup bermartabat.
SJSN ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua dan jaminan pensiun. Dalam UU SJSN ditetapkan sebelas prinsip dasar yang
menjadi acuan dan landasan dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional ini,
yaitu:
1.
Kegotongroyongan.
Kebersamaan
antar-peserta
dengan
kewajiban membayar iuran (yang berpenghasilan tinggi membantu yang
berpenghasilan rendah, yang mampu membantu yang kurang mampu,
yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, dan yang sehat
membantu yang sakit).
2.
Nirlaba. Pengelolaannya mutlak untuk memberi manfaat kepada
peserta, dan bukan melulu komisaris yang biasanya datang dari unsur
pemerintah.
3.
Keterbukaan. Informasi harus mudah diakses oleh semua
penduduk.
4.

Kehati-hatian. Dijalankan secara cermat, teliti, aman dan tertib.

5.
Akuntabilitas. Harus akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
6.
Portabilitas. Jaminan berkelanjutan di seluruh wilayah RI.
Prinsipnya peserta harus selalu aman (security) kapan dan di mana pun
ia berada di dalam jurisdiksi Indonesia. Peserta yang berpindah
pekerjaan atau berpindah tempat tinggal dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus selalu menerima manfaat.
7.
Kepesertaan bersifat wajib. Seluruh penduduk menjadi peserta
Jaminan Sosial secara bertahap.
8.
Dana amanat. Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan
titipan
(bukan
pendapatan
bukan
anggaran)
kepada
Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial untuk dikelola sebaik-baiknya untuk
kesejahteraan peserta.
9.
Hasil pengelolaan Dana. Hasilnya dikembalikan untuk
kepentingan peserta.
10. Asuransi sosial. Kaya miskin, sehat sakit, tua muda, resiko rendah
dan tinggi semuanya berhak atas jaminan sosial.
11. Ekuitas. Kesamaan dalam memperoleh pelayanan.
Untuk menyelenggarakan UU SJSN tersebut, berdasarkan pasal 6 UU
SJSN, maka Presiden mengangkat Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN). DJSN dibentuk untuk membantu Presiden mempersiapkan draftdraft perangkat kebijakan dalam penyelenggaraan SJSN. Salah satunya

adalah merumuskan Rancangan Undang-Undang mengenai Badan
penyelenggara Jaminan sosial (BPJS). UU inilah yang kelak mengatur
bagaimana peran dan fungsi dari Badan penyelenggara jaminan sosial ini
berdasarkan aturan dalam undang-undang SJSN.
UU inilah juga yang belum disusun oleh pemerintah, melampaui batas lima tahun sejak 19
Oktober 2004 yang diamanatkan UU SJSN. Untunglah DPR mengajukan hak inisiatif
dengan memasukkan RUU BPJS ke dalam program legislasi nasional tahun 2010 ini. (riz)
http://www.pikiran-rakyat.com/node/159201
UU Sistem Jaminan Sosial Nasional Banyak Kelemahan



Rabu, 21/09/2011 - 06:51
JAKARTA, (PRLM).- Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dinilai lemah karena terkesan terburu-buru dalam pembahasannya. Selain
itu, UU ini juga cenderung pada program asuransi kesehatan bukan jaminan sosial.
"Terlalu banyak kelemahan UU SJSN sehingga ditemukan banyak inskonsistensi dan
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang perlu jawabannya," kata pengamat kebijakan publik,
Ichsanuddin Noorsy di Jakarta, Selasa (20/9).
Menurut dia, UU yang ditandatangani pada akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu
tidak terdapat pengaturan tentang bantuan sosial. Sejumlah 10 pasal di dalamnya mengatur
kesehatan dan hanya empat pasal tentang jaminan lain.
Padahal, program jaminan sosial di antaranya mencakup jaminan kesehatan, jaminan
kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan pensiiun.
Dalam UU SJSN dikatakan, jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial (pasal 19 ayat 6), tetapi prinsip asuransi sosial tidak dikenal dalam
badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS).
RUU BPJS saat ini sedang dibahas dalam panitia khusus (Pansus) di DPR. RUU BPJS adalah
RUU yang mengatur badan penyelenggara jaminan sosial di mana program jaminan sosial
diatur dalam UU SJSN. RUU BPJS mengenal prinsip kebersamaan dan gotong royong
melalui iuran bersama peserta dan pemberi kerja.
Ichsanuddin juga mengkritisi pasal 17 ayat 4 UU SJSN yang menyatakan iuran untuk
program jaminan sosial bagi fakir miskin dan tidak mampu dibayar pemerintah. "Bagaimana
dengan pengangguran yang belum bekerja, orang tua, anak-anak dan golongan lain yang
tidak bekerja dan tidak membayar iuran tetapi tidak masuk dalam kategori miskin dan tidak
mampu," tanyanya.

Pasal 17 ayat 5 dikatakan pada tahap pertama, iuran dibayar oleh pemerintah untuk program
jaminan kesehatan. "Bagaimana dengan tahap selanjutnya? Siapa yang membayarnya?" kata
dosen yang mengajar di sejumlah universitas negeri dan swasta itu.
Kemudian, pada pasal 44 dikatakan peserta Jaminan Kematian adalah setiap orang yang telah
membayar iuran. Pertanyaannya yang muncul, bagaimana dengan mereka yang tidak
membayar iuran?
Begitu juga dengan pasal 46 yag menyatakan iuran Jaminan Kematian ditanggung oleh
pemberi kerja, sementara prinsip iuran dibayar bersama antara peserta dan pemberi kerja.
Sebelumnya, Ketua Umum Komunitas Jamsosnas Indonesia (KJI) Achmad Subianto
mencatat sedikitnya ada 18 hal yang perlu dicermati dalam UU SJSN tersebut. Hal tersebut
merupakan kesimpulan dari sejumlah diskusi demi perbaikan dan penyempurnaan UUS
SJSN. (A-78/das)***
Sabtu, 11 Juni 2011 | 08:55 WIB
0 Komentar
Tak peduli kaya atau miskin, setiap orang Indonesia kini tengah diupayakan
untuk memiliki lima jaminan sosial dasar yaitu Jaminan Kesehatan, Kecelakaan
Kerja, Kematian, Pensiun, dan Hari Tua. Bagi kalangan yang mampu (nantinya)
diharuskan membayar iuran, begitu pun para pemberi kerja (swasta maupun
Pemerintah). Sebaliknya, fakir miskin dan orang tak mampu akan ditanggung
iurannya
oleh
Pemerintah.
Inilah yang dinamakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undangundangnya telah ditandatangani Megawati Soekarnoputri, dua hari sebelum ia
menyelesaikan masa jabatan kepresidenan. Dalam UU No. 40/2004 tentang SJSN
itu disebutkan, Jaminan Sosial (jamsos) adalah salah satu bentuk perlindungan
sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sedangkan SJSN dimaksudkan sebagai suatu tatacara penyelenggaraan program jamsos oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
BPJS merupakan sebuah badan hukum baru yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jamsos. Pelaksanaannya akan mengusung sembilan prinsip SJSN
yakni prinsip Kegotong-royongan, Nirlaba, Keterbukaan, Kehati-hatian,
Akuntabilitas, Portabilitas, Kepesertaan bersifat wajib, Dana amanat, dan prinsip
hasil pengelolaan dana jamsos nasional berupa deviden dari pemegang saham
yang
dikembalikan
untuk
kepentingan
peserta
jamsos.
Kenapa mesti badan hukum baru? Karena, selama dekade terakhir ini, Indonesia
sebenarnya telah menjalankan beberapa program jamsos. UU yang secara
khusus mengatur jamsos bagi tenaga kerja swasta adalah UU No.3/1992 tentang
Jamsostek, yang mencakup program jaminan pemeliharaan kesehatan, kecelakaan
kerja,
hari
tua,
dan
kematian.
Untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), telah dikembangkan program Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai negeri (Taspen) yang dibentuk dengan PP No. 26/1981 dan
Program Asuransi Kesehatan (Askes) yang diselenggarakan berdasarkan PP No.
69/1991
yang
bersifat
wajib
bagi
PNS/Penerima
Pensiun/Perintis
Kemerdekaan/Veteran
dan
anggota
keluarganya.
Adapun untuk prajurit TNI/Polri, dan PNS Departemen Pertahanan/TNI/Polri
beserta keluarganya, telah dilaksanakan program Asuransi Sosial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) sesuai dengan PP No. 67/1991 yang

merupakan
perubahan
atas
PP
No.
44/1971.
Berbagai program jamsos tadi, sulit dipungkiri, baru menjamin sebagian kecil
peserta/masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan
yang memadai. Selain itu, pelaksanaan berbagai program tersebut pun belum
mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta
sesuai
dengan
manfaat
program
yang
menjadi
haknya.
Simak saja misalnya, potret nyata program Jaminan Kesehatan berdasarkan data
Kementerian Kesehatan pada 2010. Dari jumlah penduduk Indonesia yang
mencapai 237,5 juta jiwa, masih terdapat 116,9 juta jiwa penduduk (49,22%)
yang belum memiliki program Jaminan Kesehatan. Sementara yang menjadi peserta Askes 95,2 juta jiwa, Jamsostek 4,4 juta jiwa, ASABRI 2 juta jiwa, Badan
Pelaksana (Bapel) Asuransi 5 juta jiwa, dan peserta Asuransi Komersial 8,8 juta
jiwa.
Nantinya, dengan pelaksanaan UU SJSN, program Jaminan Kesehatan bagi
seluruh rakyat Indonesia tak akan lagi menyedihkan seperti itu. Karena, Jaminan
Kesehatan akan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi
sosial dan prinsip ekuitas (kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah
dibayarkannya).
Sungguh, besarnya jumlah rakyat Indonesia yang selama ini hidup tanpa
Jaminan Kesehatan tak dapat dianggap remeh. Selain program Jaminan Kesehatan, dapat pula dibayangkan, dalam satu hari saja misalnya, berapa banyak
orang Indonesia yang mengalami kecelakaan kerja, meninggal dunia, memasuki
masa
pensiun,
dan
menjalani
hari
tuanya.
Disinilah, mudah untuk memprediksikan betapa besar tumpukan dan perputaran
dana yang akan mengalir dalam operasional Asuransi Sosial ini. Karena memang,
UU SJSN menyebutkan bahwa, Asuransi Sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan
perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota
keluarganya.
Secara teori, SJSN memberi nafas baru bagi harkat kehidupan seluruh rakyat
Indonesia, meskipun, disebutkan juga bahwa peserta (program jamsos nasional)
adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran alias sejumlah uang yang dibayar
secara
teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau
Pemerintah.
Kini, terkait upaya melaksanakan UU SJSN, masih dilakukan pembahasan intensif
antara Pemerintah dengan tim Pansus dan Panja DPR RUU BPJS. Bila persidangan
yang alot dan sempat dicibir---karena rapat kerja Panja DPR dan Pemerintah
pada 6-8 Juni kemarin dilangsungkan secara tertutup di hotel mewah berbintang
lima---ini berhasil membuahkan pengesahan BPJS, maka rakyat patut bersyukur
karena program jamsos nasional sebagai hak sekaligus kewajibannya sudah di
pelupuk
mata.
Meskipun, bila diikuti persidangan raker tersebut selalu menyemburatkan kesan
bahwa Pemerintah tak serius dan berusaha mengulur-ulur waktu pembahasan.
Dampaknya, bila praktek politik ‘mulur-mengkeret’ ini tetap dimainkan, akan
membuat pembahasan menjadi deadlock, sehingga RUU BPJS tidak dapat
disahkan pada periode saat ini. Artinya pula, dambaan rakyat agar segera diberlakukannya
UU
SJSN
menjadi
pupus
lagi.
Untuk itu, seluruh pihak, nampaknya harus lebih aware dengan upaya
menjalankan amanat konstitusi. Termasuk yang telak-telak disebut dalam UU
SJSN, diantaranya Fasilitas Kesehatan yang meliputi rumah sakit, dokter praktek,
klinik, laboratorium, apotek dan fasilitas kesehatan lainnya yang tentu saja harus
telah diakui serta memiliki izin dari instansi Pemerintah yang bertanggung-jawab
di
bidang
kesehatan.

Selain itu, pihak asosiasi fasilitas kesehatan juga musti mempersiapkan diri
untuk melaksanakan UU SJSN. Maklum, Pasal 24 misalnya, menyebutkan bahwa
besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi fasilitas kesehatan.
Contoh asosiasi fasilitas kesehatan ini sebut saja misalnya, Asosiasi Rumah Sakit
Daerah Seluruh Indonesia (Arsada), Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia
(ARSSI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), dan lainnya.
Karenanya, meski agak terlambat, disarankan kepada seluruh pihak terkait
untuk segera melakukan sejumlah hal. Pertama, mengikuti dan memantau perkembangan atas pembahasan rapat kerja Pansus dan Panja DPR dengan Pemerintah tentang RUU BPJS. Karena, hingga pekan kedua Juni ini, Panja DPR RUU
BPJS dan Pemerintah baru menyepakati garis besar dari tujuh hal yang krusial
(definisi BPJS, bentuk badan hukum, jumlah, organ, masa peralihan atau transisi
dan transformasi Program, Kepesertaan, Aset dan Kelembagaan dari empat
BUMN-Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri, Bab Kepesertaan dan Iuran, serta
Bab
tentang
Sanksi).
Kedua, mulai mempelajari dan mengintensifkan sosialisasi UU SJSN. Dan ketiga,
melakukan penyesuaian dan pemantapan sedini mungkin terkait pelaksanaan
UU
SJSN.
Patut pula mengamini seruan Rieke Diah Pitaloka Intan Permatasari, politisi PDIP
yang menjadi anggota Pansus dan Panja DPR RUU BPJS, agar seluruh elemen
masyarakat berada dalam satu barisan guna memperjuangan pengesahan RUU
BPJS dan menjalankan UU SJSN. Karena, tidak ada keadilan dan kesejahteraan
sosial
tanpa
SJSN.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/473994/

Kemenkes Berikan Jaminan Ketersediaan Obat
untuk BPJS
Thursday, 01 March 2012
JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan kesiapannya untuk memenuhi
kebutuhan obat pada pelaksanaan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan 2014.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda
Sitanggang mengatakan, saat ini ada 94 juta dosis obat untuk masyarakat Indonesia. Saat
penyelenggaraan BPJS Kesehatan pada 2014,kebutuhan obat naik diperkirakan 2,5 – 3 kali
lipat. “Secara universal di Indonesia kebutuhan obat di Indonesia pada 2014 bisa mencapai
240 juta dosis. Sebagai informasi,90% industri farmasi diproduksi di dalam negeri sehingga
untuk persiapan BJPS diprediksi akan sangat siap,” kata Linda seusai menghadiri Rapat Kerja
Nasional
(Rakernas)
Kemenkes
2012
di
Jakarta
kemarin.
Beberapa tahun ini mencuat masalah peningkatan obat tidak rasional seperti penggunaan
antibiotik yang berlebihan dan over-preskripsi, dokter meresepkan obat secara berlebihan
karena faktor bisnis. Namun, dengan pemberlakuan BPJS, dia memastikan, semua akan lebih
terkontrol
karena
menjadi
bagian
sebuah
sistem.
Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron Mukti mengatakan, dari regulasi yang dipersiapkan
Kemenkes untuk penyelenggaraan BPJS Kesehatan, akan dicantumkan juga aturan mengenai
ketersediaan, pasokan, dan penjualan obat. Gufron menjelaskan,menurut amanat UU No
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), ada 11 peraturan pemerintah (PP)
yang
harus
disusun.

Sedangkan di dalam UU No 24/2011 tentang BPJS ada delapan PP yang harus disusun. “Kami
sudah mempersiapkan tim. Berdasarkan perkembangan, dari sisi regulasi BPJS Kesehatan
cukup dengan dipayungi satu PP dan satu peraturan presiden (perpres) saja. Tim ini juga akan
mengatur persiapan ketersediaan obat pada penyelenggaraan BPJS Kesehatan,”ungkapnya.
Lebih lanjut Gufron mengatakan, aturan mengenai ketersediaan, pasokan,dan penjualan obat
ini akan dicantumkan pada peraturan mengenai susunan paket pelayanan dasar jaminan
kesehatan. radi saputro

BPJS Siapkan Layanan
Pekerja
Friday, 24 February 2012
JAKARTA – PT Jaminan Sosial Tenaga (Jamsostek) Persero menjamin tidak akan ada
perbedaan kualitas layanan kesehatan kepada pekerja setelah program jaminan kesehatan
diambil alih oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Direktur Pelayan PT Jamsostek Djoko Sungkono mengatakan, pemerintah tetap akan menjaga
agar kualitas pelayanan jaminan kesehatan para pekerja tidak akan menurun. “Jadi nanti
pemerintah membentuk tim sebagai upaya untuk mempersiapkan peraturan sebagai petunjuk
pelaksana UU No 24/2011 tentang BPJS. UU ini merupakan petunjuk pelaksana UU No
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),” ungkapnya kepada wartawan di
Jakarta kemarin. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek akan dikelola
badan
hukum
BPJS
Kesehatan
mulai
2014.
Dia menjelaskan,UU BPJS mengamanatkan pembentukan BPJS Kesehatan yang merupakan
transformasi dari PT Askes (Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan yang salah satunya
merupakan transformasi dari PT Jamsostek (Persero). Dengan ini,program JPK yang
dilaksanakan PT Jamsostek untuk pekerja dan keluarganya akan diambil alih oleh BPJS
Kesehatan. Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz meminta PT Jamsostek segera
menyesuaikan diri dengan UU BPJS yang tidak akan menyelenggarakan JPK mulai 1 Januari
2014.
Dia juga mengingatkan PT Jamsostek untuk tidak melakukan pengurangan karyawan akibat
peralihan ini. Peralihan JPK kepada BPJS Kesehatan juga tidak akan bermasalah karena
tinggal menyesuaikan sistem.Irgan pun menjamin, premi program JPK tidak akan lebih tinggi
dari yang berlaku sekarang. Premi JPK Jamsostek saat ini sebesar 3% untuk pekerja yang
masih lajang radi saputrodan 6% bagi pekerja yang sudah berkeluarga.
UJI MATERI
Pemohon Diingatkan
soal Gugatan UU SJSN
Senin, 6 Februari 2012

JAKARTA (Suara Karya): Hakim konstitusi Achmad Sodiki mengingatkan
"penggugat" Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) agar memikirkan gugatannya.
Salah satu alasan Achmad Sodiki, karena pendaftaran yang
dipersoalkan penggugat justru penting untuk mendapat jaminan
sosial dari pemerintah.
"Mendaftar itu penting karena untuk memprediksi kewajiban negara
berapa yang harus ditanggung secara pasti, agar negara tahu
berapa yang dianggarkan," ujarnya usai sidang di Mahkamah
Konstitusi (MK), Jakarta, akhir pekan lalu.
Achmad Sodiki juga menyatakan, jika ke-22 Pasal UU SJSN
dibatalkan maka itu berarti tidak ada aturan bagi sistem jaminan
sosial. "Kalau dibatalkan lalu mana yang mengatur, justru kalau
semua pasal dibatalkan tidak bisa dilaksanakan sistem jaminan
sosial. Jadi permohonan uji materiil ini harus dipikirkan kembali,"
sarannya.
Pendapat dan saran Achmad Sodiki didukung hakim konstitusi
Ahmad Fadhil Sumadi. "Kalau dibatalkan semua, sistem jaminan
sosial bukannya membaik tapi justru tidak bisa dilaksanakan karena
tak ada landasan hukum," katanya mengingatkan.
14 warga negara di antaranya Fathul Hadie Utsman, Abdul Halim
Soebahar, Kholiq Syafaat, dan Qomari menggugat 22 Pasal UU
SJSN.
Mereka menilai pasal-pasal itu tidak dapat memberikan jaminan
sosial kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. "Kami menguji
UU ini karena kami merasa hak-hak konstitusi kami terabaikan,
tidak terpenuhi atau minimal dikurangi karena adanya UU SJSN ini,"
ujar Fathul Hadie Utsman.
Meski UU SJSN sudah jelas mengatur tentang jaminan sosial, ia
menganggap UU itu tidak memenuhi hak-hak warga negara yang
diatur dalam konstitusi, terutama untuk fakir miskin dan anak-anak
terlantar.
"Fakir miskin dan anak-anak terlantar hanya mendapat jaminan
kesehatan, itupun bagi mereka yang sudah mendapatkan kartu
jaminan kesehatan masyarakat miskin, kartu keluarga miskin atau
sejenisnya. Bagi yang tidak dapat kartu tersebut jangan harap
mendapat layanan jaminan kesehatan," ujarnya.
Menurutnya, dengan UJSN ke depan fakir miskin tidak dapat
jaminan apa-apa. "Hanya ada UU-nya, tetapi tak ada aturannya.
Sewaktu-waktu bisa diubah, bisa dihindari karena tidak ada jaminan
sosial bagi fakir miskin untuk mendapat haknya yang telah dijamin
Konstitusi. Ini tidak ada kepastian hukum dan melanggar konstitusi
karena pemerintah seharusnya memenuhi hak-hak fakir miskin,"
paparnya.
UU SJSN disebutkan hanya menjamin warga negara yang
membayar iuran atau dibayarkan iurannya oleh pihak lain, maka
secara otomatis pihak-pihak yang tidak bisa membayar atau tidak

dibayarkan iurannya tidak akan mendapat manfaat dari sistem
jaminan sosial sekarang ini. (Wilmar P)

INFORMASI SEMINAR SISTEM JAMINAN SOSIAL
NASIONAL (SJSN)
Januari 13, 2012 wandy Tinggalkan komentar Go to comments
Melalui UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), PT (Persero) Askes akan
ditransformasi menjadi BPJS Kesehatan yang mengelola program Jaminan Kesehatan bagi
seluruh penduduk. Karenanya, BPJS Kesehatan akan menerima pengalihan pengelolaan
program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dikelola oleh Kementerian
Kesehatan dan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek.
Hingga bulan Agustus 2011, dari sekitar 41,5 juta pekerja sektor formal di Indonesia, baru
sekitar 2,4 juta tenaga kerja (dengan 5,6 juta tertanggung) yang sudah menjadi peserta
program JPK Jamsostek. Artinya, tantangan BPJS Kesehatan untuk memperluas cakupan
kepesertaan masih sangat berat.
Oleh karena itulah, sosialisasi yang ditujukan untuk menguatkan kepedulian, kepatuhan, dan
penegakan hukum untuk mempercepat cakupan kepesertaan semesta dalam program Jaminan
Kesehatan, harus dilakukan secara intensif.
Pembicara:
1. dr. Ahmad Nizar Shihab, Sp.An. (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI);
2. drg. Usman Sumantri, M.Kes. (Kepala Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan, Kemkes
RI);
3. dr. Wahyu Handoko, MM. (Kepala Regional IX PT Askes (Persero);
4. Prof. Dr. dr. Muhammad Alimin Maidin, MPH. (Dekan FKM Universitas Hasanuddin);
dan
5. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH. (Pakar jaminan kesehatan/Pendiri IJSI).

TEMPAT :
Auditorium Prof. Ahmad Amiruddin
Fak. Kedokteran Universitas Hasanuddin
Rabu, 18 Januari 2012
Pukul 08.00-13.00 WITA

Pengganti Makalah, Sertifikat dan Snack Perusahaan Rp. 100.000,- Mahasiswa Rp. 30.000,-

Dukungan & Informasi:
Tony

: +62 813 2029 5409

Eda

: +62 813 5528 7543

Website

: www.inssin.org/kegiatan

Email

: contact.us@inssin.org

Facebook

: www.facebook.com/IJSIndonesia

Twitter

: www.twittercom/IJSIndonesia

Kajian Sistem Jaminan Sosial Nasional
May 25, 2010 | admin | Publikasi | No Comments

Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sistem penyelenggaraa program Negara dan
pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh
penduduk Indonesia. Jaminan Sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak
dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang
baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun maupun karena gangguan kesehatan, cacat,
kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.
Pengembangan sistem jaminan sosial nasional di Indonesia masih sangat lemah dan lembaga
penyelenggara jaminan sosial yang ada masih berjalan sendiri-sendiri, belum terintegrasi
dengan agenda pembangunan nasional. Jaminan sosial dapat diwjudkan melalu

Dokumen yang terkait

IMPLEMENTASI MIKROKONTROLER ATMEGA 8535 STUDI KASUS PENGONTROL SUHU ALIRAN AIR DALAM PIPA DENGAN METODE KONTROL FUZZY LOGIK

28 240 1

ii EVALUASI KINERJA ANGKUTAN SUNGAI “KLOTOK” DI SUNGAI MARTAPURA KOTA BANJARMASIN (STUDI KASUS RUTE DERMAGA JEMBATAN BASIRIH – DERMAGA PASAR LIMA)

1 62 21

PENGARUH PERUBAHAN PERUNTUKAN LAHAN TERHADAP KINERJA SALURAN DRAINASE DI SUB DASAMPRONG (STUDY KASUS DI KECAMATAN KEDUNG KANDANG)

7 130 1

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

MOTIVASI MENGEMIS LAGI DI JALAN PADA GELANDANGAN PENGEMIS DI BARAK(STUDI KASUS DI BARAK GELANDANGAN PENGEMIS KOTA MALANG)

0 38 1

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

EVALUASI PENGENDALIAN INTERNAL PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN PEMBIAYAAN BERMASALAH (STUDI KASUS PADA BMT UGT SIDOGIRI BONDOWOSO)

2 64 22

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA GRATIFIKASI OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL TULANG BAWANG (Studi Putusan Nomor:02/Pid./TPK/2012/PT.TK.)

0 40 59

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

7 91 58

KARAKTERISTIK SENGKETA PEMILUKADA Studi Putusan Mahkamah Konstitusi 2008-2013

0 35 59