KERJASAMA INDONESIA NORWEGIA TERKAIT ISU

KERJASAMA INDONESIA – NORWEGIA TERKAIT ISU PEMANASAN
GLOBAL MELALUI PROGRAM REDD+ TAHUN 2015 – 2016
Oleh : Tueman Jhon
International Relations
University of Science and Technology Jayapura

INTI SARI
Perubahan iklim merupakan permasalahan lingkungan utama yang dihadapi dunia
saat ini. Terjadinya perubahan iklim disebabkan oleh naiknya suhu rata – rata
permukaan bumi oleh karena terjadinya kerusakan lingkungan seperti penggunaan
bahan bakar dan kerusakan hutan yang berlebihan. Dampak dari perubahan iklim
membuat negara – negara di dunia wajib bertanggung jawab untuk meminimalisir
dan menjaga masa depan dunia dari rusaknya iklim. Kerjasama Indonesia –
Norwegia dilakukan sebagai salah satu upaya untuk melakukan kegiatan mitigasi
perubahan iklim melalui skema REDD+ sebagai alternatif yang menawarkan konsep
baru, kerjasama kedua negara dilakukan melalui upaya konservasi hutan dengan
adanya insentif ekonomi atas besarnya karbon yang mampu dijaga sejalan dengan
lestarinya suatu kawasan hutan atau lahan gambut. Kesepakatan kerjasama inipun
disepakati melalui Surat Peryataan Kehendak dengan harapan dari dilaksanakannya
kerjasama kedua negara, iklim bumi dapat terjaga dan tidak sampai pada level yang
membahayakan bumi. Argument utama dari penulisan ini bahwa REDD+ menjadi

salah satu instrument penyelesaian permasalahan dalam mengurangi emisi gas
rumah kaca yang menghasilkan pemanasan global.
Kata Kunci : Pemanasan Global, Environmental, REDD+, Indonesia, Norwegia,
Politik Hijau.

 PENDAHULAUAN
Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan
manusia dalam penggunan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan
dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama gas rumah kaca,
terutama karbon diaksida (CO²) yang berasal dari negara – negara industri besar.
Gas tersebut memiliki kemampuan menyerap gas yang berasal dari radiasi
matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi, dimana penyerapan ini telah
menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim
(Saufa, 2015 : 12).
Gagasan dan program untuk menurunkan emisi gas rumah kaca secara
internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah
gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim,
yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret
1994, namun mengingat lemahnya komitmen para pihak dalam Konvensi
Perubahan Iklim, Conference of The Parties (COP) III yang diselenggarakan di

Kyoto pada bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol
Kyoto yang mengatur dan mengikat para pihak negara industri secara hukum
untuk melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dapat
dilakukan secara individu atau bersama-sama (Saufa, 2014 : 14-15).
Terjadinya perubahan iklim tentunya membawa implikasi negatif yang
tidak sedikit, oleh karena itu kepedulian terhadap lingkungan hidup akhirnya
menjadi fokus penting dalam hubungan internasional diantaranya adalah ;
permasalahan menyangkut CFCs (Chlorofluorocarbons), yang berakibat pada
pemanasan global, meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya
lapisan ozon yang dirasakan seluruh dunia, peningkatan suhu udara secara global,
naiknya permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau – pulau kecil,
terjadinya pergeseran musim, dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu
terjadinya banjir dan tanah longsor (Herypurba, 2015 : 1).

Mayoritas masyarakat dunia menyadari bahwa tantangan terbesar yang
perlu ditanggulangi adalah perubahan iklim. Diawali dari komitmen Indonesia
untuk mendukung upaya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga
tahun 2020, dimana tindakan tersebut merupakan komitmen serius yang
ditangkap positif oleh pemerintah Norwegia untuk merealisasikan kerangka
tersebut, yaitu memberikan bantuan dana sebesar 1 miliar Dolar Amerika

(reddplus.go.id). Sehingga, pada tanggal 26 Mei 2010 di tandatangani nota
kesepakatan kerjasama pengurangan emisi gas rumah kaca dan kerusakan hutan
melalui mekanisme REDD+ antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
Norwegia (Firdaus, 2015: 17).
REDD+

(Reducing

Emissions

From

Deforestation

and

Forest

Degradation), adalah mekanisme internasional untuk memberikan intensif yang
bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil memerangi global warming

dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman kembali, baik
di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi).
REDD+ juga merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor
kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan
sebagai fungsi penyerapan karbon melalui pembangunan ekosistem hutan (Noor,
2013 : 557).
Kerjasama kedua negara dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama,
dana akan diberikan untuk mengembangkan strategi nasional REDD+ di
Indonesia dengan melakukan reformasi kebijakan dan kelembagaan pada
tempatnya. Tahap kedua, tujuannya adalah mempersiapkan Indonesia dalam
melaksanakan pengurangan emisi gas rumah kaca berdasarkan kontribusi yang
diratifikasi. Persiapan ini dilakukan di Profinsi percontohan. Tahap ketiga, yang
dimulai pada tahun 2014, mekanisme pengurangan gas rumah kaca berdasarkan
kontribusi yang telah diverifikasi ini dilakukan secara nasional. Dana bantuan
Norwegia ini mulai diberikan sejak proses pengembangan srtategi nasional
REDD+ di Indonesia pada tahun 2010. Dana tersebut harus di distribusikan dalam

kurun waktu 7 hingga 8 tahun kedepan berdasarkan pengurangan emisi gas rumah
kaca yang telah terverifikasi dan penyaluran dana ini melalui mekanisme
keuangan yang disepakati bersama (reddplus.go.id).

Tujuan dan fokus kemitraan yang tertera didalam Surat Pernyataan
Kehendak atau (Letter of Intent), khususnya kebijakan terkait REDD+ yakni,
Berkolaborasi

dan

memberikan

dukungan

dalam

pengembangan

dan

implementasi strategi REDD+ Indonesia. Keinginan bersama kedua belah pihak
adalah untuk memulai fase ketiga pada tahun 2014, berdasarkan pengurangan
emisi tahun 2013. Pada fase ini, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan
kontrubusi yang diverifikasi akan di implimentasikan mencakup :

a. Indonesia menerima kontribusi tahunan atas pengurangan emisi
nasional yang diverifikasi secara independen menurut tingkat acuan
UNFCCC atau tingkatan acuan yang ditentukan oleh Indonesia dan
mitra-mitranya berdasarkan janji pengurangan emisi Indonesia dan
panduan metedologi UNFCCC (4/CP 15), sesuai dengan keputusankeputusan terkait Konferensi para pihak, bila tingkat acuan UNFCCC
untuk Indonesia belum ditetapkan.
b. Norwegia (dan kemungkinan juga mitra – mitra lain yang bergabung
dalam kemitraan ini) menyalurkan kontribusi finansil ke instrument
finansial sebagaimana diuraikan dalam fase ke I (Letter of Intent
Kerjasama Pengurangan Gas Rumah Kaca, 2010 :1-6).
Norwegia sendiri merupakan negara maju dengan sejumlah permasalahan
lingkungan yang tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat Norwegia yang terbiasa
hidup modern serta aktifitas pola komsumsinya yang tinggi, terutama karena
tingkat penggunaan energi fossil fuel (bahan bakar, minyak dan gas),
indistrialisasi, dan transportasi. Selain itu, Norwegia juga merupakan negara yang
cukup besar, namun tidak memiliki cukup hutan yang dapat digunakan sebagai
penyerap karbon. Maka dari itu, Norwegia memerlukan kerjasama dengan negara
– negara pemiliki hutan untuk membayar hutang karbon. Dengan menggandeng

Indonesia, Norwegia menjadikan Indonesia sebagai salah satu supplier kebutuhan

udara bersih dunia termasuk Norwegia didalamnya agar kepentingan penggunaan
energi terbarukan Norwegia dapat terus berjalan tanpa merusak iklim dunia
(Novrialdi, 2014 : 2).
Selain Norwegia, Indonesia juga memiliki masalah lingkungan hidup yang
terus berkembang, diantaranya adalah penebangan hutan secara liar/pembalakan
hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerah
perkotaan (13 tahun lalu Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ketiga
di dunia dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak
dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka magasatwa; pembuangan sampah
tanpa pemisahan/pengolahan dan hujan asam yang merupakan akibat dari polusi
udara. Tingkat pola hidup masyarakat Indonesia dari sederhana yang menuju ke
kehidupan modern serta tingkat kebutuhan yang terus berkembang memaksa
kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari eksploitasi sumber
daya alam yang berlebihan. Dengan luas hutan sebesar 88,17 juta hektar atau
sekitar 46,33% dari lus daratan Indonesia, tentunya pelaksanaan REDD+ di
Indonesia mengacu pada program – program jangka panjang yang menghasilkan
keuntungan finansial, ekologi dan sosial yang optimal (Daryanto dan Suprihatin,
2013 : 23-33).
Mekanisme pelaksanaan REDD+ di Indonesia melibatkan Bank Dunia,
Perdana Menteri Norwegia, Menteri Lingkungan Norwegia, Presiden Republik

Indonesia, Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Lembaga
Swadaya Masyarakat yang bergerak di lingkungan hidup. Hubungan bilateral
Indonesia – Norwegia juga tercermin ketika Presiden Indonesia, Joko Widodo
bertemu Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg untuk membahas kelanjutan
REDD+ pada bulan September 2015 lalu. Dimana, pada pertemuan tersebut telah
dicapai sejumlah kesepakatan kerjasama di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan. Kedua negara sepakat untuk melanjutkan kerjasama REED+ yang
pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2010 (Kompas.com, 2015).

Sampai saat ini, Norwegia merupakan anggota negara Annex I (negara
industri atau negara penghasil gas rumah kaca) yang paling terdepan dalam
mendukung program REDD internasional, termasuk didalamnya melakukan
kerjasama dengan Indonesia. Kebijakan Norwegia dalam mengucurkan bantuan
dana yang cukup besar dalam program REDD+ di Indonesia tidak hanya didasari
alasan penggunaan energi tetapi tanggung jawabnya untuk mengurangi emisi
global.
Pelaksanaan program REDD+ tentunya mendapatkan sejumlah faktor
penghambat yang terkait erat dengan pasar dan investasi global yang
menyebabkan banyaknya pengrusakan lahan termasuk lahan hutan hutan tropis.
Berbagai pemicunya disebabkan karena meningkatnya integrasi lahan untuk

pangan, serat, energi dan keuangan. Ha – hal ini menyebabkan usaha untuk
mengurangi emisi karbon melalui REDD+ menjadi lebih menantang, karena
secara tidak langsung maupun tidak langsung, berbagai pemicu ini mendorong
konversi lahan hutan menjadi penggunaan untuk pertanian dan meningkatnya
kegiatan pembalakan yang sering menyebabkan degradasi hutan. Sedangkan fakor
pendukung berjalannya program REDD+ sejauh ini adalah kepercayaan kedua
Negara untuk tetap melanjutkan kerjasama tersebut. Hal tersebut dilihat dengan
pemberian bantuan dana sebesar 1 miliar Dolar Amerika untuk mendukung
pelaksanaan pengurangan emisi (Angelsen, Brockhaus, Dkk. 2012 : 18 – 20).
Konsep REDD+ telah mempengaruhi pengelolahan hutan di Indonesia.
Sejumlah proyek yang secara sukarela dikembangkan oleh lembaga donor dan
pihak swasta saat ini berada dalam berbagai macam tahap pengembangan.
Pemerintah provinsi dan kabupaten sedang mengembangkan kebijakan –
kebijakan terkait dengannya dan telah memperlihatkan ketertarikannya untuk
mengembangkan REDD+ sebagai suatu usaha untuk memperkuat pembangunan
kehutanan kehutanan di wilayahnya. Akan tetapi, meningkatnya berbagai inisiatif
REDD+ di tingkat profinsi dan kabupaten ini belum nyata disinkronkan dengan
proses yang sedang berjalan di level nasional. Keadaan seperti ini telah membuat

usaha – usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk melangkah maju lewat

pendekatan nasional dengan implementasi di subnasional menjadi lebih kompleks
(United Nation REDD, 2011 : 1-2).

 DEFINISI KONSEPTUAL
 Konsep Environmentalisme
Konsep

environmentalisme

berkaitan

erat

dengan

proses

pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi
tujuan bersama dalam rangka modernitas dan gloalisasi kemudian
memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana teknologi juga

berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang berkembang
semakin mendekati dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan
(Patterson, 2011 : 277 – 307).
 REDD+
REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal,
nasional dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat
deforestasi dan degradasi hutan. Tanda (+) memiliki arti meningkatkan
cadangan karbon hutan atau regenarasi hutan, serta penyerapan karbon –
yaitu karbon dari atmosfer untuk disimpan dalam bentuk biomassa hutan
(Himasiltan, 2013 : 1).
 Konsep Pemanasan Global
Penasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan
fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena
terjadinya efek rumah kaca (Greenhouse Effect) yang disebabkan oleh
meningkatnya emisi gas – gas seperti Karbondioksida (CO²), Mentana (CH4),
Dinitrooksida (N²O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam
atmosfer bumi (Muhi, 2011 : 1).

 Teori Politik Hijau
Teori Politik Hijau menurut Eckersley menyatakan, karakteristik
tersebut adalah Ekosentrisme sebuah penolakan terhadap pandangan dunia
Antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju
sebuah pandangan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup.
Goodin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran Politik Hijau
yang menyatakan bahwa nilai Teori Politik Hijau berada pada inti Teori
Politik Hijau. Perumusannya mengenai nilai – nilai Teori Hijau, bahwa
sumber nilai segala sesuatu adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai
sejarah yang tercipta oleh proses alami, bukan oleh rekayasa manusia
(Burchill dan Linklater 2012 : 337 – 338).
 PEMBAHASAN
Memastikan Keterlanjutan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Indonesia –
Norwegia Berbasis Green Job
Fenomena modernitas dan globalisasi turut berperan dalam mencuatnya
gerakan environmentalisme. Semakin berkembangnya industri kapitalis yang
membawa industrilisasi ke negara berkembang menyebabkan eksploitasi sumber
daya alam semakin tidak terkendali yang menyebabkan rusaknya hutan ditambah
semakin banyaknya pembangunan pabrik – pabrik yang kurang memperhatikan
faktor lingkungan, khususnya dalam hal pembuangan sisah limbah.
Masih minimnya kesadaraan manusia akan dampak dari kegiatan
indsutrinya yang merusak lingkungan, maka munculah Green Movement.
Gerakan tersebut kemudian menjadi dasar munculnya environmentalism yang
menuntut tidak hanya kesadaran akan pentingnya lingkungan oleh individu,
namun juga menuntut peran negara sebagai struktur yang ada untuk memastikan
menerima struktur ekonomi dan sosial sebagai keterlanjutan untuk memberikan
solusi terhadap isu lingkungan melalui struktur yang ada.

Akar permasalahan krisis lingkungan sendiri terjadi karena : Pandangan
kemajuan yang selalu terarah kepada negara industri, dimana dunia semakin
bergerak ke arah cara pembangunan negara industri; fokus perhatian yang
berlebihan pada “economic growth”, berpacu dalam tingkat pertumbuhan; serta
sistem perdagangan dan Neo-liberalism, seolah – olah kekuatan pasar dapat
menyelesaikan segala perkara seperti pengurasan minyak bumi, hutan, batu bara,
sistem kredit ekspor yang mendorong produk – produk konsumsi.
Untuk mengatasi tantangan lingkungan yang terjadi, negara – negara
mengambil langkah – langka, kebijakan dan aksi dengan gerakan etika dan politik
yang selanjutnya melahirkan (green economic) ekonomi hijau. Tentunya hal ini
berbicara mengenai kualitas, bukan kuantitas, ini semua mengenai regenarasi dari
individual, komunitas dan ekosistem, tidak berbicara mengenai akumulasi uang
dan materi. Contohnya seperti kerjasama Indonesia – Norwegia di bidang energi
terbarukan yang menggunakan kemampuan alam untuk memastikan pertumbuhan
ekonomi kedua negara. Kerjasama ini pun dilakukan dengan prinsip ekonomi
yang sehat.
Green economic menolak enefisiensi, irrasionalitas dan cara – cara kerja
yang memboroskan bahan yang berujung pada penggunaan sampah, toxic
materials, menciptakan proses produksi yang justru meningkatkan pemakaian
“unskilled labour” pengesampingan tenaga kerja dengan mengantikan pemakian
tenaga mesin.
Sebagai contoh, Green Policy Menteri Keuangan RI (2009), Ministry of
Finance Green Paper: Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate
Change Mitigation in Indonesia. Isinya antara lain :
-

Climate change dianggap sebagai ancaman serius pada keadaan
ekonomi.

-

Diakui bahwa prinsip ekonomi yang sehat juga adalah kunci mengatasi
impak climate change itu sendiri.

-

Diakui bahwa harga karbon (pricing of carbon) memegang peran
sentral dalam hal itu.

-

Sesuai dengan peryataan Presiden Joko Widodo, Indonesia akan
melanjutkan kerjasama kehutanan yang telah dimulai dari tahun 2010
di masa kepemimpinan

Presiden Yudoyono dengan bantuan

internasional (Situmeang, 2010 7 – 8).
Dalam konteks environment, perubahan iklim global merupakan arena
yang dapat memicu negara – negara untuk melakukan usaha etika dan politik
penghijauan yang bertujuan mencega dunia dari kemorosotan akibat rusaknya
lingkungan. Environmental sendiri meliputi sumber daya alam, kesehatan,
pembangunan berkelanjutan, dan kepedulian manusia. Dengan kata lain
environmental dapat dikatakan sebagai berikut :
“Paham kesadaran lingkungan yang menempatkan kesehatan, harmoni
dan integritas dari lingkungan alamiah sebagai pusat perhatian dan kepedulian
manusia. Paham ini muncul sebagai gerakan etika dan politik yang bertujuan
mencegah lingkungan dari degradasi (kemerosotan) akibat ulah manusia. Di
samping itu, paham ini bertujuan memperbaiki kualitas lingkungan melalui
preservasi, restorasi atas perbaikan sumber daya alam” (Situmeang, 2010 : 3).
Berdasarkan

konsep

diatas,

dapat

dilihat

bahwa

gerakan

environmentalisme merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dan Norwegia dalam rangka mengendalikan dan menyeimbangkan
kehidupan melalui program REDD+, dikarenakan kehidupan manusia sangat
bergantung dari alam. Hal ini juga merupakan tindakan untuk mencegah
lingkungan dari degradasi dan memperbaiki kulaitas lingkungan melalui :
Preservasi, Restorasi, dan Perbaikan. Selanjutnya untuk sumber daya alam adalah
untuk membela manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan serta
memastikan keterlanjutan kerjasama kedua negara.
The Basic Environment Law juga mengatur kerjasama internasional dalam
konservasi lingkungan. Dalam hukum tersebut disebutkan jika negara harus

melakukan

upaya

untuk

mengambil

tindakan

yang

diperlukan

untuk

mengamankan kerjasama internasional untuk konservasi lingkungan global dan
untuk mempromosikan kerjasama internasional lainnya untuk konservasi
lingkungan global dan untuk membantu melestarikan lingkungan di daerah
berkembang dan fitur lingkungan yang diakui nilai internasional, yang
berkontribusi terhadap kesejahteraan umat manusia. Negara juga harus melakukan
upaya untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melakukan kerjasama
internasional yang berkaitan dengan konservasi lingkungan global dan pelestarian
lingkungan dalam mengembangkan kawasan.
Tentu saja hukum lingkungan dibuat dengan tujuan untuk melindungi dan
mengembangkan lingkungan manusia dan ekologi. Selain itu, guna mencegah,
mengontrol polusi dan resiko lainnya untuk melindungi kesehatan manusia dan
memfasilitasi pembangunan modern.

Memerangi Pemanasan Global dan Menjaga Iklim Bumi Dengan Melakukan
Penanaman Kembali di Kawasan Hutan
Pada akhirnya negara – negara secara bersama menunjukan perhatiaan
terhadap fenomena perubahan iklim yang terjadi. Pada bulan Desember 2009
merupakan langka dilaksanakannya pertemuan tingkat tinggi (PBB) Persatuan
Bangsa – Bangsa terkait dengan kesepakatan Copenhagen, dimana agenda
utamanya membahas isu lingkungan dan kelanjutan akhir dari periode kesepakatan
Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Salah satu kesepakatan Protokol
Kyoto adalah mendesak 37 negara industri maju untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca rata – rata 5% dibandingkan emisi tahun 1990 selama lima tahun dari
2008 – 2012. Merujuk pada perjanjian bahwa setiap negara maju harus memenuhi
target penurunan emisi gas rumah kaca terutama di masing – masing negara Annex I
menyebabkan sebagian besar pemerintahan negara – negara di dunia telah

menandatangani

dan meratifikasi

Protokol Kyoto, yang mengarah pada

pengurangan emisi gas – gas rumah kaca.
Sebagai bentuk keseriusan Indonesia untuk ikut dan berperan dalam uprraya
mengurangi bertambah parahnya perubahan iklim dan pemanasan qglobal.
Indionesia telah menganti undang – undang No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup” dengan yang terakhir sampai saat ini yaitu Undang
– Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Indonesia sendiri telah memiliki beberapa peraturan perundang – undangan
yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang diantaranya :
a. Undang – Undang Republik Indonesisa No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
b. Undang – Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
c. Undang – Undang N0. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change.

Strategi REDD+ di Indonesia
Terpilihnya beberapa provinsi di Indonesia dan provinsi Kalimantan Tengah
sebagai provinsi percontohan dalam mendesain implementasi REDD+, tentu
merupakan sebuah pilihan yang berdasarkan pada pertimbangan yang matang.
Berdasarkan hasil penilaian pemerintah pusat terhadap proposal provinsi
percontohan yang diajukan oleh beberapa provinsi, yaitu Aceh, Jambi, Riau,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
Papua Barat dan Papua yang akhirnya pilihan dijatuhkan pada provinsi Kalimantan
Tengah dengan feasibilitas keberhasilan penerapan REDD+ yang lebih besar.
Penilaian tersebut didasarkan pada (1) Penilaian kualitatif proposal provinsi
percontohan, yang meliputi aspek tata kelola, sosial dan ekonomi, data dan MRV;
serta (2) Penilaian kuantitatif akan luasan hutan atau gambut dan ancaman

deforestasi yang meliputi aspek tutupan hutan dan lahan gambut, serta ancaman
deforestasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, akhirnya provinsi Kalimantan
Tangah ditetapkan menjadi provinsi percontohan pengembangan Program REDD+.
REDD+ sendiri merupakan salah satu kerjasama lingkungan antara
Pemerintah Indonesia dan Norwegia yang bertujuan untuk menanggulangi
degradasai lingkungan akibat laju industri yang semakin menurunkan kualitas
lingkungan global. Pembagian tanggung jawab dari setiap bagian juga diatur dalam
hukum lingkungan tersebut. Adanya pembagian tugas dan tangging jawab antara
pemerintah

pusat,

pemerintah

daerah,

perusahaan

hingga

masyarakat

mencerminkan keseriusan yang dibuat adapun tanggung jawab dari setiap pihak
ialah :
a. Pemerintah Pusat
Bertanggung

jawab

untuk

memformulasikan

dan

mengimplementasikan kebijakan yang bersifat fundamental dan
komprehensif atas konservasi lingkungan berdasarkan prinsip dasar
konservasi lingkungan.
b. Pemerintah Daerah
Bertanggung

jawab

mengimplementaskan

kebijakan

untuk

memformulasikan

– kebijakan

yang dibuat

dan
oleh

pemerintah pusat menjadi kebijakan lainnya yang sesuai dengan kondisi
alam dan sosila setiap daerah.
c. Masyarakat
Masyarakat

melakukan

upaya

untuk

mengurangi

beban

lingkungan yang terkait dengan kehidupan sehari – hari sehingga dapat
mencegah intervensi dengan pelestarian lingkungan, sesuai dengan
prinsip – prinsip dasar selain tanggung jawab yang ditentukan
sebelumnya, masyarakat juga bertanggung jawab untuk melakukan
upaya untuk melestarikan lingkungan dan untuk bekerja sama dengan
kebijakan yang diterapkan oleh negara atau pemeritah daerah yang

berkaitan dengan pelestarian lingkungan sesuai dengan prinsip – prinsip
dasar tanpa melupakan asprasi masyarakat dan komunitas tradisonal.
Dengan demikian pelaksanaan konservasi huan melalui program
REDD+ tersebut tetap memperhatikan dan memastikan bahwa hak
mereka yang di dalam dan sekitar hutan senantiasa terjamin.
 PENUTUP
Selama berabad – abad manusia mengandalkan musim yang dipengaruhi
iklim untuk beraktifitas, bertani, melaut, dan kegiatan lainnya, namun dewasa ini
bumi tengah mengalami perubahan iklim, dampaknya pun dirasakan dimanamana. Indonesia tak luput dari kemarahan alam yang tak pernah dapat ditebak apa
sasaran selanjutnya, penyebabnya tak lain adalah manusia sendiri, energi yang
dinikmati di zaman modern ini sebagian besar diperoleh dari pembakaran bahan
bakar fossil. Karbon dioksida yang dilepas ke udara secara alami diserap oleh
tumbuh – tumbuhan, tapi hari ini dunia melepas karbon dioksida yang tersimpan
di bawah permukaan bumi selama jutaan tahun lebih cepat dari kemampuan
tumbuhan yang menyerapnya secara alami. Hutan ditebangi dan mengurangi
kemampuannya untuk menjaga keseimbangan alam. Keseimbangan alam adalah
syarat yang tidak bisa ditawar.
Dunia tidak menutup mata pada resiko lingkungan dan kerusakan ekologi,
yang tidak saja bisa menimpah kita di negeri ini tetapi juga seluruh penduduk
bumi, arah nasib penduduk bumi abad ini bergantung bagaimana kita
menyikapinya sekarang. Maka Indonesia pun bertekat mengurangi emisi karbon
sampai dengan 41% pada tahun 2020 jika dunia aktif bekerjasama.
Masalah global perlu diselesaikan secara global pula, komitmen ini
disambut baik oleh berbagai kalangan termasuk dunia internasional. Indonesia
kini memiliki badan pengelolaan REDD+ sebagai wujud tidak mengendurnya
komitmen Indonesia untuk memastikan penerapan REDD+. Menghentikan

pembukaan hutan bukan berarti menghentikan langka pembangunan. Pergeseran
paradigma menuju pembangunan hijau dengan penurunan emisi, pembangunan
yang efesien dan mempertahankan sumber daya alam adalah jalan paling terang
menuju pertumbuhan ekonomi yang mensejahterahkan kedua negara dan pada
saat yang sama berkontribusi terhadap perubahan iklim. Dunia hanya akan
berhasil jika dunia bekerjasama.
Dalam penelitian ini juga dapat dijelaskan bahwa implementasi kerjasama
konservasi hutan dalam kerangka REDD+ telah berjalan dengan baik dan sesuai
dengan Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia guna
mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Walaupun belum secara
keseluruhan pengembangan dilakukan secara penuh, namun ada beberapa regulasi
kebijakan awal yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai tindak lanjut
implementasi LoI antara Indonesia dan Norwegia untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca global.
Sejak kerjasama yang dimulai pada tahan 2010, REDD+ dalam
perjalanannya belum mampu memberikan kontribusi yang besar dalam perbaikan
kondisi lingkungan jika lihat secara skala global. Berdasarkan pencapaian tujuan
dari kerjasama REDD+, dapat dikatakan jika REDD+ belum sepenuhnya efektif
dalam penanggulangan masalah lingkungan global. Walaupun selama kerjasama,
telah dilakukannya perumusan kebijakan – kebijakan diantara kedua negara,
namun hal tersebut belum mampu memperbaiki kualitas lingkungan dunia karena
tidak didukung oleh negara – negara industri besar lainnya.
Dengan semakin berkembangnya zaman, tingkat penggunaan tekonologi
dan energi yang tidak terkontrol dilakukan demi kepentingan individu,
menyebabkan hutan menghadapi tekanan yang semakin besar, dimana kegiatan
tersebut pada akhirnya merusak lapisan ozon sehingga terjadinya pemanasan
global. Negara – negara yang memiliki hutan tropis besar pun berlomba untuk
melakukan kampanye perubahan iklim, berbagai tindakan dengan konsep
penghijauan dilakukan dengan manggandeng negara – negara industri maju

sebagai pendonor bantuan dana sebagai tujuan awal dilaksanakannya kerjasama
perubahan iklim.

 DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Burchill, Scott dan Linklater, Andrew. 2012. Teori – Teori Hubungan
Internasional. Bandung. Nusa Media.
Daryanto dan Suprihatin, Agung. 2013. Pengantar Pendidikan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta. Penerbit Gava Media.
Petterson, Mathew. 2011. Theories of International Relations. Palgrave.
Saufa. 2015. Himpunan Lengkap Undang – Undang Tentang Lingkungan Hidup.
Yogyakarta. Serambi Semesta Distribusi.
Jurnal :
Angelsen Arild, Brockhaus Maria, Dkk. 2012. “Menganalisis Program REDD+
Sejumlah
Tantangan
dan
Pilihan”.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/6770/6461.
Diakses tanggal 08 Januari 2016.
Firdaus, Azhar. 2015. “UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON
CLIMATE
CHANGE.
COP
18/MOP
8
DOHA
QATAR”.
https://www.academia.edu/4338983/UNFCCC_COP_18_DOHA_QATAR.
Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Herypurba, 2012. “Perubahan Iklim Global” http://herypurba-fts.web.unair.ac.id/
artikel. Diakses tanggal 04 Desember 2015..
Muhi,
Ali
Hanapiah.
2011.
“Global
Warming”.
https://www.google.co.id/#q=konsep+pemanasan+global+ac.id.
Diakses
tanggal 16 Desember.

Noor, Said Alfrillian. 2013. “Kerjasama Konservasi Hutan Antara Indonesia –
Norwegia Dalam Kerangka REDD+ (Reducing Emissions From
Deferestation
And
Forest
Degradation)
Tahun
2010”.
https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-conten/uploads/2013/08/
JURNAL%20TERAKHIR%20%REVISI%20(08-23-13-05-25-13).pdf.
Diakses tanggal 02 November 2015.
Novrialdi, Eko. 2014. “Kepentingan Norwegia Mendukung Program Reducing
Emission From Deforestation And Degradation (REDD) Di Hutan Amazon
Peru
Tahun
2014”.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/viewFile/6770/6461.
Diakses tanggal 03 November 2015.
Situmeang, Jhon. 2010. “Economic, Social and Environmental Politicies As
Drivers
of
Green
Jobs”.
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact=8&ved=0ahU
KEwj17dyfhqfKAhULao4KHc8sBvQQFghHMAc&url=http%3A%2F
%2Fwww.ilo.org%2Fwcmsp5%2Fgroups%2Fpublic%2F%40asia%2F
%40ro-bangkok%2F%40ilo-jakarta%2Fdocuments%2Fpresentation
%2Fwcms_164509.pdf&usg=AFQjCNFjUAOgjBv3Dl0XKJf8rgXE8oakFg
&sig2=m4RApiNM8x8xJx4r_rz_1w&bvm=bv.111396085,d.c2E. Diakses
tanggal 13 Januari 2016.
Website :
https://himalsitan.lk.ipb.ac.id/2013/05/03/apa-itu-redd/.
November 2015.

Diakses

tanggal

08

kemitraan kerjasama REDD+ antara Indonesia dan Norwegia. (2009),
http:www.reddplus.go.id/tentang-redd/kemitraan. Diakses tanggal 22
Oktober 2015.
Kompas.com 2015. “Bertemu PM Norwegia, Jokowi Ingin Lanjutkan REDD
Plus”.
https://nasional.kompas.com/read/2015/04/14/19295301/Bertemu.PM.Norw
egia.Jokowi.Ingin.Lanjutkan.REDD.Plus. Diakses tanggal 16 Desember
2015.
Surar Pernyataan Kehendak (Letter of Intent) antara Pemerintah Kerajaan
Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia tentang “kerjasama dalam

mengurangi misi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan”
https://www.google.co.id/url?q=http://burung.org/index,php%3Foption
%3Dcom_docman%26task%3Ddok_download%26gid%3D93%26Itemid
%3D85&sa=U&ved=0ahUKEwjdk6rst8_jAhVRyWMKHfVGDhIQFggGM
AA&usg=AFQjCNHODENeB2yBHqRf7hGE1SKHOM3uUw.
Diakses
tanggal 10 Desember 2015.
United Nation – REDD Programme di Indonesia. 2011. http://www.dephut.go.id/
uploads/files/6.UN-REDD.Factsheet0pdf. Diakses tanggal 04 Desember
2015.