MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM FAMILY OF L

MAKALAH
HUKUM KELUARGA ISLAM (FAMILY OF LAW)
DI SAUDI ARABIA

Oleh :
Nikmatul Magfirah
10100117126

HUKUM ACARA PERADILAN DAN KEKELUARGAAN
JURUSAN PERADILAN
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, taufik, dan
hidayah-NYA sehingga makalah yang berjudul “HUKUM KELUARGA ISLAM (FAMILY
OF LAW) DI SAUDI ARABIA” ini dapat tersusun hingga selesai.
Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, Penulis yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempuranaan makalah ini.

Makassar, 20 September 2017

Penyusun

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saudi Arabia merupakan Negara yang menggunakan sistem kerajaan atau monarki.
Hukum yang digunakan adalah hukum syariat Islam dengan berdasarkan pada pengamalan
ajaran Islam yang juga didasari oleh pemahaman sahabat nabi terhadap Al-Quran dan Hadits.
Di samping sistem hukum syariat, hukum yang dilaksanakan pemerintah Saudi juga
menerapkan regulasi-regulasi dan juga membangun lembaga-lembaga untuk menangani
kasus-kasus yang tidak dicakup oleh syariat. Ini dirancang supaya sesuai dengan prinsipprinsip syariat dan melengkapinya, bukan malah menggantinya. Hasilnya adalah sebuah
system hukum ganda, yang keseluruhannya berdasarkan syariat dan bersifat otonomi yang

tidak terlepas dari syariat.
Saudi Arabia termasuk Negara Islam yang hukum keluarganya bersifat uncodified
law, itu berarti hukum keluarga Islam di Negara tersebut belum diatur dalam bentuk tertulis.
Saudi Arabia dikenal sebagai salah satu Negara muslim terbesar dan dikenal pula
sebagai tempat awal mula Islam masuk. Kemudian Negara ini juga dikenal sebagai Negara
yang menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konstitusinya dengan Madzhab Hambali
sebagai madzhab Negara. Hal-hal di atas berimplikasi pada penerapan hukum publik maupun
hukum privat di Negara tersebut khususnya hukum keluarga.
Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada negara-negara
(berpenduduk) muslim menjadi tiga bentuk : Pertama negara yang menerapkan hukum
keluarga secara tradisional yang banyak di jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu
Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan
lain-lain. Kedua Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler, dalam kategori ini adalah
Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Sovyet. Bagi negara
berpenduduk mayoritas muslim, mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber
dari Eropa (Turki dari Swiss), atau negara dengan penduduk minoritas muslim tapi harus
tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah Negara yang menerapkan hukum
keluarga yang diperbarui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei, Singapore dll.

Setidaknya ada tiga belas permasalahan hukum keluarga dalam proses transformasi

hukum keluarga yaitu Pembatasan umur perkawinan, Kedudukan wali nikah, Pencatatan
nikah, Aspek biaya dalam pernikahan, s eperti mahar dan biaya nafkah, Poligami dan hak
istri, Pemeliharaan terhadap istri dan keluarga selama pernikahan, Perceraian, Nafkah istri
setelah cerai, Masa iddah, Hak kedua orang tua terhadap pemeliharaan anak, Hak waris,
Wasiat wajibah dan wakaf Dari permasalahan hukum keluarga di atas, masing-masing negara
mempunyai pandangan yang berbeda dalam menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat
serta dominasi mazhab tertentu seringkali menjadi latar belakang untuk menentukan suatu
peraturan hukum. Berkenaan dengan permasalahan di atas, makalah ini akan membahas
mengenai hukum keluarga di Saudi Arabia berikut sistem hukum yang diterapkan di sana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat penulis rumuskan
permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi dan sejarah asal muasal Negara Saudi Arabia?
2. Berdasarkan latar belakang sejarah Saudi Arabia, apa dampaknya terhadap hukum
keluarga di Saudi Arabia itu?
3. Bagaimana Konstitusi dan Sistem Peradilan Saudi Arabia itu?
4. Bagaimana penerapan hukum keluarga di Saudi Arabia itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Sebagai tugas mata kuliah “Hukum Keluarga di Dunia Muslim”.
2. Mengetahui kondisi dan sejarah Saudi Arabia.

3. Mengetahui dampak latar belakang sejarah Saudi Arabia terhadap Hukum Keluarga.
4. Mengetahui konstitusi dan sistem peradilan Saudi Arabia
5. Mengetahui penerapan hukum keluarga di Saudi Arabia.

BAB II
PEBAHASAN
A. Sekilas tentang Saudi Arabia
Arabia terletak di bagian Barat Daya benua Asia, dan menempati bagian terbesar dari
semenanjung Jazirah Arab (2.000.000 km2). Letak yang istimewa ini menjadikannya
memiliki hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan kuno yang telah terbentuk di Timur
Tengah. Berbatasan di sebelah utara dan timur laut dengan Yordania, Kuwait dan Irak. Di
sebelah selatan berbatasan dengan Republik Yaman. Di sebelah Timur Teluk Arab, Kuwait,
Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab dan Kesultanan Oman. Di sebelah barat laut Merah.
Pada masa dahulu, daerah Saudi Arabia dikenal menjadi dua bagian, yakni daerah
Hijjaz yakni daerah pesisir Barat Semenanjung Arab yang didalamnya terdapat kota-kota
diantaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun sampai pesisir Timur
Semenanjung Arabia yang umumnya dihuni oleh suku suku lokal arab (Baddui) dan kabilah
kabilah arab lainnya.
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas
Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis

sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad
bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175
H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Periode awal
Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua
pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada
tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para
pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini.
Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan
dimulainya fase baru sejarah Arab modern dan berakhir pada tahun 1953).
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para
pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip
Syariah Islam. Di atas prinsip inilah, para putra sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya
dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah : Raja Saud, putra Raja Abdul Aziz

(1953-1964), Raja Faisal, putra Raja Abdul Aziz (1964-1975), Raja Khalid, putra Raja
Abdul Aziz (1975-1982), Raja Fahd, putra Raja Abdul Aziz (1982-2005), dan Raja Abdullah,
putra Raja Abdul Aziz (2005- sekarang)
Ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab itu dapat dibedakan menjadi
penduduk pedalaman dan penduduk perkotaan. Penduduk pedalaman tidak mempunyai

tempat tinggal permanen atau perkampungan tetap. Mereka adalah kaum nomad yang hidup
berpindah-pindah dengan membawa binatang ternak untuk mencari sumber mata air dan
padang rumput. Adapun penduduk perkotaan sudah mempunyai tempat kediaman permanen
di kota-kota. Mata pencaharian mereka adalah berdagang dan bertani. Bangsa Arab terbagi
kedalam dua kelompok yaitu Arab al-Baidat dan Arab al-Baqiyat. Kelompok al-Baidat
adalah orang-orang yang telah lenyap. Seperti kaum 'Ad dan kaum Tsamud. Sedangkan
kelompok al-Baqiyat adalah orang bangsa arab yang masih ada sampai sekarang.
Kerajaan Saudi terdiri dari sejumlah provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
Setiap Gubernur dibantu oleh Dewan Daerah yang anggotanya antara lain kepala suku.
Disamping sebagai Dewan Daerah kepala suku juga merangkap sebagai Wali Kota. Untuk
menjalankan kekuasaan kehakiman, diangkat seorang Qadhi mengepalai badan pengadilan
yang kekuasaannya hanya terbatas hanya persoalan hukum dan peraturan yang dikeluarkan
oleh Syari'ah. Penduduk Saudi Arabia adalah mayoritas berasal dari kalangan bangsa Arab
sekalipun juga terdapat keturunan dari bangsa-bangsa lain serta mayoritas beragama Islam.
Hukum yang berlaku di Saudi Arabia adalah hukum yang berdasarkan Syariat Islam
dalam segala sendi kehidupan. Madhab resmi Saudi Arabia adalah Madhab Hambali dan
sebagian kecil ada kelompok Syiah yang mengikuti madhab Ja'fari.
Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang membuat segala peraturan
demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu dibuat dengan Dekrit Raja yang
bertindak tidak saja sebagai pelaksana Eksekutif tetapi sekaligus juga pembuat Undangundang. Karena itu, selain berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Pemerintah, Raja juga

berperan sebagai Imam atau Pemimpin Agama.
Sistem pemerintahan di Saudi Arabia adalah Kerajaan (Monarki). Kabinet bersama
Raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif dalam Negara. Perdana Menteri adalah
Khadim al-Haramain asy-Syarifain (Pelayan Dua Kota Suci) Raja Abdullah bin Abdul Aziz
Al-Saud, dan Putra Mahkota adalah Pangeran Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, Wakil Perdana

Menteri dan Menteri Pertahanan, Penerbangan dan Inspektur Jenderal. Sistem Judikatif
bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah.
Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran
seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hambali dan berusaha
keras memurnikan ajaran ketauhidan. Ia berasal dari dari keluarga klan Tamim yang
menganut mazhab Hambali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi
Arabia, tahun 1111 H (1700 M) masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H
(1792 M). Pada sekitar tahun 1744 Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang
Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad
bin Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara
teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi
wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Muhammad bin Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi
qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat
setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin Abdul Wahab.

Tahir Mahmood mengkatagorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang
menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi
sebuah peraturan perundang-undangan. Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam,
wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki. Namun sejak perjanjian Amir
Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab
Hambali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan
perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum
keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hambal.
Ini tidak dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada Undang-undang yang bersifat
tertulis. Sebab seperti yang diutarakan oleh Edwar Mortimer, sekalipun dalam teori hukum di
Saudi Arabia bersifat abadi, yakni syariat Tuhan, namun tidak berarti bahwa suatu
perundang-undangan dalam memenuhi suatu kebutuhan baru tidak dibenarkan. Sejak tahun
1950-an, memulai dekrit, kerajaan telah mengesahkan sejumlah peraturan yang meliputi
berbagai segi kehidupan. Misalnya perdagangan, kebangsaan, pemalsuan, penyuapan,
pertambangan, perubahan dan tenaga kerja, jaminan sosial dan pertahanan sipil.
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum
perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya. Pelaksanaan

pernikahan serta hal hal lain yang terkait dengannya seperti talak dan rujuk pada umumnya
ditangani oleh para ulama atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang

mengenai masalah keagamaan umat Islam.
B. Konstitusi dan Sistem Peradilan Saudi Arabia
1. Konstitusi
Saudi Arabia tidak memiliki konstitusi formal. Kebanyakan dasar-dasar
konstitusional Kerajaan terhimpun dalam Nizham Majlis al-Wuzara’ (Undang-Undang
Dewan Menteri). Undang-Undang Dewan Menteri ini telah direvisi beberapa kali untuk
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960
berusaha serius untuk menciptakan sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum
berhasil. Dalam masa pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan
perubahan, antara lain mendirikan Kementerian Kehakiman (Wizarah al-‘Adl) pada tahun
1970 sebagai induk kekuasaan yudikatif. Dalam masa pemerintahan Raja Khalid ibn
‘Abd al-‘Aziz (1975-1982), pengganti Faisal, juga ada upaya untuk membuat sebuah
konstitusi baru.
Melalui berbagai musyawarah, Raja Fahd ibn ‘Abd al-Aziz (1982-2005)
melanjutkan upaya pembaharuan konstitusi. Fahd pada tanggal 27 Sya’ban 1412 H
menerbitkan al-Marsum al-Malaki (Titah Raja) No. A/90 Tentang Basic Law of
Government yang terdiri dari sembilan bab dan 83 pasal. Kedelapan Bab tersebut adalah
mengenai (1) Prinsip-Prinsip Umum, (2) Sistem Pemerintahan, (3) Nilai-Nilai
Masyarakat Saudi, (4) Prinsip-Prinsip Ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6) Kekuasaan
Negara, (7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.

Basic Law of Government tak ubahnya sebuah konstitusi. Pasal 1 Bab I
menyatakan: “Kerajaan Saudi Arabia adalah sebuah Negara Islam berdaulat. Agamanya
Islam. Konstitusinya adalah Kitab Allah, al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah Nabi
Muhammad Saw Bahasa Arab adalah bahasa Kerajaan. Kota Riyadh menjadi ibu kota
negara.”
2. Sistem Peradilan
Sebelum berdirinya Kerajaan Saudi Arabia, di wilayah ini terdapat tiga jenis
peradilan. Pertama di wilayah Hijaz yang mempunyai sistem yang lebih baik dibanding

dengan wilayah-wilayah lain. Ini antara lain karena pembaharuan yang pernah dilakukan
oleh Kerajaan Turki Usmani pada tahun 1830, 1856 dan 1876, tetapi sayang sekali
penguasa Hijaz Syarif Husain membatalkan pembaharuan ini pada awal abad
keduapuluh. Kedua, di wilayah Nejed (sekitar Riyadh) mengikuti sistem tradisional turun
temurun berdasarkan tradisi yang berlaku dan hukum agama. Sistem ini tidak pernah
mengalami pembaharuan. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh hakim dan amir (raja
atau keturunannya yang menjadi penguasa) untuk kepentingan pihak-pihak yang
bersengketa. Biasanya eksekusi putusan hakim dimintakan kepada amir. Ketiga, di luar
dua wilayah di atas, penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan kebiasan di kabilahkabilah tertentu yang lebih bersifat arbitrase (tahkm).
Setelah Kerajaan Saudi Arabia berdiri, ketiga sistem di atas dihapuskan.
Berdasarkan Titah Raja (al-Marsum al-Malaki) tanggal 4 Shafar 1346H/1927M maka

semua peradilan dirombak menjadi satu sistem. Pasal 24 titah ini menyatakan bahwa
peradilan di Saudi Arabia terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu Peradilan Segera (almahakim al-musta’jilah), Peradilan Syar’iyah (al-mahakim asy-syar’iyyah) dan Badan
Pengawas Peradilan (Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah). Sesuai dengan peraturan
baru ini, maka dibentuk tiga peradilan di Jeddah, Makkah dan Madinah. Sedangkan kotakota yang lain mempunyai sistem tersendiri yang juga diatur dengan peraturan tersendiri.
Peradilan Segera mempunyai kewenangan dalam bidang perdata dan pidana.
Kewenangan pidana menyangkut kejahatan yang menimbulkan luka, qishash,
pelanggaran ta’zir tertentu dan hudud. Kewenangan perdata menyangkut masalah
keuangan yang tidak lebih dari 300 riyal dan putusannya tidak bisa dibanding kecuali
putusan yang menyalahi nushush (teks agama) dan ijma’ (kensensus ahli hukum Islam).
Sedangkan Pengadilan Syar’iyyah menangani selain wewenang Peradilan Segera
dalam berbagai bidang sesuai kompetensinya. Putusan diberikan berdasarkan ijma’ atau
suara terbanyak. Perkara pidana berat hukuman potong dan mati mengharuskan sidang
pleno peradilan.
Sementara itu Badan Pengawas Peradilan berpusat di Makkah dan juga
dinamakan Peradilan Syari’at Agung (al-mahkamah asy-syari’iyyah al-kubra) yang
terdiri dari tiga hakim. Ini merupakan peradilan banding untuk peradilan yang ada di
bawahnya dan sekaligus mengendalikan administrasi dan pengawasan peradilan. Selain

itu, Peradilan Syari’at Agung juga menerbitkan fatwa-fatwa yang dimintakan kepadanya,
mengawasi pendidikan dan kurikulum pendidikan serta supervisi terhadap lembagalembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Pada masa awal berdirinya Kerajaan Saudi Arabia, peradilan berhubungan
langsung dengan Raja. Rajalah yang mensupervisi peradilan dan putusan-putusan penting
diserahkan kepadanya, tetapi kemudian ia mendelegasikan kewenangan ini secara
bertahap kepada hakim-hakim khusus serta membentuk badan-badan yang dibutuhkan di
bawah supervisi Raja. Pengaturan peradilan menjadi semakin rapih, khususnya ketika
Raja Faisal mendirikan Kementerian Kehakiman pada tahun 1962 dan mengangkat
Menteri Kehakiman pada tahun 1970. Sebelum ini, urusan peradilan berada di bawah
kantor Mufti Agung atau Dewan Mufti, tetapi setelah berdirinya Kementerian
Kehakiman, peradilan langsung berada di bawah kementerian ini, dan jabatan Mufti
digabungkan ke dalam Dewan Tertinggi Peradilan (al-Majlis al-A’la li al-Qadha’) atau
Mahkamah Agung Saudi, yang berdiri kemudian. Dari sini, maka peradilan terbagi
kepada dua bagian besar. Pertama adalah beberapa lembaga peradilan berdiri sendiri yang
bersifat peradilan administratif. Kedua adalah peradilan syar’i atau syar’iyyah (Peradilan
Syari’at Islam) yang langsung berada di bawah Kementerian Kehakiman
Peradilan Berdiri Sendiri antaranya adalah; Diwan al-Mazhalim (literal:
Dewan Ketidakadilan), Hai’ah Muhakamah al-Wuzara’ (Lembaga Peradilan Kabinet),
Al-Hai’at al-Mukhtashshah bi Ta’dib al-Muwazhzhafin (Lembaga Khusus Pendisiplinan
Pegawai), Lajnah Qadhaya at-Tazwir (Komite Perkara-Perkara Pemalsuan), Hai’ah
Hasm an-Niza’at at-Tijariyyah (Lembaga Penyelesaian Sengketa Dagang), Al-Lujan alMarkaziyyah liqadhaya al-Ghisy at-Tijari (Komite Pusat Perkara-Perkara Penipuan
Dagang), Al-Ghuraf at-Tijariyyah wa ash-Shina’iyyah (Kamar Dagang dan Industri), AlMahkamah at-Tijariyyah (Peradilan Perdagangan),
al-‘Ummal

(Komite

Penyelesaian

Perkara

Buruh),

Lajnah Taswiyah Qadhaya
Al-Majalis

at-Ta’dibiyyah

al-‘Askariyyah (Majelis Pendisiplinan Militer), Al-Majalis at-Ta’dibiyyah li al-Amn adDakhili (Majelis Pendisiplinan Keamanan Dalam Negeri).
Lembaga peradilan berdiri sendiri yang disebut di atas adalah semacam peradilan
ad.hoc yang tidak berketerusan. Ia ada bila diperlukan yang mengadili perkara-perkara
tertentu dan tidak mempunyai hakim dan aparat peradilan yang tetap. Bagaimanapun

jenis pertama, yaitu Peradilan Syar’iyah, atau kedua, yaitu Peradilan Berdiri Sendiri
masih termasuk dalam empat jenis peradilan yang disebutkan oleh para fuqaha’ yaitu
Peradilan Biasa (al-Qadha’ al-‘Adiyah), Peradilan Diwan al-Mazhalim (Qadha’ alMazhalim), Peradilan Perhitungan (Qadha’ al-Hisbiyyah), dan Peradilan Militer (alQadha’ al-‘Askari). Kecuali Peradilan Syar’iyah, maka semua Peradilan Berdiri Sendiri,
termasuk jenis kedua, ketiga dan keempat. Dalam perkembangan selanjutnya, maka
peradilan utama adalah Peradilan Syar’iyyah sebagai peradilan umum yang berada di
bawah Kementerain Kehakiman dan Peradilan Diwan al-Mazhalim sebagai peradilan
administrasi yang berada di bawah Raja.
Diwan al-Mazhalim, Pengadilan Mazhalim pada mulanya di zaman Raja Abd alAziz merupakan tanggapan terhadap keluhan masyarakat tentang ketidakadilan yang
diterima rakyat. Raja menyediakan waktu tertentu dalam sebulan untuk mendengarkan
keluhan masyarakat, lalu ia mencarikan jalan keluarnya. Ketika keluhan masyarakat
semakin banyak dan jenisnya juga semakin beragam, akhirnya pada tanggal 12.6.1373H/
1954M dibentuk sebuah badan resmi negara dengan nama Diwan al-Mazhalim langsung
di bawah Kantor Perdana Menteri. Badan inilah yang menangani keluhan masyarakat
secara profesional. Keluhan yang ditangani termasuk kesalahan yang dilakukan oleh para
hakim, pejabat pemerintah dan kontrak-kontrak yang dilakukan warga negara yang
melibatkan pihak asing atau lembaga pemerintah. Lembaga ini juga menangani keluhan
masalah distribusi barang-barang, perwakilan-perwakilan perdagangan, sengketa maritim
dan semua sengketa perdagangan selain bank.
Peradilan Syar’iyyah Sesuai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun
1975, maka peradilan negara tertinggi adalah al-Majlis al-A’la li al-Qadha’ (Majelis
Tertinggi Peradilan/MA). Di bawahnya terdapat dua peradilan banding di Makkah dan
peradilan banding di Riyadh. Di bawah peradilan banding adalah beberapa peradilan
tingkat pertama yang terdiri dari peradilan biasa atau umum dan peradilan segera.
Raja ‘Abdullah bin ‘Abd al-‘Aziz pada tanggal 1 Oktober 2007 menerbitkan
Royal Order (Titah Raja) tentang pembaharuan peradilan. Pelaksanaannya diperkirakan
berjalan dalam dua sampai tiga tahun. Untuk pembaharuan ini, Pemerintah menyiapkan
dana sebesar tujuh miliar riyal atau sekitar 1,8 milyar dolar AS yang digunakan untuk
pembangunan sarana, prasarana, termasuk pelatihan hakim dan aparat peradilan yang

baru, dan lain-lain. Intinya adalah pembaharuan Peradilan Syari’at yang telah berjalan
lebih kurang 30 tahun dan Peradilan Diwan al-Mazhalim.yang telah berjalan lebih kurang
25 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Peradilan 2007 ini, maka Majelis Tertinggi
Peradilan tidak lagi berperan sebagai Mahkamah Agung, tetapi sebagai pusat administrasi
peradilan. Di antara tugasnya adalah: Menerbitkan regulasi berhubungan dengan tugastugas para hakim dengan persetujuan Raja, Menerbitkan regulasi-regulasi pengawasan
peradilan, pendirian peradilan baru, penggabungan dan penghapusan peradilan,
Menetapkan wilayah yurisdiksi dan pembentukan tim majlis, Menetapkan ketua-ketua
peradilan banding, Menerbitkan aturan-aturan tentang fungsi dan kekuasan ketua-ketua
pengadilan dan wakil-wakilnya, Menerbitkan aturan-aturan tentang metode pemilihan
hakim, dan Mengatur tugas para pembantu hakim, dan lain-lain.
Berdasarkan aturan baru ini, maka hirarki Pengadilan Syari’at menjadi tiga
tingkat. Pertama adalah Pengadilan Tinggi sebagai Mahkamah Agung. Kedua adalah
Pengadilan Tingkat Bandlng yang terdiri dari 1. Pengadilan Perdata, 2. Pengadilan
Pidana, 3. Pengadilan Hukum Keluarga, 4. Pengadilan Perdagangan, dan 5. Pengadilan
Perburuhan. Ketiga adalah Pengadilan Tingkat Pertama yang terdiri dari 1. Pengadilan
Umum, 2. Pengadilan Pidana, 3. Pengadilan Hukum Keluarga, 4. Pengadilan
Perdagangan, dan 5. Pengadilan Perburuhan.
Sementara itu, sesuai aturan baru Pengadilan Diwan al-Mazhalim berubah
menjadi Badan Peradilan Administratif (Board of Administrative Court) yang
mempunyai hirarki mirip dengan hirarki Pengadilan Syari’at yang terdiri dari Pengadilan
Tinggi Administratif, Pengadilan Bamding Administrasi, dan Pengadilan Tingkat
Pertama Administratif. Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding Administratif terdiri
dari 1. Bidang Pendisiplinan, 2. Bidang Administratif, 3. Bidang Subsider, dan 4. Bidang
Spesialisasi yang lain.

C. Kitab Fiqh Madhab Hambali
Diantara sekian banyak kitab fiqh bermadhab hambali, dapat penulis ringkas sebagai
berikut sebagai bahan rujukan awal untuk mengetahui masalah fiqh khususnya dalam perkara
hukum keluarga menyangkut perkawinan, waris dan lain sebagainya menurut madhab
tersebut, berikut kitab rujukannya :
1. Akhsor al-Mukhtasharat Fi al-Fiqh Ala Mazdhab al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Karya
Muhamma Ibn Badruddin Ibn Balban Ad-Dimasykiy.
2.

Ibthal al-Hail (Karya Abu Abdullah Ubaidillah Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn
Hamdan al-Akbariy).

3.

Al-Asyrabah (Karya Ibnu Hambal).

4.

Al-Iqna' Fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Karya Syarifuddin Musa Ibn Ahmad Ibn
Musa Abu Naja' al-Hajawiy).

5.

Al-Inshaf Fi Ma'rifati al-Rajah Minal Khala 'Ala Mazdhab al-Imam Ahmad Ibn Hambal
(Karya Alauddin Abul Hasan Ali Ibn Sulaiman Al-Mardawi ad-Dimasyki)

6. Al-Ikhtiyarot al-Fiqhiyyah (Karya Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Ibn Abdul Halim Ibn
Taimiyyah al-Haraniy).
7. Syarh al-Kubra Li Ibn Qudamah.
8.

Al-Umdah Fiqh (Ibnu Qudamah).

9. Al-Kafiy Fi Fiqh Al-Imam Ahmad Ibn Hambal (Abdullah Ibn Qudamah al-Maqdisi).
10. Al- Mughni Fi Fiqh Al-Imam Ahmad Ibn Hambal Asy-Syaibani (Abdullah Ibn Ahmad
Ibnu Qudamah al-maqdisi).
11. Syarh az-Zarkasiy Ala Mukhtashar al-Kharaqiy (Syamsuddin Abi Abdullah Muhammad
bn Abdullah Az-Zarkasyi).
12. Syarh Al-Umdah (Taqiyudin Abul Abbas Ahmad Ibn Abdul Halim Ibn Taimiyyah alHarani).
13. Al-Hidayah Ala Mazdhab al-Imam Abi AAbdullah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal
Asy-Syaibani (Karya Mahfud Ibn Ahmad Ibn Hasan).
14. Bidayah al-Abid Wa Kifayah Al-Jahid ( Abdurrahma Ibn Abdullah Ibn Ahmad Al-Ba'liy
al-Khulwatiy al-Hambali)

D. Hukum Perkawian di Saudi Arabia
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang Qodhi mengepalai badan
Pengadilan. Kekuasaan seorang Qadhi hanya terbatas pada persoalan hukum dan peraturan
yang dikeluarkan oleh Syariah. Kalau kasusnya menyangkut pada peraturan yang
diundangkan dengan dekrit Raja, maka yang berhak mengadili bukan Qadhi, melainkan
Gubernur atau kepala daerah setempat.
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, sebagaimana
telah disinggung di muka, maka hukum perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh
madhab yang dianutnya. Dalam hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan
madhab Hambali, yaitu pelaksanaan pernikahan serta hal-hal lain yang terkait dengannya
seperti halnya talak dan Rujuk pada umumnya ditangani oleh para Ulama atau institusi
keagamaan setempat yang dianggap berwenang dalam menangani masalah keagamaan umat
Islam.
1. Perwalian Pernikahan
Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau kita merujuk kepada Madhab
Hambali, maka Wali dalam mazhab Hambali hukumnya wajiib, bahkan pernikahan
dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan
tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun
tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya
dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun
dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga
tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek
kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih
dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.
2. Usia Pernikahan
Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Karena
di Negara ini tidak di tetapkannya Undang-Undang mengenai batasan minimal usia
pernikahan, yang diterapkan hanyaah hukum fikih yang sebenarnya yaitu sseseorang
dapat menikah kapanpun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang
dianutnya, dimana mayaoritas mereka bermdzhab Imam Hambali.

3. Poligami
Begitu pula dengan masalah poigami, Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus
untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus mengenai
prosedur yang harusnya dilakukan bagi para suami yang ingin berpoligami. Poligami
diperbolehkan untuk pria tetapi terbatas pada empat istri pada satu waktu. Bahwa praktek
poligami telah meningkat, khususnya di kalangan yang berpendidikan, sebagai akibat dari
kekayaan minyak. Pemerintah telah dipromosikan poligami sebagai bagian dari kembali
ke program "Islam nilai-nilai". Pada tahun 2001, Grand Mufti (otoritas agama tertinggi)
mengeluarkan fatwa , atau pendapat, menyerukan kepada wanita Saudi untuk menerima
poligami sebagai bagian dari paket Islam dan menyatakan bahwa poligami itu diperlukan
"untuk melawan ... pertumbuhan epidemi perawan tua". Tidak ada usia minimum untuk
menikah di Arab Saudi dan Grand Mufti dilaporkan mengatakan pada tahun 2009 bahwa
anak perempuan dari usia 10 atau 12 yang menikah.
4. Perceraian
Pria memiliki hak unlilateral untuk menceraikan istri mereka tanpa perlu dasar
hukum. Perceraian adalah efektif dengan segera. Istri bercerai dapat mengklaim
dukungan keuangan untuk jangka waktu empat bulan dan sepuluh hari sesudahnya.
Seorang wanita hanya dapat memperoleh perceraian dengan persetujuan dari suaminya
atau secara hukum jika suaminya telah merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit
bagi seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian pengadilan. Tingkat perceraian
tinggi, sampai 50%. Dalam hal perceraian, ayah memiliki hak asuh anak otomatis dari
usia 7 dan putri dari usia 9. Hak bagi pria untuk menikah hingga empat istri,
dikombinasikan dengan kemampuan mereka untuk menceraikan istri kapan saja tanpa
sebab, bisa menerjemahkan dengan poligami terbatas. Raja Abdul Aziz , pendiri negara,
dilaporkan mengaku menikah lebih dari dua ratus perempuan. Namun, poligami nya
dianggap luar biasa bahkan oleh standar Arab Saudi.
5. Hak asuh anak dan perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian.
Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kebugaran orang tua dalam pemberian
perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk menjadi orang tua yang

mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek dan
nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung jawab atas anak tersebut.
6. Perjanjian Perkawinan
Dalam Islam, seorang wanita diperbolehkan untuk mengajukan syarat/perjanjian
pernikahannnya selama tidak melanggar ajaran islam. Dia kemudian berhak atas suatu
"perceraian bersyarat" jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh
suaminya. Hasil dari perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak boleh
kembali kepada istrinya selama tiga bulan masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan dapat
merevisi keputusan mereka dan dapat menghidupkan kembali perkawinan mereka jika
mereka telah menyelesaikan perbedaan atau perselisihan diantara mereka.
Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam perkawinan adalah sah, dan
pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti membatalkan kesepakatan. Syekh
Abdullah al-Manii, anggota Dewan Ulama Senior Saudi, mengatakan bahwa seorang
wanita sah menceraikan suaminya setelah sang seuami melanggar syarat dalam perjanjian
perkawinan mereka yang salah satu poinnya adalah bahwa suaminya itu tidak akan
menikah dengan wanita lain selama mereka masih bersama.
E. Hukum Kewarisan dan Perwakafan di Saudi Arabia
Menurut catatan para ahli sejarah hukum islam, wakaf tidak dikenal pada masyarakat
Arab Jahiliyah pra-islam. Wakaf menurut Imam Syafi'I benar-benar tipikal islam. Sama
halnya di bidang hukum keluarga lainnya, hukum wakaf juga merupakan hukum yang hidup
di seluruh dunia Islam, apakah itu Negara yang berpenduduk muslim minoritas, maupun
yang berpenduduk muslim mayoritas, dan lebih lagi di Negara muslim konstitusional. Begitu
penting dan strategisnya kedudukan wakaf ini bagi jaminan social umat dan kesejahteraan
umum. Dalam hal ini, Saudi Arabia mengangkat Menteri Perwakafan.
Saudi Arabia sebagai Negara Islam konstitusional dan Negara yang menguasai tempat
dimana Islam telah diturunkan dengan perkembangan zaman yang berubah dan kebutuhan
umat yang beragam pula, kelembagaan perwakafan beserta manajemennya pun mengalami
berbagai perubahan dan perbaikan di segala bidang. Termasuk Saudi Arabia yang pada tahun
1966 M membentuk Departemen Wakaf. Departemen ini memiliki tugas utama untuk
menangani berbagai hal yang berhubungan dengan wakaf. Seperti membuat perencanaan,

pengembangan dengan wakaf, dan memelihara serta mengawasi kelanggengan aset-aset
wakaf disamping menyusun laporan lengkap dan rinci kepada pihak Kerajaan Saudi.
Diantara pengelolaan wakaf yang paling menonjol di Saudi Arabia adalah
pengelolaan khusus bagi dua kota yang paling dihormati oleh umat islam, yaitu al-Haramain :
Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Diatas tanah yang terletak di sekitar
Masjidil Haram di Makkah dan diatas tanah yang terletak di sekeliling masjid Nabawi di
Madinah, dibangun sejumlah pertokoan dan perhotelan atau rumah-rumah penginapan yang
kemudian dikelola secara professional guna menghasilkan dana yang kemudian untuk
membiayai perawatan berbagai aset yang dimiliki kedua kota tersebut.
Secara umum, hukum kewarisan islam pada dasarnya tetap berlaku dihampir atau
bahkan diseluruh dunia islam. Baik dunia islam yang mengatur hukum kewarisannya dalam
bentuk undang-undang, maupun yang belum mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk
undang-undang. Negara islam atau Negara berpenduduk muslim yang telah mengundangkan
hukum kewarisan islam itu, ada yang menggabungkan hukum kewarisannya dengan undangundang perkawinan, dan adapula yang memisahkannya dalam bentuk peraturan perundangundangan tersendiri.
Adapun mengenai masalah kewarisan secara umum , hukum kewarisan Islam pada
dasarnya tetap berlakku di hamper atau bahkan di seluruh dunia Islam. Baik dunia islam yang
mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang maupun yang tidak atau belum
mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang. Saudi Arabia termasuk ke
dalam Negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya ke dalam undang-undang akan
tetapi mereka mengatasi masalah waris mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Mengenai warisan orang-orang beragama lain, dikalangan Saudi Arabia tidak
memperbolehkan bagi para penganut agama-agama non-islam tidak boleh mewarisi satu
sama lain. Dengan demikian, seorang Yahudi tidak bisa mewarisi orang Nasrani, dan
sebaliknya. Demikian pula halnya dengan pemeluk-pemeluk agama lainnya satu sama lain.
Adapun mengenai tentang mendahulukan penyelenggaraan pemakaman atas hak yang
berkaitan dengan Tirkah, seperti barang yang digadaikan pemiliknya sebelum dia meninggal
dunia. Di Saudi Arabia penyelenggaraan pemakaman didahulukan atas seluruh hak dan
utang-utang, sekalipun dalam bentuk gadaian ganti rugi pidana.

F. Penerapan Hukum Keluarga Saudi Arabia
Penggunaan Al-Quran dan sunnah sebagai hukum yang dipakai untuk mengatur
hukum keluarga oleh Saudi Arabia menyebabkan para hakim, ulama dan mufti harus lebih
banyak mengeluarkan ijtihadnya dikarenakan umumnya sumber hukum yang mereka miliki.
Tidak jarang para ulama tersebut mengalami perbedaan pendapat mengenai masalah yang
sama. Hal ini membuat pihak PBB menyarankan kepada Saudi Arabia untuk merevisi hukum
keluarga yang dipakai oleh Negara tersebut.di samping perbedaan pendapat yang acap kali
terjadi oleh para ulama yang ada di Saudi Arabia, PPB juga menilai hukum keluarga yang
dipakai Saudi Arabia saat ini membuka kemungkinan terjadinya diskriminasi khususnya
terhadap perempuan. Sehingga PBB merasa perlu untuk menyarankan adanya revisi terhadap
hukum keluarga di Negara ini.
Adapun aplikasi hukum keluarga di masyarakat Saudi Arabia sendiri banyak
menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap melanggar nilai-nilai
sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Seperti praktek nikah di bawah umur dan nikah
misyar. Namun hal tersebut dianggap boleh oleh pemerintah Saudi Arabia karena tidak
dilarang oleh sumber hukum mereka. Dengan demikian, pemerintah kerajaan Saudi Arabia
perlu membuat suatu peraturan (UU) untuk menangani permasalahan tersebut.
1. Nikah Dibawah Umur
Menteri Kehakiman Saudi Arabia Mohamed Al-Issa mengatakan, pemerintah
akan membuat regulasi tentang perkawinan di bawah umur setelah kasus perkawinan
seorang pria berusia 47 tahun dengan seorang anak perempuan berusia 8 tahun.
Kasus ini sempat ramai di pengadilan Saudi, bahkan sampai ke tingkat pengadilan
banding. Namun hakim yang menangani perkara, hakim Syaikh Habib al-Habib, lagi-lagi
menolak membatalkan pernikahan tersebut, meski mempelai perempuan masih di bawah
umur. Hakim al-Habib beralasan, begitu seorang anak perempuan sudah mengalami
pubertas (menstruasi) dia bisa memutuskan sendiri apakah akan melanjutkan pernikahan
atau akan mengurus proses perceraian. Dalam putusannya, hakim memerintahkan
pengantin pria untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum mempelai perempuan
memberikan keputusan.
Seorang kerabat dari pihak ibu mempelai perempuan mengungkapkan, sang ibu
ingin tetap melanjutkan kasus ini ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi.

Meski perkawinan di bawah umur di Saudi merupakan hal yang lumrah, kasus
yang mencuat sejak bulan Desember 2008 ini mengundang perhatian media lokal dan
internasional, karena hakim menolak membatalkan pernikahan di bawah umur itu.
Menurut kuasa hukum keluarga perempuan, Abdullah Al-Jutaili, hakim
menyatakan bahwa ibu mempelai perempuan yang sudah bercerai dari suaminya, bukan
wali mempelai yang sah sehingga tidak bisa mengajukan permohonan perceraian
puterinya.
Isu pernikahan di bawah umur kembali memanas di Saudi setelah Mufti Saudi
Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh pada bulan Januari lalu mengatakan bahwa menikahkan
anak perempuan yang masih berusia 15 tahun atau kurang tidak melanggar syariah Islam,
bahkan menurutnya syariah Islam memberikan keadilan bagi kaum perempuan.
Praktisi hukum di Saudi, Abdul Rahman Al-Lahem mengungkapkan, kasus-kasus
pernikahan di bawah umur anak-anak perempuan Saudi dengan lelaki yang jauh lebih
tua, biasanya terjadi karena pertimbangan masalah finansial.
Sementara itu, Menteri Kehakiman Saudi mengatakan, regulasi tentang usia
perkawinan yang akan dibuat bertujuan untuk mengakhiri sikap orang tua atau wali yang
sembarangan menikahkan anak perempuannya yang masih di bawah umur.
Rencana Menteri Kehakiman didukung oleh Komisi HAM kerajaan Saudi Arabia
yang menentang perkawinan anak-anak perempuan dibawah umur. Dengan alasan
bahwa, menurut Zuhair al-Harithy juru bicara HRC Saudi, melanggar kesepakatan
internasional dimana Saudi Arabia juga ikut menandatanganinya.
2. Nikah Misyar (Nikah Sirri) dan Pencatatan Nikah
Nikah misyar di wilayah timur Saudi Arabia meningkat karena sejumlah Fatwa
Ulama membolehkan jenis pernikahan itu selama memenuhi syarat sah. Syarat sah
pernikahan, menurut sebagian Ulama adalah Ijab dan Qabul (persetujuan kedua
mempelai) dan Saksi. Sebagian lainnnya adalah mewajibkan Wali sebagai syarat sah
apalagi yang menikah adalah gadis. Sebagaiman telah dijelaskan dimuka, bahwa
perwalian dalam madhab Hambali dikemukakan tidak sah menikah tanpa adanya wali
dan dua orang saksi muslim. Seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri, nikah

tidak dianggap sah apabila tidak menghadirkan dua orang saksi muslim. Sementara bagi
para janda tidak disyaratkan wali.
Lewat pernikahan yang tidak diakui Negara, atau dikenal dalam bahasa arab
sebagai al-Zawajul Urfi. Jumlah orang asing di Madinah secara legal atau illegal jauh
melebihi orang orang Saudi Arabia, adanya orang asing yang mencoba mendapatkan
uang dengan menikahi perempuan-perempuan orang Saudi. Ini semakin meningkatkan
jumlah nikah seperti ini. Kantor pencatatan nikah "mazun" tidak memberi izin kepada
calon suami istri untuk melakukan pernikahan antara saudi dan non-Saudi, tanpa surat
izin. Orang Saudi yang ingin menikahi non-Saudi harus meminta surat izin dari
Mendagri, yang bisa memakan waktu berbulan bulan atau bertahun tahun.
Kalau lewat pernikahan biasa, seorang pemuda selain harus membayar maskawin
mahal, juga menyediakan rumah dan menanggung biaya pesta yang tergolong besar
untuk ukuran kebanyakan. Karena itu, banyak pria lebih memilih menikah dengan cara
diam-diam yang penting halal. Salah satu penyebab utamanya adalah factor ekonomi,
karena tidak mampu mengangung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono
gini.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas
Masehi. Lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin
Saud di "Ad-Dir'iyah". Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233
H./1818 M. Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi
kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M.
Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan
para pendahulunya, kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini.
Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan
dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Sejarah panjang kerajaan Saudi sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari peran
seseorang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang bermazhab Hambali dan berusaha
keras memurnikan ajaran ketauhidan. Dan Madhab Hambali pun menjadi madhab resmi
negara Saudi Arabia.
Hierarki Pengadilan Syari’at menjadi tiga tingkat; Pertama adalah Pengadilan Tinggi
sebagai Mahkamah Agung. Kedua adalah Pengadilan Tingkat Banding, dan Ketiga adalah
Pengadilan Tingkat Pertama. Sedangkan Pengadilan Diwan al-Mazhalim yang menjadi
Badan Peradilan Administratif (Board of Administrative Court) yang mempunyai tiga
hierarki; Pengadilan Tinggi Administratif, Pengadilan Banding Administratif, dan Pengadilan
Tingkat Pertama Administratif.
Di Saudi Arabia yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum
perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madhab yang dianutnya, dalam hal ini Saudi
Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan madhab Hambali sebagai madhab Negara,
seperti perwalian, usia pernikahan, poligami, perceraian, hak asuh anak, perjanjian
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Adapun aplikasi hukum keluarga di masyarakat Saudi Arabia sendiri banyak
menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap melanggar nilai-nilai

sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Seperti praktek nikah di bawah umur dan nikah
misyar.
B. Kritik dan Saran
Semoga makalah yang ada di tangan kawan-kawan sekalian, walaupun banyak
kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita semua. Kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan dari kawan-kawan semua.

DAFTAR PUSTAKA
-

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve,1997).

-

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997)

-

http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InSectionID=5703&InNewsItemID=82597, diakses pada
tanggal 3 November 2012

-

http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/
kirim#axzz2BALJ5L7I, Diakses pada tanggal 3 November 2012

-

http://www.saudiembassy.net/Publications/MagFall00/Judicial.htm, Diakses pada tanggal 4
November 2012

-

http://islamic-law-in-indonesia.blogspot.com/2010/02/sistem-peradilan-saudi-arabia.html,

-

Diakses pada tanggal 4 November 2012

-

Ibn Qudamah, Al Kafi fiqh Ahmad ibn Hambal, kitab nikah, (Maktabah Syamilah,Vol. 2 ).

-

Maktabah Syamilah, Versi 2. Kategori “Fiqh Hambali”

-

Muhammad az-Zuhaili, at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr,
1423H/2002).

-

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo
Persada, 2005), Hlm. 166.

-

Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT.
LTD, 1972).