Antara Fiksi dan Fakta, Antara Seniman dan Wartawan 10 20171017

NOSA NORMANDA

Jurnalisme Sastrawi:
Antara Fiksi dan Fakta, Antara Seniman dan
Wartawan

-

Nosa Normanda

Universitas Indonesia

._... .__ -·--·

JURNALISME
SASTRAWI
_

�-­
--


.�
__

A

Judul Buku : Jurnalisme Sastrawi
Penyunting : Andreas Harsono & Budi
Setiawan
: KPG
Penerbit
Tahun Terbit: 2007 (cetakan ke 2)
Tebal buku : 380 halaman

ndreas Harsono dan kawan-kawan mencoba membuat suatu majalah
dengan isi artikel-artikel panjang hasil penelitian berbulan-bulan
dan mendalam untuk mempopulerkan metode penulisan jumalistik baru
di Indonesia: literary Journalism atau Jurnalisme Sastrawi. Jumalisme
Sastrawi adalah sebuah penulisan laporan junalistik dengan sistem
narasi prosa. Penggunaan 5W lH dalam laporan jumalistik diubah di
sini. Mereka mengkonversi elemen-elemen jumalistik mejadi elemen

sastra: Who menjadi karakter-karakter, when menjadi kronologi peristiwa,
why menjadi motif, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting
tempat, dan how menjadi narasi [viii]. Buku Jurnalisme Sastrawi adalah
antologi yang dipilih dari tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Pantau;
majalah dengan bayaran wartawan yang cukup mahal dan artikel investi­
gasi kontroversial, namun sayangnya berhenti karena masalah dana dan
pemasaran yang kurang baik [xv-xviii].

397

Di dalam majalah tersebut, para kontributomya tidak hanya harus
mampu meluangkan waktu dan tenaga secara habis-habisan, tetapi juga
harus memiliki kemampuan estetis dalam menulis dengan gaya sastra.
Pemakaian gaya sastra bukan hal baru dalam pers Indonesia. Mochtar
Loebis atau Goenawan Mohammad seringkali memakainya dalam
tulisan reportase mere _ka. Banyak media cetak pun masih memakai
hal ini sampai sekarang. Namun di satu sisi, pada kenyataanya belum
ada yang menakai gaya sastra seperti prosa secara mendalam di Indo­
nesia dengan media bahasa Melayu Indonesia selain majalah Pantau.
Terlebih lagi, kebanyakan wartawan sekarang tidak punya dasar sastra

atau seni. Mereka kebanyakan melaporkan kejadian hanya sebagai data
atau snapshot saja. Karena itulah pemakaian gaya sastra dalam laporan
jurnalistik secara mendalam adalah ha! yang sangat enomenal sekaligus
fundamental terhadap perkembangan jumalistik Indonesia. Pemakaian
gaya ini membuat tulisan menjadi tidak kering, sekaligus memiliki
struktur dan sistem estetik yang membangun imajinasi pembaca dengan
satu bahan dasar: akta.
Tulisan ini akan melihat secara sangat singkat menelaah bagaimana
elemen sastra-dalam ha! ini prosa-bergerak di dalam ranah akta pada
tiga dari delapan tulisan dalam antologi ini: "Kegilaan di Simpang Krat"
karya Chik Rini, "Hikayat Kebo" karya Linda Christanty, dan "Kejarlah
Daku, Kau Kusekolahkan" karyaAlian Hamzah. Selain mereka bertiga,
artikel dalam buku ini adalah "Tauik binAbdul Halim" olehAgus Sopian,
"Ngak Ngik Ngok" oleh Budi Setiyono (Semarang), "Koran, Bisnis dan
Perang" oleh Eriyanto, "Konlik Nan Tak Kunjung Padam" oleh Coen
Husain Pontoh dan "Dari Thames ke Ciliwung" karyaAndreas Harsono.
Tiga artikel tadi saya pilih atas dasar subjektivitas saya bahwa ketiganya
memiliki gaya bahasa sastrawi dan nuansa yang sangat khas.

Antara Fakta dan Fiksi

Sebelum kita membahas artikel-artikel di dalam antologi Jumalisme
Sastrawi, ada baiknya kita menentukan dulu batas-batas perspektifbahasa
dari genre ini. Pada pengantar buku ini, Andreas Harsono selaku editor
telah menekankan perbedaan artikel Jurnalisme Sastrawi dengan prosa
sastra. Sastrawi adalah terjemahan dari Literary [xxiii] yang merupakan

398

SUSASTRA

kata siat. Menurut Andreas, ada banyak kesalahan pengertian tentang
genre ini karena menyamakannya dengan kata sastra. Elemen prosa sastra
yang paling undamental, yaitu iksi, sangatlah diharamkan di dalam
metodejumalisme sastrawi. Tidak boleh ada satupun kalimat yang tidak
memiliki bukti isik yang otentik: dari mulai wawancara, oto, sampai
sampah sisa konsumsi. Semuanya harus bisa dibuktikan secara akurat,
dan dicek ulang dengan pasti.
Jika diperhatikan, metode ini mirip dengan pendekatan New Histori­
cism dalam ilmu sastra dan sejarah yang melihat suatu teks dari perspektif
tertentu dengan kajian konteks yang mendaln. Bedanya, kritik/kajian

dengan metodeNew Historicism adalah bentuk tulisan sejarah, dan bukan
reportase. New Historicism bergerak di konteks teks pada zamannya 1
sedang jumalisme sastrawi selalu menghubungkan lulisannya dengan
konteks kekinian.
Ditambah lagi,jumalisme sastrawi memakai bahasa dengan gaya sas­
tra yang berbeda dari kajian akademis atau laporan jumalistik tradisional.
Menurut Julia Kristeva2 yang membedakan antara bahasa komunikasi
biasa dengan bahasa sastra adalah penggunaan bahasa puitik dalam
sastra. Kristeva mengutip Jakobson dalam menjelaskan bahwa bahasa
komunikasi biasa-bisa saja kita samakan ini dengan bahasajumalistik
tradisional-berkutat dalam ranah denotatif dan kognitif, sedangkan
bahasa sastra berkutat dalam ranah konotatif dan emotif. Petanyaan
utamanya adalah bagaimana cara meramu akta dengan bungkus konotatif
dan emotif, namun tetap menyatakannya sebagai fakta, bukan fakta yang
bercampur dengan imajinasi penulisnya?
Berangkat dari pertanyaan inilah, kita akan mulai melihat bagaimana
parajumalis investigasi membungkus reportase mendalamnya.

Nuansa Ge/ap dan Dramalisasi dalam C/ik Rini: "Sebuah Kegilaan
di Sim pang Kraft"

Membaca laporan Chik Rini mengingatkan kita pada Truman Capote
dengan buku 'non-iksi' nya, In Cold Blood, yang menceritakan tentang
2

Melani Budianta, "Budaya, Se1arah, dn Psar: New Historicism dalm Perkembangan
Kritik Sastra." Susstra 3, him 8. 206. Yaysan Obor Indonesia. Jakarta.
Julia Kristeva, language he Unknown an fntltallons mto Linguistic. Trans. Anne
M. Menke. Pp 287-288. 1989 Columbia Un1vers1ry Press. USA.

NOSA NORMANDA

399

sisi kemanusiaan duo pembunuh sadis Rick dan Pery dalam melakukan
pembunuhan terhadap keluarga petani kaya di Amerika. Cara Rini ber­
cerita dan membangun latar sudah sejak awat membuat suasana menjadi
gelap dan mencekam. Simak kutipan berikut:
Angin malam sekilas membawa bau amis dari hampaan empang di se­
berang tenninal. Di kejauhan, di as hutan bakau, langit tampak memeah
oleh semburan api raksasa dari beberapa tower di ladang penyulingan

gas alam cair milik PT Arun LNG. [I)
Pcnggalan di atas memberikan kita gambaran yang lebih jelas dan
imajinatif daripada sekedar 'Di ladang penyulingan gas alam cair milik
PT Arun LNG'. Personiikasi yang diberikan pada 'angin malam' dan
'langit' bukan hanya menjelaskan waktu tctapi juga membuat suatu
suasana; suatu nuansa dibangun di benak pembacanya.
Pada kelanjutannya, artikel tersebut menceritakan tentang pengala­
man para wartawan dari media-media yang berbeda di antara kekacauan
yang terjadi di Aceh. Rini merangkum wawancara dan fakta tapangan
menjadi tulisan semacam,
Tral. ..lrat... trat... berondongan senjata tcrus terdengar. Umar memotret
tan pa banyak berpikir apakah dia mcndapat angle yang bagus atau tidak.
Umar sangat terkejut ketika kameranya secara tidak sengaja membidik
seorang anak kecil yang tejatuh di seberang jalan. Kamera Umar men­
gabadikan tepat saat peluru menghantam kepala anak itu dan isi otaknya
berhamburan. Umar terkejut luar bisa, hingga kameranya jatuh dari
pegangannya. [25)
"trat. ..trat...trat. .." dan " ...hingga kameranyajatuh dari pegangannya."
adalah unsur dramatisasi. Jika laporan ini berdasarkan fakta dan bukti
isik, kemungkinan besar dasanya adalah foto karya Umar HN dan

pengakuan Umar sendiri. Yang pertu diperhatikan adalah bagaimana
Rini meramu itu semua menjadi sebuah adegan dramatis.

400

SUSASTRA

lashback dan Analisa Sosial Linda Kristany: Hikayat Kebo
Linda Kristanty kini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Kum­
pulan cerpennya, Kuda Terbang Maria Pinto mendapatkan banyak pen­
gakuan di sana-sini sebagai karya iksi yang baik. Artikel Hikyat Kebo
yang ditulisnya bukan hanya menggunakan elemen sastra sebagai pem­
bangun nuansa dan emosi, namun tanpa tanggung-tanggung, Linda juga
menggunakan tekniklshback prosa untuk membungkus karyanya.
Artikel dimulai dengan pembakaran si Kebo, pemulun/preman yang
tingal di belakang Mal Taman Anggrek. Pengusutan berlangsung sampai
ke rumah ketua RW daerah perumahan berjarak kurang lebih 300 meter
dari TKP. Ketua RW, bapak Karimun, adalah seorang anggota DPR dari
PDlP sejak tahun 1999. Dari sini Linda bisa mengutip bapak Karimun,
sekaligus menghubungkan kejadian yang menimpa pemulung Kebo

dengan politik nasional lndonesia. Setelah itu barulah ceritalashback
kepada Kebo semasa hidup, pernikahannya, perselingkuhannya, kebi­
asaan mabuknya, sampai Kebo membakar perkampungannya sendiri
secara tak sengaja.
Yang sangat menarik di dalam tulisan Linda bukan pada kalimat-kali­
matnya, namun pada bagaimana ia meramu data-data yang ia kumpulkan
secara berbulan-bulan menjadi sebuah narasi yang serasa seperti prosa
iksi. Narasi-narasi Linda cukup panjang dan terdiri dari segmen-segmen
yang membentuk satu cerita yang utuh, tidak terpisahkan. Misalnya,
adegan ketika Kebo membakar biliknya diawali dengan dia membawa
dua pelacur, menyuruh mereka melakukan adegan lesbian, mereka tidak
mau dan melawan, seorang waga datang, Kebo marah dan membakar
rumahnya sendiri. Linda meramu ini semua dalam satu halaman [83]
dan membuat adegan ini menjadi cerita tersendiri. Hal ini membuat saya
sendiri sulit untuk mengutip kalimat pendek, karena struktur prosa ketat
yang dipakai Linda tidak memungkinkan hat itu.

Komedi Aian Hamza,: Kejarlah Daku, Kau Kusekolahkan
Alian memakai gaya bahasa yang benar-benar 'komedi'. Jnilah yang
membuat artikelnya begitu istimewa. Ia tinggal bersama para tentara

Indonesia di Aceh selama dua bu Ian, menemukan berbagai macam peris-

NOSA NORMANDA

401

tiwa sad!s, tetapi ke �ika menulis, ia membingkai peristiwa itu dengan
perspektifyang komikal. Perspektifkomikal ini biasanya berhubungan
dengan bahasa 'kode' yang dipakai tentara Indonesia atau dengan cara
menyusun suatu akta dengan cara yang ironis.
P makaian bahasa kode tentara dari sudut komedi sudah terlihat
. �
dan Judul �rtikel ini
yang aneh dan nampak tidak ada hubungannya
_
_
de �gan m1hter. Kita akan benar-benar terkejut, ketika tahu di dalam
artikel bahwa arti "disekolahkan" dalam bahasa kode militer di Aceh
adalah "Bunuh".
Elemen kejutan inilah yang seringkali dijadikan teknik komedi oleh

Alfi an dala1 � beberapa bagian di artikelnya, Waiau pun bahasa kode
.
tentar _sendm terk�san lucu, saya rasa jika ditempatkan dalam konteks

seperti itu, seorangJumalis akan serta merta terbawa suasana mencekam
dan tegang. Namun tidak buat Alian:

Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan sedikit
taruhannya
nyawa ...Sebuah satuan lintas udara dari Makasar, misalnya,
.
kehllan�an I I orang anggota hanya dalam tempo sepuluh bulan. Enam
orang d1 antaranya tewas setelah koncak seniata
, dengan GAM . . . s·1sanya
karena cak·tor non-pertempuran: seorang tewas dalam kecelakan bermotor, dua orang tenggelam di taut, seorang salah tembak oleh pasukan
_
lnionesi �, dan s�rang lagi ditembak komandan sendiri di sebuah hotel
karena d1anggap msubordinasi. [144)
Lucu itu relatif bagi setiap orang. Namun Alian bisa meleta
kkan
serentetan fakta dalam kronologi tertentu yang menghasilkan
ironi dan
kesan tertentu. 5 orang tentara Indonesia yang meninggal karena
faktor
non-�ertempuran bisa bermakna kepahlawanan jika pemilih
an susunan
naraSi dan d tanya dipilih denganrame itu. Namun Alian
lebih suka

membuat tultsannya bemada satir, bahwa lima orang tadi mati
konyol
Perhatik n bagaimana caranya untuk membuat narasi para korban
, dari

yang �aling terhormat, sampai yang mati di hotel oleh koman
dannya
_
sendtrt.
Di _ sini ur�tan _menjadi faktor penting untuk membuat kelucu
an.
Perhatikan lag1 kut1pan berikut:

402

SUSASTRA

Dan kalau malam minggu, orang pos biasanya main gitar ... Dangdut
biasanya. Instrumennya lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass,
suling, dan lain-lain. Tapi ... semuanya dengan mulut. [ 158)

Waiau begitu nampaknya sulit untuk tidak terbawa suasana dengan
adegan mencekam dari 'penyekolahan' yang terjadi di Aceh. Beberapa
paragrafyang menggambarkan kekejaman perang tak dapat terhindarkan
dan paragraf seperti itu memastikan pada pembaca bahwa sebenamya
kejadian di Aceh tidak \ucu sama sekali. Cara pandang ada\ah satu cara
untuk membuat kejadian itu menjadi biasa sehingga para tentara-dan
mungkin Alian sendiri-dapat bertahan dalam keadaan seperti itu.
Artikel tersebut paling tidak membuka sebuah perspektif lain tentang
psikologi militer dan kemanusiaan tentara Indonesia yang melaksanakan
tugas di Aceh.
Pembahasan tiga artikel di atas memberikan gambaran kasar ba­
gaimana penggunaan elemen prosa sastra di dalam laporan junalistik.
Imajinasi, kreatiitas, dan dedikasi jumalis berperan besar da\am mem­
buat hal itu. Imajinasi pasti bercampur dengan akta, namun dalam hal
yang tidak melanggar aturan pemakaian akta: bukti konkrit harus jelas.
Kreatiitas membuat penainan plot, urutan, dan kata-kata dalam ranah
fakta menjadi mungkin. Dedikasi membuat data akurat yang menjadi
basis setiap kata yang ditulis menjadi mungkin untuk ada.
Namun kita akan selalu tersudut pada suatu kenyataan bahwa pers
bebas di Indonesia baru memasuki masa IO tahun-pasca reormasi. Di
sinilah kita dibawa kepada kesadaran bahwa wartawan berkualitas den­
gan kemampuan imajinasi, kreatiitas dan dedikasi mejadi tenaga kerja
minor di negeri ini. Ditambah lagi visi kapitalis media di Indonesia juga
belum memungkinkan diterbitkannya lagi majalah semacam Pantau di
negeri ini. Tapi buku ini mestinya membuat kita menjadi lebih optimis;
temyata masih ada hibrida seniman-wartawan dan masih ada pula geliat
pers Indonesia untuk menuju ke sana.

S)

Mendengungkan Suara Yang Terbungkam
Herlin Putri

Universitas Indonesia

Judul Buku

: Rahasia Bulan (Kumpulan
Cerita Pendek)
: Is Mujiarso
Penyunting
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit
: 2006
Jum/ah Halaman: 232 ha/aman
Dimensi (p x I) : 135 x 200 mm

R

ahasia Bulan adalah antologi pertama kolaborasi cerpen bertema ke­
hidupan gy, lesbian, biseksual, dan transgender (GLBT) di Indonesia
atau Homosexual Literature. Buku ini merupakan produk kesengajaan
dari Is Mujiarso, editor yang juga ikut menyumbangkan satu cerpen ber­
judul "Taman Trembesi" yang menjadi cerpen pembuka. Sebagaimana
yang diutarakan Is dalam kata pengantamya, enam belas cerpen dalam
antologi ini terdiri dari berbagai varian yang akan membuat pembaca
serasa tengah menyantap "gado-gado" (9]: mulai dari yang pop sampai
yang "nyastra" banget dan ada pula yang tidak terlalu "nyastra" dan tidak
terlalu "ngepop". Kisah yang menggelitik, penuh romansa hingga yang
membutuhkan perenungan batin yang mendalam. Penulis-penulis yang
menyumbang pun beragam, baik yang sudah memiliki nama di khasanah
literatur kita, maupun mereka yang namanya msih terdengar " sing".
Dalam antologi ini, masing-masing karya memiliki wana yang khas
dalam menggambarkan sekelumit kehidupan GLBT beserta dimensi