makalah emosi dan budaya dan

Dosen Pembimbing: Ibu Ayu Purnamasari, S. Psi, MA

Dibuat Oleh:
(Kelompok 3B)
Addini Setia N
A’isyatirrodiyah
Annida Firyandini
Bellina Widya Budiarti
Firda Hanum Isman
Mutiah Anisah
Rachmadea Dwi Anggia
Ria Irawati
Syifa Qurrota’aini Al Ghifari
Sri Rahayu

Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
2016/2017

Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami

panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
Inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang emosi dan
budaya ini.
Kami juga ingin mengucapkan Terima Kasih kepada Ibu Ayu selaku dosen yang telah
membimbing kami baik dalam pembuatan maupun dalam penyusunan makalah. Makalah ini
kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga makalah ini dapat selesai dengan lancar.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan segala kritik dan saran dari para pembaca agar kami dapat lebih baik
lagi untuk pembuatan makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat,
menambah wawasan, dan menginspirasi semua pembaca.

Palembang, 1 November 2016
Penyusun

Pengantar Materi
Emosi dan Budaya (Ria Irawati)


Emosi dan budaya merupakan dua hali yang memiliki hubungan yang erat dimana
emosi itu sendiri adalah bagian yang tak terlepaskan dari budaya. Dalam keidupan sehari-hari
ada sebagian orang yang menganggap bahawa emosi merupakan pertanyaan mengenai
hubungan-hubungan sosial dan ligkungan fisik yang masing-masintg memilik peran yang
berbeda-beda. Jadi budaya disini dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial dan
lingkungan fisik dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.
Pengaplikasian hubungan-hubungan tersebut dapat kita temukan dalam pengontrolan
emosi kita dibidang pekerjaan,olahraga dan seni. Pengontrolan emosi dibidang pekerjaan
difokuskan pada saat kita memanajemen dan mengatur emosi baik sebagai karyawan maupun
pemimpin sebuah perusahaan atau institusi. Selanjutnya pengontrolan emosi yang harus
dipelajari adalah dibidang olahraga agar pada saat berolahraga seorang atlet mendapatkan
hasil yang baik dan memperoleh kemenangan. Dan yang terakhir adalah pengontrolan emosi
dibidang seni,dimana seni itu sendiri dibedakan menjadi seni dibidang literatur,musik dan
drama. Proses mengekspresikan emosi yang baik dibidang ini dapat memberikan manfaat
bagi kita khususnya mendalami suatu hasil karya seni.
Adapun tujuan mempelajari materi emosi dan budaya ini adalah untuk meningkatkan
kekayaan pemahaman emosi agar dalam kehidupan sehari-hari kita mempunyai kontrol emosi
yang baik. Karena pada dasarnya kontrol emosi ini sangat diperlukan oleh manusia sebagai
makhluk sosial.


1) Olahraga (Bellina Widya Budiarti)
Ketika olahrga sedang berlangsung, pasang surut olahraga memberikan emosi
kepada peserta dan penontonnya beberapa rasa seprti rasa takut, rasa malu, marah,

dan juga rasa bersalah terlibat dan menimbulkan rasa bangga, rasa sombong dan suka
cita. Teori Attributional emosi (Weiner’s 1986) mengatakan timgkat Weiner’s melihat
hasil menang atau kalah sebuah olahraga yang memberikan dampak berupa emosi
positif atau emosi negatif. Dengan kata lain, orang membuat asumsi tentang apa yang
terjadi berdasarkan bagiannya. Seperti orang yang menang lebih memiliki emosi
positif daripada orang yang kalah, orang yang kalah itu merasa lebih tidak
berkompeten daripada orang yang menang. Lalu, Boutcher’s (1993) menemukan
penelitiannya itu hubungan antara emosi dan aerobic, dimana latihan olahraga yang
teratur bisa menurunkan kecemasan, tetapi emosi yang berlebih memberikan keadaan
emosi yang negatif karena emosi juga dipengaruhi oleh kondisi tubuh.

Emosi dalam Olahraga (Syifa Qurrota’aini Al Ghifari)
Menurut Boucher (1983), ada tiga fase emosi dalam olahraga, yaitu :
1. Adopsi
Awal dari suatu yang dilakukan itu emosi senang yang menimbulkan semangat
itu sangat tinggi, tapi ada ketidaknyamanan di awal ketika melakukan sesuatu.

Misal : Sebelumnya Syifa tidak pernah ikut olahraga apapun, kemudian ia
tertarik

dan masuk ke club basket di kampusnya. Seusai hari pertama latihan,

tubuhnya terasa sakit dan pegal.
2. Pemeliharaan
Di sini emosi senang masih ada dan rasa nyaman mulai muncul (pegal dan
rasa sakit pada tubuh tidak terlalu dirasakan, walaupun tetap ada).
3. Habituasi
Di sini Syifa mulai terbiasa dan sangat menikmati latihan dan permainan
basket tersebut. Akan tetapi, mulai ada kejenuhan dalam melakukan latihan karena
emosi senang sudah sangat berkurang. Bosan dan malas mulai timbul karena
melakukan sesuatu secara berulang-ulang.

Catatan : Kejenuhan seseorang itu tergantung pada diri masing-masing, tapi secara
umum orang akan jenuh dengan sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang.
Emosi juga dapat mempengaruhi pikiran para atlet. Ada dua emosi, yaitu emosi positif
dan emosi negatif.
Emosi Positif


Emosi Negatif

Senang
Tenang

Malu
Cemas
Marah

Jika seorang atlet sedang dalam emosi yang positif, maka secara otomatis atlet
tersebut dapat mengikuti latihan bahkan kompetisi dengan baik. begitu juga sebaliknya, jika
seorang atlet sedang dalam emosi negatif, maka kegiatan atlet tersebut pasti akan terganggu
dan ada ketidaknyamanan.
Contoh :
Mutiah adalah seorang pemain basket yang handal dan hari ini akan mengikuti
tournament , akan tetapi sebelum berangkat ke tempat tournament ia sempat adu argument
dengan kedua orangtuanya di rumah dan menimbulkan emosi kesal. Efeknya adalah ketika ia
tidak bisa mengontrol emosi dengan baik, maka ketika di lapangan pastilah ia tidak fokus dan
pada akhirnya gerakan permainannya kacau.

Emosi dipengaruhi (Mutiah Anisah)
Pada kompetisi seperti kompetisi olahraga, harapan setiap peserta pastilah
kemenangan , tetapi apa bila pada saat kompetisi pikiran peserta dipenuhi pikiran negatif
seperti ia berfikir bahwa ia akan gagal karna lawannya lebih unggul darinya maka akan
muncul pula emosi negatif. Emosi negatif adalah perasaan individu yang dirasakan kurang
menyenangkan (ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kebencian, kemarahan) yang
berlebihan yang dapat membuat individu bertindak dengan sangat tidak rasional atau diluar
kontrol. Jika ia berfikir positif seperti berfikir kalau dia akan menang dan akan berhasil maka
akan muncul pula emosi positif .Emosi positif Emosi positif adalah emosi yang mampu
menghadirkan perasaan positif terhadap seseorang yang mengalaminya.seperti bahagia ,
tenang dan optimis. Ibaratkan seperti olahraga basket , pada saat kita dalam kondisi tenang
maka akan sangat mudah bagi kita memasukkan bola basket kedalam ring tetapi apabila kita
dalam kondisi cemas maka akan sangat sulit bagi kita untuk berhasil memasukkan bola
kedalam ring. Kesimpulannya, Emosi kita dipengaruhi pikiran kita , apabila kita berfikir
positif maka emosi positif yang keluar dan sebaliknya jika fikiran kita negatif maka emosi
negatif pula yang akan keluar.
2) Seni (Sri Rahayu)

Seni ini masuk dalam emosi. Dengan kata lain, emosi dan saling berhubungan
secara bersamaan, jelas dan belum sulit untuk di terka. Sebagai contoh, reaksi

emosional fiksi workof atau untuk pertunjukkan tari tidak hanya untuk workitself
tetapi juga untuk karakter atau pemain. Menurut Kreitler dan Kreitler, emosi adalah
elemen penting dalam masa kemerdekaan seni. Karena seni pada dasarnya fiksi,
mereka berpendapat bahwa keterlibatan emosional adalah di hasilkan melalui empati,
yang mereka cirikan sebagai ‘merasa ke’. Pengalaman seni kompleks secara
emosional. Baik itu ditingkatkan atau terhambat oleh peran sosial individu apapun,
mungkin akan bermain dengan set tertentu yang diadakan.Demikian sumber-sumber
pengaruh perubahan budaya dan dengan waktu. Ini adalah reaksi esensial orang yang
memiliki pengalaman emosi.Kadang-kadang seni dapat mengekspresikan emosi yang
negatif dan emosi yang positif.
Seni disini terbagi menjadi 3 yaitu; musik, drama, dan literatur (kesastraan). Musik,
drama, dan literatur ini salingberketerlibatan dengan emosi.
A. Musik (Addini Setia N)
Musik memilik efek terhadap emosi atau lebih tepatnya memiliki dampak
emosional. Bagi yang mendengarkan musik pun tidak dapat disangkal lagi bahwa
musik dapat menyentuh bagian dari pengalaman pribadi yang pernah dirasakan oleh
seseorang tersebut. Banyak efek musik yang berdampak terhadap emosi seperti
cepatnya

irama,misalnya


bertambahnya

tingginya

melodi

mengarah

pada

kebahagiaan,menurunnya melodi yang berlarut-larut mengarah pada kesedihan
(Oswald, 1966).
Ada dua tokoh bernama Gaver and Mandler (1987) yang membuat analisis
yang membangun dari reaksi emosional terhadap musik yang didasarkan pada
penilaian kognitif dan sebagian besar datang dari ketidaksesuaian dalam persepsi dan
perilaku.
Reaksi emosional terhadap musik terjadi ketika tidak sesuai dari harapan.
Selain itu, mereka menyarankan bahwa “ kita mengenal apa yang sudah biasa kita
kenal dan kita suka dengan apa yang kita kenal”.

Namun Gaver and Mandler membantah cara ini untuk melihat bagaimana
pengaruh emosional terhadap musik, tapi mereka menyarankan juga bahwa ada tiga
kemungkinan yang lain yaitu:
a. Musik mungkin mempunyai nilai yang struktural,menyiratkan bahwa arti
musik mungkin mengikuti struktur dari pikiran kita.

b. Musik bisa dilihat sebagai bahasa untuk mengekspresikan emosi.
c. Mungkin ada kesamaan antara acara musik dan acara lainnya di dunia.
Maksudnya, contoh adanya kesamaan waktu,dimana musik dijadikan kiasan
atau mungkin musik mengarah pada komunikasi emosi secara langsung.
Ada juga seorang tokoh bernama Levinson (1997) yang menempatkan secara
sederhana bahwa reaksi emosional terhadap musik datang melalui sensasi langsung
misalnya tempo,warna nada,irama,dinamika,dan lain-lain) dan juga melalui kognisi
( saran dari Gaver and Mandler).
Dia menyamakan musik sebagai gambaran dari seni dan juga bisa didengar
sebagai macam-macam ekspresi terhadap emosi dari orang-orang pada umumnya
daripada perseorangan. Dia menempatkan tiga kemungkinan ini dan inilah
keseluruhan dari respon emosi terhadap musik, emosi pun mungkin dapat berupa
langsung jika musik hanya mengarah pada suasana hati atau keadaan jiwa atau hanya
bagian perasaan dari emosi atau juga barangkali hanya khayalan dari emosi.

B. Drama (Rachmadea Dwi Anggia)
Sama seperti musik, keterlibatan emosi dalam drama sangat jelas bagi
siapapun yang pernah menghadiri atau menonton sebuah drama. Reaksi emosional
bukan hanya terlihat dari para aktor/pemainnya saja, reaksi emosional juga berasal
dari para penontonnya. Walaupun drama berkaitan dengan manipulasi emosi atau
pengaturan emosi, tetapi hal ini seringkali terabaikan oleh psikolog. Namun, ini
ditangani oleh para penulis skenario dalam drama.
Stanislawski pada tahun 1929 membahas tentang emotion of truth. Dia
beranggapan aktor itu sebagai living, complex, emotion yang kemungkinan pada
kesempatannya tidak menampilkan aksi yang sempurna secara fisik atau dalam
memberi informasi yang tepat. Ini mengarah pada hal yang disebut dengan
awkwardness

(kecanggungan),

satu-satunya

cara

bagi


aktor/pemain

dalam

mengembangkan perasaan yang kuat dari kebenaran yang ia lakukan.
Meyerhold (Braun, 1969) memberikan cara dimana aktor/pemain bisa
membangun bagian fisik dan memanipulasi emosinya dan dari sini para penonton:

Dari deretan posisi fisik dan situasi, timbullah points of excitation (titik rangsangan)
yang ditunjukkan dengan beberapa emosi tertentu.
Teori analisis psikologi yang dibuat oleh Konin (1995) berkaitan dengan
regulasi emosi. Ia memulai dengan menjelaskan 3 pandangan utama tentang haruskah
aktor/pemain mengalami emosi yang digambarkan dengan:
a. Involvement (Keterlibatan)

 Emosi harus berdasarkan pengalaman

b. Detachment (tak berpengaruh)

 Emosi tidak harus berdasarkan pengalaman

c. Self-Expression (Ekspresi diri)

Aktor harus menunjukkan batin di panggung

Masing-masing pandangan ini merujuk pada double consciousness yang pada
akhirnya ada 4 tugas utama yang terlibat dalam akting yaitu, (1) Menciptakan emosi
bathin, (2) menggambarkan emosi yang meyakinkan, (3) mengulang sesuatu yang
telah ditetapkan, dan (4) Menciptakan ilusi spontanitas. Dengan demikian, pada satu
waktu, aktor harus menghadapi 4 tingkat emosi yaitu:
1. Seseorang dengan emosi pribadi
2. Keahlian seorang aktor dengan emosinya
3. Bentuk batin dengan emosi yang dimaksud
4. Penampilan karakter yang dilakukan dengan karakter emosi

Titik akhir untuk analisis Konin tentang keterlibatan emosi dalam akting
merupakan sebuah tantangan. Dari pandangan ini, penampilan dari akting sendiri
adalah sumber energi emosi yang kuat, emosi yang dilakukan dengan pekerjaan akting
lebih baik daripada karakterisasi.
Pengalaman emosi pada seni tergantung pada rangsangan seni itu sendiri dan
tanggapan dari pengamat atau penonton. Semakin responsif penonton dan semakin
intens pengalaman yang dimiliki, maka akan semakin besar keterlibatan emosinya.
Kekuatan respons tergantung pada kognitif, begitu juga dengan empati. Salah satu
teori tentang bagaimana empati terjadi ialah teori yang melibatkan ‘representasi’ yaitu
dalam mencoba memahami sesuatu, penonton mungkin mengulas kenangan yang
relevan dengan pengalaman emosional sebelumnya yang pernah dialami. Itulah

sebabnya mengapa ada orang yang bisa dengan mudah menangis ketika menonton
sebuah drama. Ada pula orang yang memiliki emosi yang berbeda saat menonton
drama yang sama, disinilah keterlibatan emosi sangat berpegaruh karena
kemungkinan kedua orang tersebut memiliki pengalaman emosi yang berbeda.
C. Literatur/Sastra (Firda Hanum Isman)
Secara kategori, sastra memang berbeda dengan psikologi, sebab sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni
(art), sedangkan psikologi merujuk pada sebuah studi ilmiah tentang perilaku manusia
dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau persamaan,
yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara
tentang manusia, psikologi terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku.
Perilaku manusia tidak lepas dari kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai
perilakunya. Perilaku yang terbentuk dari emosi-emosi manusia inilah yang akhirnya
sangat berkaitan demgan sastra di kehidupan sehari-hari.
Novel, puisi dan prosa lah yang biasanya paling banyak berkaitan dengan
emosi yang lebih sering tersirat didalamnya. Fiksi sendiri bertujuan untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis emosi seseorang, serta dapat
berfungsi untuk memanipulasi emosi pembaca. Biasanya di dalam fiksi, emosi dipacu
oleh peristiwa yang mengejutkan. Perlu diketahui bahwa emosi itu merupakan warna
afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud dengan
warna afektif disini adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat
menghadapi (menghayati) situasi tertentu. Sepertigembira, bahagia, putus asa,
terkejut, benci, dan sebagainya. Karena itulah penulis sangat berhati-hati ketika
menulis sebuah karya sastra termasuk novel. Novel disinilah yang paling banyak
berperan penting dalam membentuk emosi pembaca, perkembangan emosi dan
perkembangan moral diantaranya. Kematangan konsep dalam berpikir semakin terasa
ketika kita dihadapkan dengan suatu gambaran kehidupan sang tokoh yang boleh
dikata bisa sangat berbeda dari realita, namun juga tak memungkinkan benar adanya.
Dari sebuah cerita sederhana hingga yang paling berliku pun dapat mengembangkan
emosi, pemikiran, dan juga moral sang pembaca. Karena dari sebuah tulisan yang
belum pernah kita alami, kita dapat ikut terhanyut merasakan bagaimana jika kita
yang berada pada posisi tokoh cerita, bagaimana caranya menghadapi masalah yang
bisa sama nantinya, bagaimana suatu tatanan kehidupan ini seharusnya, hingga ke hal
paling mendasar yaitu bagaimana cara untuk tetap hidup di dunia yang fana ini.

Diketahui pula bahwa dari suatu bacaan seperti novel dapat masuk dan malah
sangat berdamoak pada kepribadian si pembaca, apalagi ketika pembacanya ialah
remaja, yang notabenenya masih mencari jati diri mereka. Perkembangan dan
pencitraan isi maupun performa novel, dinilai sangat sesuai dengan tingkat
kedewasaan, pola pikir, hobi dan aspek kepribadian remaja pada umumnya. Remaja
yang menginginkan suatu kebutuhan akan struktur otak akan membuat novel ini
digandrungi oleh mereka. Perbuatan atau tutur kata yang disajikan dalam cerita akan
meninggalkan suatu unsur bimbingan dan konseling terhadap kehidupan remaja, entah
itu memberikan pelajaran hidup, mengembangkan pola pikir dan pengembangan
kepribadian, mengembangkan pengetahuan agama dan moral yang seharusnya,
memperdalam unsur edukatif dari pesan di dalamnya, hingga menimbulkan semangat
belajar dalam dirinya. Berbagai peran tersebut membuktikan bahwa sastra sangat
dapat mengubah persepsi orang akan dunia, karena lewat membaca lah kita lebih
banyak tau dan mendapat ilmu baru, entah itu ilmu kehidupan atau ilmu dalam makna
sebenarnya.
Sesuai dengan pendapat Neill (1993) bahwa “ Respon emosional kita
terbentuk dari keyakinan kita sendiri,” karena dalam proses kita membaca sesuatu
terlepas dari itu adalah sebuah fiksi belaka, kita akan terhanyut dan percaya bahwa itu
adalah nyata. Walaupun setelah kita menyudahinya kita sadar bahwa itu hanyalah fiksi
semata. Sejalan dengan pendapat Levinson (1997) bahwa “ Kita memiliki emosi
untuk karakter fiksi, kita biasa percaya pada kebradaan objek yang memiliki emosi,
namun kita tak percaya akan objek fiksi itu sendiri.” Kita memang tahu betul bahwa
kemungkinan suatu karya fiksi adalah nyata hanya sepersikian persen dari seratus
persen yang ada. Namun walaupun begitu, ketika kita berada dalam proses membaca
memang begitulah adanya, bahwa kita akan lupa akan dunia dan masuk ke dunia fiksi
itu untuk sementara. Bereaksi akan setiap hal kecil yang ada di dalamnya, menanggapi
emosi yang dirasakan tokoh dengan emosi nyata di dalam diri kita sebagai pembaca,
marah, sedih, kasihan dan emosi-emosi tak terkatakan lainnya dapat terjadi begitu saja
dalam diri yang sedang terbuai ini. Begitulah adanya dan bahkan bukan hal yang
mustahil itu dapat terjadi. Setelahnya, kita akan kembali ke dunia nyata dan
mendapatkan banyak suatu pemikiran baru dari bacaan yang telah kita baca pastinya,
bahkan kita cenderung untuk memahami kembali dan mencocokkannya, jika itu
terjadi dengan kita apa yang akan kita perbuat, membandingkan dengan diri sendiri
seolah mengintrospeksi, hal yang baik untuk berkembang dalam banyak hal bukan.

3) Pekerjaan (Annida Firyandini)
Emosi dan tempat kerja adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tetapi,
emosi negatif yang terlalu mendominasi dalam pekerjaan bukanlah hal yang
profesional, hal ini dapat diimbangi dengan penerapan emosi positif dalam pekerjaan.
Ketika berbicara mengenai pekerjaan pada umumnya, maka timbul bahasan mengenai
kepemimpinan dan managemen emosi di tempat kerja.
Kepemimpinan memiliki kata dasar pemimpin, yakni seseorang yang
mengetuai beberapa pengikut dan mengarahkan untuk mencapai suatu goal/tujuan.
Ada beberapa tipe pemimpin terkait emosi. Pertama, pemimpin transaksional.
Pemimpin dengan tipe seperti ini cenderung berkuasa tanpa ada pendekatan
emosional dengan para pengikutnya. Dengan jabatan yang tinggi, ia hanya berperan
sebagai pemimpin yang memberi feedback berupa gaji semata. Sehingga dapat
disimpulkan pemimpin jenis ini kurang meraih simpati para pengikutnya dan
berdampak pada kedekatan emosional dalam pekerjaan yang kurang. Tipe pemimpin
yang kedua adalah pemimpin transformasional. Pemimpin dengan tipe seperti ini
memiliki

visi

untuk

bertransformasi

bersama

para

pengikutnya

dengan

mengedepankan kecerdasan mengolah emosi yang baik. Ia cenderung dekat secara
personal dengan banyak orang, kharismatik, sensitif terhadap kebutuhan individu
lainnya, dan dapat memotivasi pengikutnya dengan baik. Sehingga para pengikut akan
lebih menerima pemimpin dengan tipe seperti ini, tak hanya gaji yang diimbalkan,
tetapi kebutuhan akan emosi juga terpenuhi. Dengan situasi seperti itu, kinerha para
pengikut cenderung akan lebih efektif, produktif, dan kreativitas dalam bekerja
semakin berkembang.
Selanjutnya ada satu kendala terkait emosi dalam bekerja. Poulson (2000)
menunjukkan, “rasa malu adalah hal yang diabaikan dan disalahpahami namun kuat
motivasinya”. Malu merupakan emosi perusak yang menghalangi kinerja seorang
pekerja. Meskipun terlihat tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan, tetapi malu
ini besar pengaruhnya. Poulson membuat analisis tentang keadaan yang dapat memicu
rasa malu di tempat kerja. Ada beberapa yang berkaitan dengan praktek manajerial.
Ketika seorang pekerja melakukan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang
seharusnya diminta, maka katakanlah ia gagal. Kegagalan ini memunculkan teguran
yang dapat menyinggung personalnya dan malu pun dapat timbul akibat hal ini. Hal
ini juga berlaku dalam praktek manajerial dalam hal kenaikan jabatan atau sebuah
peningkatan prestasi di tempat kerja. Seorang pekerja yang dinilai kurang baik

prestasinya cenderung lebih merasa malu. Adapula malu di tempat kerja terkait
diskriminasi, baik dalam domain SARA maupun sosial. Dengan menjadi ‘beda’ sudah
cukup untuk menimbulkan rasa malu. Kelompok minoritas sering dipandang berbeda,
baik perbedaan dalam ras, suku, agama, strata sosial, kondisi fisik, dan sebagainya.
Hal ini sudah menjadi bawaan yang menimbulkan rasa malu di ranah pekerjaan. Malu
yang disikapi dengan emosi yang baik dapat membawa seorang pekerja ke arah
peningkatan motivasi kerja, lain halnya apabila dikendalikan dengan emosi yang tidak
tepat.
Emosi di tempat Kerja (A’isyatirrodiyah)
Beberapa tahun terakhir, emosi dan tempat kerja dipandang
sebagai hal yang berlawanan. Terutama tempat kerja yang bergerak
dalam bidang komersil yang mendorong pekerjanya untuk bekerja dengan
“rasional” bukan “emosi”, pekerja yang bekerja dengan emosi dianggap
tidak professiona begitupun sebaliknya jika pekerja bekerja dengan
rasional maka dianggap professional, itulah mengapa terjadi perbedaan
yang sangat signifikan antara pekerja laki-laki dan pekerja wanita di
dalam tempat kerja, dimana laki-laki dominan memiliki kekuasaan yang
tinggi

dibandingkan

wanita,

karena

wanita

dianggap

tidak

dapat

mengontrol emosinya sebaik laki-laki

Selama

lebih dari satu dekade terakhir, seorang tokoh bernama

Hocschild bekerja sangat baik dalam suatu manipulasi emosi di tempat
kerja (Hocshchild, 1983) ia telah menyadari bahwa emosi relevan dengan
tempat kerja. Pendapat ini juga didukung oleh Scheiberg (1990),
Scheiberg mengatakan “ tampaknya ada hubungan antara emosi positif
dengan tempat kerja, kepuasan kerja, dan peningkatan kinerja pekerja”
dan “mengekspresikan emosi di tempat kerja merupakan suatu proses
penting bagi pekerja”.
Jadi dari pendapat para tokoh, emosi sangat berhubungan dengan
tempat kerja, terlebih lagi emosi positif yang dapat

membangun

semangat para pekerja dan mengembangkan tempat kerja itu menjadi

suatu tempat yang nyaman bagi para pekerjanya, apabila pekerja merasa
nyaman dalam bekerja maka kinerja pun bisa meningkat dan kualitas
tempat kerja semakin baik.

Pertanyaan-pertanyaan:
1. Mengapa ketika mendengarkan musik, kita seperti larut ke
dalamnya? (Destya Dwi L)
Jawaban (Annida Firyandini):
Pada dasarnya musik adalah cerita, sebuah kisah yang dapat kita
ketahui slurnys dari lirik yang tertuai dalam nyanyian. Ketika kita
mendengarkan musik maka akan cenderung menghayati karena
memori berfungsi memanggil kembali ingatan-ingatan yang relevan
dengan isi cerita dari musik itu sendiri, atau jika tak ada
pengalaman yang relevan sama sekali, maka intuisi kita bermain
dan ikut membayangkan seolah-olah kita menjadi tokoh utama
dalam lagu tersebut. Itulah mengapa seseorang terkesan ikut
hanyut ketika mendengarkan musik, tentunya hal ini dapat berlaku
pada semua genre musik.
2. Mengapa aktor dapat memerankan emosi berbeda pada waktu yang
bersamaan dan apakah aktor yang terlalu sering berperan sebagai
antagonis juga akan ikut terbawa dan mempengaruhi karakter
aslinya? (Rachmawati Herlinda P)
Jawaban (Rachmadea Dwi Anggia):
Aktor/pemain sebuah drama seringkali

bisa

mengendalikan

emosinya sendiri ketika memainkan sebuah drama meskipun ia di
kehidupan nyata sedang memiliki emosi yang sangat berlawanan.
Misalnya, ketika seorang aktor di kehidupan nyata sedang
merasa sangat sedih dan ketika drama diharuskan berperan sebagai
orang yang bahagia, maka aktor tersebut akan berusaha bersikap
profesional pada pekerjaannya Kemungkinan juga, seorang aktor
pasti telah memiliki banyak pengalaman dalam memerankan emosi
yang berbeda-berbeda sehingga ia bisa semaksimal mungkin
mengendalikan emosinya. Selain itu, sebagai seorang pekerja,

seorang aktor pasti memiliki motivasi yang kuat dalam dirinya untuk
tetap bertanggung jawab terhadap pekerjaannnya agar tetap bisa
bertahan pada pekerjaannya tersebut.
Lalu, pertanyaan tentang apakah pemeran yang selalu memainkan
peran antagonis akan mempengaruhi karakter aslinya atau tidak,
menurut kami hal ini tergantung dari pribadi aktor masing-masing
mengenai

bagaimana

mengatur

emosi

dengan

baik,

tetapi

kemungkinan terpegaruh itu ada apalagi bagi aktor yang benarbenar mendalami perannya dengan serius. Dapat pula diambil
contoh bahwa sudah banyak sekali kita ketahui bahwa para pemain
drama yang ketika memainkan peran yang saling jatuh cinta pada
akhirnya juga akan saling jatuh cinta di kehidupan aslinya atau yang
sering disebut cinta lokasi. Hal ini juga termasuk reaksi emosional
yang dialami para pemain dalam drama.
3. Mengapa latihan olahraga yang berlebihan bisa menimbulkan emosi
negatif, dan emosi negatif seperti apa yang ditimbulkan? (Melati)
Jawaban (Bellina Widya Budiarti):
Walaupun kita sudah menyadari tentang pentingnya melakukan
aktivitas olahraga, akan tetapi kita juga perlu tau bahwa melakukan
olahraga secara berlebihan bukanlah hal yang baik. Justru olahraga
yang berlebihan akan membahayakan kesehatan tubuh dan juga
mental. Orang yang berlebihan dalam olahraga akan mengalami
kelelahan berlebihan ketika melakukan aktivitas. Tubuh bukannya
bertambah bugar, justru tampak jiwa yang tidak semangat dan
terlihat tidak bertenaga. Orang yang kecanduan olahraga secara
psikologis akan mengalami rasa bersalah jika tidak berolahraga dan
juga akan mengalami kecemasan.Tubuh pun akan terasa pegalpegal dan malas untuk beraktivitas dan diajak bicara.

Kesimpulan (Ria Irawati):
1. Emosi dan budaya adalah dua hal yang saling berkaitan dan berpengaruh satu sama
lain.
2. Pengontrolan emosi dalam bidang kehidupan dapat dibedakan menjadi 3 bidang yaitu,
emosi di tempat kerja, olahraga dan seni.
3. Ada hubungan yang erat antara kontrol emosi di tepat kerj dengan transformasi
kepemimpinan seseorang(karismatik).
4. Emosi adalah bagian yang sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan diterima oleh
seorang atlet.
5. Emosi berperan penting dalam bidang seni khususnya dalam seni musik,drama dan
literatur.
6. Setiap bidang dalam kehidupan kita harus memiliki kontrol emosi yang baik agar apa
yang kita inginkan dapat tercapai.
7. Ekspresi emosi yang kita tampakkan jangan sampai berlebihan karena sesuatu yang
berlebihan itu tidak baik begitu juga dengan pekerjaan yang kita kerjakan.

Peta Konsep

Emosi dan Budaya

Pekerjaan

Olahraga

Seni

Emosi dipengaruhi

Pengaturan Emosi
Musik

Dram

Sastra

ADOPSI
Reaksi Emosi
Penonton

Reaksi Emosi
Aktor

PEMELIHARAA
N

HABITUASI