Kekuasaan dan Moral dan kekuasaan

Makalah Pembanding

“KEKUASAAN DAN MORAL”
Dibina Oleh:
Bapak Suwarno Winarno, selaku dosen Mata Kuliah Filsafat Moral

OFF B
Disusun oleh:
1. Rahman Mukhti

(120711434963)

2. Iklima Amal Bhakti

(120711434965)

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
SEPTEMBER 2014


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Sejarah panjang kehidupan bernegara tak pernah lepas
dari aspek kekuasaan. Kekuasaan menjadi sebuah simbol
berdaulat dalam manifestasi perbuatan negara. Maka, tidak
mengherankan jika kekuasan menjadi sebuah perdebatan
panjang.
Dalam perjalanananya, kekuasaan berlaku tidak sesuai
dengan

kekuasaan

semestinya.

Hal

itu


seiring

dengan

munculnya kritik terhadap model-model kekuasaan yang lahir.
Secara

simultan,

melahirkan

bagaimanakah

konsepsi

kekuasaan itu mesti diimplementasikan dalam membangun
negara.
Moral

merupakan


suatu

fenomena

manusia

yang

universal, menjadi ciri yang membedakan antara manusia dan
binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik
atau buruk, yang boleh dan yang dilarang, yang harus dan
yang tidak pantas dilakukan baik keharusan alamiah maupun
keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi dengan sendirinya
sesuai dengan hukum alam. Sedangkan keharusan moral
bahwa hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Kuasa dan Moral,
mencoba menyandingkan moral sebagai sebuah landasan
dalam


berpijak

kekuasaan

akan

mengungkapkan

saat
stabil
bahwa

merealisasikan
apabila

sah

usaha-usaha


kekuasaan.
secara
untuk

Setiap

moral.

Ia

memisahkan

kekuasaan dan moralitas akan merongrong kekuasaan itu
sendiri dari dalam.

2

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian kekuasaan dan moral?
2. Bagaimanakah sejarah kekuasaan berjalan?

3. Bagaimanakah hubungan kekuasaan-moral?
BAB II
PEMBAHASAN

"Moralitas" (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada
dasarnya sama dengan "Moral" hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara
tentang "moralitas suatu perbuatan" artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik
buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenan dengan baik dan buruk.
Moralitas juga merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal.
Moralitas bukan saja merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia,
baik pada tahap perorangan maupun pada tahap sosial, kita harus mengatakan
juga, moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain.
Dikatakan dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik bahwa kekuasaan adalah
kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Juga dapat
dikatakan kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak
pada orang lain, agar orang-orang tersebut mau mematuhi apa yang menjadi
keinginan kita. Tetapi ada pula buku yang mengatakan bahwa kekuasaan tidak
selalu dipandang seperti pada umumnya. Dalam bukunya Etika Jawa, Franz

Magnis-Suseno SJ menuliskan bahwa seperti segala kekuatan yang menyatakan
diri dalam alam, kekuasaan adalah ungkapan energi Ilahi yang tanpa bentuk, yang
selalu kreatif meresapi seluruh dunia.
Kekuasaan bukanlah gejala khas sosial yang berbeda dari kekuatankekuatan alam, melainkan ungkapan kekuatan kosmis yang dapat kita bayangkan
sebagai semacam fluidum yang memenuhi seluruh dunia. Kekuasaan politik

3

dalam pandangan dunia Jawa bersifat konkret, karena kekuasaan politik yang ada
adalah suatu bentuk ungkapan kasekten (kekuatan yang sakti). Orang yang
memiliki kasektѐn tidak dapat dikalahkan ataupun dilukai, karena orang itu sakti.
Kekuasaan itu eksis dalam dirinya sendiri, tidak bergantung pada pembawa
empiris. Bagi orang Jawa, kekuasaan adalah sesuatu yang bersifat homogen.
Dari penjelasan di atas yang mengatakan kekuasaan itu bagaikan fluidum
yang memenuhi ruang di alam semesta ini dapat disimpulkan bahwa jumlah
kekuasaan tersebut konstan/tetap. Karena yang dapat berubah hanyalah
pembagian kekuasaan dalam dunia. Konsentrasi kekuasaan di suatu tempat sama
artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
Hakikat sebuah kekuasaan yang bisa diidentikan dengan kekuatan dari
seorang penguasa atau pemimpin, tandanya tercermin pada saat seorang Raja yang

sedang berkuasa, misalkan kita mengambil contoh pada saat jaman kerajaan masih
berjaya adalah timbulnya ketenangan dan kesejahteraan bagi rakyat di
wilayahnya. Tidak ada gangguan, ancaman maupun hal-hal yang mengganggu
ketenteraman rakyatnya, semua kegundahan yang ada seakan telah telah dihapus
oleh sang Raja.
Kekuasaan Raja juga tampak dalam kehidupan alam. Apabila semua elemen
dalam kerajaan tersebut tentram, maka alam pun akan memberikan timbal balik
yang sesuai, seperti tanah yang subur, keberhasilan panen, dan lain sebagainya.
Sampai akhirnya setiap penduduk mendapatkan sandang, pangan dan papan yang
layak, dan semua orang merasa terpuaskan, sehingga keadaan demikian dapat
disebut sebagai keadaan yang adil dan makmur.
Kekuasaan pun mampu berbuah petaka jika alam tidak lagi mampu
memberika segala kebutuhan yang dulunya mampu memberikan kesejahteraan
bagi rakyat. Raja dianggap gagal dalam hirarkinya. Hal tersebut juga masih
berlaku pada saat ini, hanya mengganti istilah Raja dengan presiden atau pendeta
dan semacamnya. Permasalahan yang ditimbulkan juga lebih kompleks dan tidak
berpusat pada sandang pangan, dan papan melainkan ekonomi, bisnis, sumber
daya alam, dan lebih dari yang kita butuhkan.
Kekuasaan dalam paham Jawa diartikan sebagai kenyataan nonduniawi
yang menentukan dirinya sendiri, dimana orang yang mendapat kekuasaan itu


4

tidak menentukannya, namun hanya sebagai tempat yang menampung kekuasaan
tersebut. Orang yang menampungnya tidak bertanggung jawab atas perebutan dan
penggunaan, karena kekuasaan berdaulat hanya pada dirinya sendiri.
Paham Barat menyatakan adanya tendensi dalam memandang kekuasaan
sebagai sesuatu yang selalu instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang netral dalam arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan
dunia Jawa yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah lebih dari kemampuan
untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain saja.
Franz dalam bukunya menjelaskan bahwa kekuasaan seorang pemimpin
tidak membutuhkan suatu legitimasi, namun di dalam bukunya, Drs. Moedjanto
menegaskan bahwa kekuasaan membutuhkan suatu legitimasi, agar mengesahkan
kedudukannya sebagai Raja. Kekuasaan melegitimasi dirinya sendiri, jadi tidak
diperlukan

adanya

legitimasi.


Dimana

terdapat

kekuasaan

yang

asli,

pemakaiannya pun sah dengan sendirinya. Namun istilah “pemakaian” juga patut
diperhatikan, karena kekuasaan itu sebenarnya tidak dipakai, namun ada dan
datang dengan sendirinya, dan yang harus dilakukannya hanyalah menampung
dan membiarkan kekuasaan tersebut mengalir dengan sendirinya. Hal itu
menyebabkan timbulnya pemikiran bahwa usaha untuk mendapatkan kekuasaan
selalu sah apabila berhasil mendapat kekuasaan tersebut. Jadi merebut suatu
kekuasaan adalah hanyalah masalah kemauan dan kesanggupan untuk dapat
memusatkan kekuatan kosmis yang ada pada dirinya.
Bicara soal legitimasi, kekuasaan yang harus mendapatkan legitimasi ini

sejatinya adalah legitimasi moral. Bagaimana moral masih sah dalam hal
mengakomodasi suatu kekuasaan yang ada. Jika terdapat legitimasi hukum
maupun legitimasi demokratis, maka kedua legitimasi tersebut harus tetap
berlandaskan legitimasi moral yang juga dapat diartikan sebagai pengamalan
Pancasila sila pertama. Karena sebuah kekuasaan yang besar tanpa didampingi
moralitas yang tinggi akan berakhir sebagai tirani.
Mengapa manusia punya kekuasaan?
Jika pada kekuasaan Jawa sudah dipaparkan bahwa kekuasaan seorang
pelaku memang tidak terlepas dari pengaruh kesaktian. Kekuatan jiwa mereka
yang didapat dari semedi atau bertapa itulah yang menjadikan mereka memiliki

5

kekuatan untuk merengkuh kekuasaan. Juga halnya di masa modern ini,
kekuasaan tidak lepas dari kedudukan, kekayaan, atau kepercayaan.
Bicara soal hubungan tentang kekuasaan dan moral, keduanya tidak ada
hubungan. Menurut Machiavelli, moral dan kekuasaan politik harus dipisahkan.
Karena tujuan menghalalkan cara sudah terlihat jelas bahwa penguasa
menggunakan

cara-cara

yang

tidak

baik

(tindakan

amoral)

dalam

mempertahankan dan merebut kekuasaan. Pemimpin dapat menggunakan cara
apapun selama ia mampu menjelaskan dengan alasan yang tepat bahwa tujuannya
adalah untuk kebaikan umum.
Tujuan menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan, menurut
Machiavelli dalam Dicourse, semua tujuan penguasa adalah untuk kebaikan
umum (common good). Penguasa tidak harus membahas apakah tindakannya
tersebut sudah sesuai dengan moral dan agama atau adakah batas- batas etis yang
boleh dilanggarnya. Tidak dapat kejahatan dalam politik, hanya kesalahan kecil
semata. Penguasa hanya memiliki satu-satunya batasan adalah ia harus
menggunakan tujuannya untuk kebenaran dan ia memiliki dasar yang masuk akal
dalam mengatakan bahwa cara- cara yang dipilih akan kondusif bagi tujuan yang
diingnkannya.
Dalam pemikiran klasik dan kristen, mengenai cara yang jahat dan tujuan
yang baik tidaklah masuk akal. Tindakan yang meyimpang dari hukum alam dan
hukum ketuhanan secara moral dianggap salah dan tidak ada tujannya.
Jika dalam makalahnya pemakalah mengutip bahwa hubungan moralitas
dan kekuasaan menurut Machiavelli sebagai sebuah strategi untuk mendapatkan
sebuah legitimasi, terdapat pemikiran lain yang mengatakan seperti Russell dan
Kant memposisikan moralitas sebagai landasan berpikir penguasa dalam
menjalankan kekuasaan. Hal ini juga berarti bahwa hubungan moralitas dan
kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun kewajiban yang sudah
semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral tidak harus mengarah pada
asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal, yakni kemanusiaan.

6

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Esensi dari sebuah kekuasaan adalah hak mengadakan
sanksi.

Cara

untuk

berbeda-beda.

menyelenggarakan

Kekuasaan

juga

kekuasaan

merupakan

bentuk

yang
dari

paksaan dan pengaruh yang diberikan oelh seorang pelaku
kepada massa yang ia anggap sebagai pengikut. Ada yang
menjadikan kekuasaan itu ada karena kekuatan, adapula
yang melibatkan kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan
sebagi sumber kekuasaan itu sendiri.
Berangkat dari hal tersebut kekuasaan juga bentuk yang
berdiri sendiri dan sudah melekat pada masing-masing
individu, semacam hak alami. Kekuasaan berperan dalam
pengadaan suatu tatanan, maka ada yang mengatakan
memerlukan sebuah legitimasi atau tidak sama sekali.
Moralitas merupakan pembenaran sikap yang dimiliki
seseorang dalam langkah-langkah yang ia jalankan. Moralitas
itu universal, utuh, dan mampu mengakomodasi semua
lapisan. Dirinya juga berperan sebagai bentuk yang perlu ada
dalam sebuah kekuasaan. Moralitas bertransformasi sebagai
nilai yang ada pada kekuasaan tersebut.
Menyangkut

hubungan

antara

kekuasan

dan

moral

merupakan aspek yang tidak dapat disatukan, mereka berdiri

7

sendiri dan terpisah. Adapun hubungan yang ada di antara
keduanya

adalah

dihubungkan

sebagai

misalkan

perihal

identitas

yang

memang

pribadi

dari

layak

seorang

penguasa atau pemimpin.
Dikatakan bahwa

moralitas

pada

sebuah

kekuasaan

merupakan strategi, tetapi ada yang berpendapat bahwa
hubungan moralitas dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun
kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral
tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal,
yakni kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Hard Books:
Bertens, K. 2000. Etika. PT. Gramedia Putaka Utama: Jakarta.
Kaelan. 2001. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Yogyakarta.
Prof.

Budiardjo,

Miriam.2007.

Dasar-Dasar

Ilmu

Politik.

PT.

Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Google Books:
Hadiwardoyo, Al. Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Penerbit
Kanisius: Yogyakarta.
Anshoriy Ch, M. Nasruddin. Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan
Dalam Kebudayaan Jawa
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, hlm IX
Drs. G. Moedjanto, M. A. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa;
Penerapannya

oleh

Raja-Raja

Mataram.

Penerbit

Kanisius:

Yogyakarta: Hlm 28

8