Konflik Etnis Sumbawa dan Bali Tinjauan
Nama
NIM
Mata Kuliah
Jumlah kata :
: Rahadi Cipto Utama 2.101
: 14/372883/PSP/5214
: Negosiasi dan Pengelolaan
Konflik
Program Studi : S2 Manajemen dan Kebijakan
Publik
FISIPOL UGM 2015
Konflik Etnis Sumbawa dan Bali : Tinjauan Kegagalan
Komunikasi dan
Perebutan Sumber Daya
Pendahuluan
Why do we have so many ethnic partisans in the world ready to die as suicide
bombers? setidaknya itu kalimat pertama yang diungkapkan oleh Ashutosh (2013) untuk
menggambarkan begitu banyaknya konflik yang terjadi diberbagai belahan dunia yang
menjadikan entitas etnis sebagai alasan untuk menyakiti sesama manusia. Definisi konflik
pun bermacam-macam dengan melihat banyak sudut pandang tapi setidaknya konflik
mencakup hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki
atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Simon Fisher,2001). Lebih
lanjut Simon menjelaskan konflik yang mengarah kepada kekerasan dimana kekerasan
adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan
kerusakan secara fisik, mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensinya secara penuh.
Mungkin hal ini menjadi sesuatu yang tidak begitu menarik lagi mengingat
peristiwa ini telah terjadi 2 tahun yang lalu, tepatnya Januari 2013, tetapi akan menjadi
menarik jika eskalasi konflik yang kini berada pada titik teduh, masih mungkin akan terjadi
di kemudian hari mengingat kejadian ini bukan kejadian pertama kali terjadi di Sumbawa,
tepatnya pada tanggal 17 November 1980 konflik etnis ini pertama kali pecah dengan
pematik penguasaan sektor strategis dibidang ekonomi, politik dan borikrasi oleh etnis Bali
akibat sentralisasi kebijakan pemerintahan orde Baru waktu itu (Yogi Setya,2013). Kondisi
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
ini diperparah dengan pelecehan terhadap adat istiadat samawa yang dinodai dengan
praktik ‘merari’1 yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat etnis Lombok tetapi juga Bali
yang sangat merendahkan dan dianggap sebagai aib bagi adat Sumbawa namun menjadi hal
yang wajar bagi etnis Bali (Yogi Setya 2013).
Masih hangat diingatan jika kita tak ingin memalingkan wajah dari konflik-konflik
yang pernah terjadi di Indonesia, Daerah-daerah di bagian timur Indonesia yang memang
dikenal rentan dan begitu akrab dengan konflik. Tidak terkecuali di Sumbawa besar, Nusa
Tenggara Barat kembali mengalami konflik yang mengatasnamakan unsur etnis, yaitu
antara etnis Sumbawa dengan etnis Bali. Sesungguhnya hal ini bukan sesuatu yang baru
mengingat kejadian pada tanggal 22 Januari lalu adalah kejadian kedua kalinya. Dengan
berbagai potensi yang dimiliki, kabupaten Sumbawa cukup memiliki daya tarik bagi para
pendatang, tidak mengherankan jika diSumbawa terdapat 3 suku besar yang mendiaminya
yaitu suku Sumbawa sebagai tuan rumah, dan suku sasak (lombok) dan Bali sebagai
pendatang. Kehadiran etnis Bali di kabupaten Sumbawa, dilatarbelakangi oleh faktor
migrasi, transmigrasi, dan karena keterdesakan oleh kondisi ekonomi dan geografis di
daerah asal, dengan motivasi ingin merantau, meningkatkan taraf hidup, mencari kerja,
menjadi petani, peternak, pedagang/bisnis, mutasi jabatan pegawai, pejabat, dan sebagainya
(Syaifuddin,2012)
Lebih lanjut Syaifuddin menjelaskan bahwa sejak kedatangan suku Bali ke
Sumbawa dalam periode 10 tahun (1970-1980) etnis Bali berhasil unggul dalam mengakses
sumber-sumber
ekonomi,
jabatan-jabatan
penting
di
birokrasi
(pemerintahan/swasta/BUMN). Keberadaan etnis Bali dalam masyarakat Sumbawa mulai
menunjukkan eksistensi diri dengan menampilkan perilaku dan aktivitas sosial budaya yang
dirasakan mulai lebih berani dan dianggap mencolok oleh etnis Sumbawa. Semua kondisi
tersebut akhirnya menjadi sumber dan pemicu konflik antara etnis Samawa dengan etnis
Bali yang puncaknya terjadi pada tanggal 17 November 1980. Dalam tulisan ini penulis
mencoba melihat konflik yang terjadi dari tinjauan kegagalan komunikasi yang dibangun
antara
pihak
yang
bertikai
dan
pemerintah
dan
perebutan
sumber
daya
1 ‘Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti
melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih
diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
(ekonomi,sosial,politik) yang dibungkus entitas etnis.
Gagalnya Komunikasi
Dalam teori konflik, komunikasi secara tradisional menempati tempat yang
menonjol baik di teoritis maupun dalam analisis empiris dan berkaitan erat dengan
munculnya konflik dan pilar utama dalam analisis konflik (Mathias Albert dkk, 2008).
Lebih lanjut, konflik antar etnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah
yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka
memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).
Ketidakcocokan di antara karakter masing-masing etnis menjadikan hubungan keduanya
mudah menjadi suatu konflik., ditambah dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis
terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Tidak ada komunikasi,
kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak
harmonis.
Jika sedikit kita kembali menelisik sebab munculnya konflik ini adalah adanya isu
dan rumor yang sama sekali belum bisa dibuktikan kebenarannya sampai saat ini. Bermula
dari kisah kasih dua orang pemuda dan pemudi yang mana wanita merupakan orang
Sumbawa asli yang memiliki hubungan asmara dengan kekasihnya seorang anggota
kepolisian beretnis Bali. Musibah kecelakaan yang menimpa keduanya mengakibatkan
sang wanita meregang nyawa yang kemudian meninggal dunia yang oleh pihak rumah sakit
dan kepolisian penyebab kematiannya murni karena kecelakaan. Setidaknya kabar itu yang
berkembang di masyarakat tanpa diketahui sahih tidaknya berita tersebut. Namun luka
lebam yang ada di tubuh korban membuat keluarga korban meyakini bahwa penyebab
kematian korban tidak murni kecelakaan namun diakibatkan oleh tindakan kekerasan atau
penyaniayaan.
Kesimpang siuran informasi inilah yang menjadi titik awal munculnya konflik
karena ketidakjelasan informasi dan komunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Komunikasi menjadi faktor yang sangat penting dalam menangani konflik dan sejauh mana
kedua pihak yang berkonflik mempunyai kemauan untuk membangun kapasitas dan
fasilitas yang membuat ruang komunikatif (Hamelink,2008). Namun komunikasi dapat
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
terdistorsi sebagai penyebab utama konflik. Mengurangi komunikasi bahkan dapat
membantu untuk de-eskalasi konflik. Hal ini terkadang lebih baik untuk tidak
berkomunikasi untuk menjaga perdamaian. Komunikasi terdistorsi dan dapat menyebabkan
kesalahpahaman dan meskipun ini mungkin hal ini sangat canggung, namun perlu untuk
dilakukan jika mereka belum tahu pasti penyebab konflik. Seringkali komunikasi dipahami
sebagai pemberian informasi dan kebenaran akan isi informasi penting untuk diperhatikan
(Hamelink,2008).
Tanpa kejelasan, informasi bias dan terkesan disembunyikan, setidaknya tiga hal
tersebut yang membayang selama beberapa hari menjelang pecahnya konflik. Keluarga
yang diliputi tanda tanya akan kebenaran yang sebenarnya, tentu sangat wajar dialami oleh
keluarga korban yang masih terpukul akibat kematian putri tercinta. Pembiaran isu dan
ketidakjelasan selama beberapa hari menjadi penyebab isu dan prasangka yang menyebar
begitu cepat.
Perebutan Sumber Daya
Banyak teori yang menjelaskan bagaimana tahapan terjadinya suatu konflik. Dalam
conflict stage model,konflik terjadi melalui beberapa tahap, dimulai dari Laten conflict,
menuju tahap emegence, escalation, (hurting) stalemate, de-escalation/negotiation, dan
berakhir pada resolution. Jika digambarkan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Sumber : http://www.beyondintractability.org
Dalam kasus ini, selama konflik berlangsung tidak benar-benar mencapai tahap
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
akhir yaitu adanya resolusi dari sebuah konflik. Resolusi yang terjadi hanya sebatas pelaku
yang menjadi otak dan penggerak konflik ditangkap dan seolah-olah konflik yang terjadi
berakhir begitu saja tanpa menyisakan benih-benih yang suatu ketika akan menjadi pemicu
konflik yang sama kembali terjadi. Pemerintah dan aktor-aktor yang pemegang kekuasaan
daerah tidak benar-benar paham apa yang sebenarnya melatar-belakangi terjadinya konflik.
Penyebab di permukaan yang terlihat hanya sebatas kasus kecelakaan yang melibatkan dua
orang yang berbeda asal usulnya, tetapi dibalik itu semua rasa iri dan ketidakadilan dalam
kehidupan bermasyarakat menjadi titik didih yang selama ini tidak diperhatikan oleh
pemerintah. Nicholas Sambanis (2013) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan
bahwa isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.
Kecemburuan sosial, merasa kalah di tanah sendiri, melihat mereka para pendatang
bisa sukses melebihi mereka penduduk pribumi setidaknya dari sisi itu dapat dianalisis kondisi masyarakat saat ini. Tak pelak penguasaan sumber daya menurut penulis menjadi akar
konflik yang dibungkus dengan rumor isu etnisitas. Sakit hati masa lalu masih bersisa dan
bahkan terus bertambah, dan diperparah lagi sakit hati diwariskan kepada anak dan keturunan agar tidak melupakan ‘kekalahan’ yang dialami para penduduk lokal ditengah penduduk pendatang. Hal ini adalah sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja dan terus
berulang dimasa mendatang andai resolusi dan tindakan kolaboratif tidak tercapai antara
kedua belah pihak.
Betapa tidak sektor-sektor produktif dan penting dikuasai oleh Etnis Bali di Sumbawa baik di pemerintahan maupun sektor swasta. Etnis Bali banyak yang berprestasi dan
berhasil mendapat akses dari pemerintah pusat dalam menduduki jabatan-jabatan penting di
birokrasi (pemerintahan/swasta/BUMN); sebagai anggota Muspida, ketua pengadilan negeri, kepala kejaksaan negeri, danres, kepala PLN, kepala Telkom, kepala bank, kepala agraria, dan kepala asuransi, pejabat swasta, BUMN, dan lain-lain staf di bawahnya (Syaifuddin,2012). Keyakinan bahwa konflik yang terjadi hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menguasai sumber daya terlihat pada pola konflik yang terjadi dimana tidak satupun
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
korban jiwa yang timbul dari adanya konflik. Namun yang terjadi adalah penjarahan, pengrusakan dan pembakaran hotel, toko, tempat ibadah dan supermarket. Kerugian ratusan
hingga milyaran rupiah dialami oleh pemilik toko dan dan hotel yang mana kesemuanya
adalah penduduk etnis Bali. Keinginan untuk menghilangkan sumber pendapatan dinilai sebagai salah satu upaya untuk mengusir dan menggeser dominasi etnis Bali dalam bidang
ekonomi.
Kesimpulan
Penangangan masalah yang terkesan setengah-setengah bahkan menganggap masalah yang masih panas telah selesai merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam
mengatasi konflik. Konflik yang berlatar belakang SARA memang sulit untuk ditemui titik
temu resolusinya mengingat perbedaan yang mendasar yang memang menjadi entitas masing-masing etnis. Jika konflik materil yang bisa diukur dan diselesaikan dengan hitungan
matematika, maka untuk konflik etnis dibutuhkan pendekatan khusus untuk meredamnya,
sulit memang jika tidak mau dikatakan mustahil, konflik jenis ini nyaris tidak bisa untuk dihilangkan bahkan di negara maju sekalipun yang cara pandang dan berfikir telah jauh lebih
modern jika dibandingkan masyarakat tradisional yang ada di Indonesia.
Shipping Tang (2011) mengatakan bahwa dilema keamanan dalam konflik etnis
yang tepat perlu dikaji oleh akademisi dan memberikan relevansi kebijakan kepada
pemerintah. Negara harus menjamin keamanan tiap-tiap warga negaranya seperti yang telah
diamanatkan dalam undang-undang. Dilema keamanan yang terjadi merupakan bentuk
ketidakpastian negara, sangat penting bagi negara untuk merumuskan kebijakan satu
terhadap yang lain dengan mengukur kepentingan kedua belah pihak untuk merumuskan
kebijakan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Upaya yang kini harus dilakukan
adalah bagaimana agar kejadian ini tidak terulang kembali serta kegiatan kemasyarakatan
yang telah ada dan berjalan baik bisa dipertahankan.
Resolusi konflik perlu melibatkan kedua etnis pasca terjadinya konflik, penting untuk meningkatkan komunikasi baik dalam kebudayaan maupun komunikasi lainnya. Cukup
sudah kita dibodohi dan diprovokasi oleh bentuk isu dan provokasi yang tidak bertanggungKonflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
jawab agar rasa aman, toleransi, saling pengertian dan hubungan harmonis tetap terjaga.
Belajar dari managemen konflik yang dikemukakan oleh Molly M. Melin (2014), mengutarakan bahwa manajemen resolusi konflik dikembangkan untuk menanggulangi konflik
yang mencakup apresiasi terhadap konflik, keterbukaan dalam menerima perbedaan dan keberagaman untuk mewujudkan kesatuan dan keberlangsungan hidup sistem sosial. Manajemen konflik ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat dalam keberagaman menyikapi
keberagaman, seperti sumber konflik yang berasal dari penguasaan sumber daya, prestise,
egosentrisme, serta bentuk lainnya yang menjadi pemicu kekerasan. Pola pikir masyarakat
perlu diubah dan melihat pendatang sebagai pesaing menjadi bagian dari masyarakat bahkan mungkin berkolaborasi dalam berbagai bidang. Telah banyak daerah yang berhasil melakukannya, sebut saja etnis Lombok dan Bali di Pulau lombok yang secara kebudayaan telah menunjukkan adanya asimilasi kebudayaan yang nyatanya tidak menjadi penyebab konflik namun menjadi suatu entitas baru yang menguntungkan kedua belah pihak dalam hal
kehidupan berbudaya bahkan menguntungkan dari segi pariwisata.
Kegiatan-kegiatan yang sifatnya kolaborasi kebudayaan antara kedua etnis perlu untuk dilakukan. Selama ini sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan kegiatan kebudayaan yang menggabungkan kedua kebudayaan, walaupun tidak menghasilkan kesenian
baru, paling tidak keberadaan kedua etnis dalam satu panggung akan menambah keakraban.
Disisi lain kehidupan yang berkomplementer sangat penting dalam lingkup yang lebih luas
misalnya dalam bentuk forum komunikasi lintas etnis sebagai wadah penyaluran aspirasi
dan komunikasi. Akan selalu ada penyebab terjadinya konflik yang mengakibatkan laten
konflik dan seketika menjadi konflik dengan kekerasan, namun dalam pandangan tradisional, konflik masih dilihat sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari, meskipun dalam
pandangan modern, konflik adalah hal yang perlu untuk menciptakan hubungan baik kedepannya.
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
Daftar Pustaka
Ashutosh Varshney .(2013). Nationalism, Ethnic Conflict, and Rationality
Brham, Eric.(2003).Conflict Stage.http://www.beyondintractability.org/essay/conflictstages (diakses 10 April 2015)
Cees J. Hamelink.(2008).Urban Conflict And Communication. Sage Publications. Los
Angeles, London, New Delhi And Singapore 1748-0485 VOL. 70(3–4): 291–301
Fisher, Simon dkk.(2001).Mengelola Konflik:Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak.
Edisi Terjemahan.Jakarta: The British Council.
Liliweri, Alo.(2005).Prasangka dan Konflik, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.
Mathias Albert, dkk.(2008).On Order And Conflict: International Relations And The
‘Communicative Turn’. Review of International Studies / Volume 34 / Supplement S1
/ January 2008, pp 43 – 67
Molly M. Melin.(2015). Escalation in international conflict management: A foreign policy
perspective. Conflict Management and Peace Science 2015, Vol. 32(1) 28–49
Nicholas Sambanis & Moses Shayo.(2013).Social Identification And Ethnic Conflict.
American Political Science Review Vol. 107, No. 2 May 2013
Permana, Yogi Setya.(2013).Rusuh Sumbawa dan Peran Lembaga adat.
http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/783-rusuh-sumbawa-dan-peranlembaga-adat.html
Shiping Tang.(2011).The security dilemma and ethnic conflict: toward a dynamic and
integrative theory of ethnic conflict. Review of International Studies / Volume 37 /
Issue 02 / April 2011, pp 511 - 536
Syaifuddin Iskandar Ardiansyah. (2013).Konflik Etnis Samawa dengan Etnis Bali: Tinjauan Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Samawa:Sumbawa Besar, NTB.
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
NIM
Mata Kuliah
Jumlah kata :
: Rahadi Cipto Utama 2.101
: 14/372883/PSP/5214
: Negosiasi dan Pengelolaan
Konflik
Program Studi : S2 Manajemen dan Kebijakan
Publik
FISIPOL UGM 2015
Konflik Etnis Sumbawa dan Bali : Tinjauan Kegagalan
Komunikasi dan
Perebutan Sumber Daya
Pendahuluan
Why do we have so many ethnic partisans in the world ready to die as suicide
bombers? setidaknya itu kalimat pertama yang diungkapkan oleh Ashutosh (2013) untuk
menggambarkan begitu banyaknya konflik yang terjadi diberbagai belahan dunia yang
menjadikan entitas etnis sebagai alasan untuk menyakiti sesama manusia. Definisi konflik
pun bermacam-macam dengan melihat banyak sudut pandang tapi setidaknya konflik
mencakup hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki
atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Simon Fisher,2001). Lebih
lanjut Simon menjelaskan konflik yang mengarah kepada kekerasan dimana kekerasan
adalah tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan
kerusakan secara fisik, mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang
untuk meraih potensinya secara penuh.
Mungkin hal ini menjadi sesuatu yang tidak begitu menarik lagi mengingat
peristiwa ini telah terjadi 2 tahun yang lalu, tepatnya Januari 2013, tetapi akan menjadi
menarik jika eskalasi konflik yang kini berada pada titik teduh, masih mungkin akan terjadi
di kemudian hari mengingat kejadian ini bukan kejadian pertama kali terjadi di Sumbawa,
tepatnya pada tanggal 17 November 1980 konflik etnis ini pertama kali pecah dengan
pematik penguasaan sektor strategis dibidang ekonomi, politik dan borikrasi oleh etnis Bali
akibat sentralisasi kebijakan pemerintahan orde Baru waktu itu (Yogi Setya,2013). Kondisi
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
ini diperparah dengan pelecehan terhadap adat istiadat samawa yang dinodai dengan
praktik ‘merari’1 yang tidak hanya dikenal oleh masyarakat etnis Lombok tetapi juga Bali
yang sangat merendahkan dan dianggap sebagai aib bagi adat Sumbawa namun menjadi hal
yang wajar bagi etnis Bali (Yogi Setya 2013).
Masih hangat diingatan jika kita tak ingin memalingkan wajah dari konflik-konflik
yang pernah terjadi di Indonesia, Daerah-daerah di bagian timur Indonesia yang memang
dikenal rentan dan begitu akrab dengan konflik. Tidak terkecuali di Sumbawa besar, Nusa
Tenggara Barat kembali mengalami konflik yang mengatasnamakan unsur etnis, yaitu
antara etnis Sumbawa dengan etnis Bali. Sesungguhnya hal ini bukan sesuatu yang baru
mengingat kejadian pada tanggal 22 Januari lalu adalah kejadian kedua kalinya. Dengan
berbagai potensi yang dimiliki, kabupaten Sumbawa cukup memiliki daya tarik bagi para
pendatang, tidak mengherankan jika diSumbawa terdapat 3 suku besar yang mendiaminya
yaitu suku Sumbawa sebagai tuan rumah, dan suku sasak (lombok) dan Bali sebagai
pendatang. Kehadiran etnis Bali di kabupaten Sumbawa, dilatarbelakangi oleh faktor
migrasi, transmigrasi, dan karena keterdesakan oleh kondisi ekonomi dan geografis di
daerah asal, dengan motivasi ingin merantau, meningkatkan taraf hidup, mencari kerja,
menjadi petani, peternak, pedagang/bisnis, mutasi jabatan pegawai, pejabat, dan sebagainya
(Syaifuddin,2012)
Lebih lanjut Syaifuddin menjelaskan bahwa sejak kedatangan suku Bali ke
Sumbawa dalam periode 10 tahun (1970-1980) etnis Bali berhasil unggul dalam mengakses
sumber-sumber
ekonomi,
jabatan-jabatan
penting
di
birokrasi
(pemerintahan/swasta/BUMN). Keberadaan etnis Bali dalam masyarakat Sumbawa mulai
menunjukkan eksistensi diri dengan menampilkan perilaku dan aktivitas sosial budaya yang
dirasakan mulai lebih berani dan dianggap mencolok oleh etnis Sumbawa. Semua kondisi
tersebut akhirnya menjadi sumber dan pemicu konflik antara etnis Samawa dengan etnis
Bali yang puncaknya terjadi pada tanggal 17 November 1980. Dalam tulisan ini penulis
mencoba melihat konflik yang terjadi dari tinjauan kegagalan komunikasi yang dibangun
antara
pihak
yang
bertikai
dan
pemerintah
dan
perebutan
sumber
daya
1 ‘Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti
melai’ang artinya melarikan. Kawin lari, adalah sistem adat penikahan yang masih
diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa Sasak disebut merari’
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
(ekonomi,sosial,politik) yang dibungkus entitas etnis.
Gagalnya Komunikasi
Dalam teori konflik, komunikasi secara tradisional menempati tempat yang
menonjol baik di teoritis maupun dalam analisis empiris dan berkaitan erat dengan
munculnya konflik dan pilar utama dalam analisis konflik (Mathias Albert dkk, 2008).
Lebih lanjut, konflik antar etnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah
yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka
memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).
Ketidakcocokan di antara karakter masing-masing etnis menjadikan hubungan keduanya
mudah menjadi suatu konflik., ditambah dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis
terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Tidak ada komunikasi,
kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak
harmonis.
Jika sedikit kita kembali menelisik sebab munculnya konflik ini adalah adanya isu
dan rumor yang sama sekali belum bisa dibuktikan kebenarannya sampai saat ini. Bermula
dari kisah kasih dua orang pemuda dan pemudi yang mana wanita merupakan orang
Sumbawa asli yang memiliki hubungan asmara dengan kekasihnya seorang anggota
kepolisian beretnis Bali. Musibah kecelakaan yang menimpa keduanya mengakibatkan
sang wanita meregang nyawa yang kemudian meninggal dunia yang oleh pihak rumah sakit
dan kepolisian penyebab kematiannya murni karena kecelakaan. Setidaknya kabar itu yang
berkembang di masyarakat tanpa diketahui sahih tidaknya berita tersebut. Namun luka
lebam yang ada di tubuh korban membuat keluarga korban meyakini bahwa penyebab
kematian korban tidak murni kecelakaan namun diakibatkan oleh tindakan kekerasan atau
penyaniayaan.
Kesimpang siuran informasi inilah yang menjadi titik awal munculnya konflik
karena ketidakjelasan informasi dan komunikasi antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Komunikasi menjadi faktor yang sangat penting dalam menangani konflik dan sejauh mana
kedua pihak yang berkonflik mempunyai kemauan untuk membangun kapasitas dan
fasilitas yang membuat ruang komunikatif (Hamelink,2008). Namun komunikasi dapat
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
terdistorsi sebagai penyebab utama konflik. Mengurangi komunikasi bahkan dapat
membantu untuk de-eskalasi konflik. Hal ini terkadang lebih baik untuk tidak
berkomunikasi untuk menjaga perdamaian. Komunikasi terdistorsi dan dapat menyebabkan
kesalahpahaman dan meskipun ini mungkin hal ini sangat canggung, namun perlu untuk
dilakukan jika mereka belum tahu pasti penyebab konflik. Seringkali komunikasi dipahami
sebagai pemberian informasi dan kebenaran akan isi informasi penting untuk diperhatikan
(Hamelink,2008).
Tanpa kejelasan, informasi bias dan terkesan disembunyikan, setidaknya tiga hal
tersebut yang membayang selama beberapa hari menjelang pecahnya konflik. Keluarga
yang diliputi tanda tanya akan kebenaran yang sebenarnya, tentu sangat wajar dialami oleh
keluarga korban yang masih terpukul akibat kematian putri tercinta. Pembiaran isu dan
ketidakjelasan selama beberapa hari menjadi penyebab isu dan prasangka yang menyebar
begitu cepat.
Perebutan Sumber Daya
Banyak teori yang menjelaskan bagaimana tahapan terjadinya suatu konflik. Dalam
conflict stage model,konflik terjadi melalui beberapa tahap, dimulai dari Laten conflict,
menuju tahap emegence, escalation, (hurting) stalemate, de-escalation/negotiation, dan
berakhir pada resolution. Jika digambarkan dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Sumber : http://www.beyondintractability.org
Dalam kasus ini, selama konflik berlangsung tidak benar-benar mencapai tahap
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
akhir yaitu adanya resolusi dari sebuah konflik. Resolusi yang terjadi hanya sebatas pelaku
yang menjadi otak dan penggerak konflik ditangkap dan seolah-olah konflik yang terjadi
berakhir begitu saja tanpa menyisakan benih-benih yang suatu ketika akan menjadi pemicu
konflik yang sama kembali terjadi. Pemerintah dan aktor-aktor yang pemegang kekuasaan
daerah tidak benar-benar paham apa yang sebenarnya melatar-belakangi terjadinya konflik.
Penyebab di permukaan yang terlihat hanya sebatas kasus kecelakaan yang melibatkan dua
orang yang berbeda asal usulnya, tetapi dibalik itu semua rasa iri dan ketidakadilan dalam
kehidupan bermasyarakat menjadi titik didih yang selama ini tidak diperhatikan oleh
pemerintah. Nicholas Sambanis (2013) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan
bahwa isu konflik etnis sendiri dalam banyak kasus hanyalah bungkusan dari isu-isu
marginalitas dari rasa ketidakadilan dan ketidaksejajaran, baik dalam domain politik,
ekonomi, maupun sosial budaya.
Kecemburuan sosial, merasa kalah di tanah sendiri, melihat mereka para pendatang
bisa sukses melebihi mereka penduduk pribumi setidaknya dari sisi itu dapat dianalisis kondisi masyarakat saat ini. Tak pelak penguasaan sumber daya menurut penulis menjadi akar
konflik yang dibungkus dengan rumor isu etnisitas. Sakit hati masa lalu masih bersisa dan
bahkan terus bertambah, dan diperparah lagi sakit hati diwariskan kepada anak dan keturunan agar tidak melupakan ‘kekalahan’ yang dialami para penduduk lokal ditengah penduduk pendatang. Hal ini adalah sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja dan terus
berulang dimasa mendatang andai resolusi dan tindakan kolaboratif tidak tercapai antara
kedua belah pihak.
Betapa tidak sektor-sektor produktif dan penting dikuasai oleh Etnis Bali di Sumbawa baik di pemerintahan maupun sektor swasta. Etnis Bali banyak yang berprestasi dan
berhasil mendapat akses dari pemerintah pusat dalam menduduki jabatan-jabatan penting di
birokrasi (pemerintahan/swasta/BUMN); sebagai anggota Muspida, ketua pengadilan negeri, kepala kejaksaan negeri, danres, kepala PLN, kepala Telkom, kepala bank, kepala agraria, dan kepala asuransi, pejabat swasta, BUMN, dan lain-lain staf di bawahnya (Syaifuddin,2012). Keyakinan bahwa konflik yang terjadi hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menguasai sumber daya terlihat pada pola konflik yang terjadi dimana tidak satupun
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
korban jiwa yang timbul dari adanya konflik. Namun yang terjadi adalah penjarahan, pengrusakan dan pembakaran hotel, toko, tempat ibadah dan supermarket. Kerugian ratusan
hingga milyaran rupiah dialami oleh pemilik toko dan dan hotel yang mana kesemuanya
adalah penduduk etnis Bali. Keinginan untuk menghilangkan sumber pendapatan dinilai sebagai salah satu upaya untuk mengusir dan menggeser dominasi etnis Bali dalam bidang
ekonomi.
Kesimpulan
Penangangan masalah yang terkesan setengah-setengah bahkan menganggap masalah yang masih panas telah selesai merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah dalam
mengatasi konflik. Konflik yang berlatar belakang SARA memang sulit untuk ditemui titik
temu resolusinya mengingat perbedaan yang mendasar yang memang menjadi entitas masing-masing etnis. Jika konflik materil yang bisa diukur dan diselesaikan dengan hitungan
matematika, maka untuk konflik etnis dibutuhkan pendekatan khusus untuk meredamnya,
sulit memang jika tidak mau dikatakan mustahil, konflik jenis ini nyaris tidak bisa untuk dihilangkan bahkan di negara maju sekalipun yang cara pandang dan berfikir telah jauh lebih
modern jika dibandingkan masyarakat tradisional yang ada di Indonesia.
Shipping Tang (2011) mengatakan bahwa dilema keamanan dalam konflik etnis
yang tepat perlu dikaji oleh akademisi dan memberikan relevansi kebijakan kepada
pemerintah. Negara harus menjamin keamanan tiap-tiap warga negaranya seperti yang telah
diamanatkan dalam undang-undang. Dilema keamanan yang terjadi merupakan bentuk
ketidakpastian negara, sangat penting bagi negara untuk merumuskan kebijakan satu
terhadap yang lain dengan mengukur kepentingan kedua belah pihak untuk merumuskan
kebijakan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Upaya yang kini harus dilakukan
adalah bagaimana agar kejadian ini tidak terulang kembali serta kegiatan kemasyarakatan
yang telah ada dan berjalan baik bisa dipertahankan.
Resolusi konflik perlu melibatkan kedua etnis pasca terjadinya konflik, penting untuk meningkatkan komunikasi baik dalam kebudayaan maupun komunikasi lainnya. Cukup
sudah kita dibodohi dan diprovokasi oleh bentuk isu dan provokasi yang tidak bertanggungKonflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
jawab agar rasa aman, toleransi, saling pengertian dan hubungan harmonis tetap terjaga.
Belajar dari managemen konflik yang dikemukakan oleh Molly M. Melin (2014), mengutarakan bahwa manajemen resolusi konflik dikembangkan untuk menanggulangi konflik
yang mencakup apresiasi terhadap konflik, keterbukaan dalam menerima perbedaan dan keberagaman untuk mewujudkan kesatuan dan keberlangsungan hidup sistem sosial. Manajemen konflik ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat dalam keberagaman menyikapi
keberagaman, seperti sumber konflik yang berasal dari penguasaan sumber daya, prestise,
egosentrisme, serta bentuk lainnya yang menjadi pemicu kekerasan. Pola pikir masyarakat
perlu diubah dan melihat pendatang sebagai pesaing menjadi bagian dari masyarakat bahkan mungkin berkolaborasi dalam berbagai bidang. Telah banyak daerah yang berhasil melakukannya, sebut saja etnis Lombok dan Bali di Pulau lombok yang secara kebudayaan telah menunjukkan adanya asimilasi kebudayaan yang nyatanya tidak menjadi penyebab konflik namun menjadi suatu entitas baru yang menguntungkan kedua belah pihak dalam hal
kehidupan berbudaya bahkan menguntungkan dari segi pariwisata.
Kegiatan-kegiatan yang sifatnya kolaborasi kebudayaan antara kedua etnis perlu untuk dilakukan. Selama ini sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan kegiatan kebudayaan yang menggabungkan kedua kebudayaan, walaupun tidak menghasilkan kesenian
baru, paling tidak keberadaan kedua etnis dalam satu panggung akan menambah keakraban.
Disisi lain kehidupan yang berkomplementer sangat penting dalam lingkup yang lebih luas
misalnya dalam bentuk forum komunikasi lintas etnis sebagai wadah penyaluran aspirasi
dan komunikasi. Akan selalu ada penyebab terjadinya konflik yang mengakibatkan laten
konflik dan seketika menjadi konflik dengan kekerasan, namun dalam pandangan tradisional, konflik masih dilihat sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari, meskipun dalam
pandangan modern, konflik adalah hal yang perlu untuk menciptakan hubungan baik kedepannya.
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |
Daftar Pustaka
Ashutosh Varshney .(2013). Nationalism, Ethnic Conflict, and Rationality
Brham, Eric.(2003).Conflict Stage.http://www.beyondintractability.org/essay/conflictstages (diakses 10 April 2015)
Cees J. Hamelink.(2008).Urban Conflict And Communication. Sage Publications. Los
Angeles, London, New Delhi And Singapore 1748-0485 VOL. 70(3–4): 291–301
Fisher, Simon dkk.(2001).Mengelola Konflik:Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak.
Edisi Terjemahan.Jakarta: The British Council.
Liliweri, Alo.(2005).Prasangka dan Konflik, Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.
Mathias Albert, dkk.(2008).On Order And Conflict: International Relations And The
‘Communicative Turn’. Review of International Studies / Volume 34 / Supplement S1
/ January 2008, pp 43 – 67
Molly M. Melin.(2015). Escalation in international conflict management: A foreign policy
perspective. Conflict Management and Peace Science 2015, Vol. 32(1) 28–49
Nicholas Sambanis & Moses Shayo.(2013).Social Identification And Ethnic Conflict.
American Political Science Review Vol. 107, No. 2 May 2013
Permana, Yogi Setya.(2013).Rusuh Sumbawa dan Peran Lembaga adat.
http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/783-rusuh-sumbawa-dan-peranlembaga-adat.html
Shiping Tang.(2011).The security dilemma and ethnic conflict: toward a dynamic and
integrative theory of ethnic conflict. Review of International Studies / Volume 37 /
Issue 02 / April 2011, pp 511 - 536
Syaifuddin Iskandar Ardiansyah. (2013).Konflik Etnis Samawa dengan Etnis Bali: Tinjauan Sosial Politik dan Upaya Resolusi Konflik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Samawa:Sumbawa Besar, NTB.
Konflik Etnis Sumbawa
dan Bali |