metode penelitian sastra feminis dan

METODE PENELITIAN SASTRA, SEBUAH PENGANTAR
1. Ilmu Sastra
a. Sejarah Sastra
Banyak dari kita yang sering mendengar suatu istilah bahkan sampai hafal istilah itu. Tapi kelemahan
kita adalah menghafal tanpa mengerti arti sebenarnya dari istilah tersebut. Istilah sastra kerap melintas
ditelinga kita tapi apakah sesungguhnya sastra itu?
Sastra (Sanskerta: शशसत, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks
yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran".
Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis
tulisan, apakah ini indah atau tidak. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra
tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan
bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sejarah

sastra

bertugas

menyusun


perkembangan

sastra

dari

mulai

timbulnya

hingga

perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra
(genre), sejarah perkembangan gaya-gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang
dikemukakan dalam karya-karya sastra, dan sebagainya (Pradopo, 2007: 9).
b. Kritik Sastra
Kritik sastra adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis,
memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya (Pradopo, 2007: 9).
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang berurusan dengan penilaian sastra atau suatu kegiatan yang
menilai baik-buruknya karya sastra atau kritik sastra itu semacam resensi dan ulasan kritik sastra. Prinsip

kritik sastra adalah mengobrak-abrik karya sastra untuk memperoleh mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut HB. Yassin kritik sastra adalah pertimbangan baik dan buruk sesuatu hasil karya sastra.
Kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode, dan objek. Kritik sastra memberikan
penilaian atas karya sastra berdasarkan teori dan sejarah sastra, artinya kritik sastra memerlukan teori dan
sejarah sastra dan sebaliknya kritik sastra memberikan sumbangan pendapat atau bahan bagi
penyusunan/pengembangan teori sastra dan sejarah sastra.Kritik sastra dapat memberikan petunjuk kepada
pembaca tentang karya sastra yang unggul dan yang rendah, yang asli dan yang bukan serta memberikan
sumbangan pendapat/pertimbangan kepada pengarang tentang karyanya.
1. Jenis-Jenis Kritik Sastra
i.

Menurut Bentuknya
Kritik sastra menurut bentuknya dapat digolongkan menjadi kritik teori (thoeritical criticism), dan
kritik terapan (applied criticism). Kritik teori adalah bidang kritik sastra yang bekerja untuk menerapkan
istilah-istilah, kategori-kategori dan kriteria-kriteria untuk diterapkan dalam pertimbangan dan interprestasi

karya sastra, yang dengannya karya sastra dan para sastrawannya dinilai. Adapun kritik terapan adalah
pelaksanaan dalam penerapan teori-teori kritik sastra sastra baik secara eksplisit, maupun implisit.
ii.


Menurut Pelaksanaannya
Menurut pelaksanaanya kritik sastra terbagi atas kritik judisial (judicial criticism) dan impresionistik
(impressionistic criticism). Kritik judisial adalah kritik sastra yang melakukan analisis, interprestasi, dan
penilaiannya berdasarkan ukuran-ukuran, hukum-hukum dan standar-standar tertentu. Kritikus judisal
melakukan kritik sastra berdasarkan ukuran-ukuran tersebut. Jenis sifatnya deduktif. Dapat dikatakan kritik
ini merupakan kebalikan dari kritik yang sifatnya induktif. Dalam kritik yang induktif, seorang kritikus tidak
menerapkan standar-standar tertentu dalam mengkritik karya sastra. Ia berangkat dari fenomena yang ada
dalam karya sastra itu secara objektif. Sedangkan kritik impresionik adalah kritik yang dibuat kritikus
dengan mengemukakan kesan-kesan kritikus tentang objek kritiknya, tanggapan-tanggapan tentang kara
sastra itu berdasarkan apa yang dirasakan kritikus tersebut. Dalam kritik yang impresionik, seorang kritikus
menggunakan tafsiran untuk mengagumkan pembaca. Dalam kritik jenis ini kritikus jarang menggunakan
penilaian.

iii.

Menurut Orientasi Kritik
Ferdinaen Saragih dalam artikelnya yang berjudul “Jenis-Jenis Kritik Sastra dan Pengertiannya”,
mengutip pendapat Abram dalam David Logde, 1972:5-21 membagi jenis kritik berdasarkan orientasinya,
yaitu kritik mimetik, kritik ekspresif, kritik pragmatik dan kritik objektif.
1. Kritik mimetik adalah kritik yang memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan

manusia. Menurut Abrams, kritikus pada jenis ini memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam.
Sastra merupakan pencerminan/penggambaran dunia kehidupan. Sehingga kriteria yang digunakan kritikus
sejauh mana karya sastra mampu menggambarkan objek yang sebenarnya. Semakin jelas karya sastra
menggambarkan realita semakin baguslah karya sastra itu. Kritik jenis ini jelas dipengaruhi oleh paham
Aristoteles dan Plato yang menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan.
2. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang memandang karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau
imajinasi pengarang. Kritik ekspresif menitikberatkan pada pengarang. Kritikus ekspresif meyakini bahwa
sastrawan (pengarang) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsipersepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Kritikus dalam hal ini cenderung menimba
karya sastra berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin pengarang/keadaan
pikirannya. Pendekatan ini sering mencari fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
sastrawan yang sadar/tidak, telah membuka dirinya dalam karyanya.
3. Kritik pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu
pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek kesenangan, estetis, pendidikan maupun efek
lainnya. Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasil tidaknya karya tersebut mencapai tujuan
tersebut (Pradopo, 1997:26). Kritik ini memandang karya sastra sebagai sesuatau yang dibangun untuk
mencapai efek-efek tertentu pada audien (pendengar dan pembaca), baik berupa efek kesenangan, estetis,

pendidikan maupun efek lainnya. Sementara tujuan karya sastra pada umumnya: edukatif, estetis, atau
politis. Dengan kata lain, kritik ini cenderung menilai karya sastra atas keberhasilannya mencapai tujuan.
Ada yang berpendapat, bahwa kritik jenis ini lebih bergantung pada pembacanya (reseptif). Kritik jenis ini

berkembang pada Angkatan Balai Pustaka. Sutan Takdir Alisjabana pernah menulis kritik jenis ini yang
dibukukan dengan judul “Perjuangan dan Tanggung Jawab” dalam Kesusastraan.
4. Kritik objektif memandang karya satra hendaknya tidak dikaitkan dengan hal-hal di luar karya sastra itu. Ia
harus dipandang dsebagai teks yang utuh dan otonom, bebas dari hal-hal yang melatarbelakanginya, seperti
pengarang, kenyataan, maupun pembaca. Objek kritik adalah teks satra: unsur-unsur interinsik karya
tersebut.
iv.

Menurut Objek Kritik
Karya sastra terdiri atas beragam jenis, yaitu puisi, prosa dan drama. Artinya, kritik sastra dapat
menjadikan puisi, puisi, prosa atau drama sebagai objeknya. Dengan demikain, jenis kritik ini dapat dibagi
lagi menjadi berdasarkan objeknya, yakni kritik puisi, kritik prosa, kritik drama. Selain itu, kritik satra itu
sendiri dapat dijadikan kritik sehingga dinamakan kritik atas kritik.
Karya sastra merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian
yang saling berjalinan erat secara batiniah dan mengehendaki pertimbangan dan analitis dengan kriteriakriteria intrinsik berdasarkan keberadaan (kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling
berhubungan antarunsur-unsur pembentuknya. Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tidak hanya terbatas pada alur,
tema, tokoh, dsb; tetapi juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya.
Pendekatan kritik sastra jenis ini menitikberatkan pada karya-karya itu sendiri.
Kritik jenis ini mulai berkembang sejak tahun 1920-an dan melahirkan teori-teori:


v.

1.

New Critics (Kritikus Baru di AS)

2.

Kritikus formalis di Eropa

3.

Para strukturalis Perancis

Menurut Sifatnya
Dalam dunia kritik sastra sering terjadi pertentangan antara kritik sastra yang ditulis kalangan
akademik dan nonakademik. Hal ini misalnya terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung
apa yang dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman
versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya
antaralain M.S Hutagalung. Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan

akademik. Sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan nonakdemik.
Ada perbedaan antara dua kritik sastra dua aliran tersebut. Kritik sastra nonakademik tidak terpaku
pada format seperti yang terdapat pada petunjuk Teknik Penulisan Ilmiah; teori dan metode sastra meskipun
digunakan ─ tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai
dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik

sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang tertarik mendalam dunia
sastra.
2. Pendekatan Kritik Sastra
i.

Pendekatan Mimetik
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata
sebagaimana dikemukakan pertamakali oleh Plato dan Aristoteles. Menurut Platokarya sastra hanyalah
tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide.Sedangkan menurut Aristotelestiruan itu
justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia.

ii.

Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang. Dengan demikian
apabila segala gagasan, cita, rasa, emosi, ide, angan-angan merupakan “dunia dalam” pengarang, maka
karya sastra merupakan “dunia luar” yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan pendekatan ini
penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga karya sastra merupakan sarana
untuk memahami keadaan jiwa pengarang.

iii.

Pendekatan Objektif
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari dunia
pengarang dan latar belakang sosial budaya zamannya sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan
strukturnya, dengan kata lain karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.

iv.

Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penyambut
karya sastra. Dengan demikian karya sastra dipandang sebagai karya seni yg berhasil atau unggul apabila
bermanfaat bagi masyarakat, seperti: mendidik, menghibur, menyenangkan, dst.
3. Kritik Sastra Indonesia Modern


i.

Kritik Sastra Angkatan Balai Pustaka
Paham para pengarang dalam masa permulaan kesustraan Indonesia modern memandang bahwa karya
sastra yang baik adalah suatu karya yang langsung memberi didikan kepada para pembaca (Pradopo, 2007:
94).
Suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi
pekerti dan nilai-nilai moral hingga demikian, sesungguhnya hal ini telah menyimpang dari hukum-hukum
karya sastra sebagai seni yang menjadikan karya sastra sebagai alat pendidikan yang langsung, sedangkan
nilai seninya dijadikan atau dijatuhkan pada nomor dua. Begitulah paham pertama dalam penilaian karya
sastra yang secara tidak langsung, yang disimpulkan dari corak-corak roman Indonesia yang mula-mula,
ialah memberi didikan dan nasehat kepada pembaca.

ii.

Kritik Sastra Angkatan Pujangga Baru
Dalam masa Pujangga Baru telah bergema pertentangan paham tentang karya sastra, yang berupa
paham “seni untuk seni” dan “seni bertendens”. “Seni untuk seni” menghendaki seni yang murni, seni untuk
kepentingan seni, seni yang berdiri otonom, bahkan untuk kepentingan seni “murninya”, pada permulaannya

ia mementingkan bentuk pengucapannya daripada isi karya sastranya‒ ia lebih mementingkan bentuk
pengucapan “seninya” dari “isi” sastranya. Tokoh sastrawan yang gigih bertahan pada semboyan “seni untuk
seni” dengan tegas diwakili oleh Sanusi Pane.
“Seni bertendens” menghendaki seni diciptakan untuk tujuan, yaitu untuk kepentingan masyarakat,
untuk membawa bangsa Indonesia ke taraf penghidupan yang lebih tinggi. Seniman harus memelopori
bangsanya, ia harus memimpin bangsanya dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan
kehidupan. Tokoh sastrawan yang memegang semboyan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Pandangan
beliau adalah pandangan seorang utilitarian yang lebih mementingkan tujuan daripada pernyataan seni.
Selain Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh sastrawan pada era Pujangga Baru adalah
Amir Hamzah, dan Armijn Pane.

iii.

Kritik Sastra Angkatan ‘45
Sastrawan Angkatan ’45 menghendaki kesusastraan yang universal, yang dapt diterima oleh segala
manusia, karena yang dikemukakan dalam karya sastra ialah persoalan-persoalan manusia yang umum,
persoalan hakikat manusia karena pada hakikatnya manusia seluruh dunia adalah sama, dari sejak dahulu
hingga sekarang. Mereka menghendaki kebahagiaan, terbebas dari derita, siksaan, dan penjajahan, dan
sebagainya. Maka dalam penilaian pun menghendaki penilaian yang sifatnya universal, yang dapat berlaku
secara umum. Angkatan ’45 dipelopori oleh Chairil Anwar dalam bidang puisi dan Idrus dalam bidang

prosa. Tokoh Angkatan ’45 yang penting lainnya adalah Asrul Sani dan H. B. Jassin.

iv.

Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Nonakademik
Kritik sastra akademik sering dipertentangkan dengan kritik sastra nonakademik. Hal ini mulai
mencuat pada polemik yang terjadi tahun 1968-an antara kritikus yang mengusung apa yang dinamakan
metode Ganzheit (dengan tokoh-tokohnya antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman) versus kritik
sastra yang kemudian diistilahkan dengan kritik aliran Rawamangun (dengan salah seorang tokohnya M.S.
Hutagalung). Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik kalangan akademik. Kritik
Ganzheit mewakili kritik kalangan nonakademik.
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan
pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik
Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta
dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada

skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel, jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan
akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga-lembaga bahasa dan sastra.
Kritik nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak terpaku pada format TPI; teori dan
metode -meskipun digunakan- umumnya tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer.
Jenis-jenis tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau bukubuku antologi kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang
tertarik dan mendalami sastra.
c.

Teori Sastra

1. Pengertian Teori Sastra
Teori sastra dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang saling berkaitan secara ilmiah,
yang disajikan secara sistematis, yang berfungsi untuk menjelaskan sejumlah gejala sastra (Ratna, 2012: 10).
Dalam referensi yang lain dijelaskan Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsipprinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara
umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang
menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/ uraian
tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Teori
sastra dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra dan itu secara otomatis perlu mengkaji
sejarah serta kritik-kritik mengenai suatu pendapat tentang sastra (Tambunsaribu, 2012: 2).
2. Perkembangan Teori Sastra
Teori sastra berasal dari kata theria(bahasa Latin). Secara etimologis teori berarti kontemplasi
terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas,dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori
berarti perangkat pengertian,konsep,proposisi yang mempunyai korelasi,yang telah teruji kebenarannya.
Pada umumnya, teori dipertentangkan dengan praktik.Setelah suatu ilmu pengetahuan berhasil untuk
mengabstraksikan keseluruhan konsepnya pada suatu rumusan ilmiah yang dapat diuji kebenarannya, yaitu
teori itu sendiri,maka teori tersebut mesti dioperasikan secara praktis, sehingga cabang-cabang ilmu
pengetahuan sejenis dapat dipahami secara lebih rinci dan mendalam.
Pemanfaatan teori formal menurut Vredenbreght (Ratna, 2012: 4), memiliki kelebihan dalam
kaitannya dengan usaha peneliti sepanjang sejarahnya, untuk secara terus-menerus memperbaharui sekaligus
mengujinya melalui data yang berbeda-beda, sehingga teori makin lama makin sempurna. Teori ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang sastra diadopsi melalui pemikiran para sarjana Barat. Tradisi seperti
ini sering menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Indonesia antara yang tidak setuju dengan yang
setuju. Kelompok yang pertama menginginkan agar khasanah Indonesia dianalisis dengan menggunakan
teori sastra Indonesia, dengan konsekuensi agar sarjana Indonesia dapat menemukan teori-teori sastra yang
lahir melalui sastra Indonesia sebagai teori Indonesia asli,sebaliknya yang kedua tidak mempermasalahkan
perbedaan diantaranya, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Tradisi ilmu pengetahuan berkembang diBarat,demikian pula tradisi sastra.
2. Karya sastra sekaligus bersifat lokal dan universal.

3. Globalisasi, termasuk paradigma postmodernisme menghapuskan perbedaan antara Barat dengan Timur.
Sebuah teori disebut baik apabila memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Mudah disesuaikan dengan ciri-ciri karya yang akan dianalisis.
Mudah disesuaikan dengan metode dan teori yang menyertainya.
Dapat dimanfaatkan untuk menganalisis, baik ilmu sejenis maupun berbeda.
Memiliki formula-formula yang sederhana tetapi mengimplikasikan jaringan analisis yang kompleks.
Memiliki prediksi yang dapat menjangkau objek jauh kemasa depan.
Teori dan metode memiliki fungsi untuk membantu menjelaskan dua hubungan gejala atau lebih,
sekaligus meramalkan model hubungan yang terjadi.
Teori dan metode disamping mempermudah memahami gejala yang akan diteliti yang lebih penting
adalah kemampuannya untuk memotivasi,mengevokasi, sekaligus memodifikasi pikiran peneliti.Artinya
dengan memanfaatkan teori dan metode tertentu maka dalam pikiran peneliti akan timbul kemampuan untuk
memahami gejala sebelumnya yang sama sekali belum tampak. Sebagai alat, teori berfungsi untuk
mengarahkan suatu penelitian, sedangkan analisis secara langsung dilakukan melalui instrument yang lebih
konkret yaitu melalui metode dan teknik.
Berbeda dengan objek, aspek kebaruan dalam teori dan metode merupakan syarat pokok.Teori yang
lama dengan sendirinya harus ditinggalkan, digantikan dengan teori dan metode yang baru.Demikian
seterusnya sehingga teori yang terakhirlah yang dianggap paling relevan. Intensitas terhadap kebaruan

disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Teori dan metode adalah alat dan cara penelitian.
2. Teori dan metode adalah hasil penemuan.
3.
Teori
dan
metode

adalah

ilmu

pengetahuan

karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersamasama dalam kondisi yang saling melengkapi.
Dalam khasanah sastra Indonesia aktivitas penelitian dengan memanfaatkan teori dan metode intuisif
ekspresif sudah dimulai sejak periode Pujangga Baru.Pesatnya perkembangan teori sastra selama satu abad
sejak awal abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dipicu oleh beberapa indikator, sebagai berikut:
1. Medium utama sastra adalah bahasa, sedangkan dalam bahasa itu sendiri sudah terkandung problematika
2.

yang sangat luas.
Sastra memasukkan berbagai dimensi kebudayaan, sedangkan dalam budaya itu sendiri juga sudah

3.

terkandung permasalahan yang sangat beragam.
Teori-teori utama dalam sastra sudah berkembang sejak zaman Plato dan Aristoteles, yang dengan

sendirinya telah dimatangkan dengan berbagai disiplin, khususnya filsafat.
4. Kesulitan dalam memahami gejala sastra memicu para ilmuwan untuk menemukan berbagai cara sebagai
teori yang baru.
5. Ragam sastra sangat banyak dan berkembang secara dinamis, kondisi-kondisi sastra yang juga memerlukan
cara pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam ilmu sastra yang dimaksudkan dengan penelitian adalah kegiatan untuk mengumpulkan
data,menganalisis data,dan menyajikan hasil penelitian. Peneliti sastra yang pada umumnya disebut kritikus
sastra baik sebelum maupun sesudah melakukan penelitian secara sadar mengetahui teori apa yang
digunakan, metode dan teknik apa yang membantunya.Penelitian sastra mempertimbangkan ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Hipotesis dan asumsi tidak diperlukan sebab analisis bersifat deskripsi bukan generalisasi.
2. Populasi dan sampel tidak mutlak diperlukan kecuali dalam penelitian tertentu.
3. Tidak diperlukan objektivitas yang umumsebab peneliti terlibat secara terus-menerus, objektivitas terjadi
saat penelitian dilakukan.
4. Kerangka penelitian tidak bersifat tertutup, korpus data bersifat terbuka deskripsi dan pemahaman
berkembang terus.
5. Objek yang sesungguhnya bukanlah bahasa tapi wacana,teks,sebab sebagai hakikat deskrusif bahasa sudah
terikat

dengan

sistem

model

kedua

dengan

berbagai

sistem

komunikasinya.

3. Macam-macam Teori Sastra
i. Teori-Teori Strukturalisme
-

Teori Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra,secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh tiga faktor sebagai
berikut:

1. Formalisme lahir akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh
prinsip-prinsip kausalitas dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
2. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora dimana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis
ke sinkronis.
3. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap karya sastra dengan
sejarah sosiologi dan psikologi.
Formalisme menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara
dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat
dipahami dalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata
sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai sistem komunikasi, berbeda
dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri.
Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isi, oleh karena itulah, cara
kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis Rusia, yang terdiri dari para pakar sastra dan
linguistik. Ada dua pusat kegiatan, yaitu:
a). Lingkaran Linguistik Moskow yang didirikan tahun 1915 oleh Roman Jakobson, Petr Bogatyrev, dan
Grigorii Vinokur.
b). Mahzab Opojaz (Masyarakat Studi Puitika Bahasa) Leningrad yang didirikan tahun 1916 oleh Boris
Eichenbaum, Victor Sklovski, Osip Brik, dan Lev Iaukubinskii (Nina Kolesnikoff dalam Irena R Makaryk
dalam Ratna, 2012: 82).
Tujuan pokok formalisme adalah studi ilmiah tentang sastra dengan cara meneliti unsur-unsur
kesastraan puitika,asosiasi,oposisi,dan sebagainya.Metode yang digunakan adalah metode formal. Metode
formal tidak merusak teks, juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan

konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang terorganisasikan. Formalisme
dianggap sebagai peletak dasar ilmu sastra modern (Luxemburg, dkk dalam Ratna. 2012: 83).
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme,
diantaranya: kesastraan, bentuk dan isi, fabula dan sjuzet, otomatisasi dan defamiliarisasi.

-

Teori Strukturalisme Dinamik
Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin yang yang berarti bentuk atau
bangunan. Menurut Teeuw (dalam Ratna, 2012: 88), khususnya dalam ilmu sastra, strukturalisme
berkembang melalui tradisi formalisme. Artinya hasil-hasil yang dicapai melalui tradisiformalis sebagian
besar dilanjutkan dalam strukturalis. Di satu pihak, para pelopor formalis sebagian besar terlibat dalam
mendirikan strukturalis. Di pihak lain atas dasar pengalaman formalislah mereka mendirikan strukturalisme,
dengan pengertian bahwa berbagai kelemahan yang terkandung dalam formalisme diperbaiki kembali dalam
strukturalisme.
Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan
mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak
yang lain hubungan antar unsur (unsur) dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat
positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan
pertentangan.
Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap
hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak,
bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme dianggap sebagai antihumanis.
Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan
asal-usulnya.
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana
yang dianggap sebagai perkembangan kemudian formalisme di atas. Strukturalisme dinamik dimaksudkan
sebagai penyempurnaan strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik,
yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula
dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka (Fokkema dalam Ratna, 2012: 93). Menurutnya, karya
sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya seni adalah
petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah, karya seni harus
dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

-

Teori Semiotika
Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang
berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Menurut Noth (dalam Ratna, 2012: 97)
ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu: semantik logika, retorika, dan
hermeunetika. Masih dalam Ratna, Culler menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang
identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Begitupun
pendapat Selden (dalam Ratna, 2012: 97) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam
bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk menemukan

makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Demikian juga
sebaliknya, analisis semiotika mengandaikan sudah melakukan analisis strukturalisme.
Menurut Paul Cobley dan Litza Janz (dalam Ratna, 2012: 97) semiotika berasal dari kata seme,
bahasa Yunani, yang bearti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata
semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi
sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap
kehidupan manusia.
Kajian mengenai semiotika secara benar-benar ilmiah baru dilakukan pada awal abad ke-20, yang
dilakukan oleh dua orang ahli yang hidup pada zaman yang sama, dengan konsep dan paradigma yang
hampir sama, tetapi sama sekali tidak saling mengenal. Kedua sarjana tersebut adalah Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah
ahli filsafat dan logika, tetapi di samping itu ia juga menekuni ilmu kealaman, psikologi, astronomi, dan
agama. Saussure menggunakan istilah semiologi, sedangkan Peirce menggunakan istilah semiotika.
Dalam semiotika, terdapat dua aliran utama, yaitu Saussurean dan Peircean. Menurut Aart van Zoest
(dalam Ratna, 2012: 103), dikaitkan dengan bidang-bidang yang dikaji, pada umumnya semioyika dapat
dibedakan paling sedikit menjadi tiga aliran, sebagai berikut.
1.

Aliran semiotika komunikasi, dengan intensitas kualitas tanda dalam kaitannya dengan pengirm dan
penerima, tanda yang disertai dengan maksud, yang digunakan secara sadar, sebagai signal, seprti ramburambu lalu lintas, dipelopori oleh Buyssens, Prieto, dan Mounin.

2. Aliran semiotika konotatif, atas dasar ciri-ciri denotasi kemudian diperoleh makna konotasinya, arti pada
bahasa sebagai sistem model kedua, tanda-tanda tanpa maksud langsung, sebagai symtom, di samping sastra
juga diterapkan dalam berbagai bidang kemasyakatan, dipelopori oleh Ronald Barthes.
3.

Aliran semiotika ekspansif, diperluas dengan bidang psikologi (Freud) dan sosiologi (Marxis), termasuk
filsafat, dipelopori oleh Julia Kristeva.
Dalam lapangan semiotika, pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu (1) penanda (signifier) atau yang
menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan (2) pertanda (signified) atau yang ditanda yang merupakan arti
tanda. Ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon dan indeks merupakan tanda
yang menunjukkan adanya hubungan ilmiah, yaitu persamaan dan sebab akibat, antara penanda dan
pertanda. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan adanya hubungan ilmiah antara keduanya,
hubungannya bersifat arbitrer berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang
menggunakan simbol adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh konvensi masyarakat.
Bahasa merupakan sistem ketandaan tingkat pertama. Dalam sistem ketandaan tingkat pertama ini
ditingkatkan menjadi sistem ketandaan tingkat kedua. Arti bahasa tingkat pertama disebut arti (meaning),
arti bahasa dalam sastra sebagai sistem tanda tingkat kedua biasa disebut makna (significance) yang
merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan oleh konvensi
sastra di samping konvensi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu yang dimaksud makna (bahasa) sastra itu
bukan semata-mata arti bahasanya. Jadi, yang dimaksud makna karya sastra itu meliputi arti bahasa,

suasana, perasaan, intensitas, arti tambahan (konotasi), daya liris, dan segala pengertian tanda-tanda yang
ditimbulkan oleh konvensi sastra.
Menurut Pradopo (dalam Hudayat, 2007: 59) studi sastra bersifat semiotik itu adalah usaha untuk
menganalisis karya sastra sebagai suatu memungkinkan karya sastra mempunyai makna-makna. Dengan
melihat variasi-variasi di dalam struktur karya sastra atau hubungan-dalam (internal relation) antar unsurnya
akan dihasilkan bermacam-macam makna. Bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama diorganisasikan
sesuai dengan konvensi-konvensi tambahan yang memberikan makna dan efek-efek lain dari arti yang
diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Oleh karena memberi makna karya itu dengan jalan mencari tandatanda yang memungkinkan timbulnya makna sastra, maka menganalisis karya sastra itu adalah memburu
tanda-tanda.
Dalam sistem semiotik, menghubungkan teks sastra dengan hal-hal di luar dirinya itu dimungkinkan,
sesuai dengan tanda bahasa yang bermakna, yang pemakaiannya tidak lepas dari konvensi dan hal-hal di luar
strukturnya. Berhubungan dengan hal ini, dalam metode sastra semiotik dikenal metode hubungan
intertekstual untuk memberi makna lebih penuh kepada sebuah karya sastra daripada jika karya sastra hanya
dianalisis secara struktural murni. Prinsip hubungan antarteks ini disebabkan oleh kenyataan bahwa karya
sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk sastra. Sebuah karya sastra merupakan aktualisasi
atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Menurut pandangan
intertekstualitas, sebuah karya sastra merupakan jawaban terhadap karya sastra yang lain yang lahir
sebelumnya, baik berupa penerusan konvensi sastranya maupun penentangan konvensi ataupun konsep
estetik, atau yang lain. Untuk memberikan makna atau konkretisasi sebuah karya sastra, prinsip
intertekstualitas itu perlu diterapkan, yaitu dengan jalan membandingkan sistem tanda dalam hipogramnya
dengan sistem tanda karya sastra yang menanggapi dan mentransformasikannya. Sistem tanda tersebut
berupa konvensi-konvensi tambahan dalam sastra, yaitu tanda-tanda dalam karya sastra yang
memungkinkan diproduksinya maknakarya sastra.
Semiotika Sastra.
Ikon yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri, berfungsi sebagai menarik partikel-partikel ketandaan, sehingga
proses intrpretasi dimungkinkan secara terus-menerus. Ada tiga macam ikon, yaitu: a) ikon topografis,
berdasarkan persamaan tata ruang, misalnya puisi-puisi konkret atau visual, b) ikon diagramatis atau
relasional, berdasarkan persamaan dua diagram, c) ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan
yang didenotasikan sekaligus langsung atau tidak langsung, misalnya alegori atau parabel. Edmund Leach
(dalam Ratna, 2012:116) membedakan antara simbol dengan tanda dan sinyal. Sinyal menunjukkan
hubungan dua gejala secara mekanis dan otomatis. Simbol ditandai oleh dua ciri, yaitu: a)antara penanda
dan petanda tak ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) penanda dan petanda merupakan unsur struktural
yang berbeda. Ciri-ciri tanda, a) ada hubungan intrinsik sebelumnya, b) termasuk kedalam konteks kultural
yang sama.
Semiotika Sosial

Semiotika sosial memiliki implikasi lebih jauh dalam kaitannya dengan hakikat teks sebagai gejala yang
dinamis. Sebagai ilmu tanda, semiotika sosial mesti dipahami dalam kaitannya dengan konteks, dimana
tanda-tanda tersebut difungsikan. Tanda difungsikan dalam dirinya sendiri. Oleh karena itulah baik dalam
strukturalisme maupun semiotika konsep antar hubungan memegang peranan yang sangat menentukan,
fungsi-fungsi yang selalu diabaikan oleh para peneliti sastra.
-

Teori Strukturalisme Genetik
Sejajar dengan strukturalisme dinamik, strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan
terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik. Baik strukturalisme dinamik
maupun strukturalisme genetik juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra.
Perbedaannya, strukturalisme dinamik terbatas dalam melibatkan peranan penulis dan pembaca dalam
rangka komunikasi sastra, strukturalisme genetik melangkah lebih jauh yaitu ke struktur sosial. Langkahlangkah inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik sangat dominan pada periode tertentu,
dianggap sebagai teori yang berhasil memicu kegairahan analisis, baik di Barat maupun di Indonesia.
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog RumaniaPerancis. Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan perkembangan
ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebagai seorang strukturalis, Goldmann sampai pada kesimpulan bahwa
struktur bermakna, dimana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas,
demikian seterusnya sehimgga setiap unsur menopang totalitasnya.
Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian
terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan
perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji
validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh
teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan
dunia. Konsep-konsep inilah yang berhasil membawa strukturalisme genetik pada puncak kejayaannya,
sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an.
Secara definitif strukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri,
dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subyek transindividual, dan pandangan
dunia. Dalam penelitian, langkah-langkah yang dilakukan, di antaranya: a) meneliti unsur-unsur karya
sastra, b) hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra, c) meneliti unsur-unsur
masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra, d) hubungan unsur-unsur masyarakat dengan
totalitas masyarakat, e) hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan.

-

Teori Strukturalisme Naratologi
Naratologi, dari kata narratio (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos
(ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks)
naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan pen (cerita) an. Naratologi berkembang
atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaiman hubungan antara subjek, predikat, dan
objek penderita.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator, demikian juga dengan wacana teks,
berbeda-beda sesuai dengan para penggagasnya. Narasi baik sebagai cerita maupun penceritaan
didefinisikan sebagai representasi paling sedikit dua peristiwa faktual atua fiksional dalam urutan waktu.
Narator atau agen naratif (Mieke Bal dalam Ratna dalam Hudayat, 2007: 72) didefinisikan sebagai
pembicara dalam teks, subjek secara linguistik, bukan person, bukan pengarang. Kajian wacana naratif
dalam hubungan ini dianggap telah melibatkan bahasa, sastra, dan budaya yang dengan sendirinya sangat
relevan sebagai objek ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora).
Dikaitkan dengan cerita dan penceritaan, maka hanya penceritaan yang memiliki identitas yang sama
baik dengan wacana atau teks. Bal menyebutkan bahwa pembaca membaca teks dan wacana yang berbeda
dari cerita yang sama. Perbedaan bukan semata-mata diakibatkan oleh perbedaan bahasa, tetapi bagaimana
cerita ditampilkan kembali. Setiap orang misalnya, akrab dengan cerita Jaka Tarub, tetapi tidak semua orang
menikmati cerita tersebut melalui teks yang sama sebab teks tidak diceritakan dalam bahasa, melainkan
melalui bahasa; diceritakan oleh narator, bukan pengarang.
Dalam analisis diskursif yang termasuk dalam wilayah pascastruktural, analisis naratif merupakan
bagian ideologi. Cerita dan penceritaan dimanfaatkan untuk melegetimasi kekuatan dan kekuasaan bagi
mereka yang memilikinya. Revolusi, restorasi, dan afirmasi terhadap kelompok tertentu tidak semata-mata
dilakukan melalui kekuatan fisik, politik, dan ekonomi, tetapi juga melalui kata-kata, semboyan, dan
wacana. Pada paham pascastruktural, naratologi tidak membatasi diri pada teks sastra saja melainkan
keseluruhan teks sebagai rekaman aktivitas manusia, sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Aktivitas
kebudayaan pun sesungguhnya adalah teks yang dengan sendirinya dapat dianalisis sesuai dengan ciri-ciri
teks. Visi sastra kontemporer memandang bahwa sebagai seni waktu, penceritaan menduduki posisi penting
dalam memahami aktivitas kultural, dengan pertimbangan bahwa di satu pihak ceritalah yang menampilkan
keseluruhan unsur karya; cerita sebagai tulang punggung karya. Di pihak lain, dalam kaitannya dengan
kebudayaan yang lebih luas, cerita berfungsi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas manusia sekaligus
mewariskannya kepada generasi berikutnya. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa dunia kehidupan itu
sendiri dianggap sebagai teks yang dengan sendirinya dapat dipahami melalui paradigma sebuah teks.
Teori sastra kontemporer memberikan wilayah yang sangat luas terhadap eksistensi naratif. Wilayah
tersebut selain menjangkau novel, juga roman, cerpen, puisi naratif, dongeng, biografi, lelucon, mitos, epik,
catatan harian, dan sebagainya. Naratif tidak dibatasi pada genre sastra, tetapi juga setiap bentuk cerita
dalam media massa.
Secara historis, Maria-Laure Ryan dan Ernst van Alphen (Makaryk dalam Hudayat, 2007: 75)
menyebutkan bahwa naratologi dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Periode prastrukturalis (hingga tahun 1960-an).
2. Periode strukturalis (tahun 1960-an hingga tahun 1980-an).
3. Periode pascastrukturalis (tahun 1980-an hingga sekarang).
Awal perkembangan teori narasi dapat dilacak Poetica Aristoteles (cerita dan teks); Henry James
(tokoh dan cerita); Forster (tokoh bundar dan datar); Percy Lubbock (teknik naratif), dan Vladimir Propp

(peran dan fungsi). Pada umumnya periode strukturalis terlibat ke dalam dikotomi fabula dan sjuzhet (cerita
dan plot). Para pelopornya, di antaranya: Claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzvetan Todorov (historie
dan discours), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text). Greimas (tata bahasa
naratif dan struktur actans). Shlomith Rimmon-Kenan (story, text, narration).
Naratologi pascastrukturalis pada umumnya mendekonstruksi dikotomi parole dan langue, fabula,
dan sjuzhet dengan ciri-ciri naratif nonliterer, interdisipliner, termasuk feminis dan psikoanalisis. Para
pelopornya, di antaranya: Gerard Gennet (urutan, durasi, frequensi, modus, dan suara), Gerald Prince
(struktur narratee), Seymoeur Chatman (struktur naratif), Jonathan Culler (kompetensi sastra), Roland
Barthes (Kernels dan satellits), Mikhail Bakhtin (wacana polifonik), Hayden White (wacana sejarah), Marry
Louise Pratt (tindak kata), Umberto Eco (wacana dan kebohongan), Jacques Derrida (dekonstruksi), Michel
Foucault (wacana dan kekuasaan), Jean-Francois Lyotard (metanarasi), dan Jean Baudrillad (hiperealitas,
pastiche).
Berikut ini dibicarakan empat ahli naratologi, yaitu Propp, Levi-Strauss, Todorov, dan Greimas
sebagai pelopor naratologi periode strukturalis.
1. Vladimir Propp
Propp dianggap sebagai strukturalis pertama yang membicarakan secara serius struktur naratif,
sekaligus memberikan makna baru terhadap dikotomi fabula dan sjuzhet. Objek penelitian Propp adalah
cerita rakyat, seratus dongeng Rusia yang dilakukan tahun 1928 dan baru dibicarakan secara luas tahun
1958. Propp (dalam Hudayat, 2007: 76) menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki
struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi
perbuatan dan peran-perannya sama. Oleh karena itu, penelitian Propp disebut sebagai usaha untuk
menemukan pola umum plot dongeng Rusia bukan dongeng pada umumnya. Menurutnya, dalam struktur
naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh, melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnya disebut fungsi.
Unsur yang dianalisis adalah motif (elemen), unit terkecil yang membentuk tema. Propp memandang sjuzhet
sebagai tema bukan plot seperti yang dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur
yang penting

sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet dengan demikian hanyalah produk dari

serangkaian motif. Motif dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan pendeita yang
kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur tetap (perbuatan) dan unsur yang berubah (pelaku dan
penderita). Dalam hubungan ini yang penting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu sendiri.
Propp mengemukakan bahwa fungsi merupakan unsur yang stabil, tidak tergantung dari siapa yang
melakukan. Di sini, persona bertindak sebagai variabel. Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang
terkandung dalam dongeng yang ditelitinya maksimal 31 fungsi yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang
tindakan atau peranan, yaitu: (1) penjahat, (2) donor, (3) penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang yang
menyuruh, (6) pahlawan, dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp dan Teeuw (dalam Hudayat, 2007: 77),
tujuan Propp bukan tipologi struktur tetapi melalui struktur dasar dapat ditemukan bentuk-bentuk purba.
Dengan kalimat lain, dengan menggabungkan antara struktur dan genetiknya (struktur mendahului sejarah),
maka akan ditemukan proses penyebarannya kemudian. Model Propp mendasari penelitian dari Greimas,
Bremond, dan Todorov.

2. Levi-Strauss
Berbeda dengan Propp, Levi-Strauss lebih memberikan perhataiannya pada mitos. Levi-Strauss
menilai cerita sebagai kualitas logis bukan estetis. Ia mengembangkan istilah myth dan mytheme melalui
jangkauan perhatiannya terhadap mitos yang terkandung dalam setiap dongeng, baik secara bulat maupun
fragmentasi. Menurutnya, mitos adalah naratif itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek
kebudayaan tertentu.
Pada dasarnya mitos merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat. Dengan kalimat
lain, Levi-Strauss menggali gejala di balik material cerita, sebagaimana tampak melalui bentuk-bentuk yang
telah termodifikasikan, dan harus direkonstruksi melaluinya. Mytheme yang mungkin susunannya tidak
teratur, sebagaimana dekronologisasi kejadian dalam plot, maka tugas penelitilah untuk menyusun kembali
sehingga dikemukakan makna karya yang sesungguhnya. Pendekatan antropologi sastra, melalui struktural,
khususnya konsep-konsep oposisi biner, tabu, dan incest, misalnya, dilakukan terhadap mitos Oedipus. Di
satu pihak, oposisi biner didasarkan atas kenyataan bahwa manusia secara kodrati memiliki kecenderungan
untuk berpikir secara dikotomis, seperti laki-laki perempuan, bumi langit, dan sebagainya. Pelarangan
perkawinan di antara keluarga secara logis memaksa manusia untuk mencari pasangan di luar keluarga yang
pada gilirannya akan membentuk ikatan-ikatan baru, sekaligus menciptakan hubungan yang harmonis
dengan masyarakat yang lain.
Berhubungan dengan pembicaraan strukturalisme, Levi-Strauss menyatakan bahwa struktur
bukanlah representasi atau subtitusi realitas. Struktur dipahaminya sebagai realitas empiris itu sendiri yang
tampil sebagai organisasi logis yang disebut sebagai isi. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa isi tidak bisa
terlepas dari bentuk tersebut, dan sebaliknya.
3. Tzvetan Todorov
Disamping memperjelas perbedaan antara fabula dan tsuzhet, Todorov (dalam Hudayat, 2007: 79)
mengembangkan konsep historie dan discours yang sejajar dengan fabula dan stuzhet. Dalam menganalisis
tokoh-tokoh, Todorov menyarankan untuk melakukannya melalui tiga dimensi, yaitu: kehendak,
komunikasi, dan partisipasi. Menurutnya, objek formal puitika bukan interpretasi atau makna, melainkan
struktur atau aspek kesastraan yang terkandung dalam wacana. Dalam analisis harus mempertimbangkan
tiga aspek, yaitu (1) aspek sintaksis, meneliti urutan peristiwa secara kronologis dan logis, (2) aspek
semantik, berkaitan dengan makna dan lambang, meneliti tema, tokoh, dan latar, dan (4) aspek verbal,
meneliti sarana-sarana seperti sudut pandang, gaya bahasa, dan sebagainya.
Konsep Todorov yang lain adalah in presentia dan in absentia. Konsep pertama menyatakan
hubungan unsur yang hadir bersama, secara berdampingan, sebagai hubungan konfigurasi atau konstruksi.
Konsep kedua menyatakan hubungan yang salah satu faktornya tidak hadir, sebagai hubungan makna dan
perlambangan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya antarhubungan adalah kausalitas.
Tokoh menunjukkan tokoh lain sebagai antitesis (in praesentia). Sebaliknya tokoh juga dapat menunjuk
sesuatu yang lain di luar struktur naratif (in absentia). Todorov membedakan antara sastra sebagai ilmu
mengenai sastra (puitika) dan sastra dalam kaitannya dengan disiplin yang lain, sastra sebagai proyeksi,
seperti: psikologi sastra, sosiologi sastra, studi biografi, kritik fenomenologis, dll.

4. Greimas
Objek penelitian Greimas tidak terbatas pada genre tertentu, yaitu dongeng, tetapi diperluas pada
mitos. Dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang hampir sama, Greimas (dalam Abdullah, 1999: 11-13;
Ratna: 2004: 137-140, dalam Hudayat, 2007: 80) memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep
yang lebih tajam dengan tujuan yang lebih universal, yaitu tata bahasa naratif universal. Greimas lebih
mementingkan aksi dibandingkan dengan pelaku. Tidak ada subjek di balik wacana. Yang ada hanyalah
subjek, manusia semu yang dibentuk oleh tindakan yang disebut actans dan acteurs.
Berbeda dengan actans yang terbatas fungsinya dalam struktur naratif, acteurs merupakan kategori
umum. Dia mencontohkan: John dan Paul memberikan apel kepada Mary. John dan Paul adalah dua acteurs
tetapi satu actans. John dan Paul juga merupakan pengirim. Mary sebagai penerima. Apel adalah sebagai
objek. Dalam kalimat John membelikan dirinya sendiri sebuah baju, John adalah satu acteu yang berfungsi
sebagai dua actans, baik sebagai pengirim maupun penerima.
Kemampuan Greimas dalam mengungkap struktur actas dan acteurs menyebabkan teori struktur
naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat, religi,
dan ilmu sosial lainnya. Tiga puluh satu fungsi dasar analisis Propp disederhanakan menjadi dua puluh
fungsi yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur, yaitu struktur berdasarkan perjanjian, struktur
yang bersifat penyelenggaraan, dan struktur yang bersifat pemutusan. Demikian juga tujuh ruang tindakan
disederhanakan menjadi enam actans (peran, pelaku, para pembuat) yang dikelompokkan menjadi tig
pasangan oposisi biner, yaitu subjek dengan objek, kekuasaan dengan orang yang dianugerahi atau pengirim
dan penerima, dan penolong dengan penentang.
Actans merupakan peran-peran abstrak yang dapat dimankan oleh seorang atau sejumlah pelaku.
Actans merupakan struktur dalam, sedangkan acteurs merupakan struktur luar. Acteurs merupakan
manifestasi kongkret actans. Oleh karena itu, artikulasi acteurs menentukan dongeng tertentu, sedangkan
struktur actans menentukan genre tententu. Acteurs yang sama pada saat yang berbeda-beda dapat
merepresentasikan actans yang berbeda-beda. Sebaliknya, actans yang sama terbentuk