Puisi Kota dan Modernisasi Mencari Suara

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

1 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban
Modern Indonesia dalam Arsitektur Hujan

Oleh Agung Dwi Ertato
Abstract
Civilization is the progress of all social life, science, and art. In today's Indonesia, arguably, reached
the modern phase. This is shown in the metropolis of Jakarta as a marker of a modern civilization in
Indonesia. Poetry is one art that can be hand in hand with culture and civilization. However, poetry is
capable of capturing and recording other voices in modern civilization. For example in a collection of
poetry Afrizal Malna, Arsitektur Hujan, modern city life became a major component built his poetry. In
a collection of poetry, the other voice of modern urban civilization represented in notations anxiety.
Kata kunci
Peradaban, Kebudayaan, Modern, Puisi, Sastra, Kecemasan, Suara Lain.

“Puisi adalah suara lain”

—Octavio Paz
“Puisi lahir dari latar waktu yang tak terduga ”
—Afrizal Malna

I
Karangan ini dibuka dengan dua kutipan. Kutipan pertama datang dari penyair
Meksiko, Octavio Paz dan kutipan yang kedua dari Afrizal Malna, penyair Indonesia.
Keduanya merupakan bagian dari negara ketiga dan dari negara yang sama-sama
pernah dijajah oleh Eropa. Saya sengaja mengutip kedua orang tersebut karena
menurut hemat saya, keduanya mempunyai cara yang sama dalam memandang
kebudayaan dan peradaban negaranya, yaitu melalui sastra terutama puisi.
Dalam esainya, The Other Voice[1], Octavio Paz menyebutkan puisi sebagai suara
lain. Octavio Paz memberikan gambaran mengenai hubungan sejarah, puisi, dan
manusia. Baginya puisi sama purbanya dengan sejarah manusia. Jika sejarah adalah
suara, puisi adalah suara lain. Selebihnya Paz menyebutkan, “Puisi disebut suara lain
karena ia adalah hasrat-hasrat dan visi-visi. Ia berada di dunia yang lain, tentang
hari-hari pada masa lampau dan pada hari-hari sekarang, suatu kekunoan tanpa titi
mangsa.”[2] Puisi menghubungkan dunia asali dengan dunia yang lain melalui
imajinasi-imajinasi. Hubungan antara realitas dan imajinasi merupakan faktor utama
dalam karya sastra terutama puisi. Dalam puisi, analogi-analogi, metafora-metafora,

maupun peralatan lainnya digunakan untuk menghubungkan realitas-realitas yang
bertentangan dan menjadikannya entitas kecil yang menggerakkan kosmos.[3] Seperti
Octavio Paz, Afrizal Malna menganggap bahwa puisi terlahir dari latar waktu yang tak
terduga dan pada massa yang mengelilinginya.[4] Keduanya memiliki nafas yang sama
dalam puisi yakni puisi berada pada sekeling massa dan pada sejarah yang
menaunginya serta puisi membawa suara lain.
Beranjak dari hal tersebut, saya tertarik untuk menelusuri suara lain yang berbicara

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

2 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

dalam perpuisian Indonesia. Dalam karangan ini, saya tidak menelusuri semua puisi
yang terdokumentasi dalam kesusastraan Indonesia. Saya hanya menelusuri puisi yang
ditulis oleh Afrizal Malna dalam kumpulan Arsitektur Hujan (1995) karena Afrizal
Malna tumbuh dan besar di kota mertropolis Jakarta. Pertanyaan yang menjadi pokok


"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

pikiran karangan ini adalah bagaimanakah suara lain peradaban Indonesia yang ditulis
dalam Arsitektur Hujan?
II
Sebelum menjawab pertanyaan pada paragraf sebelumnya, di bagian ini penjelasan
mengenai hubungan kebudayaan dan peradaban menjadi inti pembicaraan.
Kebudayaan memiliki makna yang sangat kompleks. A. L Kroeber dan Kluckhohn,
dalam buku Culture, a Critical Review of Concepts and Definitons, setidaknya
menyebutkan 179 definisi kebudayaan. Nat. J. Colletta mendefinisikan kebudayaan
sebagai perilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggota-anggotanya
memiliki makna yang sama serta simbol yang sama untuk mengkomunikasikan makna
tersebut.[5]

Makna-makna tersebut terpatri dalam sistem simbolik yang
direpresentasikan dalam kebiasaan, pranata, perwujudan fungsi, dan fungsi

tersembunyi lainnya.

Dalam buku Pengantar Antropologi, Koentjaraningrat mendefinisakan kebudayaan
sebagai kegiatan belajar. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

!

"

#

$

!

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[6] Dari
definisi yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat, kita dapat menarik tiga pokok penting
dalam kebudayaan: gagasan, tindakan, dan hasil karya. Ketiga pokok tersebut sering
disebut sebagai wujud kebudayaan. Ketiga wujud tersebut saling berhubungan satu

sama lain. Akan tetapi, kita dapat melihat kebudayaan dari satu wujud kebudayaan dan
menafsirkan kedua wujud kebudayaan yang lain. Koentjaraningrat juga memaparkan
tujuh unsur kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah (1) bahasa, (2)
sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5)
sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.[7] Ketujuh unsur
kebudayaan tersebut merepresentasikan wujud kebudayaan, misalkan, dalam bahasa.
Dalam bahasa kita akan menemukan gagasan purba bahasa yaitu sebagai alat
komunikasi, tindakan dalam bahasa adalah tindakan saling bertukar pesan satu sama
lain, dan hasil karya dari bahasa adalah tulisan.
Lalu bagaimana dengan peradaban? Adakah perbedaan yang mendasar antara
peradaban dengan kebudayaan? Secara kasat mata, kedua istilah tersebut sama sekali
tidak mempunyai perbedaan yang cukup ketat. Keduanya memiliki persamaan yaitu
sebagai bagian dari kehidupan manusia dan sebagai sistem simbolik. Jika kita melihat
kata ‘kebudayaan’ dan ‘peradaban’ dalam bahasa Inggris, kita dapat mengetahui
perbedaan kecil dari kedua istilah tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai
untuk kebudayaan adalah culture. Sedangkan peradaban dalam bahasa Inggris adalah
civilization. Kata ‘culture’, mengutip Koentjaraningrat, mengacu pada segala daya
upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah (sic!), sedangkan
kata civilization biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur dari
kebudayaan yang halus, maju, dan indah.[8]

Dalam makalah “Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”, Masinambow
menjelaskan perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Penjelasan Masinambow
hampir sama dengan penjelasan sebelumnya. Akan tetapi, Masinambow menekankan

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

3 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

unsur ‘kemajuan’ sebagai pembeda utama kebudayaan dan peradaban. Ada dua aspek
kemajuan yang diutarakan Masinambow dalam makalah tersebut. Kemajuan yang
pertama adalah kemajuan yang menyangkut kehidupan sosial di kota. Kehidupan kota
dianggap lebih maju dibandingkan dengan kehidupan di desa. Dengan mengutip

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada

hening.” @agungtato

Kroeber dan Kluckhohn, Masinambow menyebutkan dalam pengertian peradaban
terkandung pula suatu unsur keaktifan yang menghendaki agar “kemajuan” itu wajib
disebarkan ke masyarakat dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah yang
berada di daerah-daerah pedesaan yang terbelakang. Unsur lain dalam peradaban yang
berkaitan dengan ‘kemajuan’ adalah kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat
dikaitkan dengan pengertian civitas.[9] Jelas sekali penjelasan mengenai peradaban
yang diutarakan oleh Masinambow terkait dengan proyek modernisasi. Dalam hal ini,
kota dan negara (nation state) merupakan pokok penting dari sebuah peradaban.
Kedua hal tersebut juga sebagai penanda sebuah kebudayaan dianggap sebagai
peradaban yang tinggi. Jika kita analogikan hubungan peradaban dan kebudayaan
ibarat bibir dan mulut. Keduanya memiliki kesamaan, namun memiliki pemaknaan
yang berbeda.
III
Bagaimana hubungan puisi dan kebudayaan? Puisi atau karya sastra tentu saja tidak
diciptakan begitu saja. Imajinasi-imajinasi yang tercipta dalam karya sastra memang
bersifat individual. Namun dalam lingkup keindividuannya, karya sastra dipengaruhi
oleh konvensi-konvensi bahasa dan budaya karya sastra itu diproduksi. Seperti yang


!

"

#

$

!

diungkapkan Sapardi Djoko Damono, “Karya sastra pada hakekatnya adalah suatu
bentuk pengungkapan kehidupan melalui bahasa. Sastrawan menggunakan pengalaman
kehidupannya sebagai bahan sastra. Dengan demikian, suatu kehidupan tertentu yang
dialami oleh sastrawan dengan sendirinya akan melahirkan suatu jenis karya
sastra.”[10] Jauh sebelum Sapardi Djoko Damono, Aristoteles menggambarkan karya
sastra/puisi sebagai cerminan dunia (dalam bahasa Yunani disebut mimesis).[11]
Pandangan Aristoteles mengenai puisi sebagai mimesis dunia kenyataan kemudian
dijadikan panutan beberapa teorikus-teorikus modern untuk mempelajari karya sastra
dalam kaitannya dengan kebudayaan dan mempelajari kebudayaan melalui karya
sastra.

Salah satu teorikus yang memakai ancangan Aristoteles adalah M.H. Abrams. M.H.
Abrams, dalam menelaah karya sastra, menawarkan empat pendekatan. Salah satu
pendekatan yang ditawarkan oleh Abrams adalah mimetik. Dalam pengertian Abrams,
mimetik adalah aspek referensial dan acuan karya sastra pada dunia nyata.[12] Lain
halnya dengan Abrams, Paul Ricoeur mengatakan bahwa dalam karya sastra (baca:
puisi) merupakan wujud yang paling tepat dalam konsep mengada-dalam-dunia.
Selebihnya ia menyebutkan
Narasi, cerita rakyat, dan puisi bukannya tidak memiliki rujukan,
tetapi rujukannya tidak berhubungan dengan bahasa sehari-hari.
Mengenai cerita fiksi dan puisi, kemungkinan-kemungkin baru
mengenai mengada-dalam-dunia terbuka dalam realitas sehari-hari.
Cerita dan puisi menginginkan ke-be-rada-an itu bukannya berada
pada modalitas ‘ke-ber-ada-an yang given’, tetapi di bawah kekuatanuntuk-menjadi. Dengan demikian, realitas sehari-hari diubah oleh apa
yang disebut dengan variasi imajinatif yang diwujudkan oleh sastra ke
dalam kenyataan.[13]
Paul Ricoeur melengkapi ancangan Aristoteles mengenai mimesis dengan metafora.

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...


4 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

Metafora yang ditawarkan Paul Ricoeur tidak sebatas pada kata melainkan lebih dari
kata. Metafora berada pada seluruh tubuh teks sastra itu sendiri. Melalui metafora,
penggambaran kembali mimesis realitas akan dapat menjangkau esensi realitas itu
sendiri (baca: kebudayaan).

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

Dari penjelasan tersebut dapat kita ambil benang merah bahwa karya sastra
mempunyai hubungan cukup erat dengan kebudayaan. Di satu sisi, karya sastra
merupakan dokumen sosiokultural dan di sisi lainnya karya sastra mampu
mereprentasikan realitas melalui bahasa metaforis sehingga kebudayaan atau realitas
dapat menjangkau esensi kebudayaan atau dalam ungkapan Octavio Paz sebagai suara

lain dan dalam ungkapan Paul Ricoeur mengada-dalam-dunia.
Dalam menjawab pertanyaan pada bagian pertama karangan ini, saya memakai
pendekatan mimetik dan hermeneutik Ricoeur untuk menemukan suara lain dalam
peradaban Indonesia. Peradaban dalam hal ini dikontekstualisasikan pada pengertian
peradaban yang telah dijelaskan pada bagian kedua karangan ini yaitu pada kota dan
nation state.
IV
Peradaban Indonesia telah dinarasikan dalam beberapa buku sejarah baik yang ditulis
oleh sarjana dalam maupun sarjana luar negeri. Ricklefs, dalam buku A History of
Modern Indonesia c. 1200, menarasikan sejarah Indonesia ke dalam enam bagian.
Bagian yang menarik dan sebagai kontekstualisasi dalam mencari suara lain peradaban
Indonesia adalah bagian keenam. Pada bagian keenam, Rickless menarasikan puncak
peradaban Indonesia pada masa Presiden Soeharto. Pada masa itu pula, puncak

!

"

#

$

!

peradaban ditandai dengan majunya sistem negara dan sistem kota, dalam hal ini kota
yang paling maju adalah Jakarta karena Jakarta merupakan ibukota negara. Ricklesf
menulis,
For about a dozen years Soeharto’s ‘new order’ enjoyed remarkable
success. Its economic development plans were catapulted forward by
the revolution in oil prices of the 1970s. As Jakarta became a
metropolis of gleaming skyscrapers, a new middle class emerged. That
middle class was prepared to tolerate much of the corruption and
some of the oppression exercised by the regime because the benefits
to itself and to future generations seemed so great. The gains of
economic development began to flow also to the poor and to rural
villages. Internationally, Indonesia retained the favour of its
Westernoriented donors and trading partners, while also exploiting
some opportunities for collaboration with Communist states.[14]
Dalam kutipan tersebut kita mendapatkan gambaran bahwa pada tahun 1970,
Indonesia mencapai titik puncak peradaban pada era Orde Baru. Kemajuan tersebut
ditandai dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kota Jakarta menjadi kota
metropolis. Jakarta juga menjadi ujung penting dalam peradaban Indonesia. Sebagai
ibukota negara, Jakarta menjadi magnet bagi para kaum urban yang ingin mencari
pekerjaan atau perbaikan nasib. Jakarta mengalami perubahan drastis baik segi sosial
maupun perekonomian terbukti dengan banyak bermunculan gedung-gedung bertingkat
di pusat kota Jakarta.
Apa yang diutarakan di atas merupakan narasi sejarah Peradaban Indonesia, dalam
hal ini kota jakarta merupakan simbol kemajuan peradaban Indonesia. Lalu bagaimana
dengan suara lain dalam peradaban Indonesia tersebut? Puisi dalam hal ini mempunyai
posisi penting dalam mengetahui suara lain peradaban Indonesia. Seperti yang
diungkapkan sebelumnya, bahwa puisi dalah suara lain.

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

5 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

Setidaknya ada beberapa puisi dalam kurun waktu masa puncak Orde Baru yang
membicarakan kota sebagai bahan bangun puisi. Salah satunya adalah puisi yang dibuat
oleh Afrizal Malna. Afrizal Malna adalah penyair yang tumbuh dan besar di kota
metropolis Jakarta. Tak khayal, sebagian besar puisi-puisinya sarat dengan kota dan

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

benda-benda modern. Dalam puisi “Restoran dari Bahasa Asing”, kita seakan dibawa
dalam tamasya kehidupan modern yang lain.
Restoran dari Bahasa Asing
Aku dengar batu dilemparkan ke ruang tamu. Paru-paru penuh sapi,
mencari jalan raya dan megapon. Tak ada orang sikat gigi malam itu,
atau menyisir rambut, seperti dugaanmu penuh batu dari masa lalu.
Mulutku penuh lendir, virus stadium lima, menyusun biografimu dari
sepatu. Seperti pikiranmu yang mencari tanah air selalu: penuh
serdadu, kapal dagang, dan anti-biotika.
Ah, ada tamu yang lain, bikin restoran dari bahasa asing. Mereka
saling menggosok di tiang listrik. Padahal aku telah jadi dirimu juga,
ikut bernyanyi pula lagu-lagu sendu, dengan baju seratus ribu.
Mengenakan juga gaya hidup Ani, di antara Sri dan Ayu: Fajar yang
tenggelam dalam tubuhmu. Di situ aku dengar bahasa tak hentihentinya jadi orang asing, penuh lemari, kursi, gas, dan minyak.
Aduh, udara penuh cemburu, tali sepatu, kaos kaki, dan obrolan tiga
ribu perak. Tetapi aku dengar kepalamu berevolusi jadi jamur, jadi
batu, jadi kamar mandi di malam hari. Ah, koran pagi, terasa jadi
tiang listrik di situ, untuk pernyataan politik tiga ribu perak.
Udara penuh hair spray, virus terluka. Aiih, mari, jangan sombong.
Kepalamu penuh batu, menghuni ruang tamu tak terjaga.

!

"

#

$

!

1991

Dalam puisi tersebut, modernisasi hanya sebatas pandangan semu dan perayaan
menjadi segala yang seragam. Modernisasi hanya menawarkan benda-benda mati,
bahasa pun hanya menjadi benda-benda tak bertuan. Kita dapat melihat hal tersebut
dari metafora-metafora yang dipilih oleh Afrizal Malna dalam membangun sajaknya.
Restoran, megapon, sikat gigi, sepatu, tanah air, serdadu, kapal dagang, restoran,
tiang listrik, baju, gaya hidup, lemari, gas, minyak, hair spray, koran, dan politik
menjadi petunjuk kita untuk memasuki ke-lain-an peradaban modern Indonesia dalam
sajak tersebut. Peradaban modern, dalam sajak tersebut, tak lebih dari tubuh yang
dijejali oleh benda-benda. Dan tubuh tersebut pun tidak pernah mengelak dari jejalan
benda-benda dan memaksa untuk ikut merayakan keseragaman. Keseragaman yang
dimaksud dalam hal ini adalah keseragaman dalam konsumsi benda-benda. Kita tidak
pernah memikirkan mengapa kita memilih benda itu, yang kita pikirkan hanyalah
mengkonsumsi benda tersebut agar kita dapat eksis dalam sosiokultural di peradaban
modern Indonesia.
Dalam peradaban modern tersebut, identitas tak lagi jadi hal yang istimewa.
Semuanya dapat menjadi dengan membeli dalam restoran dari bahasa asing, membeli
sepatu berlabel, atau dengan mencatat biografi pribadinya dari benda-benda modern.
Kebebasan memilih indentitas ke-aku-an modern tidak lebih dari tumpukan
benda-benda yang telah disediakan oleh pasar.
Di sisi lain, sejarah kita (baca: Indonesia), boleh dibilang, merupakan hasil
konfrontasi berkepanjangan dengan kolonialisme yang akhirnya mencapai pembebasan.
Namun, pembebasan tersebut bukan pembebasan sepenuhnya. Narasi besar
keindonesiaan yang ditulis setelah kolonial pada akhirnya terbentur pada benda-benda

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

6 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

kota atau modern. Suara Lain Keindonesiaan dalam benak Afrizal Malna, barangkali
hanya sebatas pada keindonesiaan yang terbentuk dari ayam goreng dari Amerika dan
keindonesiaan yang dibeli dari televisi-televisi dan toko-toko, atau restoran.

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

[...]
Sejarahku seperti anak-anak lahir, dari kapal-kapal kolonial yang
terbakar. Mereka mencari tema-tema pembebasan, tetapi bukan ayam
goreng dari Amerika, atau sampah dari Jerman.
Begitu saja semua aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuag
stasiun, membuka toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni
kota-kota dengan televisi, penuh obat dan sikat gigi.
[...]
(“Beri Aku Kekuasaan”)

Pada puisi “Migrasi dari Kamar Mandi”, ingatan mengenai revolusi dinarasikan
kembali oleh Afrizal Malna. Revolusi Indonesia merupakan titik penting perubahan
peradaban Indonesia. Revolusi menjadikan bangsa Indonesia eksis di antara bangsabangsa lainnya. Melalui revolusi juga, sedikit demi sedikit, modernisasi masuk ke dalam
peradaban Indonesia. Proses tersebut layaknya sebuah migrasi dari yang belum ada
menjadi sesuatu yang ada.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempat aku mengingat juga:
sebuah revolusi hari-hari kemerdekaan, di Pekalongan, Tegal,
Brebes, yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita
minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre
yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, dan alat-alat pembakar
bahasa. tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya,
dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.

!

"

#

$

!

(“Migrasi dari Kamar Mandi”)
Dalam peradaban modern, kita ramai-ramai meninggalkan benda-benda tradisional
(dalam puisi “Migrasi dari Kamar Mandi” metafora untuk benda-benda tradisional
adalah tebu, udang, dan batik) dan digantikan dengan benda-benda modern. Kita
dihadapkan pada sebuah tatanan baru, tatanan yang tak mengindahkah masa lalu.
Perubahan dari tradisional ke modern seakan-akan menawarkan kenyamanan baru,
namun migrasi tersebut bersifat paradoks, ia menawarkan kenyamanan melalui kapak,
rantai penyiksa, dan alat-alat pembakar bahasa. Begitulah Afrizal menyuarakan
pandangannya mengenai modernisasi di Indonesia terutama di Jakarta, ia menyebutkan
modernisasi sebagai migrasi berbahaya.
Afrizal Malna, dalam “Orang-orang Jam 7 Pagi”, berhasil menangkap realitas dalam
sebuah kota pada pagi hari. Kita tentu tahu, Jakarta yang metropolis memaksa
warganya untuk tetap bergerak pada pagi hari, memadati jalanan untuk mendapatkan
hidup yang lebih baik dari kemarin. Kondisi tersebut merupakan bagian dari
modernisasi. Waktu tak lagi menjadi entitas yang lentur. Melalui waktu, kita dipaksa
untuk tetap teratur pada jalur yang ditentukan, contohnya setiap pagi di Jakarta, kita
masih saja melihat kemacetan di jalan-jalan utama. Dalam puisi “Orang-orang Jam 7
Pagi”, Afrizal Malna menulis
Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama bubur ayam,
mentega dalam roti, dan air mendidih di atas kompor. Sepatu
mereka mulai menyanyi, menjauh dari teras rumah, bau sabun
dan shampo pada rambut basah. Suara ribut di meja makan
berubah jadi asap knalpot. Aku adalah 3 KM yang lalu dalam
bis penuh sesak, menyelusuri koridor-koridor yang menyimpan
betismu, lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi
masyarakat, pada telpon yang kau angkat.
Jam 7 pagi aku antarkan tubuhku dalam kristal-kristal vitamin

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

7 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

C, lembar-lembar foto copy: Tolong cumi setengah kilo; minyak
goreng satu botol; bawang putih. Dan tidur yang tersisa pada
rambut seorang ibu, tiba-tiba melempar selimut: siapa yang
telah menyusun pagi seperti ini? Suaranya seperti siaran berita
yang menggebrak meja.

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

(“Orang-orang Jam 7 Pagi”)

Pagi hari di Jakarta tersusun dari serangkaian kegiatan penuh keributan, sesak, dan
asap knalpot. Seperti tidak ada masyarakat yang hidup dalam kota metropolis pada pagi
hari. Semua ditentukan oleh rutinitas atas entitas waktu yang membatasi masyarakat,
dari meja makan hingga tempat pekerjaan.
Di puisi-puisi lain Afrizal Malna, notasi kecemasan akan peradaban modern terasa
semakin kuat. Kota semakin dilumuti oleh kecemasan dari benda-benda modern. Akan
tetapi, kota tetap menjadi tawaran menggiurkan bagi sebuah perubahan. Pada puisi
“Bis Membawa Mereka Pergi” dan “Mitos-mitos Kecemasan”, perasaan cemas
melingkupi seluruh narasi puisi tersebut.
Bis Membawa Kita Pergi
Dengan bis yang asing, kami tinggalkan rumah-rumah tanpa
listrik. Berangkat ke negeri-negeri baru, tumbuh di sepanjang
jalan. Senja tertahan pada pendaran lampu-lampu neon, dan
orang-orang hanya tinggal bayang-bayang berkelabat. Begitu
saja anak-istri kami berdandan baju merah biru. Kami putar
impian-impian Amerika, seperti mahluk-mahluk yang setiap
saat sibuk mengubah diri.

!

"

#

$

!

Kota seperti etalase dihuni jam weker yang buas di situ.
Menangkapi ikan-ikan dari limbah industri. Lalu kami bersorak,
kami bisa bekerja apa saja, mengangkat batu, memindahkan
hutan dan sungai-sungai, atau mencuri. Tapi siapakah kami, di
antara siaran-siaran TV itu, menyentuh sunyi di tengah pasar.
Kalau kami telah pergi bersama hembusan angin, tua dan kering.
Kami menetes pada setiap impian manusia. Seperti daerah
berbahaya yang terbuka, tanpa ada siapa pun yang bisa bicara
lagi di situ.
1985

Pada bait pertama “Bis Membawa Kita Pergi”, yang dapat kita lihat adalah
gambaran tentang perubahan menuju ke tingkat modern. Media untuk perubahan
tersebut adalah bis asing yang mengantarkan pada negeri-negeri baru yang penuh
dengan neon. Impian-impian tentang Amerika adalah impian tentang kebebasan,
pembaruan, dan impian tentang perubahan. Paradoksial terjadi pada bait dua dan tiga.
Kota yang disimbolkan sebagai tempat impian-impian Amerika ternyata hanya sebuah
etalase. Etalase yang menjual segala benda-benda yang dapat mengidentifikasi diri
dalam masyarakat kota. Kota menawarkan kebebasan dalam memilih pekerjaan tapi
ternyata kebebasan semu yang didapat. Kebebasan tersebut ternyata diatur oleh
permainan pasar yang berlabelkan kapital. Pada akhirnya, di akhir bait kedua, identitas
kota yang modern dipertanyakan kembali di tengah hiruk pikuk modernisasi kota dan
siaran-siaran TV. Notasi kecemasan muncul di tengah modernisasi kota, kecemasan
tentang identitas, subjek, dan pertanyaan terhadap diri sendiri.
Notasi kecemasan juga terdapat pada puisi “Mitos-mitos Kecemasan” (1985).
Sebuah kota yang maju dan metropolis ternyata di jaga oleh mitos-mitos kecemasan.
Mitos-mitos tersebut berupa senjata. Afrizal, dalam puisi tersebut, menulis
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan
tersendiri di hati kami, yang akan kembali bercerita saat-saat

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

8 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di
situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahai
hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau
bergoyang menggetarkan tanah ini. Burung-burung berterbangan
memburu langit, mengarak gunung-gunung mengelilingi kota

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

(“Mitos-mitos Kecemasan”)

Mari kita bandingkan dengan tulisan sejarah Ricklefs. Ricklefs menuliskan dalam kurun
waktu 1980-an di Indonesia terjadi penembakan misterius. Selebihnya ia menuliskan,
These transitions did nothing to lessen the regime’s disregard for
the rule of law in security matters. In 1983–5 a crime wave was
met with statesanctioned murders without trial of perhaps 5000
alleged criminals across the country. These so-called Petrus killings
(from penembakan misterius, mysterious shootings) were carried
out by the police and military, with bodies being dumped in public
places as warnings to others. Although the government denied
knowledge of the killings at the time, in his 1989 autobiography
Soeharto made it clear that the killings were state-sponsored
‘shock therapy’.[15]
Jelas sekali, untuk mengukuhkan hegemoni Soeharto, ia menggunakan senjata atau
lebih sering dikenal dengan petrus (penembakan misterius). Penembakan tersebut
digunakan untuk menjaga lingkungan kota dari para kriminal. Dalam otobiografi
Soeharto, ia menuliskan bahwa penembakan misterius dilakukan untuk memberikan
shock therapy kepada pelaku kriminal di kota metropolis. Serupa dengan Ricklesf,
Afrizal menangkap peristiwa tersebut dengan ungkapan yang padat, kota kami dijaga
!

"

#

$

!

mitos-mitos kecemasan. Mitos-mitos tersebut berupa senjata yang akan membungkam
pengetahuan. Selanjutnya ia menulis kami telah membaca dan menulis di kota itu.
Akan tetapi tidak ada pengetahuan yang masuk, hanya kebutaan saat merambahi
hari-hari gelap gulita. Begitulah kota metropolis yang kadang menawarkan
kebahagiaan. Akan tetapi, peradaban modern menyiratkan sebuah notasi kecemasan.
Seperti yang dituliskan Afrizal Malna berikutnya,
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu,
mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian sedang
membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah
pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu
dimana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan
bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
(“Mitos-mitos Kecemasan”)

Modernisasi selalu menimbulkan tumbal bagi society. Salah satunya adalah
pengorbanan impian. Notasi kecemasan dalam kutipan tersebut adalah notasi impianimpian anak-anak bangsa kelak yang hanya sebatas jadi bensin, dengan kata lain hanya
sebagai bahan bakar bagi gerak modernisasi itu sendiri untuk menambah kota-kota
baru sepanjang hari.
Pada akhirnya, notasi-notasi kecemasan dalam peradaban modernisasi tersebut
menggenang seperti esok takkan ada lagi yang disapa. Begitulah akhir suara lain
Afrizal Malna dalam “Mitos-mitos Kecemasan”. Suara Lain dari peradaban Modern
Indonesia yang kian marak dirayakan sampai sekarang. Saat kecemasan itu memuncak,
tidak ada lagi subjek yang berbicara, hanya benda-benda modern saja yang berbicara
untuk mendikte subjek-nya, seperti tertulis dalam puisi “Warisan Kita”.
Warisan Kita
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku,
rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

9 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

kacaku, emberku, geratan gasku. Bicara lagi cerminku,
kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas
minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku,
lumbung berasku, ani-aniku.

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku,
kambingku, kitab- kitabku, piring makanku, pompa
airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku,
sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang
tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para
kerabat-tetanggu, guntungku, pahatku, lemariku,
gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku,
tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju
dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucingkucingku... pisau
1989

Yang kita wariskan pada generasi penerus hanyalah semesta benda-benda modern yang
kelak mengdikte kita. Perubahan-perubahan semu yang barang tentu akan terus
menerus menjadi sebuah notasi kecemasan bagi peradaban modern. Begitulah suara
lain Afrizal dalam memandang peradaban modern Indonesia. Dan melalui puisilah,
peradaban modern dapat dibaca dengan notasi kecemasan.
V
Berdasarkan penjelasan paragaf-paragraf sebelumnya, kita dapat menarik kesimpulan
!

"

#

$

!

bahwa pada dasarnya karya sastra/puisi mempunyai cara yang unik dalam menangkap
peradaban modern. Dalam kasus puisi-puisi Afrizal Malna, peradaban modern
Indonesia ditulis ulang dengan narasi penuh kecemasan. Reprensentasi peradaban
Indonesia, dalam puisi-puisi Afrizal, adalah kehidupan kota. Kota menampilkan
tawaran-tawaran kemajuan, perubahan, dan pembaruan dalam sebuah etalase-nya.
Kota juga menawarkan identitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehidupan
rural. Akan tetapi, suara lain dalam peradaban modern cenderung menampilkan
kesemuan-kesemuan yang ditawarkan kota. Kita hanya mendapatkan kebebasan,
kemajuan, perubahan, dan pembaruan yang serba semu. Kebebasan, kemajuan,
perubahan, dan pembaruan yang bebas kita pilih dalam peradaban modern kota
ternyata telah tereduksi oleh sebuah pasar besar yang sering disebut kapital.
Demikianlah suara lain peradaban modern dalam Arsitektur Hujan yang telah disusun
oleh Afrizal Malna, notasi peradaban kecemasan.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1999. A Glossary of Literary Term / 7th Edition. Boston: Heinle &
Heinle.
Colleta, Nat. J. 1987. “Pendahuluan” dalam Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah
Pendekatan terhadap Antropologi Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rinneke Cipta.
Malna, Afrizal. 1995. Arsitektur Hujan. Yogyakarta: Bentang.
Masinambow, E.K.M. 2004. “Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya”
dalam Tommi Christomy dan Untung Yuwono (ed.), Semiotika Budaya. Depok:
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Indonesia.
Paz, Octavio. 2010. Suara Lain: Esai-Esai tentang Puisi Modern. Depok: Komodo

24/09/2012 7:53

Puisi, Kota, dan Modernisasi : Mencari Suara Lain Peradaban Modern ...

10 of 11

h p://agungdwiertato.blogspot.com/2010/12/puisi-kota-dan-moderni...

Books.
Ricklefs, M.C. 2001. A History of Modern Indonesia since c. 1200/ 3rd Edition.
Hampshire: Palgrave.
Ricoeur, Paul. 2009. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

"Ini hanyalah persoalan waktu,
kekasihku, Kita hanya butuh puisi
yang panjang Untuk kembali pada
hening.” @agungtato

Catatan Akhir
% &

[1]

'(

)

*+ ,

$

(

-./.0!
[2]

! % ! !/1-!

[3]

%! % ! !-.-!

[4]

'

2

[5]

! !

(

)3
(

# "

#

*$

( -./.0! ! 4 !
!

,

$

$

#

$

%

)

"

*3 #

"

5

(

/1670 ! -!
+

[6]

8

[7]

! % ! ! -.:;-.

,

*

2 #

&

( -..