Implikasi Undang undang Informasi dan Tr

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), sejak diundangkan dan disahkan pada tahun 2008, diketahui sudah beberapa kali memakan
“korban” akibat dari adanya multitafsir. Menurut data dari SAFENet, sejak tahun 2008 hingga
November 2015, ada 118 netizen yang menjadi korban UU ITE. Di tahun 2015 sendiri, lembaga
ELSAM mencatat ada sekitar 47 korban yang terjerat UU ITE. Menariknya, menurut data
Remotivi dalam rentang periode 28 Agustus 2008 hingga 23 Agustus 2016, dari total 126 laporan
terkait UU ITE yang tercatat, 50 kasus di antaranya dilaporkan oleh mereka yang merupakan
aparatur negara, seperti kepala daerah, anggota legislatif di tingkat daerah, hakim atau jaksa serta
aparat penegak hukum.1 UU ITE ini juga banyak digunakan oleh kalangan profesional dan
pelaku bisnis. Alasan yang paling sering digunakan adalah penghinaan terhadap pejabat negara.
Di samping itu, tuduhan lain seperti melakukan korupsi dan kekerasan juga menjadi alasan kuat
mengapa mereka melakukan pelaporan. Laporan paling banyak ditujukan kepada aktivis LSM
sehingga wartawan serta masyarakat awam. Dari data ini dapat diketahui bahwa penggunaan UU
ITE banyak digunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik yang memiliki jabatan,
kekuatan politik ataupun pemilik modal.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa organisasi masyarakat sipil mencoba mendesak
pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU ITE ini. Perubahan ini sekaligus
untuk menjawab tantangan aktual dalam pemanfaatan teknologi internet saat ini. Dibutuhkan
akselerasi hukum dan dukungan arsitektur lainnya, seperti sosial dan teknologi, untuk mampu
menjawab berbagai kebutuhan dalam pemanfaatan internet. Hukum seharusnya mampu menjadi
jembatan beragam arsitektur yang menopang pemanfaatan internet, sekaligus menjembatani

transformasi tantangan dari yang semula sebatas offline (konvensional), menjadi online (dalam
jaringan).
Upaya untuk merevisi UU ITE ini akhirnya dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan
menyetujui perubahan terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut pada tanggal 27 Oktober 2016
lalu. Melalui pengesahan UU ITE hasil revisi, setidaknya ada tujuh poin penting perubahan yang
menjadikan UU ITE yang baru berbeda dari sebelumnya. Pertama, melakukan perubahan dalam

1 http://elsam.or.id/2016/11/revisi-uu-ite-masih-berpotensi-mengancam-kebebasan-berekspresi/, diakses pada
tanggal 29 November 2017 pukul 00.21 di Jakarta

Pasal 27 ayat 3 bertujuan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, antara lain :2
1. Menambahkan penjelasan atas istilah mendistribusikan, mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik.
2. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
3. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada
ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
Perubahan kedua yaitu menurunkan ancaman pidana pada dua ketentuan, antara lain
adalah ancaman pidana penjara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik paling lama enam
tahun menjadi paling lama empat tahun dan/atau denda dari paling banyak satu milyar rupiah

menjadi paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Ketentuan kedua yaitu ancaman pidana
penjara pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti paling
lama dua belas tahun menjadi paling lama empat tahun dan/atau denda dari paling banyak dua
milyar rupiah menjadi paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah.3
Perubahan ketiga yaitu menambahkan penjelasan mengenai informasi elektronik sebagai
alat bukti hukum dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2. Perubahan keempat yaitu melakukan
sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur
dalam Pasal 43 ayat 5 dan ayat 6 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Perubahan kelima yaitu memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
yang diatur dalam Pasal 43 ayat 5 UU ITE untuk memutus akses terkait tindak pidana teknologi
informasi. Perubahan keenam yaitu menambahkan ketentuan right to be forgotten pada Pasal 26,
yakni kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik
berdasarkan penetapan pengadilan. Perubahan ketujuh yaitu memperkuat peran pemerintah untuk
mencegah penyebarluasan konten negatif di internet yang diatur dalam Pasal 40. Berdasarkan
ketentuan ini Pemerintah memiliki kewenangan memutus akses dan/atau memerintahkan kepada
Penyelenggara Sistem Elektronik melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik
yang memiliki muatan melanggar hukum.4

2 http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38124294, diakses pada tanggal 29 November 2017 pukul 00.56 WIB
di Jakarta.

3 Ibid.
4 Ibid.

Namun sayangnya, hasil perubahan, yang mulai berlaku pada tanggal 28 November 2016
ini, jauh dari yang diharapkan masyarakat. Perubahan atau revisi UU tersebut bahkan hanya
bersifat copy-paste tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu UU yang
mengatur internet.
Revisi yang bersifat copy-paste tersebut nampak dari sejumlah materi, seperti misalnya :5
1. Ambigunya rumusan yang mengatur mengenai konten internet, dengan sebatas
pemberian kewenangan pemutusan akses bagi pemerintah.
2. Munculnya rumusan baru, seperti hak atas penghapusan informasi (right to be
forgotten), tanpa dilengkapi dengan syarat dan prosedur yang memadai.
3. Persoalan dalam pengaturan pidana yang belum mampu meminimalisir
pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kriminalisasi terhadap
ekspresi yang sah (legimate expression).
Dalam materi hasil revisi UU ITE dalam pasal 40, terdapat aturan baru terkait
kewenangan pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap konten internet yang
dilarang, termasuk memberikan perintah kepada Internet Service Provider untuk melakukan
pemutusan. Pemberian wewenang mutlak kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses
secara politik berbahaya, mengingat besarnya potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

power). Selain itu, rumusan ini juga jauh dari standar hak asasi manusia dalam pemutusan atau
blocking konten internet, yang menghendaki adanya kejelasan batasan konten internet yang dapat
dibatasi, prosedur dalam pembatasannya, mekanisme pemulihannya, dan keharusan wewenang
pemutusan konten yang harus diserahkan kepada suatu badan yang independen dan bebas dari
kepentingan politik dan ekonomi.
Selain itu, UU ITE yang telah direvisi ini juga masih mengundang kritik yang berkaitan
dengan pasal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU
ITE. Secara umum, baik sebelum direvisi maupun setelah direvisi, Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini
tetap dinilai membatasi kebebasan berpendapat atau berekspresi bagi warga negara. Pasal ini
sering dipandang sebagai penyebab orang memilih bungkam atau self censorship atas kondisi
sosial politik yang ada di masyarakat. Masyarakat menjadi takut untuk bersuara mengenai
5 https://geotimes.co.id/kolom/revisi-uu-ite-untuk-melindungi-kebebasan-berekspresi/, diakses pada tanggal 29
November 2017 pukul 00.25 di Jakarta

ketidakadilan di sekelilingnya dan berteriak terhadap pelanggaran yang dilakukan penguasa
karena khawatir dianggap penghinaan atau pencemaran nama baik. Pasal tersebut juga dianggap
sebagai pasal yang bertentangan dengan hakekat kebebasan berpendapat yang dijamin dalam
Pasal 28 UUD 1945 dan tidak seharusnya lulus judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan narasi diatas, diketahui bahwa memang tidak seluruh publik sepakat dengan
keberadaan UU ITE ini, baik sebelum di revisi maupun setelah di revisi. Meskipun demikian,

sebagian pihak menilai keberadaan undang-undang ini penting dengan pertimbangan jumlah
pengguna internet di Indonesia yang cukup besar, yakni sekitar 88,1 juta orang. Para pengguna
ini tentu saja membutuhkan batasan untuk menjamin kenyamanan dan keselamatan setiap
pengguna internet, misalnya dari bahaya penipuan, informasi yang tidak benar, situs-situs yang
mengandung konten negatif dan lain sebagainya.