laporan fisiologi dan teknologi pasca pa

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penanganan pasca panen secara garis besar dapat meningkatkan daya
gunanya sehingga lebih bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Hal ini dapat
ditempuh dengan cara mempertahankan kesegaran atau mengawetkannya dalam
bentuk asli maupun olahan sehingga dapat tersedia sepanjang waktu sampai ke
tangan konsumen dalam kondisi yang dikehendaki konsumen.
Umumnya produk hasil pertanian bersifat bulky, segar dan mudah rusak.
Hasil pertanian setelah dipanen merupakan bahan biologis yang masih memiliki
kandungan air yang tinggi. Oleh sebab itu, bahan tersebut masih akan
melangsungkan proses kehidupan yang jika tidak dikendalikan akan dapat
menurunkan mutunya sendiri. Kerusakan hasil pertanian dapat disebabkan oleh
dua faktor yaitu faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Kerusakan
tersebut mengakibatkan penurunan mutu baik secara kuantitatif maupun kualitatif
yang berupa susut berat karena rusak, memar, cacat dan lain-lain. Kelemahan lain
yang juga mempengaruhi fluktuasi dan kontinuitasnya adalah hasil pertanian
biasanya musiman.
Teknologi pascapanen dapat mengamankan hasil panen dan mengolah hasil
menjadi komoditas bermutu, siap dikomsumsi, selain dapat pula meningkatkan
daya guna hasil maupun limbah hasil olahan. Petani melaksanakan proses

pengamanan produksi pada tahap paling rawan, yakni panen (pengumpulan,
perontokan,

pembersihan,

dan

pengangkutan),
1

pengeringan

(penjemuran,

pembalikan dan pembersihan) dan pengolahan (penggilingan, pengemasan,
penyimpanan, pengangkutan). Upaya ini lebih banyak ditujukan untuk
menyelamatkan

kehilangan


hasil

daripada

mengurangi

susut

maupun

meningkatkan mutu karena terbatasnya kemampuan petani, baik dalam
penguasaan teknologi, penyediaan sarana, maupun permodalan.
Proses pascapanen merupakan rangkaian masalah yang luas dan kompleks,
yang tidak hanya ditentukan oleh masalah teknis tetapi juga melibatkan sosial dan
ekonomi. Teknologi pascapanen tepat guna mutlak diperlukan karena berkaitan
dengan jumlah dan mutu komoditas. Masalah pendayagunaan hasil dan limbah
hasil panen serta hasil olahan juga perlu mendapatkan perhatian untuk dapat
menunjang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
B. Tujuan
1. Mengetahui kadar air dan beberapa produk paca panen yang diperdagangkan

dalam kondisi kering
2. Membandingkan kadar air anatar produk segar dan produk kering dari spesies
tanaman yang sama
3. Membandingkan daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies
tanaman yang sama.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pascapanen atau lepas panen atau purna panen adalah bahan hasil pertanian
baik nabati maupun hewani yang merupakan hasil suatu pemetikan, penangkapan
atau bentuk pengambilan lainnya.Teknologi Pascapanen yang telah ada belum
dapat mengimbangi teknologi Pra-Panen, khususnya di tingkat Petani, sehingga
banyak terjadi susut maupun penurunan mutu yang tidak diinginkan. Pengalaman
masa lalu membuktikan bahwa banyak produksi pangan, seperti palawija dan
hortikultura, hasil ternak dan komoditi perikanan, yang hilang muspra (sia-sia)
sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap proses pasca panen. Perlu diketahui
bahwa kehilangan produksi setelah panen adalah sebagai berikut :
1. Untuk beras, mencapai : 11% - 13%

2. Untuk buah-buahan dan sayuran : 20% - 40%
3. Untuk hasil-hasil peternakan : 15% - 20%
4. Untuk hasil perikanan lebih kurang : 20%
(Sulardjo, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan pascapanen buahan dan
sayuran adalah sebagai berikut:
1.

Musim saat panen (hujan atau kemarau)

2.

Waktu panen (pagi atau siang)

3.

Cara penumpukan

4.


Cara dan kemasan dalam pengangkutan

5.

Cara pembersihan

3

6.

Cara trimming

7.

Cara dan bahan pengemasan

8.

Cara dan suhu penyimpanan


(Aqil, 2013).
Buah atau hasil tanaman lainnya yang melangsungkan pemasakan pada
lingkungan alami, dalam menghadapi fluktuasi (ketidaktetapan) temperatur
lingkungan yang bagaimanapum. Kemungkinan untuk menerima pengaruh atau
akibat ketidaktetapan tadi tidak boleh diabaikan, seperti pengaruh atau akibat yang
dapat menimbulkan perlambatan atau sebaliknya percepatan reaksi-reaksi unsur.
Dalam keadaan ini metabolisma akan berubah, namun demikian tekanan
fisiologinya tidak menunjukan kejadiaan yang jelas, sehingga buah atau hasil
tanaman tampaknya tetap melangsungkan pemasakan (juga senescence) secara
wajar (Kartasapoetra, 1989).
Proses pengeringan pada prinsipnya menyangkut proses pindah panas dan
pindah massa yang terjadi secara bersamaan (simultan). Pertama panas harus di
transfer dari medium pemanas ke bahan. Selanjutnya setelah terjadi penguapan
air, uap air yang terbentuk harus dipindahkan melalui struktur bahan ke medium
sekitarnya. Proses ini akan menyangkut aliran fluida di mana cairan harus di
transfer melalui struktur bahan selama proses pengeringan berlangsung. Jadi
panas harus di sediakan untuk menguapkan air dan air harus mendifusi melalui
berbagai macam tahanan agar supaya dapat lepas dari bahan dan berbentuk uap air
yang bebas. Lama proses pengeringan tergantung pada bahan yang di keringkan
dan cara pemanasan yang digunakan. Makin tinggi suhu dan kecepatan aliran


4

udara pengeringan makin cepat pula proses pengeringan berlangsung. Makin
tinggi suhu udara pengering, makin besar energi panas yang di bawa udara
sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang di uapkan dari permukaan
bahan yang dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka
makin cepat massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer
(Halimatuddahliana, 2013).
Kelembaban udara berpengaruh terhadap proses pemindahan uap air. Pada
kelembaban udara tinggi, perbedaan tekanan uap air didalam dan diluar bahan
kecil, sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan keluar menjadi terhambat.
Pada pengeringan dengan menggunakan alat umumnya terdiri dari tenaga
penggerak dan kipas, unit pemanas (heater) serta alat-alat kontrol. Sebagai sumber
tenaga untuk mengalirkan udara dapat digunakan blower. Sumber energi yang
dapat digunakan pada unit pemanas adalah tungku, gas, minyak bumi, dan elemen
pemanas listrik (Halimatuddahliana, 2013).
Pressure Bomb menukur potensi air dalam xylem, atau potongan buah dan
sayuran. Potongan daun atau batang tanaman dimasukkan dalam ruang
pengukuran yang kedap udara. Sampel tersebut dibungkus penutup yang fleksibel,

dan bagian terpotong bebas kontak dengan udara disekitarnya. Air dalam jaringan
dipaksa keluar dengan tekanan yang diberikan dalam ruang pengukuran. Tekanan
untuk mengeluarkan air dari sampel tersebut biasanya berkisar 5-4 bar
(Widjarnako, 2012).

5

III.METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat pengukur kadar air (moisture tester),
kantong plastik, karet gelang dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah biji
jagung kering, biji jagung segar, gabah kering, gabah segar, kacang tanah kering
dan kacang tanah segar.
B. Prosedur Kerja
Kegitan 1
1. Produk pasca panen segar dan kering disiapkan
2. Produk pasca panen tersebut diukur kadar airnya menggunkan moisture tester
3. Perbangingan kadar air dibuat dengan membuat grafik batang.
Kegiatan 2

1. Produk pasca panen kering dan segar disiapkan
2. Produk kering dan segar dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda
3. Produk tersebut disimpan dilaboratorium selama 5 hari
4. Dilakukan pengamatan selama 5 hari secara berturut-turut
5. Komponen yang diamati yaitu warna, bentuk, penampilan dan bau.

6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Tabel Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
No
Jenis Produk
Warna

Kadar Air

1.


Jagung Kering

Orange

12,4 %

2.

Jagung Basah

Kuning

27,0 %

3.

Kacang Tanah Basah

Putih


28,5 %

4.

Kacang Tanah Kering

Putih Kecoklatan

15 %

5.

Gabah Kering

Kuning

15 %

6.

Gabah Basah

Kuning Kecoklatan

22,8 %

2. Grafik Kadar Air Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
30

28.5

27

25

22.8

20
15

15

14.9
12.4

10
5
0

Jagung

Kacang Tanah
Kering

Basah

7

Gabah

3. Tabel Pengamatan Daya Simpan Produk Pasca Panen (Basah/Kering)
No Tanggal Indika
Hasil pengamatan
Gabah
Jagung
Kacang tanah
tor
Kering Basah Kering Basah Kering Basah
1. 5/5/2015
W
K
KH
O
K
C
P
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
2. 6/5/2015
W
K
KH
O
K
C
P
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
3. 7/5/2015
W
K
C
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
TS
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
4. 8/5/2015
W
K
CH
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
5. 9/5/2015
W
K
CH
O
K
PK
C
Be
T
T
T
T
T
T
P
S
S
S
S
S
S
B
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
TBk
Keterangan:
1. W (Warna) : K (Kuning), KH (Kuning Kehitaman), C (Coklat), CH (Coklat
Kehitaman, O (Orange), P (Putih), PK (Putih Kehitaman)
2. B (Bentuk) : T (Tetap), K (Keriput)
3. P (Penampilan) : S (Segar), TS (Tidak Segar)
4. B (Bau) : B (Busuk), TBk (Tidak Busuk)
B. Pembahasan
Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air sampai batas
tertentu sehingga reaksi biologis terhenti dan mikrorganisme serta serangga tidak
bisa hidup di dalamnya (Suma, 2009). Menurut Mutiarawati (2007), pengeringan
(drying) bertujuan mengurangi kadar air dari komoditas. Pada biji-bijian

8

pengeringan dilakukan sampai kadar air tertentu agar dapat disimpan lama. Pada
bawang merah pengeringan hanya dilakukan sampai kulit mengering. Tujuan
pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan
organisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat
atau bakteri terhenti sama sekali. Dengan demikian bahan yang dikeringkan
mempunyai waktu simpan lebih lama (Halimatuddahliana, 2013).
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara alami dan buatan. Pengeringan
alami dapat dilakuakan dengan cara menjemur produk pasca panen dibawah sinar
matahari. Efektifitas penjemuran sangat ditentukan oleh: 1) ketebalan lapisan
pengeringan, 2) suhu dan lama pengeringan, 3) bulk density serta 4) frekuensi
pembalikan yang dilakukan (Aqil, 2013). Menurut Marsaningtyas (2011), cara
pengeringan secara buatan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:
1. Pengeringan

kontinyu/berkesinambungan

(continuous

drying),

dimana

pemasukan dan pengeluaran bahan berjalan terus menerus.
2. Pengeringan tumpukan (batch drying), bahan masuk ke alat pengering sampai
pengeluaran hasil kering, kemudian baru dimasukkan bahan berikutnya.
Cara pengeringan secara umum ke dalam empat golongan menurut suhu
udara pengeringnya, yaitu :
1. Cara pengeringan dengan suhu sangat rendah (ultra low temperature drying
system)
2. Cara pengeringan dengan suhu rendah (low temperature drying system)
3. Cara pengeringan dengan suhu tinggi (high temperature drying system)

9

4. Cara pengeringan dengan suhu sangat tinggi (ultra high temperature drying
system).
Pengeringan secara mekanis adalah pengeringan dengan bantuan alat
pengering yang dioperasikan secara mekanis. Beberapa alat pengering mekanis
yang banyak dijumpai adalah: (a) alat pengering dengan sumber panas energi
bahan bakar minyak (solar, minyak tanah); (b) alat pengering dengan sumber
panas energi bahan bakar limbah pertanian; (c) alat pengering dengan sumber
panas energi sinar matahari (Firmansyah, et all. 2011).
Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa
pengering konvensional dibagi atas 8 bagian, yaitu : (Sitanggang, 2011)
1. Baki atau wadah
Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material yang akan
dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media pengering. Cara
perpindahan panas yang umum digunakan adalah konveksi dan perpindahan
panas secara konduksi juga dimungkinkan dengan memanaskan baki tersebut.
2. Rotary
Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara material
yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium pengering, umumnya
udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan bersentuhan dengan material
yang dikeringkan dengan arah menyilang. Alat penukar kalor yang dipasang di
dalam ruang pengering untuk memungkinkan terjadinya konduksi.
3. Flash
Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan kandungan
air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan. Materi yang

10

dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium pengering dan proses
pengeringan terjadi saat aliran medium pengering ikut membawa produk yang
dikeringkan. Setelah proses pengeringan selesai, produk yang dikeringkan akan
dipisahkan dengan menggunakan hydrocyclone.
4. Spray
Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan produk yang
berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat. Contohnya, proses
pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan pengeringan produk-produk
farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk
tetesan oleh atomizer dan dijatuhkan dari bagian atas. Medium pengering
(umumnya udara panas) dialirkan dengan arah berlawanan atau searah dengan
jatuhnya tetesan. Produk yang dikeringkan akan berbentuk padatan dan terbawa
bersama medium pengering dan selanjutnya dipisahkan dengan hydrocyclone.
5. Fluidized bed
Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif tinggi
menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika dibandingkan
dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang lebih besar.

6. Vacum
Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah. Dimana
pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang terjadi adalah
perpindahan massa pada suhu rendah.
7. Membekukan

11

Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya digunakan
pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk farmasi dan zatzat kimia lainnya.
8. Batch dryer
Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang sangat
sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas kimia.

Metode penentuan kadar air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode
langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung menerapkan metode oven
dan metode destilasi. Pada metode oven, sampel bahan diletakkan ke dalam oven
hingga diperoleh berat konstan pada bahan. Penentuan kadar air pada metode
oven didasarkan pada banyaknya air yang hilang dari produk. Adapun pada
metode destilasi, kadar air dihilangkan dengan memanaskan biji ke dalam air dan
selanjutnya menentukan volume atau massa air yang hilang pada biji dalam uap
yang terkondensasi atau dengan pengurangan berat sampel. Pada prinsipnya
mekanisme penggunaan oven untuk pengukuran kadar air dapat diperoleh dengan
mengurangi bobot awal benih sebelum dioven terhadap bobot benih sesudah
dioven (Suma, 2009).
Moisture meter merupakan suatu instrumen atau peralatan yang dipakai
untuk mengukur jumlah kandungan air yang tedapat pada suatu zat. Alat tersebut
juga bisa digunakan untuk mengukur tingkat kelembaban suatu zat. Secara umum
ada beberapa cara dan prinsip kerja yang bisa dilakukan untuk menentukan
kandungan air dari suatu zat, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Termogravimetri
Cara ini dilakukan dengan dua teknik utama yakni pemanasan dan
12

penimbangan. Selisih berat sebelum pemanasan dan setelah pemanasan
merupakan nilai dari kandungan air yang ditentukan tersebut.
2. Konduktometri
Prinsip atau cara inilah yang dilakukan oleh alat moisture meter tersebut,
yakni salah satu teknik pengukuran kadar air dengan teknik elektrik, dimana
pengukura didasarkan pada konduktivitas atau hantaran listrik. Kadar air akan
berbanding linear terhadap kapasitas listrik yang diukur. Hantaran listrik
tersebut akan ditangkap oleh alat yang dinamakan detektor.
(Nuhasbi, 2008).
Menurut Utama dan Pratiwi (2009), biji dan bagian tanaman pascapanen
dapat pula bertahan akibat stress kelebihan air. Kadar air optimal untuk
penyimpanan adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang normal
mengalami perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan dan siklus
reproduksi. Dalam hal ini, kadar air rendah adalah diinginkan untuk menjaga
mutu dalam jangka panjang untuk kebanyakan biji. Pada kebanyakan biji,
peningkatan kadar air di atas optimum untuk penyimpanan berakibat pada
perubahan mutu yang tidak diinginkan, dimana dari pandangan pascapanen
mewakili stress, akibatnya akan mempengaruhi daya simpan produk pasca panen.
Stress kelebihan air juga umum terjadi untuk produk pascapanen bila air dibiarkan
tetap pada permukaan produk. Pada kondisi dimana bila suhu di bawah titik
embun dari uap air udara disekitar produk, maka akn terjadi kondensasi
dipermukaan produk dan akan merangsang invasi patogen.

13

Gamabar 1. Hubungan kadar air dengan pola respirasi yang mempengaruhi masa simpan produk
pasca panen.

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, praktikum dilakanakan
di lab Hortikultura Universitas Jenderal Soedirman. Pengamatan dilakukan selama
5 hari dan diamati warna dari tiap komoditas (jagung, kacang tanah dan gabah).
Dihari pertama dilakukan pengukuran kadar air dari setiap komoditas baik
komoditas yang segar maupun kering (jagung, gabah dan kacang tanah). Dari
hasil praktikum yang telah dilakukan di hari pertama didapatkan data mengenai
jenis produk jagung kering berwarna orange dengan kadar air 12,4%, jagung
basah berwarna kuning dengan kadar air 27,0%. Komoditas kacang tanah basah
berwarna putih dengan kadar air 28,5% dan kacang tanah kering berwarna putih
kecoklatan dengan kadar air 15%. Gabah kering berwarna kuning dengan kadar
air 15% dan gabah basah berwarna kuning kecoklatan dengan kadar air 22,8%.
Perlakuan selanjutnya yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap daya
simpan dari komoditas produk pasca panen gabah, jagung dan kacang tanah
14

(kering dan basah). Dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna dari warna,
bentuk, penampilan dan bau. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan
didapatkan data dari tiap komoditas. Variabel yang diamati yaitu warna, bentuk,
penampilan dan bau yang mengalami perubahan yaitu warnanya saja, sedangkan
untuk vaiabel bentuk, penampilan dab bau tidak mengalami perubahan selama 5
hari penyimpanan.
Hal ini dibuktikan dengan pendapat Marsaningtyas (2011), bahwa Salah satu
penanganan pasca panen kacang tanah yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan
pengeringan dengan segera setelah panen. Dengan melakukan proses pengeringan, kadar
air kacang tanah akan mengalami penurunan sampai batas aman tidak ditumbuhi
mikroorganisme. Kadar air biji kacang tanah saat panen berkisar antara 35 – 50 %, dan
pada kondisi tersebut jamur dari jenis Aspergillus akan tumbuh dan membentuk
Aflatoksin. Kadar air yang aman untuk mencegah kontaminasi jamur pada kacang tanah
adalah ≤ 10 %.
Dari literatur yang telah dilihat dapat disimpulkan untuk beberapa komoditas
diperlukan penanganan pasca panen dengan cara pengaringan. Pengeringan mampu
menurunkan kadar air pada produk pasca panen sehingga menghambat mikroorganime
untuk tumbuh, dari hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukan hasil bahwa
komoditas yang diuji (jagung, kacang tanah dan gabah) tidak mengalami pembusukan
yang menunjukan bahwa komoditas itu tidak terserang dengan patogen pascapanen.
Sehingga daya simpan dari komoditas pascapanen lebih lama umur simpannya.

Menurut Chailani (2010), Kandugan air sangat berpengaruh terhadap
perkembangan jasad renik. Sebagai contoh beras dan gabah dapat disimpan pada
waktu tertentu, tanpa atau sedikit menurunkan kualitas bila kandungan airnya
antara 13-14%, sedang di atas 13-14% akan mempercepat perkembangan jasad
15

renik terutama jamur. Penyimpanan beras dengan kandungan air lebih dari 14%
akan menyebabkan proses metabolisme jasad renik dan serangan hama bertambah
cepat. Batas kemunduran air yang baik untuk penyimpanan gabah dengan
mempertimbangkan serangan jasad renik dan hama diperkirakan sekitar 13,5%
dengan lengas nisbi udara sekitar 70-75%. Jadi jelas bahwa untuk penyimpanan
beras maupun gabah diperlukan kandungan air sekitar 14%, dengan lengas nisbi
udara 75% dan suhu 27˚-32˚%.

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Kadar air jagung, kacang tanah dan gabah dalam kondisi kering yaitu 12,4,
14,9 dan 15.

16

2. Kadar air jagung kering 12,4 sedangkan kadar air jagung segar 27, kadar air
kacang tanah kering 14,9 sedangkan kadar air kacang tanah segar 28,5 dan
kadar air gabah kering 15 sedangkan kadar air gabah segar 22,8.
3. Daya simpan antara produk pascapanen gabah, jagung dan kacang tanah baik
dalam keadaan kering dan basah yang memiliki daya simpan yang lebih lama
yaitu prouk pascapnen dalam keadaan kering karena tiap variabel yang
diamati tidak ada yang berubah.
B. Saran
Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang dilakukan,
dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja yang telah
diakukan dari tiap acara.

DAFTAR PUSTAKA

Aqil, M. 2013. Pengelolaan Proses Pasca Panen Sorgum Untuk Pangan. Seminar
Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Chailani, S.R. 2010. Penyakit-penyakit pasca panen tanaman pangan. UB press.
Universitas Bawijaya, Malang. 152 hlm.

17

Firmansyah, et all. 2011. Penanganan Pasca Panen. Baalai Penelitian Tanaman
Serealia, Maros.
Halimatuddahliana. 2013. Jenis-jenis Alat Pengering. Departemen Teknik Kimia.
Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Kartasapoetra, A.G. 1989. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Bina Aksara,
Jakarta, 252 p.
Marsaningtyas, E. 2011. Penerapan DCS pada Rotary Dryer Untuk Pengeringan
Kacang Tanah. Laporan Tugas Akhir. Universitas Diponegoro. Semarang.
Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu Lapangan I
(PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SLPPHP). Depatemen Pertanian.
Nurhasbi, J. 2008. Pengembangan Standar Pengujian Kadar Air dan
Perkecambahan Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Untuk Menunjang
Program Penanaman Hutan Di Daerah Bogor. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan, Bogor.
Sitanggang, H. 2011. Pengujian dan Simulasi Mesin Pengering Produk Pasca
Panen.(Online)repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25988/3/Chapter
%20II.pdf. Diakses 18 Mei 2015.
Sulardjo. 2014. Penanganan Pasca Panen Padi. Magistra. No. 88. Th. XXVI.
ISSN 0215-9511. Hal: 44-58.
Suma, D. 2009. Teknologi Pasca Panen Untuk Peningkatan Mutu Jagung.
Fakultas Teknik. UGM, Yogyakarta.
Utama, I.M.S dan Pratiwi, I.D.R. 2009. Stres Produk Pascapanen Hortikultura.
Juruan Teknologi Pertanian. Universitas Udayana.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB Press.
Universitas Brawijaya.
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Buah-buahan mempunyai arti penting sebagi sumber vitamin, mineral, dan
zat-zat lain dalam menunjang kecukupan gizi. Buah-buahan dapat kita makan baik
18

pada keadaan mentah maupun setelah mencapai kematangannya. Sebagian besar
buah yang dimakan adalah buah yang telah mencapai tingkat kematangannya.
Untuk meningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun
kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat
pengatur pertumbuan Ethylen. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam
pematangan buah kita dapat menentukan penggunaannya dalam industri
pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethylen dalam
usaha penyimpanan buah-buahan.
Proses pematangan buah didahului dengan klimakterik (pada buah
klimakterik). Klimakterik dapat didefinisikan sebagai suatu periode mendadak
yang unik bagi buah dimana selama proses terjadi serangkaian perubahan biologis
yang diawali dengan proses sintesis ethylene. Meningkatnya respirasi dipengaruhi
oleh jumlah ethylene yang dihasilkan, meningkatnya sintesis protein dan RNA.
Proses

klimakterik

pada Apel

diperkirakan

karena

adanya

perubahan

permeabilitas selnya yang menyebabkan enzym dan susbrat yang dalam keadaan
normal terpisah, akan bergabung dan bereaksi satu dengan lainnya.
Perubahan warna dapat terjadi baik oleh proses-proses perombakan
maupun proses sintetik, atau keduanya. Pada jeruk manis perubahan warna ni
disebabkan oleh karena perombakan khlorofil dan pembentukan zat warna
karotenoid. Sedangkan pada pisang warna kuning terjadi karena hilangnya
khlorofil tanpa adanya atau sedikit pembentukan zat karotenoid. Sisntesis likopen
dan perombakan khlorofil merupakan ciri perubahan warna pada buah tomat.

19

Menjadi lunaknya buah disebabkan oleh perombakan propektin yang tidak
larut menjadi pektin yang larut, atau hidrolisis zat pati (seperti buah waluh) atau
lemak (pada adpokat). Perubahan komponen-komponen buah ini diatur oleh
enzym-enzym antara lain enzym hidroltik, poligalakturokinase, metil asetate,
selullose.
Seiring dengan perubahan tingkat ketuaan dan kematangan, pada umumnya
buah-buahan mengalami serangkaian perubahan komposisi kimia maupun
fisiknya. Rangkaian perubahan tersebut mempunyai implikasi yang luas terhadap
metabolisme dalam jaringan tanaman tersebut. Diantaranya yaitu perubahan
kandungan asam-asam organik, gula dan karbohidrat lainnya. Perubahan tingakat
keasaman dalam jaringan juga akan mempengaruhi aktifitas beberapa enzim
diantaranya adalah enzim-enzim pektinase yang mampu mengkatalis degradasi
protopektin yang tidak larut menjadi substansi pectin yang larut. Perubahan
komposisi substansi pektin ini akan mempengaruhi kekerasan buah-buahan.
Peningkatkan hasil buah yang masak baik secara kualias maupun
kuantitasnya dapat diusahakan dengan substansi tertentu antara lain dengan zat
pengatur pertumbuan Ethylene. Dengan mengetahui peranan ethylene dalam
pematangan buah kta dapat menentukan penggunaannya dalam industri
pematangan buah atau bahkan mencegah produksi dan aktifitas ethyelen dalam
usaha penyimpanan buah-buahan.
B. Tujuan

20

1. Mengetahui dapat tidaknya pematangan buah dipacu dengan gas pematangan
buah
2. Membandingkan kecepatan pematangan buah secara alami dengan secara
dipacu dengan gas pematangan buah
3. Membandingkan mutu dari buah yang dimatangkan secara alami dan secara
dipacu.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dari segi penampilan termasuk didalamnya ukuran, bentuk, warna, dan ada
tidaknya kerusakan dan luka pada buah. Sedangkan yang dimaksud dengan flavor

21

adalah

pengukuran

tingkat

kemanisan

(sweetness),

keasaman

(acidity),

astringency, rasa pahit (bitterness), aroma, dan off-flavor. Kandungan nutrisi pada
buah dapat berupa vitamin A dan C, kandungan mineral, dietari fiber, karbohidrat,
protein, antioxidan phytochemical (carotenoid, flavonoid, dan senyawa fenol
lainnya). Faktor-faktor keamanan yang juga mempengaruhi kualitas buah segar
adalah residu dari pestisida, keberadaan logam berat, mikotoxin yang diproduksi
oleh berbagai spesies fungi dan kontaminasi dari mikroba (Winarno, 2004).
Pematangan merupakan perubahan yang terjadi pada tahap akhir
perkembangan buah atau merupakan tahap awal penuaan (senescence) pada buah.
Selama perkembangan buah terjadi berbagai perubahan biokimiawi dan fisiologi.
Pada umumnya buah yang masih muda berwarna hijau karena memiliki kloroplas
sehingga dapat mengadakan fotosintesis, tetapi sebagian besar kebutuhan
karbohidrat dan protein diperoleh dari bagian tubuh tumbuhan lainnya. Buah
muda yang sedang tumbuh mengadakan respirasi sangat cepat sehingga dihasilkan
banyak asam karboksilat dari daur Krebs, misalnya asam isositrat, asam fumarat,
asam malat. Kadar asam-asam ini berkurang sejalan dengan berkembangnya buah
karena asam-asam ini digunakan untuk mensintesis asam amino dan protein yang
terus berlangsung dalam buah sampai buah masak (Sinay, 2008).
Pengaruh penting etilen dalam meningkatkan deteriorasi komoditi yang
mudah rusak meliputi:
1. Mempercepat senensen dan menghilangkan warna hijau pada buah seperti
mentimun dan sayuran daun
2. Mempercepat pemasakan buah selama penanganan dan penyimpanan

22

3. “Russet spoting” pada selada
4. Pembentukan rasa pahit pada wortel
5. Pertunasan kentang
6. Gugurnya daun (kol bunga, kubis, tanaman hias)
7. Pengerasan pada asparagus
8. Mempersingkat masa simpan dan mengurangi kualitas bunga
9. Gangguan fisiologis pada tanaman umbi lapis yang berbunga
10. Pengurangan masa simpan buah dan sayuran
(Mutiarawati, 2007).
Pemeraman merupakan tindakan menaikkan konsentrasi etilen di sekitar
jaringan buah untuk mempercepat pemasakan buah. Pematangan dengan
menggunakan karbit adalah tindakan pembentukan asetilen (etuna atau gas
karbid), yang di udara sebagian akan tereduksi oleh gas hidrogen menjadi etilen.
Kalsium karbida berupa batu berwarna abu-abu dimana bersama air atau ruang
lembab, batu karbit akan terurai menjadi gas asetilen (C 2H2) dan air kapur yang
berwarna putih (Ca(OH)2 ), gas asetilen akan merangsang aktivitas sel buah
sehingga akan memacu kematangan buah (Sunarjono, 2002).
Terjadi perubahan fisioko-kimia dan organoleptik selama buah dan sayur
memasuki fase perkembangan dan kemasakan sel. Konsumen menginginkan suatu
kualitas tertentu untuk komoditas buah dan sayur. Sayur biasanya enak untuk
dimakan pada saat masih muda, misalnya: kacang panjang, rebung, kapri,
mentimun, sayuran berdaun (kangkung, sawi dll), nangka dan lain-lain. Sedang

23

buah enak untuk dimakan bila telah masak (mangga, durian dll) (Widjanarko,
2012).

III.METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

24

Alat yang digunakan adalah ember plastik, kain, kertas koran, karet gelang
dan kertas label. Bahan yang digunakan adalah buah pisang mentah, buah pisang
matang dan kalsium karbida (CaC2).
B. Prosedur Kerja
1. Alat dan bahan yang akan diguunakan disiapkan
2. Dari ketiga ember pada tiap ember diberi keterangan dengan kertas label,
ember 1 diberi keterangan PA (Pematangan Alami), ember kedua PPM
(Pematangan dengan Pisang Matang), ember ketiga menggunakan PK
(Pematangan dengan Karbit)
3. Kertas koran dimasukkan kedalam ketiga ember
4. Karbt dibungkus dengan kain secukupnya dan diikiat dengan karet gelang
5. Karbit diletakkan pada kertas koran yang ada di ember berlabel PK
6. 2 buah pisang matang diletakkan pada kertas koran yang ada pada ember
berlabel PPM
7. Kemudian dimasukkan 3 buah pisang mentah pada setiap ember
8. Kertas koran diletakkan diatas pisang mentah
9. Ember ditutup dengan penutupnya dengan rapat
10. Kemudian diberi keterangan pada etiap ember dengan tanggal dan nama
kelompok
11. Selama 10 hari dilakukan pengamatan setiap hari terhadap perubahan warna
kulit pisang mentahnya

25

12. Setelah warna pisang kuning merata dan kekerasan buahnya cukup dilakukan
pengamatan.

26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
V.

Tabel Hasil Pengamatan pisang dengan PA, PPM dan PK.

VI.

VII.
XXI.

V.
XIII.XIV. XV.

PK
XVI. XVII.
XVIII.XIX.

VIII. IX. X. XI.

XII.

XXII. XXIII.

XXVI.XXVII.

XXX. XXXI.

XXXVI.
XXXVII.

XL.

XLIV. XLV.

L.

LIV. LV.

LVII.

LXVIII.
LXIX.

LXXI. LXXII.LXXIII. LXXV.

XXXV.
XLI.

XLIX.
LI.

LVIII. LIX.

LXI.

LXIII.
LXIV. LXV.
LXXVII.
LXXVIII.
LXXIX.
XCI.
XCII. XCIII.
CV.
CVI. CVII.
CXIX.
CXX. CXXI.
CXXXIII.

LXXXII.
LXXXIII.LXXXV.LXXXVI.
LXXXVII.LXXXIX.
XCVI.XCVII. XCIX. C.
CX.

CXI.

CXXIV.
CXXV.

CI.

CXIII. CXIV. CXV.

CIII.
CXVII.

CXXVII.CXXVIII.
CXXIX. CXXXI.
27

CXXXIV.
CXXXV.CXXXVII.
CXXXVIII.
CXXXIX.CXLI. CXLII.CXLIII. CXLV.
CXLVII.
CXLVIII.
CXLIX. CLI.
CLII. CLIII. CLV. CLVI. CLVII. CLIX.

CLX. K
A
T
E
R
A
N
G
A
N:
CLXI. PA
:
Pe
m
ata
ng
an
Al
a
mi
CLXII.PP
M:
Pe
m
ata
ng
an
Pi
sa
ng
M
ata
ng
CLXIII.
PK:
Pe
m
ata
ng
an
Ka
rbi
t

VII.
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
XVI.
XVII. FOTO HARI PERTAMA
XVIII.

28

XIX.

XX.

Pematangan Pisang Matang
Pematangan Karbit

Pematangan Alami

XXI.
XXII. FOTO HARI TERAKHIR

29

XXIII.

XXIV.

30

B. Pembahasan
XXV.

Menurut Santoso (2013), kebanyakan masyarakat mengartikan

matang (mature) dan masak (ripe) dengan konsep yang sama pada komoditi
hortikultura, terlebih-lebih terhadap komoditi buah. Dalam fisiologi pasca panen,
matang dan masak adalah istilah yang berbeda untuk stadia yang berbeda pada
masing-masing tingkat perkembangan. Matang didefinisikan sebagai komoditi
yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang lengkap. Khususnya pada
buah, oleh US Grade mendefinisikan matang sebagai suatu tahapan atau stadia
yang akan menjamin penyelesaian proses pemasakan. Kebanyakan ahli teknologi
paska panen mendefinisikan matang sebagai suatu stadia pada saat komoditi
mencapai stadia perkembangan cukup setelah panen dan pada saat penanganan
paska panen keadaan kualitasnya masih dapat diterima oleh konsumen.
XXVI.

Menurut Winarno (2004), dapat diketahui bahwa ethylene

merangsang pemasakan klimakerik. Buah-buahan non klimakterik akan
mengalami klimakterik setelah ditambahkan ethylene dalam jumlah yang besar.
Sebagai contoh buah non klimakterik untuk percobaannya adalah jeruk. Di
samping itu pada buah-buahan non klimakterik apabila ditambahkan ethylene
beberapa kali akan terjadi klimakterik yang berulang-ulang.
XXVII.

Menurut Utama (2001), Etilen dalam ruang penyimpanan dapat

berasal dari produk atau sumber lainnya. Sering selama pemasaran, beberapa jenis
komoditi disimpan bersama, dan pada kondisi ini etilen yang dilepaskan oleh satu
komoditi dapat merusak komoditi lainnya. Gas hasil bakaran minyak kendaraan
bermotor mengandung etilen dan kontaminasi terhadap produk yang disimpan dapat

31

menginisiasi pemasakan dalam buah dan memacu kemunduran pada produk nonklimakterik dan bunga-bungaan atau bahan tanaman hias. Kebanyakan bunga potong
sensitive terhadap etilen.

XXVIII.

Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4)

berupa gas berpengaruh terhadap proses fisiologis tanaman. Etilen dikategorikan
sebagai hormon alami untuk penuaan dan pemasakan dan secara fisiologis sangat
aktif dalam konsentarsi sangat rendah

XXIX. Menurut Winarno (2004) Karbit yang terkena uap air akan
menghasilkan gas asetilen yang memiliki struktur kimia mirip dengan etilen
alami, zat yang membuat proses pematangan di kulit buah. Proses fermentasi
berlangsung serentak sehingga terjadi pematangan merata. telah menunjukkan
bahwa C2H2 meningkatkan kegiatan enzym-enzym katalase, peroksidase, dan
amylase dalam irisanirisan mangga sebelum puncak kemasakannya. Serta selama
pemacuan juga diketemukan zat-zat serupa protein yang menghambat pemasakan,
dalam irisan-irisan itu dapat hilang dalam waktu 45 jam. Perlakuan dengan C 2H2
mengakibatkan irisan-irisan menjadi lunak dan tejadi perubahan warna yang
menarik dari putih ke kuning, yang memberi petunjuk timbulnya gejala-gejala
kematangan yang khas.
XXX.

Menurut Mutiarawati (2007), menentukan waktu panen atau

kematangan yang tepat juga tergantung dari komoditas dan tujuan/ jarak
pemasarannya atau untuk tujuan disimpan. Untuk serealia (biji-bijian), hasil
tanaman dipanen saat biji sudak tua dan mengering. Pada buah-buahan, untuk
pemasaran jarak dekat, komoditas dapat dipanen saat sudah matang benar dan ini
umumnya tidak sulit untuk ditentukan, tapi untuk pemasaran jarak jauh atau untuk
32

dapat disimpan lama, kita harus mempertimbangkan jarak atau waktu tersebut
dengan proses kematangan yang terjadi dari tiap komoditas.
XXXI. Bila panen terlalu awal, kualitas hasil akan rendah, begitu juga bila
panen terlambat, komoditas tidak tahan lama disimpan. Selain menentukan
kematangan yang tepat, saat akan melakukan panen juga harus memperhatikan
kondisi lingkungan yang sesuai. Menentukan “kematangan” yang tepat dan saat
panen yang sesuai, dapat dilakukan berbagai cara, yaitu :
1. Cara visual / penampakan : misal dengan melihat warna kulit, bentuk buah,
ukuran, perubahan bagian tanaman seperti daun mengering dan lain-lain
2. Cara fisik : misal dengan perabaan, buah lunak, umbi keras, buah mudah
dipetik dan lain-lain
3. Cara komputasi, yaitu menghitung umur tanaman sejak tanam atau umur buah
dari mulai bunga mekar
4. Cara kimia, yaitu dengan melakukan pengukuran/analisis kandungan zat atau
senyawa yang ada dalam komoditas, seperti: kadar gula, kadar tepung, kadar
asam, aroma dan lain-lain.
XXXII. Menurut Setyabudi (2013), Buah-buahan secara umum dapat
dikelompokkan

ke

dalam

buah-buahan

klimaterik

dan

non-klimaterik.

Karakteristik buah-buahan klimaterik berbeda dengan non-klimaterik, sehingga
penanganan yang diterapkan juga berbeda. Identifikasi buah-buahan klimaterik
dan non-klimaterik dapat dilakukan melalui pola-pola respirasi terhadap produksi
karbon dioksida (Co2) dan etilen (C2H4). Buah-buahan klimaterik menunjukan
peningkatan produksi karbon dioksida dan etilen selama pematangan. Disamping

33

terjadi fase pelunakan, fase peningkatan kemanisan dan fase berkurangnya rasa
asam. Sementara buah non-klimaterik fase-fase seperti pelunakan, peningkatan
produksi karbon dioksida dan fase kemanis-keasaman tidak terjadi, tetapi tetap
landai selama pematangan dan tidak terjadi fase pelunakan.
XXXIII.

XXXIV.
Sumber: Utama, 2001.
XXXV.
XXXVI. Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, pada ember
yang berisi pematangan alami (mentah) pisang tersebut baru matang pada hari ke9 dengan tekstur keras dan rasa yang manis dan berwarna kuning. Dihari ke 1-7
pisang yang berada dalam ember pematangan alami warna masih hijau dan pada
hari ke 8 warna berubah menjadi hijau kekuningan, untuk tekstur pisang dengan
pematangan alami di hari ke 1-9 pisang masih bertekstur keras dan di hari ke 10
tekstur pisang dengan pematangan alami mulai terasa cukup lunak.
XXXVII.

Ember yang berisi pematangan pisang matang, pisang

tersebut mulai matang pada hari ke-5 dengan tekstur keras di hari ke 1 dan 2
dengan rasa netral. Hari ke 3 sampai ke 5 tektur berubah menjadi cukup lunak dan
rasa yang manis. Dihari ke 6-10 pisang yang berada dalam ember pematangan
34

pisang matang tekstur berubah menjadi lunak dengan rasa sangat manis. Warna
pisang pada hari pertama berwarna hijau, di hari ke-3 warna berubah menjadi
warna hijau kekuningan dan di hari ke 4-6 warna pisang berubah menjadi warna
kuning sedangkan pada hari ke 7-10 warna pisang yang diperam menggunkan
pematangan pisang alami warna kulit pisang berubah menjadi kuning kehitaman.
XXXVIII.

Ember yang berisi pematangan karbit, pisang tersebut

dihari ke-4 sudah matang. Tekstur pisang pada hari ke 1-2 tekstur pisang masih
keras dengan rasa netral. Pada hari ke 3-4 tekstur pisang cukup lunak dengan rasa
yang manis. Pada hari ke 5-10 tekstur pisang berubah menjadi lunak dengan rasa
sangat manis. Warna kulit pisang berwarna hijau pada hari ke 1-2. Pada hari ke 310 warna kulit pisang berubah menjadi hijau kekuningan. Berdasarkan hasil
pengamatan yang telah dilakukan warna pisang yang lebih cepat berubah
dibandingkan dengan pemtangan pisang oleh karbit.
XXXIX. Selanjutnya, buah pisang pada suhu 16-20˚C mengalami puncak
klimakterik pada 19 hari penyimpanan dan pada saat tersebut buah berwarna
kuning namun tekstur keras dan rasa manis asam sedikit sepat sedangkan buah
pada suhu 27˚C mencapai puncak klimakterik pada 12 hari simpan dengan warna
buah kuning, ujung hijau, tekstur lunak dan rasa manis. Buah yang berada pada
suhu 27˚C, cepat lunak dan buah mudah lepas dari sisirannya. Dengan demikian,
pematangan pada suhu sejuk menghasilkan buah dengan warna kuning, rasa
manis, namun tekstur belum lunak dan tidak mudah rontok.
XL.

Cara pemeraman sederhana dilakukan dengan menempatkan buah

pisang di dalam tanah, selanjutnya dilakukan pengasapan dari bahan pertanian,

35

misalnya daun kelapa, sabut kelapa yang dikenal dengan cara pengomposan.
Disamping itu, yang juga banyak dilakukan pedagang pisang, yakni menggunakan
peti kayu yang dilapisi kertas semen, kemudian ditambahkan karbit, dan
selanjutnya ditutup menggunakan kertas bekas pembungkus semen (Prabawati, et
all, 2008).
XLI.

Deskripsi kematangan buah pisang berdasarkan indeks warna kulit

Menurut Prabawati, et all (2008):

36

XLII.
XLIII.
XLIV.
XLV.
XLVI.
XLVII.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Pematangan buah pisang dapat dilakukan dengan cara menggunakan pemacu
gas pematangan buah
2. Kecepatan buah pisang yang lebih cepat yaitu pematangan menggunakan
pematangan karbit
3. Mutu dari buah pisang yang lebih bermutu baik yaitu pematangan
menggunakan pematangan pisang matang.
XLVIII.
B. Saran
XLIX.

Sebaiknya para praktikan memiliki foto dari setiap acara yang

dilakukan, dan melakukan perlakuan dari tiap acara agar lebih mengerti apa saja
yang telah diakukan dari tiap acara.
L.
LI.
LII.
37

LIII.
LIV.
LV.
LVI.

DAFTAR PUSTTAKA

LVII.
LVIII. Mutiarawati, T. 2007. Penanganan Pasca Panen. Workshop Pemandu
Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian (SL-PPHP). Depatemen Pertanian.
LIX.
LX. Prabawati, Suyanti dan Setyabudi. 2008. Teknologi Pescapanen dan Teknik
Pengolahan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
LXI.
LXII.Santoso, B. 2013. Kematangan Produk dan Indeks Panen. Fakultas Teknik.
Universitas Sumatera Utara, Sumatera.
LXIII.
LXIV. Setyabudi, D.A. 2013. Memperpanjang Daya Simpan Segar Buah-buahn
dengan Edible Coating. Buletin Teknologi Pasca Panen. 9(1): 10-19.
LXV.
LXVI. Sinay, H. 2008. Kontrol Pemasakan Buah Tomat Menggunakan Rna
Antisesne. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
LXVII.
LXVIII.
Suhaidi, I. 2003. Pengaruh Pencelupan Banlate Dan Pelapisan Lilin
Terhadap Mutu Buah Pisang Barangan Selama Penyimpanan. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas Sumatera
Utara.
LXIX.
LXX. Sunarjono, dkk. 2002. Penanganan Pasca Panen. Pustaka Jaya.
Yogyakarta.
LXXI.
LXXII.Utama, M.S. 2001. Penanganan Pascapanen Buah dan Sayuran. Forum
Konsultasi Teknologi.. dina Pertanian Tanaman Pangan, Provinsi Bali.
LXXIII.
LXXIV.
Widjarnoko, B. 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB
Press. Universitas Brawijaya.
LXXV.

38

LXXVI.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia.
Jakarta.
LXXVII.
LXXVIII.
LXXIX.
LXXX.
LXXXI.
LXXXII.
LXXXIII.
LXXXIV.
LXXXV.
LXXXVI.
LXXXVII.
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
LXXXVIII.

Buah-buahan dan sayur-sayuran setelah dipanen masih

melangsungkan proses fisiologi, antara lain ditandai dengan proses respirasi dan
transpirasi. Penanganan pasca panen buah-buahan dan sayur-sayuran untuk
kesegaran atau memperpanjang daya simpan diawali penekanan atau melalui
pendekatan proses penghambatan respirasi dan transpirasi. Cara mempertahankan
komoditas hasil hingga kepada konsumen tetap bermutu prima memerlukan dasar
keilman yakni teknologi penanganan pasca panen.
LXXXIX.

Faktor

penyebab

tingginya

tingkat

kehilangan

atau

keruakan pasca panen adalah kurangnya memahami perubahan karakteristik, daya
beli konsumen yang berhubungan dengan standar mutu, dan penerapan
penanganan pasca panen yang baik dan benar, disamping kebijakan dan
implementasi peraturan yang ada. Oleh karena itu, penanganan pasca panen
seharusnya ditujukan untuk mengurangi susut bobot, mempertahankan mutu dan

39

memperpanjang daya simpan segarnya. Hal ini dapat ditempuh melalui
pemahaman karakteristiknya, interaksi terhadap lingkungan dan penanganan
pasca panen yang layak secara teknis maupun ekonomis dan mudah diterapkan.
XC.

Aktivitas metabolisme pada buah dan sayuran segar dicirikan

dengan adanya proses respirasi. Respirasi menghasilkan panas yang menyebabkan
terjadinya peningkatan panas. Sehingga proses kemunduran seperti kehilangan air,
pelayuan,

dan

pertumbuhan

mikroorganisme

akan

semakin

meningkat.

Mikroorganisme pembusuk akan mendapatkan kondisi pertumbuhannya yang
ideal dengan adanya peningkatan suhu, kelembaban dan siap menginfeksi sayuran
melalui pelukaan-pelukaan yang sudah ada. Selama transportasi ke konsumen,
produk sayuran pascapanen mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan pada
kondisi dimana suhu dan kelembaban memacu proses pelayuan. Oleh karena itu
diperlukan pengemasan yang baik pada produk buah maupun sayuran.
XCI.
B. Tujuan
1. Dapat menbedakan komoditas yang dikemas maupun yang tidak dikemas dari
segi masa kesegaran, estetik dan ekonomis
2. Dapat mendemostrasikan proses pengemasan suatu komoditas.
XCII.
XCIII.
XCIV.
XCV.
XCVI.

40

XCVII.
XCVIII.
XCIX.
C.
CI.
CII.
CIII.
II. TINJAUAN PUSTAKA

CIV.

Besarnya tingkat kerusakan komoditas akan membuat harga

komoditas menjadi makin mahal setalah sampai di tingkat pedagang eceran.
Besarnya tingkat kebusukan pada setiap jalur perdagangan, baik di tingkat
pedagang, gudang transportasi dsb. Buah dan sayuran merupakan komoditas yang
mudah rusak, faktor-faktor ini yang menyebabkan harga jual beberapa komoditas
terutama jenis buah dan sayuran mudah rusak dan bernilai ekonomis (Widjarnako,
2012).
CV.

Dalam keseluruhan sistem penanganan pascapanen, pengemasan

dapat sebagai baik alat bantu maupun sebagai penghambat untuk mencapai masa
simpan mutu yang maksimum. Pengemas membutuhkan ventilasi namun harus
cukup kuat untuk mencegah kerusakan karena beban. Jika produk dikemas untuk
memudahkan penanganan, karton berlapis lilin, krat kayu dan kemasan plastik
yang kaku adalah lebih baik dibandingkan kantongan atau keranjang terbuka,
karena kantongan dan keranjang tidak memberikan perlindungan terhadap produk

41

jika ditumpuk. Terkadang kemasan yang dibuat secara lokal dapat lebih kuat
untuk memberikan perlindungan tambahan terhadap produk (Utama. 2002).
CVI.

Kemasan

transportasi

untuk

komoditi

hortikultura

perlu

diperhatikan persyaratan-persyaratan berikut:
1. Ventilasi kemasan harus cukup, sehingga dapat mengeluarkan gas hasil
metabolisme produk dan menurunkan panas yang timbul. Selain itu, juga dapat
menahan laju transpirasi dan respirasi dari produk.
2. Bahan untuk kemasan harus cukup kering sehingga beratnya tetap (konstan),
dan tidak mengabsorpsi air dan perisa (flavour) produk.
3. Kemasan harus benar-benar berfungsi sebagai wadah yang dapat diisi produk
4. Kemasan harus bersih dan tidak memindahkan infeksi penyakit ke produk,
bahan kemasan juga harus tahan serangan jamur, gigitan serangga dan tikus.
5. Kemasan harus ekonomis dan bahan kemasan terdapat di sentra produksi.
6. Kemasan harus mudah diangkat dan dapat disusun pada bak-bak alat angkut
dengan sistem pallet (khusus untuk ekspor).
7. Permukaan bagian dalam kemasan harus halus sehingga produk tidak rusak
selama pengangkutan
8. Kemasan harus tahan dan tidak berubah bentuk selama pengangkutan.
(Mutiarawati, 2007).
CVII.

Kerusakan produk hortikultura, khususnya buah, sebagai akibat

proses pematangan yang cepat merupakan salah satu permasalahan lepas panen
yang perlu mendapat perhatian serius. Sesungguhnya, baik buah, sayuran, ataupun
tanaman hias yang sudah dipanen, masih melangssungkan aktivitas metabolisme

42

sebagaimana layaknya tanaman hidup, karena produk tersebut terdiri ats sel-sel
yang masih hidup. Sebagi sel-sel hidup, maka respirasi masih tetap berjalan,
bahkan pada produk tertentu respirasi justru makin meningkat setelah dipanen.
Tingginya laju respirasi akan menyebabkan cepatnya degredasi mutu produk,
bahkan dapat terjadi pembusukan oleh bakteri dan cendawan (Zulkarnain, H.
2009).
CIX.

CVIII.
Kebanyakan pascapanen produk hortikultura segar sangat ringkih

dan mengalami penurunan mutu sangat cepat. Berbeda dengan bagian tanaman
yang masih melekat pada tanaman induknya yang mendapat suplay air dan nutrisi
atau makanan secara berlanjut, bagian tanaman yang telah dipanen atau dilepas
dari tanaman induknya tidak lagi mendapatkan suplai air dan makanan. Untuk
aktifitas hidupnya setelah panen, produk segar tersebut melulu menggunakan
bahan yang ada pada dirinya sendiri untuk bertahan hidup pada kondisi
lingkungan yang sering diluar dari kondisi untuk dapat menjalankan fungsi
metabolisme optimalnya (Utama, 2004).
CX.

CXI.

CXII.

CXIII.

43

CXIV.

CXV.

CXVI.

III.METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan
CXVII. Bahan yang digunakan pada praktikum acara tiga yaitu sayuran
dan buah-buahan (buncis, wortel, cabai, tomat, dan duku), bayclin, serta mama
lemon. Sedangkan alat yang digunakan yaitu ember/baskom, pisau, nampan,
sendok,

saringan,

cutting

board,

styrofoam,

strech

film

plastik/plastik

pembungkus.
CXVIII.
B. Prosedur kerja
1. Sterilkan peralatan (pisau, sendok, dll) dan tangan dengan merendam dalam
larutan Bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter selama 5 menit.
2. Rendam sayuran dalam larutan bayclin 10 cc/liter dan mama lemon 1 cc/liter
selama 5 menit.
3. Tiriskan bahan selama 30 detik.
4. Ulangi sampai 3 kali.
5. Cuci dengan air bersih atau air mengalir sebanyak 3 kali.
44

6. Angkat dan atur sayuran di atas piring styrofoam dan tutup dengan plastik
pembungkus.
CXIX.
CXX.
CXXI.
CXXII.

45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
V.
VI.
N

Tabel hasil pengamtan produk pengemsan pada produk pasca panen
VII. Produk
VIII. I
n
XIII. T
XIV. w
d
o
or
i
m
tel
k
at
a
t
o
r
XIX. XXI. Kemas terbuka
XXVIII.
XXXI. T
XXXIV.
1
XXII.
Warna
et
Tetap
XXIII.
XXIX. K
a
XXXV.
XX. XXIV.
e
p
Segar
XXV.
s
XXXII.
XXXVI.
XXVI.
e
Segar
Tidak ada
XXVII.
g
XXXIII.
a
Tidak ada
r
a
n
46

IX.
Komoditas
XV. b
XVI. du
u
ku
nc
is

XXXVII.
Tetap
XXXVIII.
Segar
XXXIX.
Tidak ada

XL.

Te
ta
p
XLI. Se
ga
r
XLII. Ti
da
k
ad
a

XVII. c
a
b
e

XVIII. c
a
i
s
i
m

XLIII. T
e
t
a
p
XLIV. S
e
g
a
r
XLV. T

XLVI. T
e
t
a
p
XLVII. S
e
g
a
r
XLVIII.

L.
LI.
LII.
LIII.
LIV.
LV.

Kemas kulkas

XXX. K
o
n
t
a
m
i
n
a
s
i
LVI. W
a
r
n
a
LVII. K
e
s
e
g
a
r
a
n
LVIII. K
o
n

i
d
a
k

Tidak
a
d
a

a
d
a

LIX.

LX.

LXI.

T
et
a
p
S
e
g
ar
Ti
d
a
k
a
d
a

LXII. Te
ta
p
LXIII. Se
ga
r
LXIV. Ti
da
k
ad
a

47

LXV. Te
ta
p
LXVI. S
eg
ar
LXVII.Ti
da
k
ad
a

LXVIII.
Tetap
LXIX. Se
ga
r
LXX. Ti
da
k
ad
a

LXXI. T
e
t
a
p
LXXII.S
e
g
a
r
LXXIII.
Tidak
a
d
a

LXXIV.
Tetap
LXXV. S
e
g
a
r
LXXVI.
Tidak
a
d
a

LXXVIII. Tidak
kemas terbuka
LXXIX.
LXXX.
LXXXI.
LXXXII.
LXXXIII.
LXXXIV.

CVII. Tidak kemas

t
a
m
i
n
a
s
i
LXXXV.
Warna
LXXXVI.
Kesegar
a
n
LXXXVII.
Kontami
n
a
s
i

CXIV. W

LXXXVIII.
Tetap
LXXXIX.
Segar
XC. Ti
d
a
k
a
d
a

CXVII.

XCI.

Te
ta
p
XCII. Se
ga
r
XCIII. Ti
da
k
ad
a

CXX. Te
48

XCIV. Te
ta
p
XCV. S
eg
ar
XCVI. Ti
da
k
ad
a

CXXIII.

XCVII.
Tetap
XCVIII.
Segar
XCIX. Ti
da
k
ad
a

C.

CI.

CII.

CXXVI.

T
e
t
a
p
S
e
g
a
r
T
i
d
a
k

a
d
a
CXXIX.

CIII.

CIV.

CV.

T
e
t
a
p
S
e
g
a
r
T
i
d
a
k

a
d
a
CXXXII.

kulkas
CVIII.
CIX.
CX.
CXI.
CXII.
CXIII.

CXXXV.
CXXXVI. Kemas
2
terbuka

a
r
n
a
CXV. K
e
s
e
g
a
r
a
n
CXVI. K
o
n
t
a
m
i
n
a
s
i
CXXXVII.
Warna
CXXXVIII.
Kesegar

Tetap
CXVIII.
Segar
CXIX. Ti
d
a
k
a
d
a

ta
p
CXXI. Se
ga
r
CXXII.
Tidak ada

Tetap
CXXIV.
Segar
CXXV.Ti
da
k
ad
a

Tetap
CXXVII.
Segar
CXXVIII