EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM PEMULIHAN untuk

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM PEMULIHAN EKONOMI
MASYARAKAT KAWASAN OBJEK WISATA PANGANDARAN PASCA
BENCANA
S. Bekti Istiyanto

Abstract
Pangandaran, the most beautiful tourism in West Java, was given many
recovery programs by Indonesians Government after earthquake and tsunami on
July, 17 2006. The programs were used to recovery tourism activities such as
repair the broken buildings for example houses, hotel/motel, and shops; give grant
to fisherman and other little business, and build other facilities around
Pangandaran beach. In earlier program, people participation was involved by
government. They were participated in economical recovery program planning. In
addition, they gave grants to begin their work, to repair their boats or houses, and
to buy materials for their lives. But in program implementation people were not
involved again. They didn’t know how the government will continue this
economical recovery program for them. However largely people in Pangandaran
feel this recovery programs although they are not participated in implementation
phase. This research uses qualitative method with indepth interview and
observation to collect data.
Key words: recovery program, participation


Pendahuluan
Bagi Indonesia, pariwisata telah menjadi sektor strategis dalam
memperkuat

perekonomian

negara

maupun

sebagai

elemen

pemerataan

pembangunan dari aspek kewilayahan. Konstribusi dari aspek ekonomi
menunjukkan bahwa pariwisata ini merupakan sektor penghasil utama devisa
negara nonmigas. Peran dan konstribusi signifikan tersebut telah semakin

mengukuhkan pariwisata sebagai sektor strategis yang memiliki potensi dan
peluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan menjadi lokomotif bagi
upaya pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat serta revitalisasi
perekonomian Indonesia.
Selain menjadi sektor yang paling strategis bagi perekonomian nasional,
pariwisata ini juga menjadi sektor yang menjadi andalan bagi perekonomian
daerah. Seperti halnya bagi Provinsi Jawa Barat (Jabar), kestrategisan sektor
pariwisata ini telah menjadikannya sebagai salah satu dari enam core bussiness

1

pembangunan daerah. Di era otonomi daerah (desentralisasi) seperti sekarang ini,
selain peluang desentralisasi karena daerah lebih bebas dalam mengatur rumah
tanggganya sendiri sesuai dengan potensi dan karakteristiknya, namun hal ini
sekaligus juga sebagai tantangan. Potensi pariwisata merupakan sektor
pembangunan yang strategis bagi perekonomian daerah yang dibutuhkan untuk
menggerakan roda pembangunan ini.
Salah satu kawasan pariwisata andalan Propinsi Jawa Barat yang memiliki
prioritas untuk dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab)
Ciamis adalah objek wisata Pangandaran. Terbukti dengan jumlah kunjungan ratarata pertahun sekitar 1,5 juta kunjungan wisatawan nusantara dan sekitar 10 ribuan

wisatawan mancanegara (http://www.mediacenter.or.id). Program pengembangan
kepariwisataan di Kabupaten Ciamis termasuk salah satu program pembangunan
daerah dalam bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan
daerah dan masyarakat, mewujudkan azas pemerataan dalam pembangunan,
penciptaan lapangan kerja, dan perluasan kesempatan berusaha dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pangandaran merupakan
primadona pariwisata karena merupakan penyumbang pendapatan daerah yang
paling besar di bidang pariwisata bagi Pemkab Ciamis (http://www.pikiranrakyat.com/cetak/08.04). Pangandaran memang memiliki potensi keindahan wisata
alam yang sangat menarik dan eksotik untuk dijadikan objek wisata berskala
dunia, bahkan namanya tercantum dalam buku wajib wisatawan, Lonely Planet.
Peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006
mengakibatkan berbagai permasalahan di kawasan ini. Pantai Pangandaran
merupakan kawasan yang paling parah diterjang gelombang tsunami. Sejumlah
sarana dan prasarana penunjang pariwisata di daerah tersebut luluh lantah ditelan
ganasnya gelombang ini. Tidak hanya masalah pembangunan fisik, akan tetapi
menyangkut seluruh ekosistem yang ada di sana, baik keadaan alam maupun sosial
yang sangat memprihatinkan. Dapat dikutip dari Resmiatin dan Istiyanto (2007)
diperoleh data yang berasal dari posko bencana Pangandaran, bencana gempa dan
tsunami tersebut ditaksir menimbulkan kerugian material masyarakat Kabupaten
Ciamis, kurang lebih mencapai Rp 500 miliar.


2

Hancurnya potensi pariwisata yang ada di Pangandaran ini secara
otomatis juga menghancurkan potensi bidang yang lainnya, karena bidang
pariwisata inilah yang menggerakan lapangan usaha lain, seperti: pertanian,
industri, perdagangan, maupun perhotelan. Wilayah Kecamatan Pangandaran ini
memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan
wilayah lain di Kabupaten Ciamis.
Mengingat

pentingnya

Pangandaran

sebagai

salah

satu


kawasan

pertumbuhan ekonomi di daerah Jabar. Maka Pangandaran pasca gempa dan
tsunami harus segera dipulihkan secepatnya. Pemerintah harus menyusun strategi
yang tepat untuk memvitalkan kembali berbagai potensi di kawasan ini. Bahkan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan agar segera dibuat
desain rekonstruksi daerah bencana sekaligus pemulihan potensi Pantai
Pangandaran pasca gempa dan tsunami. Hal senada juga diungkapkan oleh Bupati
Ciamis, E. Komara. Beliau mengatakan bahwa Pangandaran merupakan aset yang
luar biasa dan mempunyai nilai jual industri pariwisata. “Kehidupan masyarakat
di daerah yang terkena bencana harus kembali normal dalam tiga bulan ke depan
termasuk infrastruktur, rehabilitasi dan rekonstruksi, pendidikan juga administrasi
daerah” (www.bipnewsroom.info).
Atas dasar di atas, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana
evaluasi keberhasilan pemulihan ekonomi yang diprogramkan pemerintah daerah
Ciamis tersebut kepada masyarakat di kawasan objek wisata Pangandaran pasca
gempa dan tsunami, mengingat Pangandaran merupakan kawasan andalan yang
memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan memberikan
konstribusi untuk pendapatan daerah yang cukup signifikan. Potensi Pangandaran

yang hancur akibat musibah gempa dan tsunami harus ditingkatkan sehingga
kondisinya lebih baik dari sebelumnya.
Perumusan Masalah
Dari pemaparan sebelumnya, dapat dirumuskan sebuah permasalahan
penelitian yaitu : “Bagaimana Evaluasi Keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi
Masyarakat Kawasan Objek Wisata Pangandaran Pasca Bencana Dilakukan”
Tinjauan Pustaka

3

1. Komunikasi Pembangunan
Salah satu kajian dari komunikasi yang akan dibahas dalam penelitian
tentang revitalisasi pariwisata pasca gempa dan tsunami 17 Juli 2006 adalah
komunikasi pembangunan. Keberhasilan pembangunan berawal dari adanya
komunikasi dalam pembangunan. Komunikasi memiliki peran dalam pelaksanaan
pembangunan. Hedebro (dalam Nasution, 2004:95-96) mengidentifikasi tiga aspek
komunikasi dan pembangunan yang berkaitan dengan tingkat analisanya, yaitu :
1. Pendekatan yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa, dan
bagaimana media massa dapat menyumbang dalam upaya tersebut. Di
sini, politik dan fungsi-fungsi media massa dalam pengertian yang

umum merupakan objek studi, sekaligus masalah-masalah yang
menyangkut struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol
terhadap media. Untuk studi jenis ini, sekarang digunakan istilah
kebijakan komunikasi dan merupakan pendekatan yang paling luas dan
bersifat general (umum).
2. Pendekatan yang juga dimaksudkan untuk memahami peranan media
massa dalam pembangunan nasional, namun lebih jauh spesifik.
Persoalan utama dalam studi ini adalah bagaimana media dapat
dipakai secara efisien, untuk mengajarkan pengetahuan tertentu bagi
masyarakat suatu bangsa.
3. Pendekatan yang berorientasi kepada perubahan yang terjadi pada
suatu komunitas lokal atau desa. Studi jenis ini mendalami bagaimana
aktivitas komunikasi dapat dipakai untuk mempromosikan penerimaan
yang luas akan ide-ide dan produk baru.
Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan,
Hedebro (dalam Nasution, 2004:102-103) menyebut salah satu peran utama adalah
komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.
Partisipasi dan Pembinaan Masyarakat Dalam Pembangunan Pariwisata
Partisipasi dapat diartikan sebagai ambil bagian, ikut, atau turut. Istilah ini

lebih populer dalam mengartikan ikutnya seseorang atau badan dalam satu
pekerjaan atau rencana besar (Marbun, 2002:407). Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan merupakan keikutsertaan masyarakat

dalam

suatu

project

pembangunan.
Ada beberapa alasan yang mendasari partisipasi masyarakat dalam
pembangunan:

4

a. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi
merupakan akibat logis dari dalil tersebut.
b. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk
dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut

masyarakat.
c. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi
tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa
keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat
dihindari untuk berhasilnya pembangunan.
d. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana
rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.
e. Partisipasi memperluas zone (kawasan) penerimaan proyek
pembangunan.
f. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh
masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi
kebutuhan khas daerah.
g. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis
individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri
(Moeljarto, 1987:48-49).
Dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan perlu dilakukan juga
pembinaan terhadap masyarakat pesisir. Pembinaan masyarakat pesisir bertujuan
memberi perlindungan sosial dan memulihkan sumber daya sehingga masyarakat
pesisir


memiliki

pilihan

leluasa

untuk

meningkatkan

produktivitasnya.

Kegiatannya bersifat meluas meliputi kegiatan-kegiatan pembinaan sumber daya
alam, penguasaan teknologi dan informasi, dan peningkatan produksi. Melalui
pembinaan intensif masyarakat pesisir secara bertahap akan menjadi mandiri,
berpendapatan meningkat, dan terbebas dari kemiskinan (Nugroho dan Dahuri,
2004: 290).
Pariwisata
Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk
rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini.

Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan yang unik, karena sifatnya yang
kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia (Wikipedia
Indonesia dari World Tourism Organization).
Industri pariwisata melibatkan banyak stakeholder di dalamnya. Ada tiga
pemain utama dalam industri pariwisata (Spillane, 1994: 30), yaitu:

5

1. Mereka yang mencari kepuasan atau kesejahteraan lewat perjalanan
mereka (wisatawan atau tamu) (guest).
2. Mereka yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi
alat pariwisata (tuan rumah atau penduduk setempat) (hosts).
3. Mereka yang mempromosikan dan menjadi perantaranya (bisnis
pariwisata atau perantara) (brokers).
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, pengembangan
dan daya tarik wisata yang dilakukan harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan
ekonomi dan sosial budaya.
2. Nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan lain-lain yang
hidup dalam masyarakat.
3. Melestarikan budaya dan mutu lingkungan hidup.
4. Kelangsungan pariwisata itu sendiri (Disbudpar, 2003: 1).
Menurut

undang-undang

tersebut,

pembangunan

kepariwisataan

perlu

memperhatikan ekonomi sosial masyarakat daerah. Hal ini berarti bahwa
pembangunan pariwisata daerah harus dikembangkan berdasarkan keadaan sosial
budaya, ekonomi dan keunikan daerah, dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat setempat dan ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat daerah masing-masing.
Metodologi Penelitian
Penelitian terfokus pada program pemulihan ekonomi masyarakat kawasan
objek wisata Pangandaran pasca bencana gempa dan tsunami 17 Juli 2006.
Dimana lokasi penelitian dilakukan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) termasuk Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Ciamis Selatan,
yang merupakan lembaga pengelola pariwisata Pangandaran di bawah dinas
tersebut, Dinas Pemukiman dan Prasarana Daerah (Kimprasda), serta Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ciamis, dan
masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran yang terkena dampak langsung
bencana gempa dan tsunami 17 Juli 2006.
Metode penelitian yang digunakan adalah bentuk deskriptif kualitatif, yaitu
data yang diperoleh dari informan yang mewakili

keseluruhan sumber data.

Seperti yang diungkapkan Bogdan Taylor (dalam Moleong 2001:3), metode
kualitatif sebagai suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

6

berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati,
yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik dan menyeluruh.
Data diperoleh melalui wawancara mendalam (Indepth Interview),
pengamatan (observasi) dan dokumentasi. Informan penelitian diambil sejumlah
delapan orang yang mewakili dinas-dinas terkait dan masyarakat yang mengalami
musibah.
Hasil Dan Pembahasan
1. Kondisi Kawasan Pangandaran Saat dan Setelah Bencana
Bencana gempa bumi dan tsunami yang menimpa kawasan Pangandaran
terjadi pada hari Senin tanggal 17 Juli 2006, sekitar pukul 15.30 WIB. Musibah ini
terjadi sehari setelah Pangandaran Kite Festival dilaksanakan. Kekuatan gempa
sekitar 6,8 skala Richter dan gelombang tsunami menyebabkan air permukaan laut
naik mencapai ketinggian 5 s/d 8 meter sehingga air naik ke daratan yang
mengakibatkan

hancurnya

sebagian

lingkungan

penduduk,

sarana-

prasarana/infrastruktur wilayah, kondisi sosial dan perekonomian masyarakat serta
menelan korban manusia baik dalam bentuk ringan, berat, bahkan sampai
meninggal dunia.
Bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Pangandaran menimbulkan
berbagai masalah pembangunan dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial
dan perekonomian masyarakat. Secara psikologis masyarakat akan mengalami
kemunduran dan memerlukan pemulihan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Aktivitas perekonomian menjadi lumpuh termasuk sarana prasarana penunjang
perekonomian seperti; pasar tradisional, pasar wisata dan koperasi nelayan, selain
itu bencana gempa dan tsunami di kawasan Pangandaran menyisakan bongkahan
reruntuhan dan timbunan sampah. Demikian halnya dengan fasilitas pendukung
kepariwisataan mengalami kerusakan cukup parah meliputi; hotel, restoran serta
sarana dan prasarana kepariwisataan lainnya.
2. Program Pemulihan Ekonomi Pasca Bencana
Titik tekan penelitian ini adalah pada evaluasi keberhasilan program
pemulihan ekonomi tersebut dalam pandangan masyarakat sekaligus pemerintah.
Di sisi pemerintah, proses perencanaan dan pelaksanaan program ini sudah

7

dianggap sejalan dengan rencana awal penataan kembali kawasan pariwisata baik
secara fisik dan ekonomi. Bantuan telah diberikan berupa alat dan modal awal
untuk

kegiatan

berusaha

kembali.

Seperti

dikutip

dalam

(http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0607/18/nas20.htm) bahwa sudah ada
usaha dari pemerintah untuk menata kembali kawasan Pangandaran pasca tsunami.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra)
Aburizal Bakri, Selasa, 18 Juli 2006 menyerahkan bantuan kepada Bupati Ciamis
Engkon Komara sebesar Rp 500 juta untuk penanganan darurat pasca tsunami di
Pangandaran. Penyerahan bantuan itu berlangsung di Posko Bantuan Bencana
Alam Pangandaran, disaksikan oleh Menteri Sosial (Mensos) Bakhtiar Chamzah,
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Pangdam III/Siliwangi Mayjen Sriyanto,
dan Kapolda Jawa Barat Irjen Paiman. Usai penyerahan bantuan, Menko Kesra
juga memberikan arahan-arahan teknis mengenai penanganan korban dan
pengungsi di Pangandaran.
Pemerintah pusat telah mengalokasikan dana bantuan dalam Anggaran
Pembangunan dan Belanja Negara-Perubahan (APBD-P) sebesar Rp 103,3 miliar,
yang terbagi atas Rp 102 miliar untuk Pangandaran, Kab.Ciamis, dan sisanya
untuk kabupaten lain. Setidaknya ini memberikan kepastian tentang langkah
pemulihan yang akan dilakukan. Jumlah dana bantuan itu dicairkan pada bulan
Oktober 2006. Diharapkan dengan dana bantuan tersebut, termasuk dana tambahan
dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten, upaya melakukan pemulihan bisa
segera dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan program pemulihan ekonomi di kawasan Pantai
Pangandaran ternyata tidak hanya dilakukan oleh satu institusi, akan tetapi
melibatkan lintas sektoral. Ada sekitar delapan institusi yang menangani kawasan
Pangandaran. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Drs.H.M.Soekiman, Ketua
Bidang Bina Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis:
” Ini bukan tanggung jawab satu SKPD (Satuan Kerja Pemerintah
Daerah), karena berbagai fasilitas, maka perlu keterpaduan program
antara semua dinas instansi terkait, tapi harus ada koordinasi lintas
sektoral”
Ditambahkan oleh Bapak Tino Amriyanto LS, ST, M.Si dari Kimprasda:

8

” ...koordinasinya adalah lintas dinas sektoral. Untuk rencana dipegang
oleh Bappeda, pelaksanaan pembangunan fisik dipegang oleh
Kimprasda, pengelolaan wisata oleh Disbudpar, energi dipegang oleh
Distamben....Tidak bisa dipegang oleh satu institusi”
Merujuk kepada terminologi ”minimalisasi peran pemerintah dan
maksimalisasi peran swasta”. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator,
regulator, motivator dalam penyediaan prasarana publik. Masyarakat bisa
dikatakan sebagai pelaku utama pembangunan. Maka kegiatan perencanaan
masyarakat sendiri (yang berhimpun dalam lembaga forum lintas pelaku setempat)
yang selayaknya mampu untuk merumuskan kegiatan pembangunan apa yang
cocok di wilayahnya.
Pada kasus Pantai Pangandaran pasca bencana ini setiap program yang
dibahas dan direncanakan tak lepas dari peran dan fungsi kawasan Pangandaran
sebagai objek wisata, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil seolah-olah
berkaitan dengan sektor wisata dengan segala pengelolaan dan penataannya.
Membahas sektor wisata dan pemecahannya berarti membahas akar permasalahan
pembangunan di kawasan ini. Akan tetapi dalam pemulihan kawasan ini, bukan
berarti hanya membahas mengenai bagaimana agar pariwisata itu vital, karena
dalam pelaksanaan menuju vitalnya kawasan wisata ini juga memerlukan
pemecahan bidang lain sebagai sesuatu yang sistemis.
Program pemulihan ekonomi lain yang telah dikembangkan selain
pemberian bantuan modal awal bagi masyarakat yang terkena bencana secara
langsung, dapat ditunjukkan antara lain melalui bantuan kredit buat pengusaha
hotel yang terkena bencana langsung, pemulihan citra pariwisata Pantai
Pangandaran melalui road show, panggung-panggung hiburan, iklan di media
massa, pembenahan mental pasca bencana, membuka jaringan investasi, pelatihan
penjaga pantai, penataan kawasan dagang di sekitar pantai, pembuatan pagar
pembatas pantai dan pemecah ombak, membuat tempat pendaratan ikan di
Cikidang, pemasangan alat pendeteksi tsunami, membuat pusat media bagi turis,
dan penataan cagar budaya.
3. Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pemulihan Ekonomi

9

Dalam pembangunan kembali wilayah Pantai Pangandaran, pelibatan
masyarakat dalam proses perencanaannya dan juga berdasarkan tinjauan di
lapangan mengenai kebutuhan masyarakat ternyata telah direncanakan dan
dilaksanakan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak H.Setia, S.E,M.P, salah satu staf di
Bappeda Kabupaten Ciamis yang menangani kawasan bencana Pangandaran;
” dalam proses perencanaannya tentu saja melibatkan masyarakat
sebagai salah satu objek pembangunan, karena pembangunan yang
dilakukan di kawasan ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan
mereka...”
Untuk mensosialisasikan program dan menggerakkan masyarakat dalam
pelaksanaan program pembangunan, dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui
berbagai macam media. Sosialisasi dilakukan baik secara langsung maupun
menggunakan media massa. Untuk sosialisasi yang sifatnya langsung biasanya
dilakukan melalui pertemuan-pertemuan seperti temu kader, temu usaha, dan yang
lainnya. Bentuk sosialisasi seperti ini, biasanya sosialisasi pertama dari pemerintah
dilakukan kepada key person yang merupakan tokoh masyarakat setempat,
kemudian key person itulah yang akan mensosialisasikan lebih lanjut dan
menggerakkan masyarakat secara langsung.
Sesuai pendapat Schram (dalam Nasution, 2004:101) yang merumuskan
tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan
nasional. Salah satu pointnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan,
memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang akan membuat keputusan
mengenai perubahan, memberikan kesempatan kepada para pemimpin masyarakat
untuk memimpin dan mendengarkan rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi
yang berjalan dari bawah ke atas.
Dari data yang didapat di lapangan bahwa partisipasi masyarakat terjadi di
awal program sebagai bentuk mengatasi masalah secara langsung setelah bencana.
Masyarakat dilibatkan dalam pendataan korban bencana dan berwujud dalam
proses perencanaan pemberian bantuan pengganti. Pada saat itu, pertemuan warga
terlihat aktif baik dari perkumpulan nelayan dan pedagang bahkan pedagang kaki
lima yang biasanya mangkal di sekitar pantai. Namun sayangnya, forum-forum

10

pertemuan ini berhenti setelah program dijalankan untuk sekian waktu setelahnya.
Seperti dikatakan Ujang:
”saya ga pernah ikut terlibat dalam perencanaan seperti itu. Memang ada
organisasi perahu pesiar, tapi ga pernah ada pertemuan-pertemuan rutin
yang membicarakan perkambangan usaha atau informasi terbaru tentang
langkah pemerintah seperti dulu. Yang ada sekarang cuma ngumpul
bareng. Berkaitan dengan program bantuan yang dulu, organisasi ini
fungsinya sebagai penyalur data pemilik perahu pesiar. Tapi, perahu
pengganti yang diberikan, langsung diserahkan kepada pemilik perahu
tidak dengan perantara organisasi ini.”
Hal senada dikatakan Bu Elin:
”saya mah ga pernah ikut yang begitu-begituan, ga paham saya. Kalau
buat perkumpulan persewaan ban dan boogie memang ada forumnya, tapi
tidak pernah ada pembicaraan tentang perencanaan program. Paling yang
dibicarakan secara berkala adalah mengenai peraturan sesama pengusaha
ban dan boogie.”
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melibatkan masyarakat hanya saat
di awal program penanggulangan korban bencana. Begitu perencanaan sudah
diputuskan dalam tahap pelaksanaan maka partisipasi masyarakat menjadi
menurun dan tidak dibutuhkan lagi. Disinilah tingkat keberlanjutan partisipasi
masyarakat seperti pendapat Nugroho dan Dahuri (2004) menjadi sekadarnya
karena tidak terlibat lebih jauh dalam tahap implementasi serta evaluasi di akhir
pelaksanaan program pemulihan ekonomi tersebut.
4. Evaluasi Keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi
Patut diakui bahwa program bantuan untuk pemulihan ekonomi pasca
bencana sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat korban bencana tsunami,
dan seharusnya ini berjalan kontinyu. Dalam kenyataannya, keberlanjutan program
bantuan ini tidaklah dirasakan masyarakat seperti dikatakan oleh Ujang:
”Wah uda ga ada tu A’, yang terakhir ya waktu pasca tsunami dulu.
Bantuan yang diberikan bukan dalam bentuk uang, tapi perahu pengganti.
Karena yang rusak berat Cuma satu, digantinya ya Cuma satu. Itupun saya
menerimanya enam bulan setelah gempa. Sayangnya, perahu yang didapat
tersebut kualitasnya tidak sebagus perahu yang dulu.”
Bahkan Ujang menambahkan pendapatnya ketika ditanya tentang adanya
program pemulihan ekonomi dari pemerintah kepada masyarakat sebagai berikut:
”Yang saya tahu, program tersebut berasal dari pemerintah. Bentuknya ya
berupa bantuan-bantuan yang diberikan kepada korban gempa. Ada yang
11

menerima uang saja, pengganti barang seperti yang saya dapat atau duaduanya.”
Bapak Nang, seorang nelayan mengatakan bahwa:
“Bantuan turun sekitar setahun, selama menunggu bantuan menyewa
perahu dengan imbalan 20 persen hasil tangkapan. Dulu mendapat bantuan
diusahakan dan didata dari Rukun Nelayan pimpinan bapak Rusim.
Sekarang jarang ada pertemuan, yang masih ada pertemuan dari kelompok
nelayan 1 pimpinan bapak Ocit. Penghasilan rata-rata sekarang Rp 150.000
per hari. Dulu terlibat pendataan untuk mendapat program bantuan.”
Bapak Drs. Aceng Suparno selaku Kepala UPTD Ciamis Selatan dan sekaligus
anggota satkorlak penanggulangan bencana menjawab dari sisi pemerintah bahwa:
”Ada bantuan pemerintah terhadap para korban. Kalau rumah rusak diberi
bantuan dari 5 juta- 15 juta, kalau nelayan ada pengganti perahu, jaring
dan mesin senilai kurang lebih 20 jutaan. Buat pedagang senilai Rp 500
ribu. Data dikumpulkan dari masyarakat melalui RT-RW dan aparat desa
setempat. Masyarakat dikumpulkan, didata, diberi penjelasan program
pemulihan dan ada terlibat dalam perencanaan program tersebut. Sekarang
sudah berjalan 2 tahun, mungkin saja ada kesalahan tapi masih bisa
ditanggulangi.”
Dalam salah satu edisi Harian Umum Kompas yang berjudul ”Pangandaran
Targetkan 1,5 Juta Pengunjung”, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa
Barat Ijudin Budhayana memang mengatakan bahwa program pemulihan yang
dilakukan meliputi sektor fisik dan non fisik, mulai dari infrastruktur pariwisata
hingga para pelaku bisnis yang ada di Pangandaran. Ditargetkan, pembangunan
fisik bisa selesai dalam dua tahun. Namun, pemulihan non fisik, seperti
menghilangkan rasa trauma pelaku usaha pariwisata, membutuhkan waktu lebih
lama lagi.
Hal yang sedikit berbeda disampaikan oleh Bu Elin, informan lain yang
menyewakan ban dan boogie di kawasan Pantai Pangandaran:
”Program bantuan dari pemerintah memang sangat membantu. Akan tetapi
tidak berpengaruh banyak tingkat pendapatan sekarang ini, apalagi bila
dibandingkan dengan keadaan sebelum tsunami. Memang bantuan pada
saat setelah tsunami berlimpah, baik uang, makanan atau pakaian.
Sekarang ini sudah tidak ada lagi.”
Ketika ditanya kelanjutan program pemulihan ekonomi yang diketahuinya, Bu
Elin mengatakan :

12

”saya ga tahu tentang program pemulihan ekonomi tapi kalau mungkin
pembangunan pemecah ombak tahu juga sebelum ramai truk besar dateng.
Yang saya tahu persis ya, pembangunan tembok pembatas antara pasir
pantai dengan daerah wisata seperti hotel dan tempat makan. Saya merasa
fungsi tembok tersebut memang berguna, jika dibandingkan dengan
sebelum tsunami. Karena penataan sekitar daerah objek menjadi lebih
teratur.”
Terdapat kesenjangan informasi yang didapat dari informan dari
pemerintah dibandingkan dengan pelaku dunia usaha di lapangan. Informan yang
mewakili masyarakat mengakui bahwa ada program bantuan pasca terjadinya
bencana, namun mereka tidak banyak mengetahui tentang keberlanjutan program
yang terkait dan berhubungan secara langsung dalam program pemulihan ekonomi
secara terpadu atau sistematis. Mereka merasakan ada pembangunan secara fisik
seperti pembangunan tembok pembatas pantai dan pemecah ombak, pemasangan
alat pendektesi tsunami atau penataan tempat bagi pedagang di pinggir Pantai
Pangandaran, akan tetapi semua itu tanpa pelibatan mereka dalam perencanaannya.
Sehingga dalam tahap pelaksanaan pembangunan kembali kawasan Pantai
Pangandaran, informan pelaku dunia usaha mengaku tidak mengerti bagaimana
dan untuk apa itu semua dibangun. Bahkan menurut bu Elin, ”tidak ada
pemberitahuan atau informasi yang diberikan tentang hal tersebut secara resmi”
menjadikan dia merasa tidak perlu mencari tahu informasi lebih lanjut.
Sebaliknya, informan dari pemerintah menganggap bahwa pelibatan
program pemulihan ekonomi bersama masyarakat sudah dijalankan. Terbukti dari
adanya pengakuan masyarakat yang dilibatkan dalam tahap perencanaan program
tersebut. Masukan dalam tahap perencanaan itu dijadikan bahan dalam tahap
pelaksanaannya, meskipun dalam waktu dua tahun masih dirasakan kekurangan
akan tetapi menurutnya masih bisa diatasi.
Kesenjangan persepsi dari kedua sisi informan pemerintah dan pelaku
dunia usaha terjadi dikarenakan proses koordinasi melalui komunikasi dan
sosialisasi tidak berjalan secara maksimal. Terbukti dalam wawancara dengan
Bapak Wawan selaku Ketua Information Center Taman Wisata dan Cagar Alam
Pangandaran Departemen Kehutanan yang mengatakan bahwa:
“Pasca tsunami tidak satu rupiah pun kami mendapat bantuan, padahal
objek wisata yang saya pimpin juga mengalami kerusakan. Sekarang ada

13

billboard informasi pencegahan bencana Tsunami di Pantai Timur dan
Pantai Barat tapi tidak dikoordinasikan sehingga tidak tahu apakah itu
merupakan bantuan pemerintah, sumbangan swasta atau dari LSM.”
Dapat ditarik sebuah analisa bahwa program pemulihan ekonomi
masyarakat kawasan Pantai Pangandaran sudah direncanakan sejak awal
penanggulangan bencana dengan pemberian bantuan kepada mereka yang menjadi
korban bencana. Terbukti telah diberikan bantuan dari pemerintah baik pemerintah
pusat, daerah propinsi dan juga pemerintah daerah Kabupaten Ciamis. Masyarakat
pun menerima bantuan tersebut. Namun keberlanjutan program tersebut yang
semestinya menjadi pengarah keberhasilan program pemulihan itu sendiri
nampaknya tidak lagi menjadi prioritas utama perencana program dari pemerintah.
Disinilah terlihat betapa sosialisasi keberlangsungan program tersebut
kurang dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah ternyata membutuhkan waktu
setidaknya dua tahun untuk membangun kembali sarana prasarana atau fisik
kawasan Pantai Pangandaran, bahkan lebih lama pada program pemulihan non
fisik. Program pemulihan ini ternyata tidak hanya sekedar memberikan bantuan
pasca bencana seperti yang dirasakan oleh para informan dari kalangan masyarakat
umum tetapi juga memulihkan secara total kawasan Pantai Pangandaran. Karena
ternyata program pemulihan ini juga berorientasi kepada unsur mental juga.
Dari fakta-fakta di atas, peneliti dapat menganalisis bahwa pemerintah
kurang maksimal dalam mengkomunikasikan setiap program yang dilaksanakan.
Program itu harusnya disosialisasikan melalui berbagai saluran komunikasi yang
ada sehingga implementasi program itu bisa lebih terarah. Bukan berarti jika salah
satu proyek sudah dilaksanakan berarti sudah selesai, akan tetapi harus ada
sosialisasi lebih lanjut dan terjadwal. Ketika ada sebuah program mengenai
perbaikan kawasan wisata, maka harus disosialisasikam kepada seluruh elemen
pelaku wisata, termasuk

menggunkan Media Tourism Center jika informasi

pemulihan ditujukan untuk wisatawan. Program ini juga akan berjalan lebih baik
jika semua pihak mengetahuinya sehingga daya dukung para pelaku pariwisata
kepada program yang sedang berjalan akan lebih tinggi dan membantu
pelaksanaan program.
Kesimpulan
14

Berdasarkan hasil dalam pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Keberadaan Program Pemulihan Ekonomi masyarakat kawasan Pantai
Pangandaran merupakan program terpadu penanggulangan bencana yang
mendapat perhatian pemerintah secara penuh. Program pembangunan
kembali ini diharapkan menghidupkan kembali aktivitas pariwisata di
Kabupaten Ciamis sekaligus sebagai sarana meningkatkan pendapatan
daerah.
2. Dalam tahap perencanaan Program Pemulihan Ekonomi tersebut telah
melibatkan partisipasi masyarakat, namun dalam tahap pelaksanaannya
masyarakat merasa tidak dilibatkan lagi. Ketidak berlanjutan pelibatan
masyarakat

ini

menjadikan

tingkat

partisipasi

masyarakat

dalam

implementasi program juga menjadi rendah.
3. Secara umum keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi ini sudah
dirasakan masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan pemberian
bantuan secara langsung kepada korban bencana tsunami. Hanya saja
setelah tahap perencanaan, muncul ketiadaan koordinasi antara pemerintah
dengan masyarakat pelaku dunia usaha di lapangan. Minimnya koordinasi
melalui komunikasi dan sosialisasi rutin inilah yang menjadikan rentang
jarak informan dari pemerintah dan masyarakat menjadi jauh. Seringkali
salah satu implementasi Program Pemulihan Ekonomi kawasan Pantai
Pangandaran ini berjalan tanpa mendapat dukungan dari masyarakat atau
tidak diketahui nilai kemanfaatannya.
4. Program Pemulihan Ekonomi kawasan Pantai Pangandaran tidak sekedar
pemulihan yang bersifat fisik semata akan tetapi juga pemulihan non fisik
yang pasti membutuhkan waktu lebih lama. Karena itu, dibutuhkan sarana
evaluasi yang berbeda dalam menilai keberhasilan program tersebut.
Daftar Pustaka
Disbudpar. 2003. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Usaha Kepariwisataan Di Jawa
Barat. Bandung.

Marbun,B.N. 2002. Kamus Politik. CV Muliasari. Jakarta.

15

Moleoeng, Lexy J. 2001.

Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan Ke-12. PT

Remaja Rosdakarya. Bandung.
Moeljarto, T. 1987. Politik Pembangunan. PT Bayu Indra Grafika. Yogyakarta.
Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan
Penerapannya . PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Nugroho, Iwan dan Rokhim Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif
Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.

Spillane, J. James. 1994. Pariwisata Indonesia . Kanisius. Yogyakarta.
Resmiyatin, Mia., Istiyanto, Bekti S. Jurnal Ilmiah Acta Diurna Vol 4, 2007.
Revitalisasi Pariwisata Pangandaran Pasca Gempa dan Tsunami 17 Juli
2006. Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Jenderal Soedirman.
Purwokerto.

Sumber Internet :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/08.04. diakses tanggal 27 April 2006.
http://www.mediacenter.or.id. diakses tanggal 30 Juli 2006.
(http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0607/18/nas20.htm) diakses tanggal
27 April 2006.
www.bipnewsroom.info diakses tanggal 27 April 2006.

16