Tugas I Hubungan Pusat dan Daerah HERMAD
Nama : HERMADHI
NIM : 021611605
UPBJJ : YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang disebut dengan eenheidstaat , yaitu negara
merdeka dan berdaulat yang pemerintahannya diatur oleh pemerintah pusat. Sistem
pelaksanaan pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan cara sentralisasi. Dimana
kedaulatan negara baik kedalam dan keluar, ditangani pemerintah pusat. Dalam konstitusi
Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar , sehingga dalam pasal ini apabila kita
tafsirkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara RI yaitu presiden kekuasaan yang
tidak terbagi dan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat sehingga jelas negara kita pada
dasarnya menganut asas sentralisasi/sentralistik.
Namun karena luasnya daerah-daerah di negara kita yang terbagi-bagi atas beberapa
provinsi,kabupaten serta kota maka daerah-daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah
dengan maksud guna mempermudah kinerja pemerintah pusat terhadap daerahnya sehingga
digunakanlah suatu asas yang dinamakan asas otonomi sesuai dengan yang diatur dalam pasal
18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, sehingga dalam hal ini
menimbulkan suatu hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses
menurut bagir manan disebut dengan proses bukan sebagai asas diantaranya :
1. Sentralisasi yang pada pemerintahan daerah diwujudkan dalam lebih diterapkannya
dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
2. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
negara kesatuan Republik Indonesia. Pada prinsipnya , kebijakan otonomi daerah dilakukan
dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat
dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud
pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika
dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat
maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu , arus dinamika
kekuasaan akan bergerak sebaliknya , yaitu dari pusat ke daerah. Maka otonomi hanya salah
satu bentuk desentralisasi. Otonomi juga diartikan sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan
atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid).
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan.
Persoalan lain yang muncul dalam otonomi adalah berkaitan dengan urusan daerah yang
dapat diatur dan diselenggarakan oleh daerah yang bersangkutan . Artinya urusan daerah
yang bagaimanakah yang dapat diatur dan diselenggarakan berdasarkan kepentingan dan
aspirasi masyarakat daerah , hal inilah yang menimbulkan lahirnya berbagai jenis otonomi.
Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi yaitu :
(1) otonomi materiil, mengandung arti bahwa urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah
tangga diperinci secara tegas , pasti dan diberi batas-batas (limitative), zakelijk dan dalam
praktiknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan.
(2) otonomi formal, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak zakelijk. Batasnya ialah,
bahwa Daerah tidak boleh mengatur urusan yang telah diatur oleh undang-undang atau
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu , pengaturan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum.
(3) otonomi riil, merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan otonomi formal.
Di dalam undang-undang pembentukan Daerah , pemerintah pusat menentukan urusan-urusan
yang dijadikan pangkal untuk mengetur dan mengurus rumah tangga Daerah. Penyerahan ini
merupakan otonomi riil. Kemudian setiap waktu Daerah dapat meminta tambahan urusan
kepada Pemerintah Pusat untuk dijadikan urusan rumah tangganya sesuai dengan
kesanggupan dan kemampuan Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada daerah
dilakukan dengan UU penyerahan masing-masing urusan.
3. Medebewind atau Tugas Pembantuan , adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.
Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuan-satuan teritorial
yang lebih kecil dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk dekonsentrasi teritorial,satuan
otonomi teritorial, dan federal. Selain bentuk-bentuk utama di atas, ada beberapa cara yang
lebih longgar seperti konfederasi atau Uni. Tetapi dua bentuk terakhir ini dapat disebut
sebagai suatu pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan karena tidak diikuti
dengan pembagian kekuasaan atau wewenang. masing-masing tetap secara penuh
menjalankan kekuasaan sebagai negara.
Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan di
atas , akan dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama ,
hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat
dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut
dasar federal.
Selain perbedaan, ada persamaan persoalan hubungan-hubungan pusat dan daerah
dalam ketiga bentuk tersebut , terutama hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi
teritorial dan hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal. Perbedaanya,dasar hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, bukan merupakan hubungan antara
dua subjek hukum (publiek rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan teritorial
dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian
yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah
delegasi atau mandat. Tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.
Urusan pemerintahan yang dilakukan satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi
adalah urusan pusat di daerah. Persamaannya, baik dekonsentrasi maupun otonomi, samasama bersifat administratiefrechtelijk,bukan staatsrechtelijk. Mengenai hubungan satuan
federal dengan negara bagian sangat beraneka ragam. Tergantung sistem federal yang
dijalankan. Tetapi ada satu persamaan dasar pada semua negara federal. Hubungan antara
satuan federal dengan negara bagian merupakan hubungan kenegaraan. Tidak hanya
mengenai fungsi penyelenggaraan administrasi negara. Hubungan itu meliputi juga di bidang
kekuasaan kehakiman dan pembentukan undang-undang. Ada pula sistem federal yang
menyediakan hal-hal yang terbuka dan dapat diselenggarakan federal atau negara bagian
(concurrent power).
Sedangkan hubungan pemerintah pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial,
dimana otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi
teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak
melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, hubungan
pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan
daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua subjek hukm yang masing-masing berdiri
sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial , pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan
dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan
kepada satuan-satuan otonomi . Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan
(administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan caracara dalam sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian.
Kedua, pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi.
Ketiga, pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “diciptakan” atau yang
kemudian diatur dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun
atas dasar semacam concurrent power.
Keempat, membiarkan suatu urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali
sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan satuan otonomi.
Cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu
otonomi bersifat luas atau terbatas.
Memperhatikan hal tersebut diatas maka perlu kita analisa mengenai hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di era otonomi daerah ini , agar kita mengetahui
apakah hubungan yang terjadi diantara keduanya merupakan hubungan yang seimbang sesuai
pilihan penyelenggaran pemerintahan berdasar atas otonomi ataukah dekonsentrasi.
Mengingat di negara Indonesia telah terjadi delapan kali pergantian UU pemerintahan Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945
Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945
telah diatur pembagian wilayah negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian
dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat
simple , yakni berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil
, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Ketika MPR melakukan amandemen Pasal 18 UUD 1945 dilakukan pengaturan
secara komprehensif , yakni disamping mengubah redaksi pasal juga dilakukan penambahan
ayat-ayat dan pasal-pasal baru berkaitan dengan pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah
dengan 6 ayat baru sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi
daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A
yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang
penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak
tradisionalnya.
Kendati penambahan ayat dan pasal baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945
terkesan lebih teknis , tapi kiranya amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar
peletakkan bagi reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal
18 UUD RI 1945 maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di
Indonesia , yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Pemerintahan Daerah Pada Orde Lama
Undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah pada era Orde Lama
diantaranya :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Merupakan undang-undang pertama RI yang mengatur sistem Desentralisasi , yang di
dalamnya mengatur tiga jenis daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota
yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus daerahnya sebagaimana yang
diamanatkan dalam pasal 18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan
dalam jangka waktu tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan
banyak ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang
merupakan kelanjutan dari BPRD tidak mengetahui tugas dan wewenangnya sehingga
menggangu kinerja pemerintahan di daerah.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Membagi daerah di Indonesia menjadi tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten
(Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD
tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948
yang menyatakan bahwa :
a. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD
b. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD
c. Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD
Dengan demikian maka yang memegang kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR
dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak
otonomi dan hak pembantuan Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan
terjadi penggantian UUD RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti
dengan konstitusi RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna
menyelesaikan dengan ketentuan yang baru tersebut maka undang-undang tentang
Pemerintah Daerah pun kemudian diganti kembali.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Pembagian daerah-daerah oleh undang-undang ini dilakukan dengan menyebut
tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II. Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya
(DPRD dan DPD) jika diikuti dengan tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah
tersebut , yaitu daerah tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang
daerah tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak
disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah
istimewa.
Beberapa karakteristik sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah :
Pertama, otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi
atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan
kemampuan daerah bersangkutan.
Kedua, pembagian daerah-daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 agak
berbelit-belit mengingat istilah daerah yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang
berarti satuan organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian
daerah menurut Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk
Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan
daerah tingkat III.
Ketiga, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa
sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh mengakibatkan
rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah yang satu dengan
lainnya.
Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku
lembaga eksekutif , dan DPD. Hal menarik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang ini semakin besar
dan luas.
Namun dengan kembalinya konstitusi RI pada UUD 1945 maka peraturan perundangundangan sebelumnya yang mendasarkan pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi.
d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959
Penpres ini menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat
pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus
ketertiban dan keamanan umum di daerah;mengkoordinasikan antara jawatan pemerintah
pusat di daerah dengan pemerintah daerah; melakukan pengawasan jalannya pemerintahan
daerah; dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan
pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak bertanggung
jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh DPRD. Dengan
demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat sentralistis karena semua masih
diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena
jabatannya menjabat sebagai ketua DPRD , namun bukan sebagai Anggota.
Berbagai problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut penpres ini
kemudian dilakukan penyempurnaan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Beberapa hal baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, yaitu :
Pertama, pembagian daerah Indonesia dilakukan dalam tiga tingkatan , yaitu daerah Provinsi
dan/atau Kota Raya sebagai daerah tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai
daerah tingkat II ; dan daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga
kegiatan daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kedua, Dalam undang-undang ini pimpinan DPRD dalam mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah. Ketentuan demikian jelas bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala
daerah kedudukannya sederajad.
Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala
daerah.
Pemerintahan Daerah Pada Era Orde Baru – Saat ini
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang
amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual , selama penerapan
undang-undang tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah , yaitu
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang
pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa
terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu :
stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan
kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah,
yang cirri-cirinya meliputi :
a. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)
b. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan
Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU
No.1 Tahun 1957).
c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala
daerah.
d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada
presiden.
e. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.
Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Orde Baru untuk memperkuat posisi
kekuasaannya adalah memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu ditandai dengan
pemberian sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan
jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau
kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan
pemerintah di daerah.
Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi
daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah
berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang
terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan
kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada
posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat
mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur
kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .
Dengan konsep otonomi yang demikian , Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
KONSEP DASAR UU NOMOR 22 TAHUN 1999
1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom
2. Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan
3. Kewenangan yang utuh dalam
perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,dan pengendalian
4. Pemberdayaan masyarakat,tumbuhnya prakarsa,inisiatif,meningkatnya
peran masyarakat dan legislatif
Banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
salah satunya adalah pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam
bentuk susunan pemerinthan daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu
kesatuan yang disebut pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut
maka kepada DPRD diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa
parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah atas
suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan
pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Ketentuan tersebut
membuka peluang terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat berujung pada upaya
pemberhentian (empeachtment) terhadap kepala daerah.
Mengenai kewenangan daerah otonom menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 Bab IV UU
Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali
urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, yaitu urusan :
a. Bidang politik luar negeri;
b. Bidang pertahanan keamanan;
c. Bidang Peradilan;
d. Bidang moneter dan fiskal;
e. Bidang agama;
f. Kewenangan (urusan) bidang lain.
Kewenangan /urusan yang disebutkan setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan
bidang lain , tersebut di atas merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan
kepada daerah otonom , dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun
pelaksanaannya bisa dilimpahkan kepada Gubernur Provinsi , yang merupakan wakil
Pemerintah Pusat di wilayah Administrasi Provinsi. Ketentuan tentang urusan daerah
(otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan daerah (otonom) menurut undangundang sebelumnya , yang disebut nyata dan bertanggungjawab, karena dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut
dengan katagori otonomi daerah secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan
otonomi terbatas pada daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang
luas,nyata, dan bertanggungjawab.
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,menimbulkan dampak negatif,yakni
munculnya arogansi beberapa dearah , sehingga terkesan terjdi “pembangkangan” di
beberapa daerah. Demikian pula dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai
kewenangan memberhentikan kepala daerah dengan alasan pertanggungjawaban tahunannya
tida diterima oleh DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di
beberapa daerah menjadi tidak harmonis.
Berikut perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
– DPRD Berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra Pemerintah Daerah
– Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala
Daerah Provinsi,Kepala Daerah Kabupaten,Kepala Daerah Kota dan perangkat daerah
lainnya
– Desentralisasi merupakan titik berat
otonomi daerah
– Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
– Titik berat adalah daerah kabupaten/kota
– Substansinya telah mengatur tentang
pemerintahan daerah/desa
– DPRD berkedudukan sebagai Lembaga
Legislatif Daerah
– Pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan (DPRD).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
– DPRD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah
– Pemerintahan Daerah terdiri dari
Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri dari
Pemerintah dan DPRD Kab/Kota
– Desentralisasi dilaksanakan bersamaan
dengan tugas pembantuan
– Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
– Titik berat otonomi pada kabupaten/kota
– Mengatur Pemerintahan Desa (ada
pengakuan tentang otonomi desa)
Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,
karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik
kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara
kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas sekali.
Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan
pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan
mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri
dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain,
gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang
dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yng
merugikan daerah.
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
a. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat.Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Dalam
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya
dengan otonomi daerah,hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua
pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
pemerintah negara secara keseluruhan.
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Dalam negara kesatuan , semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah
pusat. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen
tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali.
Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara
kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya,
peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan
daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah
otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat
tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat
tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu
model otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan
kebebasan kepada pemerintah daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas
negara bangsa. Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada
pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh
perundang-undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan
dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah daerah
dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai
agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang
terperinci dalam peraturan,perkembangan peraturan dan pengawasan.
Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola hubungan yang rumit, yang
penekanannya ada pada pengaruh yang menguntungkan saja.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah
ditentukan secara katagoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu
pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan
daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
BAB III
PENUTUP
D. KESIMPULAN
1. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut
bagir
manan
disebut
dengan
proses
bukan
sebagai
asas
diantaranya
sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan, kaitannya dengan otonomi dalam kepustakaan
dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi riil.
2. Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan, akan
dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.
3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
4. Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari
segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai
hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan
otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan
secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan
menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang
begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1. Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004
2. Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah ,Yogyakarta:UII Press,2006
3. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum
Fakultas Hukum UII,2004
Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemnerintahan Daerah
NIM : 021611605
UPBJJ : YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang disebut dengan eenheidstaat , yaitu negara
merdeka dan berdaulat yang pemerintahannya diatur oleh pemerintah pusat. Sistem
pelaksanaan pemerintahan negara dapat dilaksanakan dengan cara sentralisasi. Dimana
kedaulatan negara baik kedalam dan keluar, ditangani pemerintah pusat. Dalam konstitusi
Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dalam pasal 4 ayat (1) dikatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar , sehingga dalam pasal ini apabila kita
tafsirkan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara RI yaitu presiden kekuasaan yang
tidak terbagi dan hanya ada satu pemerintah yang berdaulat sehingga jelas negara kita pada
dasarnya menganut asas sentralisasi/sentralistik.
Namun karena luasnya daerah-daerah di negara kita yang terbagi-bagi atas beberapa
provinsi,kabupaten serta kota maka daerah-daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah
dengan maksud guna mempermudah kinerja pemerintah pusat terhadap daerahnya sehingga
digunakanlah suatu asas yang dinamakan asas otonomi sesuai dengan yang diatur dalam pasal
18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, sehingga dalam hal ini
menimbulkan suatu hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses
menurut bagir manan disebut dengan proses bukan sebagai asas diantaranya :
1. Sentralisasi yang pada pemerintahan daerah diwujudkan dalam lebih diterapkannya
dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu.
2. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
negara kesatuan Republik Indonesia. Pada prinsipnya , kebijakan otonomi daerah dilakukan
dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di
tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat
dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud
pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika
dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat
maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu , arus dinamika
kekuasaan akan bergerak sebaliknya , yaitu dari pusat ke daerah. Maka otonomi hanya salah
satu bentuk desentralisasi. Otonomi juga diartikan sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan
atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid).
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan.
Persoalan lain yang muncul dalam otonomi adalah berkaitan dengan urusan daerah yang
dapat diatur dan diselenggarakan oleh daerah yang bersangkutan . Artinya urusan daerah
yang bagaimanakah yang dapat diatur dan diselenggarakan berdasarkan kepentingan dan
aspirasi masyarakat daerah , hal inilah yang menimbulkan lahirnya berbagai jenis otonomi.
Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi yaitu :
(1) otonomi materiil, mengandung arti bahwa urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah
tangga diperinci secara tegas , pasti dan diberi batas-batas (limitative), zakelijk dan dalam
praktiknya penyerahan ini dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan.
(2) otonomi formal, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak zakelijk. Batasnya ialah,
bahwa Daerah tidak boleh mengatur urusan yang telah diatur oleh undang-undang atau
peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu , pengaturan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum.
(3) otonomi riil, merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan otonomi formal.
Di dalam undang-undang pembentukan Daerah , pemerintah pusat menentukan urusan-urusan
yang dijadikan pangkal untuk mengetur dan mengurus rumah tangga Daerah. Penyerahan ini
merupakan otonomi riil. Kemudian setiap waktu Daerah dapat meminta tambahan urusan
kepada Pemerintah Pusat untuk dijadikan urusan rumah tangganya sesuai dengan
kesanggupan dan kemampuan Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada daerah
dilakukan dengan UU penyerahan masing-masing urusan.
3. Medebewind atau Tugas Pembantuan , adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.
Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuan-satuan teritorial
yang lebih kecil dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk dekonsentrasi teritorial,satuan
otonomi teritorial, dan federal. Selain bentuk-bentuk utama di atas, ada beberapa cara yang
lebih longgar seperti konfederasi atau Uni. Tetapi dua bentuk terakhir ini dapat disebut
sebagai suatu pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan karena tidak diikuti
dengan pembagian kekuasaan atau wewenang. masing-masing tetap secara penuh
menjalankan kekuasaan sebagai negara.
Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan di
atas , akan dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama ,
hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat
dan daerah menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut
dasar federal.
Selain perbedaan, ada persamaan persoalan hubungan-hubungan pusat dan daerah
dalam ketiga bentuk tersebut , terutama hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi
teritorial dan hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal. Perbedaanya,dasar hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial, bukan merupakan hubungan antara
dua subjek hukum (publiek rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan teritorial
dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan departemen atau kementerian
yang bersangkutan. Sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi adalah
delegasi atau mandat. Tidak ada wewenang yang berdasarkan atribusi.
Urusan pemerintahan yang dilakukan satuan pemerintahan teritorial dekonsentrasi
adalah urusan pusat di daerah. Persamaannya, baik dekonsentrasi maupun otonomi, samasama bersifat administratiefrechtelijk,bukan staatsrechtelijk. Mengenai hubungan satuan
federal dengan negara bagian sangat beraneka ragam. Tergantung sistem federal yang
dijalankan. Tetapi ada satu persamaan dasar pada semua negara federal. Hubungan antara
satuan federal dengan negara bagian merupakan hubungan kenegaraan. Tidak hanya
mengenai fungsi penyelenggaraan administrasi negara. Hubungan itu meliputi juga di bidang
kekuasaan kehakiman dan pembentukan undang-undang. Ada pula sistem federal yang
menyediakan hal-hal yang terbuka dan dapat diselenggarakan federal atau negara bagian
(concurrent power).
Sedangkan hubungan pemerintah pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial,
dimana otonomi teritorial merupakan konsep dalam negara kesatuan. Satuan otonomi
teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak
melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi
pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, hubungan
pusat dan daerah atas dasar otonomi teritorial memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan
daerah atas dasar federal yaitu hubungan antara dua subjek hukm yang masing-masing berdiri
sendiri. Perbedaannya, dalam otonomi teritorial , pada dasarnya seluruh fungsi kenegaraan
dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan
kepada satuan-satuan otonomi . Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan
(administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan caracara dalam sistem federal yang merinci kekuasaan negara bagian.
Kedua, pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonomi.
Ketiga, pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang “diciptakan” atau yang
kemudian diatur dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun
atas dasar semacam concurrent power.
Keempat, membiarkan suatu urusan yang secara tradisional atau sejak semula dikenali
sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan satuan otonomi.
Cara-cara penentuan urusan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu
otonomi bersifat luas atau terbatas.
Memperhatikan hal tersebut diatas maka perlu kita analisa mengenai hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah di era otonomi daerah ini , agar kita mengetahui
apakah hubungan yang terjadi diantara keduanya merupakan hubungan yang seimbang sesuai
pilihan penyelenggaran pemerintahan berdasar atas otonomi ataukah dekonsentrasi.
Mengingat di negara Indonesia telah terjadi delapan kali pergantian UU pemerintahan Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerintahan Daerah Dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945
Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945
telah diatur pembagian wilayah negara kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian
dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 sangat
simple , yakni berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil
, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan
hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Ketika MPR melakukan amandemen Pasal 18 UUD 1945 dilakukan pengaturan
secara komprehensif , yakni disamping mengubah redaksi pasal juga dilakukan penambahan
ayat-ayat dan pasal-pasal baru berkaitan dengan pemerintahan daerah . Pasal 18 ditambah
dengan 6 ayat baru sehingga menjadi 7 ayat yang antara lain mengatur masalah otonomi
daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan
secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam
membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A
yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang
pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang
penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak
tradisionalnya.
Kendati penambahan ayat dan pasal baru dalam Amandemen Pasal 18 UUD RI 1945
terkesan lebih teknis , tapi kiranya amandemen tersebut dapat dijadikan pedoman dan dasar
peletakkan bagi reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan amandemen Pasal
18 UUD RI 1945 maka dilakukan reformasi terhadap sistem pemerintahan daerah di
Indonesia , yakni dengan memberikan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Pemerintahan Daerah Pada Orde Lama
Undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah pada era Orde Lama
diantaranya :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Merupakan undang-undang pertama RI yang mengatur sistem Desentralisasi , yang di
dalamnya mengatur tiga jenis daerah di Indonesia , yaitu Karesidenan, Kabupaten dan Kota
yang masing-masing berhak mengatur dan mengurus daerahnya sebagaimana yang
diamanatkan dalam pasal 18 UUD RI 1945 .Namun undang-undang ini hanya diberlakukan
dalam jangka waktu tiga tahun , karena undang-undang ini masih sangat sederhana dan
banyak ahal-hal yang belum diatur secara rinci. Salah satunya banyak DPRD yang
merupakan kelanjutan dari BPRD tidak mengetahui tugas dan wewenangnya sehingga
menggangu kinerja pemerintahan di daerah.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Membagi daerah di Indonesia menjadi tiga daerah otonom , yaitu Provinsi, Kabupaten
(Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) . Sedangkan Karesidenan meskipun mempunyai DPRD
tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-undang sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga lebih detail dalam mengatur pemerintahan
daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 Undang-Undang nomor 22 Tahun 1948
yang menyatakan bahwa :
a. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD dan DPD
b. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari Anggota DPRD
c. Kepala Daerah menjabat Ketua dan Anggota DPD
Dengan demikian maka yang memegang kekuasaan tertinggi di daerah adalah DPR
dan DPD. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah menurut UU ini dijalankan berdasar pada hak
otonomi dan hak pembantuan Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diberlakukan
terjadi penggantian UUD RI 1945 terkait perubahan bentuk pemerintahan , yaitu diganti
dengan konstitusi RIS 1949 dan kemudian diubah lagi dengan UUD sementara 1950. Guna
menyelesaikan dengan ketentuan yang baru tersebut maka undang-undang tentang
Pemerintah Daerah pun kemudian diganti kembali.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957
Pembagian daerah-daerah oleh undang-undang ini dilakukan dengan menyebut
tingkatannya , yaitu tingkat I dan tingkat II. Demikian pula penyebutan lembaga daerahnya
(DPRD dan DPD) jika diikuti dengan tingkatan hal itu berrati mengacu pada tingkat daerah
tersebut , yaitu daerah tingkat I meliputi daerah Provinsi , termasuk daerah Istimewa. Sedang
daerah tingkat II adalah merupakan daerah kabupaten atau kotamadya. Apabila tidak
disebutkan tingkatannya berarti daerah tersebut adalah daerah swatantra atau daerah
istimewa.
Beberapa karakteristik sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah :
Pertama, otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak sedikitnya fungsi
atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom didasarkan pada kepentingan dan
kemampuan daerah bersangkutan.
Kedua, pembagian daerah-daerah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 agak
berbelit-belit mengingat istilah daerah yang digunakan sebagai suatu istilah teknis yang
berarti satuan organisasi yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Adapun pembagian
daerah menurut Undang-Undang ini adalah Daerah Tingkat I setingkat Provinsi termasuk
Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II setingkat kabupaten termasuk kotapraja; dan
daerah tingkat III.
Ketiga, hubungan daerah dengan pusat atau hubungan antar daerah diatur sedemikian rupa
sehingga tetap dalam kerangka Negara Kesatuan RI, yakni tidak boleh mengakibatkan
rusaknya hubungan antara Negara dengan daerah atau antara daerah yang satu dengan
lainnya.
Keempat, organisasi pemerintah daerah tetap terdiri atas dua lembaga , yaitu DPRD selaku
lembaga eksekutif , dan DPD. Hal menarik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 adalah kepala daerah dipilih oleh DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kelima, kekuasaan , tugas dan wewenang DPRD dalam Undang-Undang ini semakin besar
dan luas.
Namun dengan kembalinya konstitusi RI pada UUD 1945 maka peraturan perundangundangan sebelumnya yang mendasarkan pada konstitusi yang lama jelas tidak sesuai lagi.
d. Penpres Nomor 6 Tahun 1959
Penpres ini menentukan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintah pusat dan alat
pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat maka kepala daerah bertugas mengurus
ketertiban dan keamanan umum di daerah;mengkoordinasikan antara jawatan pemerintah
pusat di daerah dengan pemerintah daerah; melakukan pengawasan jalannya pemerintahan
daerah; dan menjalankan kewenangan umum lainnya yang terletak dalam bidang urusan
pemerintah pusat. Diatur pula dalam Penpres ini bahwa kepala daerah tidak bertanggung
jawab kepada DPRD , sehingga kepala daerah tidak diberhentikan oleh DPRD. Dengan
demikian maka sistem pemerintahan daerah masih bersifat sentralistis karena semua masih
diatur oleh pemerintah pusat. Hal agak menyimpang adalah bahwa kepala daerah karena
jabatannya menjabat sebagai ketua DPRD , namun bukan sebagai Anggota.
Berbagai problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut penpres ini
kemudian dilakukan penyempurnaan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965.
e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Beberapa hal baru mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, yaitu :
Pertama, pembagian daerah Indonesia dilakukan dalam tiga tingkatan , yaitu daerah Provinsi
dan/atau Kota Raya sebagai daerah tingkat I ; daerah Kabupaten dan atau kotamadya sebagai
daerah tingkat II ; dan daerah kecamatan dan/kotapraja sebagai daerah tingkat III. Ketiga
kegiatan daerah tersebut berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Kedua, Dalam undang-undang ini pimpinan DPRD dalam mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah. Ketentuan demikian jelas bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan , dimana antara DPRD dan kepala
daerah kedudukannya sederajad.
Ketiga, Hampir semua kekuasaan, tugas dan kewajiban DPRD dilimpahkan kepada kepala
daerah.
Pemerintahan Daerah Pada Era Orde Baru – Saat ini
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Kebijakan pelaksanaan otonomi daerah selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berjalan dengan dimensi yang
amat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Secara kontekstual , selama penerapan
undang-undang tersebut, diperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah , yaitu
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Sebagai undang-undang produk era baru , yang
pada prinsipnya mengutamakan pembangunan ekonomi. Dimensi perundangan ini tidak bisa
terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi yang berasaskan trilogy pembangunan, yaitu :
stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan
kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah,
yang cirri-cirinya meliputi :
a. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)
b. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan
Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU
No.1 Tahun 1957).
c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala
daerah.
d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada
presiden.
e. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.
Upaya lain yang dilakukan Pemerintah Orde Baru untuk memperkuat posisi
kekuasaannya adalah memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang
kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) . Hal itu ditandai dengan
pemberian sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan
jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau
kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan
pemerintah di daerah.
Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi
daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah
berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :
1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar
2. Kesenjangan investasi daerah yang besar
3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang
terpusat
4. Pendapatan daerah dikuasai pusat
5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan
regional adanya ketimpangan alokasi kredit.
Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan
kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada
posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat
mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur
kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .
Dengan konsep otonomi yang demikian , Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan
sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
KONSEP DASAR UU NOMOR 22 TAHUN 1999
1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom
2. Keleluasan daerah untuk mengatur/mengurus kewenangan semua
bidang pemerintahan kecuali enam kewenangan
3. Kewenangan yang utuh dalam
perencanaan,pelaksanaan,pengawasan,dan pengendalian
4. Pemberdayaan masyarakat,tumbuhnya prakarsa,inisiatif,meningkatnya
peran masyarakat dan legislatif
Banyak hal baru yang diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,
salah satunya adalah pemisahan antara lembaga legislatif dan eksekutif di daerah dalam
bentuk susunan pemerinthan daerah. Sebelumnya kedua lembaga tersebut merupakan satu
kesatuan yang disebut pemerintah daerah. Menyertai pemisahan kedua lembaga tersebut
maka kepada DPRD diberikan tugas, hak dan wewenang yang sangat luas dan bernuansa
parlementarian. Misalnya, hak DPRD untuk meminta pertanggungjawaban kepala daerah atas
suatu kasus. Di samping itu kepada kepala daerah diberi kewajiban untuk menyampaikan
pertanggungjawaban kepada DPRD setiap akhir tahun anggaran. Ketentuan tersebut
membuka peluang terjadinya penolakan oleh DPRD yang dapat berujung pada upaya
pemberhentian (empeachtment) terhadap kepala daerah.
Mengenai kewenangan daerah otonom menurut pasal 7 ayat 1 dan 2 Bab IV UU
Nomor 22 Tahun 1999, mencakup urusan dalam seluruh bidang Pemerintahan , kecuali
urusan yang telah ditetapkan sebagai urusan negara, yang diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, yaitu urusan :
a. Bidang politik luar negeri;
b. Bidang pertahanan keamanan;
c. Bidang Peradilan;
d. Bidang moneter dan fiskal;
e. Bidang agama;
f. Kewenangan (urusan) bidang lain.
Kewenangan /urusan yang disebutkan setelah kata kecuali dan kewenangan / urusan
bidang lain , tersebut di atas merupakan kewenangan / urusan negara yang tidak dibagikan
kepada daerah otonom , dan tetap diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, namun
pelaksanaannya bisa dilimpahkan kepada Gubernur Provinsi , yang merupakan wakil
Pemerintah Pusat di wilayah Administrasi Provinsi. Ketentuan tentang urusan daerah
(otonom) tersebut berbeda dengan ketentuan urusan daerah (otonom) menurut undangundang sebelumnya , yang disebut nyata dan bertanggungjawab, karena dalam penjelasan
umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa urusan daerah disebut
dengan katagori otonomi daerah secraa utuh pada daerah kabupaten dan daerah kota , dan
otonomi terbatas pada daerah provinsi, tetapi dengan sebutan yang sama yaitu otonomi yang
luas,nyata, dan bertanggungjawab.
c. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,menimbulkan dampak negatif,yakni
munculnya arogansi beberapa dearah , sehingga terkesan terjdi “pembangkangan” di
beberapa daerah. Demikian pula dominasi peran DPRD atas kepala daerah yang mempunyai
kewenangan memberhentikan kepala daerah dengan alasan pertanggungjawaban tahunannya
tida diterima oleh DPRD menjadikan hubungan antara kepala daerah dengan DPRD di
beberapa daerah menjadi tidak harmonis.
Berikut perbedaan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
– DPRD Berkedudukan sejajar dan menjadi
mitra Pemerintah Daerah
– Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala
Daerah Provinsi,Kepala Daerah Kabupaten,Kepala Daerah Kota dan perangkat daerah
lainnya
– Desentralisasi merupakan titik berat
otonomi daerah
– Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
– Titik berat adalah daerah kabupaten/kota
– Substansinya telah mengatur tentang
pemerintahan daerah/desa
– DPRD berkedudukan sebagai Lembaga
Legislatif Daerah
– Pemilihan kepala daerah melalui
perwakilan (DPRD).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
– DPRD berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah
– Pemerintahan Daerah terdiri dari
Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota terdiri dari
Pemerintah dan DPRD Kab/Kota
– Desentralisasi dilaksanakan bersamaan
dengan tugas pembantuan
– Otonomi luas,nyata dan bertanggungjawab
– Titik berat otonomi pada kabupaten/kota
– Mengatur Pemerintahan Desa (ada
pengakuan tentang otonomi desa)
Hubungan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah di Era Otonomi Daerah
Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan,
karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik
kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan . Terlebih dalam negara
kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas sekali.
Alasan menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan
pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan
mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri
dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi
tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul
gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perktaan lain,
gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang
dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yng
merugikan daerah.
Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
a. Hubungan Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat.Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kehendak. Dalam
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya
dengan otonomi daerah,hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan kewajiban mempunyai dua
pengertian yakni horizontal dan vertikal. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan
pemerintah negara secara keseluruhan.
Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan
mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah , khususnya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu,
adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain
adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Dalam negara kesatuan , semua kekuasaan pemerintahan ada di tangan pemerintah
pusat. Pemerintah pusat dapat mendelegasikan kekuasaannya kepada unit-unit konstituen
tetapi apa yang didelegasikan itu mungkin juga ditarik kembali.
Sejalan dengan pendapat tersebut, wolhof juga menyatakan bahwa dalam negara
kesatuan pada asasnya kekuasaan seluruhnya dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya,
peraturan-peraturan pemerintah pusatlah yang menentukan bentuk dan susunan pemerintahan
daerah otonom, termasuk macam dan luasnya otonomi menurut inisiatifnya sendiri. Daerah
otonom juga turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral (medebewind) ,pemerintah pusat
tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Clarke dan Stewart , mereka melihat bahwa terdapat
tiga model hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yaitu
model otonomi relatif, model agen, model interaksi. Model relatif, model ini memberikan
kebebasan kepada pemerintah daerah , dan pada saat yang sama tidak mengingkari realitas
negara bangsa. Penekanannya adalah dengan memberikan kebebasan bertindak pada
pemerintah daerah dalam kerangka kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan.
Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah oleh karenannya ditentukan oleh
perundang-undangan.Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan
dari penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah daerah
dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang berada dari
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Model Agensi, ini adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai
agen pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang
terperinci dalam peraturan,perkembangan peraturan dan pengawasan.
Model Interaksi, dalam model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah , karena mereka terlibat dalam pola hubungan yang rumit, yang
penekanannya ada pada pengaruh yang menguntungkan saja.
Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat
digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila: Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah
ditentukan secara katagoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu
pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga
daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya.Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan
daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah
yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
BAB III
PENUTUP
D. KESIMPULAN
1. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat kita lihat dalam 3 proses menurut
bagir
manan
disebut
dengan
proses
bukan
sebagai
asas
diantaranya
sentralisasi,desentralisasi,tugas pembantuan, kaitannya dengan otonomi dalam kepustakaan
dibagi menjadi 3 yaitu otonomi formil, otonomi materiil dan otonomi riil.
2. Dari bentuk-bentuk utama pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan, akan
dijumpai paling kurang tiga bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Pertama , hubungan
pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua, hubungan pusat dan daerah
menurut dasar otonomi teritorial. Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.
3. Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang
menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan,
hubungan keuangan,hubungan pengawasan,dan hubungan yang timbul dari susunan
organisasi pemerintahan di daerah.
4. Pelaksanaan otonomi daerah bukannya meningkatkannya kesejahteraan masyarakat dari
segi ekonomi (finansal) dan pelayanan publik tapi sebaliknya wabah korupsi yang merajai
hampir sebagian besar pemerintah daerah. Korupsi menjadi sisi gelap dari pelaksanaan
otonomi daerah selama beberapa tahun perjalanannya . Hebatnya korupsi di daerah dilakukan
secara serentak dan bersama-sama yang melibatkan hampir semua elit local dengan
menggerogoti APBD,DAU,DAK. Korupsi telah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang
begitu besar terhadap otonomi daerah yang bisa melahirkan berkah bukan musibah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
1. Jimly Asshidiqie,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,2004
2. Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah ,Yogyakarta:UII Press,2006
3. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta: Pusat Studi hukum
Fakultas Hukum UII,2004
Peraturan Perundang-undangan :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemnerintahan Daerah