ASEAN Security Community Norma dan Ident (1)

ASEAN Security Community: Norma dan Identitas atau Perimbangan
Kekuatan?
Muhammad Arif1
Abstract
This article examines whether the concepts of balance of power of realism and norms and
identity of constructivism, either used independently or in combination, are sufficient
enough to explain ASEAN Security Community (ASC) and its prospects. These concepts
are prefered because they are contested frequently by a number of writers in explaining
ASC and its prospects. I conclude that in order to explain the issue, it requires to also take
into account the variable of domestic politics of each member country of ASC.

Keywords: security community; balance of power; norms; identity
Kata kunci: komunitas keamanan; perimbangan kekuatan; norma; identitas.
Kajian akademis tentang Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) sebagai
komunitas keamanan (security community) sudah ada jauh sebelum keberadaannya secara legalinstitusional dicanangkan pada 2003 melalui Bali Concord II tahun 2003. Pada tahun 1991
Amitav Acharya dalam tulisannya menyimpulkan bahwa ASEAN telah sukses sebagai
komunitas keamanan. 2 Yang dibutuhkan ASEAN, menurut Acharya, adalah tinggal penguatan
dan pengamanan terhadap kemungkinan konflik antar negara anggotanya. 3 Dalam tulisanya yang
diterbitkan tahun 1995, Michael Leifer juga mengemukakan bahwa ASEAN telah berperan
sebagai komunitas keamanan.4 Berlawanan dengan Acharya, N. Ganesan pada tahun 1995


1

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dian Aditya Ning Lestari atas saran, kritik dan dukungan yang diberikan
selama penyusunan tulisan ini.
2
A ita A ha a, The Asso iatio of “outheast Asia Natio s: “e u it Co
u it o Defe e Co
u it ? ,
dalam Pacific Affairs, Vol. 64, No. 2 (Summer, 1991), hal. 159-178.
3
Ibid.
4
Mi hael Leife , A“EAN as a Model of “e u it Co
u it ?:, dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,
Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), hal. 136144. Dalam tulisannya Leifer mengidentifikasi dua alternatif model peran yang dapat diambil ASEAN sebagai
komunitas keamanan. Model yang pertama adalah ASEAN sebagai komunitas intramural dimana ASEAN dapat
berperan sebagai mekanisme regional untuk menghindari konflik antar negara anggotanya. Model yang kedua
adalah komunitas diplomatik dimana ASEAN dapat berperan sebagai mekanisme regional sebagai wadah aspirasi
diplomatik kolektif. Menurut Leifer justru kedua model ini belumlah sesuai dengan konsep komunitas keamanan
menurut pemahamannya. Dibutuhkan perubahan peran ASEAN untuk mewujudkan komunitas keamanan yang

sesungguhnya. Akan tetapi, melihat definisi komunitas intramural dan diplomatik yang diberikan Leifer, hal
tersebut sudah sesuai dengan konsep komunitas keamanan yang lazim digunakan yakni konsep yang ditawarkan
oleh Karl Deutsch dan kemudian dimodifikasi oleh Emanuel Adler dan Michael Barnett. Lihat Karl W. Deutsch et.
Al., Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1957), hal. 5-7, 23-

mempertanyakan status ASEAN sebagai komunitas keamanan. 5 Pendapat ini didasarkan pada
kenyataan bahwa ASEAN belum mampu menyelesaikan perselisihan antara negara-negara
anggotanya pada level institusi.6 Pada tahun yang sama Michael Leifer menulis bahwa ASEAN
perlu merubah perannya untuk dapat mewujudkan diri menjadi komunitas keamanan. 7 Jika
perubahan peran ini tidak dilakukan, menurut Leifer, ASEAN beresiko hanya akan menjadi
mekanisme intermural untuk menghindari konflik antar negara anggotanya atau menjadi sekedar
mekanisme regional untuk menyuarakan aspirasi diplomatik kolektif. Penulis lain, Donald
Emmerson pada tulisannya yang diterbitkan tahun 2005 juga meragukan status ASEAN sebagai
komunitas keamanan.8 Emmerson meragukan bahwa kawasan Asia Tenggara yang relatif damai
dan stabil adalah disebabkan terutama oleh keberadaan perasaan komunitas (sense of community)
di antara negara-negara anggota ASEAN.9
Dengan demikian secara umum terdapat dua pendapat yang berbeda dalam melihat
ASEAN sebagai komunitas keamanan, pendapat yang optimis dan pesimis. Pendapat yang
berlainan ini utamanya disebabkan oleh pendekatan yang digunakan berbeda. Mereka yang
optimis terhadap ASEAN sebagai komunitas keamanan diidentifikasi menggunakan pendekatan

konstruktivisme dengan melihat aspek norma regional dan pembentukan identitas. 10 Sedangkan
mereka yang pesimis pada umumnya pemahamannya berangkat dari kerangka konseptual
realisme utamanya dengan menggunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power ).
Masing-masing perspektif dan konsep memiliki kekuatan eksplanasinya masing-masing. Mereka
yang memilih menggunakan perspektif dan konsep yang satu seringnya akan melakukan analisa
dengan mengkontestasikan perspektif dan konsep tersebut dengan perspektif dan konsep yang
lainnya.
116 da E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co
u ities i Theo eti al Pe spe ti e da A F a e o k
fo the “tud of “e u it Co
uhities , dala E a uel Adle da Mi hael Barnett (ed.), Security Communities,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hal. 3-65.
5
N. Ga esa , ‘ethi ki g A“EAN as a “e u it Co
u it i “outheast Asia , dala Asian Affairs, Vol. 21, No. 4
(Winter, 1995), hal. 210-226.
6
Ibid.
7
Michael Leife , A“EAN as a Model of “e u it Co

u it ?:, dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,
Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), hal. 136144.
8
Do ald K. E
e so , “e u it , Co
u it , a d De o a i “outheast Asia: A al zi g A“EAN , dala
Japanese Journal of Political Science, 6 (2), hal. 165-185.
9
Ibid.
10
Perihal perspektif teoritis yang fokus pada norma dan identitas regional dalam menganalisa pembentukan
komunitas keamanan di Asia Tenggara lihat Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia:
ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001).

Penulis mencoba untuk tidak mengambil preferensi dari kedua perspektif yang akan
dibahas –realisme dan konstruktivisme. Sebaliknya, yang akan Penulis coba lakukan adalah
menyajikan penjabaran bagaimana keduanya masing-masing dengan konsep-konsep turunannya
menjelaskan ASC dan prospeknya di masa yang akan datang. Pada bagian pertama, akan
dijabarkan bagaimana realisme dengan konsep perimbangan kekuatannya menjelaskan ASC dan
prospeknya.


Selanjutnya

pada

bagian kedua,

akan dijabarkan bagaimana

kapasitas

konstruktivisme dengan konsep-konsep norma dan identitas dalam menjelaskan ASC dan
prospeknya. Pada bagian ketiga, Penulis akan berusaha membangun argumen bahwa kedua
perspektif dengan konsep-konsep turunannya memiliki kekuatan eksplanasinya masing-masing.
ASC dan prospeknya akan dapat dijelaskan dengan semakin tepat jika konsep-konsep tersebut
digunakan secara bersamaan juga dengan tetap memperhatikan pengaruh faktor lain yaitu politik
domestik tiap negara anggota. Pada tataran praktikal ASC akan dapat berkembang ke arah yang
positif jika para pembuat kebijakan mempertimbangkan faktor perimbangan kekuatan di
kawasan Asia Tenggara -baik itu antar negara-negara anggota ASEAN ataupun sebagai bagian
dari perimbangan kekuatan global- sekaligus faktor pembentukan norma dan identitas kawasan

serta politik domestik tiap negara anggota.

Perimbangan Kekuatan dan ASC
Perimbangan kekuatan adalah salah satu konsep paling fundamental dalam Hubungan
Internasional. Glenn Snyder menyebutnya “konsep teoritis paling sentral dalam hubungan
internasional”. 11 Meskipun sulit disangkal bahwa perimbangan kekuatan adalah salah satu
konsep paling penting dalam Hubungan Internasional, definisi perimbangan kekuatan itu sendiri
masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Perimbangan kekuatan didefinisikan sebagai
distribusi kekuatan yang sedang terjadi pada sistem internasional, distribusi kekuatan ideal pada
sistem internasional yang berusaha diwujudkan, atau justru perimbangan kekuatan sebagai
strategi yang ditempuh negara untuk mewujudkan distribusi kekuatan yang diinginkannya. 12
Sebagai sebuah teori, perimbangan kekuatan dengan demikian menjelaskan perilaku atau
kebijakan luar negeri negara sekaligus juga menjelaskan pola keluaran dari interaksi antar
11

Gle “ de se agai a a dikutip da i Ja k “. Le , What Do G eat Po e s Bala e Agai st a d Whe , dala
st
T. V. Paul et. Al. (ed.), Balance of Power: Theory and Practice in the 21 Century, (Stanford: Stanford University
Press, 2004), hal. 29.
12

Ibid., hal. 29.

perilaku atau kebijakan luar negeri tersebut.13 Senada dengan ini, Michael Leifer, untuk
menghindari dari ambiguitas definisi yang menjebak, mendefinisikan perimbangan kekuatan
menjadi dua yaitu perimbangan kekuatan sebagai deskripsi hubungan kapabilitas antara dua atau
lebih negara (distribusi kekuatan) dan perimbangan kekuatan sebagai kebijakan yang diarahkan
untuk mencegah hadirnya negara hegemon yang mendominasi. 14 Bentuk koalisi dalam hal ini
adalah aliansi dan instrumen kebijakan secara tradisional adalah perang.
Teori perimbangan kekuatan dilandaskan pada asumsi-asumsi dasar hubungan
internasional yaitu bahwa sistem internasional bersifat anarki, aktor kunci adalah negara
teritorial, tujuan negara adalah memaksimalisasi kekuatan atau keamanannya, dan negara
berperilaku rasional dalam upayanya mewujudkan tujuannya. 15 Asumsi-asumsi ini identik
dengan asumsi-asumsi dasar realisme. 16
Dalam diskursus perimbangan kekuatan dalam konteks ASEAN, Michael Leifer adalah
salah satu penulis yang sering dirujuk. Menurut Leifer, sama seperti bagaimana perimbangan
kekuatan selama ini digunakan untuk memahami konstelasi Eropa, perimbangan kekuatan juga
dapat diaplikasikan di Asia Tenggara karena sejumlah faktor.17 Meskipun Asia Tenggara tidak
pernah memiliki kesepahaman tentang ancaman eksternal –prasyarat perimbangan kekuatan
menurut Leifer- sehingga tidak pernah dapat membentuk aliansi, negara-negara Asia Tenggara
selalu mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam menyusun pengaturan keamanan di

kawasan. 18 Keberlanjutan presensi kekuatan militer Amerika Serikat (AS) di kawasan bersama
dengan hubungan yang stabil antara AS, Cina dan Jepang dianggap mempengaruhi secara positif
terhadap stabilitas keamanan kawasan. 19
Perimbangan kekuatan, baik antar negara anggota ASC maupun antar kekuatan global,
akan mempengaruhi perkembangan ASC. Baik konflik regional maupun persaingan antar

13

Ibid., hal. 31.
Mi hael Leife , T uth a out the Bala e of Po e , dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. , op. cit., hal.
152.
15
Ibid., hal. 31.
16
Realisme sendiri mencakup berbagai teori yang semuanya menyepakati beberapa asumsi dasar yang sama yaitu
bahwa negara adalah aktor paling penting hubungan internasional, sistem internasional bersifat anarki, dan
kekuata adalah se t al dala politik i te asio al. Lihat “tephe M. Walt, The P og essi e Po e of ‘ealis ,
dalam The American Political Science Review, Vol. 91, No. 4 (Des. 1997), hal. 932.
17
Mi hael Leife , T uth a out the Bala e of Po e , dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. , op. cit., hal.

152-154
18
Ibid., hal. 153.
19
Ibid., hal. 154.

14

kekuatan global menjadi salah satu faktor penentu perkembangan pengaturan keamanan di
kawasan Asia Tenggara.20 Perimbangan kekuatan intra regional menunjukkan tendensi positif
dimana kecurigaan dan kewaspadaan terhadap ekspansionisme negara yang potensial menjadi
hegemon regional eksis. Dua negara yang tercatat pernah nyata-nyata menunjukkan intensi
ekspansionismenya adalah Indonesia dan Vietnam. Keduanya pada waktu berbeda menggunakan
pendekatan koersif dan lunak (benevolent) dalam upayanya mencapai status hegemon regional. 21
“Indonesia yang secara alamiah adalah (potensial) hegemon di kawasan Asia Tenggara terkait
dengan dengan luas dan populasinya”,22 menggunakan pendekatan koersif ketika menerapkan
politik Konfrontasi dengan Malaysia pada pertengahan tahun 1960an serta ketika melakukan
invasi ke Timor Timur tahun 1975. Sembari itu, Indonesia juga menerapkan pendekatan yang
lebih lunak dalam kerangka ASEAN sejak pendiriannya tahun 1967 hingga sebelum krisis
finansial Asia tahun 1997. Sedangkan Vietnam menerapkan pendekatan koersif ketika

menginvasi Kamboja tahun 1978 serta pendekatan lunak ketika memaksakan terciptanya
dependensi Laos terhadapnya tahun 1975.
Terutama pada kasus politik Konfrontasi Indonesia dan invasi Vietnam terhadap
Kamboja, dapat dilihat respon negara-negara lain di kawasan untuk menghentikan upaya kedua
negara tersebut mendominasi kawasan (balancing). Hal ini menunjukkan perhatian negaranegara Asia Tenggara terhadap perimbangan kekuatan di kawasan. Kecurigaan dan kewaspadaan
sekaligus kesiapan untuk mengimbangi (balancing) ini menjadi faktor yang berpengaruh dalam
mewujudkan ASC dan perkembangannya di masa depan.
Perimbangan kekuatan global juga akan mempengaruhi ASC dan prospeknya. Hal ini
berkaitan dengan fakta bahwa Asia Tenggara terlokasi sangat strategis dimana kebangkitan Cina
yang akan berusaha dibendung oleh AS akan menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu arena
persaingan. Salah satu modus persaingan tersebut adalah pengamanan jalur transportasi minyak
di Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok. Untuk Selat Malaka saja tiap tahunnya lewat

20

Willia T. To , Co te di g “e u it App oa hes i the Asia-Pa ifi ‘egio , dala Security Studies, 3:1, hal.
107.
21
‘alf E
e s, ‘egio al Hege o ies a d the E e ise of Po e i “outheast Asia: A “tud of I do esia a d

Viet a , dala Asian Survey, Vol. 45, No. 4 (July/August 2005), hal. 645.
22
Ralf Emmers, Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF, (London: RoutledgeCurzon,
2003), hal. 55.

80% dari jumlah total minyak menuju Asia Timur Laut, setara dengan $390 miliar.23 Superioritas
Angkatan Laut AS menjadi salah satu penyedia jaminan keamanan di wilayah-wilayah tersebut.
Disini terjadi suatu ahal yang paradoksial. Di satu sisi, jaminan keamanan maritim yang
diberikan AS menguntungkan Cina yang pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada
kelancaran transportasi minyak di jalur-jalur tersebut di atas. Di sisi lain, superioritas AS justru
yang menjadi salah satu pendorong Cina untuk membangun kekuatan militernya. Pembangunan
kekuatan militer dapat dilihat sebagai bentuk antisipasinya terhadap resiko AS dapat melakukan
blokade dan memutus pasokan minyak ke Cina jika persaingan keduanya memanas.
Dari perspektif ASEAN, jaminan keamanan yang diberikan AS menjadi prakondisi bagi
penguatan institusional, dalam hal ini pengaturan keamanan kawasan dalam kerangka ASC.
Dengan demikian, akan lebih menguntungkan bagi negara-negara ASEAN untuk tetap tidak ikut
terlibat dalam persaingan AS-Cina (stay on the sideline) sembari melakukan konsolidasi dan
penguatan institusional.
Norma dan Identitas dan ASC
Dalam beberapa hal konsep komunitas keamanan memang tidak sesuai jika dikaji dengan
kerangka teori neo-realisme. Pertama, komunitas akademisi Hubungan Internasional pada
umumnya tidak terlalu nyaman dengan konsep komunitas keamanan.24 Pemikiran bahwa aktoraktor internasional dapat berbagi nilai, norma dan simbol yang membentuk identitas sosial dan
kepentingan berlawanan dengan keyakinan bahwa struktur internasional yang anarki membuat
negara-negara akan selalu mengupayakan kepentingan nasionalnya di atas hal apapun.25 Kedua,
konsep komunitas keamanan yang memberikan ruang bagi optimisme terhadap pencapaian
stabilitas dan perdamaian melalui institusi dengan sendirinya tidak kompatibel dengan neorealisme yang skeptis terhadap peran institusi dalam mendorong perubahan tanpa konflik.
Memang neo-liberalisme, meskipun mengamini stuktur internasional yang anarki sebagaimana
asumsi yang diyakini neo-realis, mempercayai bahwa institusi berupa kerjasama internasional

23

Joshua H. Ho, The “e u it of “ea La es i “outheast Asia , dala Asian Survey, Vol. 46, No. 4 (July/August
2006), hal. 560.
24
E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co
u ities i Theo eti al Pe spe ti e , dala E a uel Adle
dan Michael Barnett (ed.), op. cit., hal. 3.
25
Ibid., hal. 3

dapat menghindari negara dari konflik. 26 Akan tetapi tetap neo-liberalisme memberikan tidak
banyak peran bagi institusi. Dalam hal ini, institusi dibentuk oleh negara-negara dengan
kepentingannya masing-masing (self-interested states), sehingga negara-negara tersebut tetap
terbatas pilihan dan strateginya meskipun beroperasi dalam kerangka institusi termasuk
komunitas keamanan. Ketiga, konsep komunitas keamanan yang didasarkan pada norma dan
identitas yangmana bukan faktor material akan sulit dipahami menggunakan kerangka teori
materialistik seperti neo-realisme atau neo-liberalisme. Adalah konstruktivisme yang
menyediakan jalan untuk itu.

Menurut Adler dan Barnett, konstruktivisme mempengaruhi

diskursus tentang komunitas keamanan dalam tiga area. 27 Pertama, komunitas keamanan sebagai
sebuah konstruksi sosial, yang dihasilkan dari interaksi, sosialisasi, pembentukan norma dan
identitas, dapat meredefinisi kepentingan negara dalam konteks perang dan damai. 28 Kedua,
konstruktivisme fokus pada peran konstitutif norma dalam proses sosial yang meredifinisi
kepentingan dan identitas negara sehingga memungkinkan terciptanya hubungan yang damai
antar anggota komuntias keamanan. 29 Ketiga, selain faktor material seperti kekuatan,
konstruktivisme juga menaruh perhatian pada faktor intersubjektif seperti ide, budaya dan
identitas kolektif yang menjadi basis bagi terciptanya komunitas keamanan. 30
Dalam konteks ASC, pembentukan norma dan identitas justru sudah memiliki basis yang
dapat dikembangkan. Prinsip-prinsip kedaulatan dan non-interferensi yang selama ini banyak
dianggap sebagai halangan bagi integrasi Asia Tenggara justru sebenarnya adalah modalitas bagi
pembentukan dan prospek ASC. Prinsip-prinsip tersebut bersama dengan ASEAN Way yang
didasarkan atas keunikan ASEAN telah menjadi penyangga utama organisasi. Meskipun
hubungan kausalitas antara prinsip-prinsip tersebut dengan stabilitas ASEAN tentu
26

Neo-realisme mempercayai bahwa institusi dalam bentuk kerjasama internasional hanyalah refleksi dari
perimbangan kekuatan antar negara-negara yang terlibat didalamnya. Dengan demikian perimbangan kekuatanlah
yang sebenarnya mempengaruhi perilaku negara, bukan institusi per se. Kritik neo-realisme terhadap neoli e alis e soal pe a i stitusi lihat Joh J. Mea shei e , The False P o ise of I te atio al I stitutio s , dala
International Security, Vol. 19, No. 3 (Winter, 1994-1995), hal. 5-49. Pandangan skeptis neo-realis terhadap
institusi dalam bentuk kerjasama internasional juga didasarkan pada asumsi bahwa negara menaruh perhatian
terhadap keuntungan relatif –bukan keuntungan absolut- ketika negara saling bekerjasama, dan juga pada
ke u gki a ega a lai e laku u a g. Lihat Joseph M. G ie o, A archy and the Limits of Cooperation: A Realist
C iti ue of the Ne est Li e al I stitutio alis , dala International Organization, Vol. 42, No. 3 (Summer, 1988),
hal. 485-507.
27
E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co
u ities i Theo eti al Pe spe ti e , dala E a uel Adle
dan Michael Barnett (ed.), op. cit., hal. 3.
28
Ibid., hal. 3.
29
Ibid., hal. 3-4.
30
Ibid., hal. 4.

mengharuskan kajian lebih dalam, jelas bahwa prinsip-prinsip tersebut berhubungan dengan
stabilitas dan perdamaian relatif yang terjadi di ASEAN selama lebih dari 40 tahun.
Pembentukan identitas kolektif regional juga sesungguhnya bukanlah pekerjaan yang
harus dimulai dari nol. Menurut Dr. Lili Yulyadi Arnakim, salah seorang pengamat ASEAN dari
University of Malaya, hubungan transnasional di Asia Tenggara pernah demikian erat pada masa
transisi antara kolonialisme menuju pasca kolonialisme. 31 Konsep negara-bangsa yang diadopsi
oleh negara-negara Asia Tenggara –yang ironisnya justru hubungan trannasional yang menjadi
salah faktor pendukungnya- kemudian justru menghadirkan batasan-batasan di antara masyarakat
Asia Tenggara.32 Pembangunan kembali identitas kolektif negara dan masyarakat Asia Tenggara
dapat dilakukan dengan sebuah upaya berbagi ( sharing effort); memperkuat basis pengetahuan
bersama (common knowledge) dimana misalnya masyarakat Indonesia dapat memahami karakter
dan cara berpikir saudara serumpunnya di Malaysia, vice versa

33

Hal ini kemudian akan

bermuara pada terwujudnya interdependensi serta homogenitas di antara negara-negara Asia
Tenggara yangmana hal ini dapat menjadi landasan terbaik bagi terciptanya pengaturan
keamanan yang kredibel. 34

Politik Domestik dan ASC
Realisme dan konstruktivisme, digunakan masing-masing ataupun bersamaan, tidak
mampu menjelaskan ASC dan prospeknya di masa depan. Pertanyaannya kemudian adalah jika
kalkulasi kekuatan maupun konstruksi sosial berupa pembentukan norma dan identitas tidak
cukup menjelaskan ASC dan prospeknya, maka tentu terdapat faktor lain yang mempengaruhi.
Faktor lain yang sudah dan akan banyak mempengaruhi ASC dan prospeknya adalah dinamika
politik domestik negara-negara anggotanya. Dinamika politik domestik dalam hal ini merujuk
pada model kepemimpinan masing-masing negara anggota ASEAN serta kondisi sosial-ekonomi
negara bersangkutan.

31

D . Lili Yul adi Ka i , U de sta di g the D a i s of I do esia-Malaysia Bilateral Relations: A Perspective of
State-Society Relatio s i Fo eig Poli , pe apa a dala diskusi i fo al a g disele gga aka oleh Bi o
Asisten Program Sarjana Reguler Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, 27 Oktober 2011.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.

balance of
power

regional norms
and identity
formation

domestic
politics

Sepanjang

sejarahnya

dapat

dilihat

bagaimana

faktor

kepemimpinan

sangat

mempengaruhi laju perkembangan institusi regional di Asia Tenggara. Indonesia misalnya, pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto melihat kerjasama kawasan sebagai instrumen
mewujudkan tertib kawasan yang lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan koersif ala
Konfrontasi yang sebelumnya diterapkan Presiden Soekarno.35 Setelah agak terlupakan pada
masa rekonsiliasi pasca krisis finansial, Indonesia terlihat kembali memperlihatkan keinginan
untuk mengembalikan statusnya sebagai pemimipin ASEAN salah satunya dengan menginisiasi
pembentukan ASC dan menjadi Ketua ASEAN tahun 2011. Memang secara alamiah keamanan
Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap keamanan kawasan; Indonesia adalah kunci
keamanan kawasan Asia Tenggara.36
Dinamika politik di negara-negara selain Indonesia juga akan sangat mempengaruhi
perkembangan ASC. Tekanan internal dan eksternal terhadap rezim represif junta militer di
Myanmar akan menentukan arah kebijakan luar negeri negara tersebut. Pun begitu halnya
dengan transisi yang masih terjadi di Thailand ataupun potensi konflik etnis di Malaysia. Hal ini
berhubungan dengan sistem politik di negara-negara anggota ASEAN yang belum matang benar

35

Pandangan lain adalah bahwa kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto dengan
mendirikan ASEAN adalah sama landasan berpikirnya dengan pada masa Soekarno yaitu untuk meminimalisir
peranan aktor eksternal di kawasan Asia Tenggara. Bedanya adalah pada konteks dan derajat kerjasama
institusionalnya saja. Lihat Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1989).
36
Paul Di , I do esia: The Ke to “outh-East Asia s “e u it , dala International Affairs (Royal Institute of
International Affairs 1944-), Vol. 77, No. 4 (Oct., 2001), hal. 829-842.

bangun institusinya sehingga suksesi kepemimpinan akan berpengaruh signifikan terhadap
perubahan arah kebijakan luar negeri. 37
Untuk menguatkan institusi regional tentu dibutuhkan basis kehidupan sosio-politik dan
sosio-ekonomi yang kuat dan stabil. Pemulihan pasca krisis ekonomi 1997 dan 2008, rekonsiliasi
politik, penataan hubungan antar etnis adalah prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara
ASEAN untuk melancarkan proses pembentukan ASC dan menjadikannya insititusi pengaturan
keamanan yang matang dan kredibel di masa depan.

Kesimpulan
Fenomena sosial apapun tentu sah-sah saja dianalisa dengan menggunakan berbagai
paradigma dan teori asalkan didukung dengan bangun argumentasi dan data yang valid. Akan
tetapi masalahnya menjadi lebih rumit ketika yang dibahas adalah fenomena sosial yang begitu
erat kaitannya dengan kita, dalam hal ini ASC. Kesalahan dalam analisa dan merumuskan
preskripsi kebijakan resikonya akan langsung kita sendiri yang rasakan. Maka kemudian diskusi
dan perdebatan untuk menentukan analisa dan preskripsi kebijakan yang paling baik adalah
harga mati.
Mengingat hal tersebut di atas, di tambah dengan fakta keunikan regionalisme ASEAN,
sebuah analisa objektif yang inter-paradigmatik dibutuhkan untuk memahami ASC dan
prospeknya. Dan dalam rangka untuk ikut terlibat dalam diskusi dan perdebatan akademis
tentang ASC, Penulis menyimpulkan bahwa memahami ASC dan prospeknya tidak cukup hanya
dengan menggunakan perimbangan kekuatan dan/atau norma dan identitas regional tapi juga
harus dengan memperhatikan benar faktor lain yaitu politik domestik setiap negara anggota
ASEAN.

Bibliografi
Acharya, Amitav, “The Association of Southeast Asia Nations: „Security Community‟ or
„Defence Community‟?”, dalam Pacific Affairs, Vol. 64, No. 2 (Summer, 1991), hal. 159178.
---, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional
Order , (London: Routledge, 2001).
37

Lebih lanjut soal suksesi kepemimpinan dan hubungannya dengan keamanan Asia Tenggara lihat Yon Mun
Cheo g, Leade ship “u essio a d “e u it i “outheast Asia , dala Contemporary Southeast Asia, Vol. 11, No.
2 (September 1989), hal. 115-137.

Adler, Emanuel dan Barnett, Michael (ed.), Security Communities, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998)
Chin Kin Wah dan Suryadinata, Leo (ed.), Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia ,
(Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005).
Deutsch, Karl W. et. Al., Political Community and the North Atlantic Area , (Princeton, NJ:
Princeton University Press, 1957), hal. 5-7, 23-116
Dibb, Paul, “Indonesia: The Key to South-East Asia‟s Security”, dalam International Affairs
(Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 77, No. 4 (Oct., 2001), hal. 829-842.
Emmers, Ralf, Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF , (London:
RoutledgeCurzon, 2003).
---, “Regional Hegemonies and the Exercise of Power in Southeast Asia: A Study of Indonesia
and Vietnam”, dalam Asian Survey, Vol. 45, No. 4 (July/August 2005), hal. 645-665.
Emmerson, Donnald K., “Security, Community, and Democracy in Southeast Asia: Analyzing
ASEAN”, dalam Japanese Journal of Political Science, 6 (2), hal. 165-185.
Ganesan, N., “Rethinking ASEAN as a Security Community in Southeast Asia”, dalam Asian
Affairs, Vol. 21, No. 4 (Winter, 1995), hal. 210-226.
Grieco, Joseph M., “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest
Liberal Institutionalism”, dalam International Organization, Vol. 42, No. 3 (Summer, 1988),
hal. 485-507.
Ho, Joshua H., “The Security of Sea Lanes in Southeast Asia”, dalam Asian Survey, Vol. 46, No.
4 (July/August 2006), hal. 558-574.
Leifer, Michael, Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989).
Mearsheimer, John J., “The False Promise of International Institutions”, dalam International
Security, Vol. 19, No. 3 (Winter, 1994-1995), hal. 5-49
Paul, T. V., et. Al. (ed.), Balance of Power: Theory and Practice in the 21 st Century, (Stanford:
Stanford University Press, 2004).
Tow, William T., “Contending Security Approaches in the Asia-Pacific Region”, dalam Security
Studies, 3:1, hal. 75-116.
Walt, Stephen M., “The Progressive Power of Realism”, dalam The American Political Science
Review, Vol. 91, No. 4 (Des. 1997), hal. 931-935.
Yon Mun Cheong, “Leadership Succession and Security in Southeast Asia”, dalam
Contemporary Southeast Asia , Vol. 11, No. 2 (September 1989), hal. 115-137.