Efek Sosial Budaya Pariwisata dan

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan, dan turisme. Sebagai salah
satu bidang dengan prospek paling menjanjikan dalam perkembangan ekonomi Indonesia,
pariwisata memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat
yang tinggal di sekitar tempat pariwisata, baik pariwisata yang sudah lama ada ataupun
pariwisata yang baru dikembangkan.
Pariwisata membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Keberadaan wisatawan, baik disadari maupun tidak akan memberikan dampak bagi lingkungan
sekitar tempat pariwisata baik secara positif maupun negatif. Perubahan ini terjadi dalam semua
lini dan aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosiokultural, yaitu aspek yang berkenaan
dengan segi sosial dan budaya masyarakat (KBBI). Hal ini menjadi penting dibahas karena
pariwisata diharapkan untuk mendukung lingkungan (baik alam maupun kebudayaan) yang ada
di sekitar tempat wisata. Oleh karena itu, karya tulis berjudul “Dampak Sosial Budaya
Pariwisata” ini akan membahas tentang dampak pariwisata dalam kehidupan sosial-budaya suatu
komunitas masyarakat.

1


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dampak Sosiokultural Pariwisata
Pariwisata adalah sebuah bidang industri yang memiliki kerugian tersembunyi hampir
sama besarnya dengan keuntungan yang didapat. Salah satu kerugian terbesar yang terjadi karena
adanya industri pariwisata adalah soal kerusakan ligkungan. Selama abad ke-20, telah ditemukan
berbagai kerusakan pada objek pariwisata, terutama dari aspek lingkungan alami. Sadar maupun
tidak, wisatawan telah turut ambil bagian dalam kerusakan ini dengan memolusi dan
menghancurkan keberagaman alam yang mereka rasa paling menarik. Fenomena ini terjadi di
semua tempat, baik hutan, pantai, maupun pegunungan.
Masalah lain yang muncul dari adanya bisnis pariwisata adalah berubahnya komunitas
asli dari warga yang tinggal di sekitar lingkungan objek pariwisata. Keberadaan wisatawan di
sekitar lingkungan tempat tinggal mereka dapat menimbulkan munculnya ketegangan antar pihak
walaupun hal tersebut tidak disengaja. Di sisi lain, wisatawan juga mengubah pola hidup dan
kebiasaan lokal yang telah turun temurun ada di daerah tersebut sehingga keunikan yang ada
menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Jika tidak diatasi dengan baik, masalah ini akan menimbulkan dampak yang
membahayakan kepariwisataan di suatu tempat. Oleh karena itu, butuh langkah-langkah
pencegahan dan perbaikan yang dilakukan agar kerusakan yang telah terjadi pada objek-objek
kepariwisataan tidak lantas berlanjut. Keberlanjutan adalah kata kunci untuk mengatasi masalah

ini. Perlu diingat oleh semua pihak bahwa menjaga keberlangsungan kebudayaan daerah dan
lingkungan hayati merupakan hal yang sangat penting sehingga kekayaan tersebut dapat
diteruskan oleh generasi selanjutnya.
Secara umum ada lima poin yang dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah
pariwisata yang bertanggung jawab kepada lingkungan sekitar. Panduan ini dibuat oleh AITO
(Association of Independent Tour Operators) dan didukung oleh berbagai perusahaan
kepariwisataan. Kelima poin tersebut adalah:
1. Perlindungan lingkungan; flora, fauna, dan bentang alam.
2. Penghormatan kepada budaya lokal; tradisi, agama, dan bangunan warisan.
3. Keuntungan sosial dan ekonomi bagi komunitas lokal.
2

4. Konservasi Sumber Daya Alam sejak dari kantor menuju hasil.
5. Meminimalisir polusi yang disebabkan suara, limbah, maupun kemacetan.
2.1.1 Batas Pertumbuhan
Keberadaan wisatawan dapat mengganggu keberlangsungan suatu komunitas
kecil dalam wilayah pariwisata tersebut. Dalam pembukaan ‘ITB Tourism Fair’ di Berlin
tahun 1994, Sekjen WTO Antonio Enriquez Savignac menyampaikan, dalam beberapa
tahun terakhir terdapat banyak tanda peringatan dari objek-objek pariwisata. Beberapa
masalah yang terjadi contohnya situs peninggalan dan fasilitasnya, kepenatan yang

dirasakan oleh suatu budaya dan masyarakat lokal, dan lainnya. Kita perlu menyadari
adanya batas jumlah pengunjung yang bisa mengunjungi suatu objek pariwisata dalam
sehari, adanya batas kesabaran dan keterbukaan masyarakat lokal, dan batas jumlah
wisatawan yang boleh mengunjungi lokasi keberadaan sumber daya alam kita.
2.1.2 Arti Lingkungan
Lingkungan adalah keseluruhan benda yang ada di sekitar benda, kondisi, dan
dampaknya (Kamus Macquire, 1997, hal. 711). Secara sempit lingkungan diartikan
sebagai sumber daya alam (tanah, air, udara, dan lainnya) namun arti secara luas
mengiktsertakan manusia, hasil kresi manusia, serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
yang berdampak pada kehidupan mereka. Sebuah lingkungan harus memiliki tiga
komponen, yaitu:
a. Komponen alam (laut, sungai, danau, pegunungan, flora dan fauna, dan sebagainya)
b. Komponen buatan (gedung-gedung perkantoran, infrastruktur, dan berbagai
komponen lain yang menyokong sebuah kehidupan kota)
c. Komponen sosial-budaya (nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, seni, hokum, sejarah,
dan lain sebagainya)
Hubungan sosial-budaya dengan pariwisata yaitu pariwisata menyebabkan
perubahan dalam organisasi sosial dan budaya sekelompok orang (Gartner, 1996).
Perubahan sosial yang terjadi akan menyebabkan perubahan budaya dalam masyarakat
tersebut.


3

2.1.3 Warisan (Heritage)
Warisan adalah sesuatu yang diturunkan dari masa lampau kepada sebuah bangsa
atau komunitas. Warisan tidak selalu berupa kekayaan alam, tempat tinggal, bangunan,
bahasa, seni, kepercayaan, atau simbol tertentu, namun dapat pula berupa cara melakukan
sesuatu hal. Warisan juga dapat mengacu pada hal yang dipertahankan karena nilai yang
tertinggal pada hal itu.
Wisata warisan berfokus pada tempat (taman nasional dan bangunan bersejarah),
artefak, suku tertentu, dan kebiasaan alam (migrasi tahunan paus) (McArthur, 2000).
Menurut McArthur, warisan secara luas dapat berarti kebudayaan dari komunitas tertentu
yang membentuk identitas bangsa.
Warisan harus dilindungi. Keberadaan warisan di suatu daerah akan mendukung
terbentuknya komite khusus dan aturan-aturan tertentu untuk menjaga keberlangsungan
warisan tersebut. Secara global, usaha ini ditunjukkan dengan memilih situ-situs warisan
yang ‘memiliki nilai universal luar biasa’ sesuai dengan kriteria tertentu dan
mengelompokkannya dalam Daftar Situs Warisan Dunia. Daftar ini mulai dibuat oleh
UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada
tahun 1972 dan diratifikasi tahun 1974. Pada Juni 2001, ada 690 situs warisan di seluruh

dunia (sebagian besar asset budaya), termasuk Tembok Besar China, Taj Mahal, Piramida
di Mesir, dan lain sebagainya.
2.1.4 Konservasi
Konservasi adalah sebuah rencana manajemen yang dibuat untuk situs secara
spesifik, tempat, alam, dan budaya tertentu secara umum. Konservasi tidak selalu berarti
pencegahan kategorial yang akan merubah tempat atau sumber wisata tertentu, namun
dapat juga berarti pengembalian ke keadaan semula. Hal itu berarti menjaga perubahan
dan penggunaan sumber wisata dengan pengaturan yang baik terhadap integritas dasar
dari tempat tersebut.
Konservasi tidak selalu fokus pada manusia (meski banyak berfokus pada
bangunan buatan manusia), namun lebih kepada kehidupan di alam liar dan habitatnya.

4

Relawan kepedulian lingkungan memiliki kepedulian pada manusia dan habitat manusia
(Alaby, 1986).
2.1.5 Pariwisata yang Berkelanjutan
Kemunculan dan pengelolaan sebuah destinasi pariwisata merupakan hal yang
bersifat dinamis dan bukannya statis.
Menurut WTO (World Tourism Organization) pada tahun 2000, turisme yang

berkelanjutan melingkupi pengembangan, manajemen, dan pengoperasian turisme yang
mengatur keberlangsungan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Keberlangsungan berarti
kemampuan bertahan dengan adanya hambatan yang ada di lingkungan biofisik.
Pariwisata yang berkelanjutan membutuhkan berbagai langkah pencegahan agar dapat
diteruskan ke generasi selanjutnya.
Dalam menciptakan pariwisata berkelanjutan perlu digunakan terminasi
Ecologically Sustainable Tourism (EST) yaitu membagi tanggung jawab pariwisata
kedalam dua bagian besar, yaitu tanggung jawab kepada masyarakat lokal dan tempat
pariwisata serta tanggung jawab kepada individu wisatawan (Moscardo, Morrison, dan
Pearce, 1996).
2.1.5.1 Pengembangan Berkelanjutan
Selain itu, untuk membentuk pariwisata yang berkelanjutan dibutuhkan
pengembangan yang berkelanjutan. ‘Our Common Future’, sebuah laporan di
tahun 1987 yang dibuat oleh World Commision of Environment and Development
(Brudtland Commision) menyatakan, pengembangan berkelanjutan adalah sebuah
pengembangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa
mengorbankan kepentingan di masa depan. Pengembangan berkelanjutan juga
dapat diartikan sebagai cara mencapai pertumbuhan dengan tidak ‘menguras’
lingkungan alam maupun buatan dan menjaga kebudayaan dari komunitas lokal
(Organization of American States, 1997). Sebuah pengembangan yang

berkelanjutan sesuai dengan filosofi lama dari konservasi dan pelayanan, namun
menawarkan pendirian yang lebih proaktif dan menggabungkan kepentingan
ekonomi dengan cara yang lebih adil dan ekologis.
5

Di dalam Our Common Future (WCED, 1987), terdapat pedoman sebuah
pembangunan yang berkelanjutan, yang dapat diuraikan kedalam poin:
1. Mendirikan batas ekologis dan standar yang lebih adil.
2. Redistribusi aktvitas ekonomi dan realokasi sumber daya.
3. Pengaturan populasi.
4. Konservasi Sumber Daya Alam penyokong kehidupan.
5. Akses yang lebih adil menuju sumber daya dan meningkatan usaha teknologi
serta penggunaan yang lebih efisien.
6. Membawa kapasitas dan hasil yang berkelanjutan.
7. Penyimpanan sumber daya.
8. Diversifikasi spesies.
9. Meminimalisir dampak yang merugikan, terutama bagi lingkungan.
10. Pengaturan komunitas.
11. Kerangka kebijakan secara luas baik di tingkat nasional maupun internasional.
12. Keberlangsungan hidup ekonomi.

13. Kualitas lingkungan.
14. Audit lingkungan
15. Tiga garis dasar (kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan
sosial).
Sebuah perkembangan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan
dampak lingkungan (terutama masalah polusi), dan isu-isu sosial, politik, serta
kebudayaan secara luas sebelum kegagalan membuat reaksi yang akan
menghancurkan seluruh lingkungan (Elkington, 1999).
Pembangunan berkelanjutan harus memiliki komponen vertikal dan
horizontal yang mempertimbangkan kebutuhan generasi di masa depan dan
kesetaraan sosial di masa ini sehingga menimbulkan kontinum kondisi
keberlangsungan. Sembilan poin pedoman pembangunan hendaknya tidak
menjadi tujuan utama, namun harus dikembangkan dengan objektivitas dan
metodologi yang lebih spesifik.

6

2.1.5.2 Pengaruh Perkembangan Berkelanjutan Terhadap Pariwisata
Pariwisata membutuhkan perkembangan berkelanjutan karena pariwisata
adalah sebuah industri sumber daya yang bergantung pada kekayaan alam dan

kebudayaan sosial (Murphy, 1985). Meskipun dikatakan bahwa pariwisata lebih
ramah lingkungan dibandingkan industri lainnya, keberadaan pariwisata yang
semakin besar akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Akan tetapi,
seperti dikatakan dalam Rio Earth Summit (1992), turisme juga memiliki
potensial untuk memajukan perkembangan yang berkelanjutan.
Hall, Jenkins, dan Kearsley (1997) menjelaskan bagaimana turisme dapat
membantu sebuah perkembangan yang berkelanjutan melalui sebuah model nilai
dan prinsip turisme yang berkelanjutan (Global Tourism Third Edition hal.175).
Tujuan dari pariwisata yang berkelanjutan terbagi atas tujuan sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Faulkner (2001) menyatakan bahwa banyaknya komponen dalam
perkembangan pariwisata yang berkelanjutan akan menghasilkan pariwisata yang:


Menjaga dengan aman dan meningkatkan asset alam serta kebudayaan
dari destinasi tersebut.



Menjaga kualitas hidup masyarakat sekitar beserta kesempatan bertahan
hidup.




Memuaskan kebutuhan dan ekspektasi pasar wisatawan.



Giat secara ekonomi dan mencapai pengembalian modal investasi bagi
operator pariwisata



Mencapai keuntungan dari distribusi biaya dan manfaat turisme dari
segmen yang berbeda dalam masyarakat, baik saat ini maupun di masa
depan.
Menurut Pigram (1990), pariwisata yang berkelanjutan memiliki potensi

untuk menjadi alat ukur sebuah perkembangan yang berkelanjutan. Akan tetapi,
pariwisata tetap memiliki resiko menjadi tidak relevan dan tidak berkembang
apabila tidak ada peraturan yang layak bagi perkembangan kepariwisataan karena

perkembangan yang efektif adalah sebuah pengubahan ide menjadi aksi.

7

2.1.5.3 Dimensi Perkembangan Pariwisata
Perkembangan yang berkelanjutan merupakan hal yang kompleks dan
bersifat multidimensi. Pariwisata, sebagai bagian dari proses ini akan
merefleksikan keberagaman yang timbul. Ada tujuh dimensi utama yang
merefleksikan multidimensionalitas dan interdisiplinitas secara umum disertai
beberapa

pertimbangan

yang

jelas

mengenai

perkembangan

pariwisata

berkelanjutan, yaitu:
1. Manajemen sumber daya secara efektif dan maksimal.
2. Manajemen yang dapat memastikan pariwisata sebagai sebuah kegiatan
ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan dan menyokong kehidupan
komunitas.
3. Pemenuhan tanggung jawab sosial yaitu penghormatan pada cara hidup dan
kebiasaan orang lain. Perlu diwaspadai ekonomi global yang menyamaratakan
keberagaman dan kebudayaan.
4. Daya tarik estetis lingkungan dan budaya. Walaupun daya tarik wisata
internasional lebih berfokus pada pengenalan destinasi wisata secara
internasional, keindahan secara kota maupun regional merupakan hal yang
tidak boleh dilupakan. Perlu diingat bahwa komponen utama dari lingkungan
dan budaya adalah daya tarik estetis.
5. Parameter ekologis untuk menyokong kehidupan dan lingkungan manusia.
Konservasi warisan budaya adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan.
Selain itu, proses ekologi merupakan hal yang harus dimengerti sehingga
kegiatan pariwisata menimbulkan efek paling minimal bagi lingkungan
terutama dalam tempat paling sensitif.
6. Keprihatinan atas kepemeliharaan keberagaman biologis sangat berhubungan
dengan pariwisata, terutama flora dan fauna yang tumbuh subur di lingkungan
sekitar destinasi pariwisata.
7. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Pemenuhan
kebutuhan ini akan mendorong terpenuhinya kebutuhan lain termasuk
kebutuhan untuk melakukan perjalanan.
8

2.2 Dampak Pada Komunitas Lokal
2.2.1 Kode Etik Pariwisata Global WTO
Kode Etik Pariwisata Global dibuat pada tahun 1999 oleh WTO (World Tourism
Organization) untuk meminimalisir masalah negatif yang muncul akibat pariwisata.
Semua kegiatan pariwisata harus mengacu kepada kesembilan kode ini. Kesembilan kode
tersebut adalah:
1. Aktivitas pariwisata harus berjalan secara harmonis dengan ciri tradisional dari
masyarakat lokal dengan mempertimbangkan hukum, adat, dan budaya yang ada.
2. Komunitas lokal harus menyesuaikan diri dan menghormati gaya hidup,
kebiasaan, dan ekspektasi wisatawan yang datang. Oleh karena itu, butuh
pendidikan dan pelatihan tertentu.
3. Wisatawan memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan diri (bahkan sebelum
keberangkatan) dengan keadaan di negara tujuan (termasuk kondisi kesehatan dan
keamanan) dan berperilaku dengan sesuai untuk mencegah timbulnya resiko
4. Perjalanan dengan motif agama, kesehatan, pendidikan, dan pertukaran bahasa
atau budaya adalah pariwisata yang menguntungkan dan perlu mendapat
dukungan.
5. Aktivitas dan ketentuan pariwisata harus dilaksanakan dengan penghormatan
kepada seni, kepurbakalaan, dan peninggalan budaya yang harus diteruskan
kepada generasi selanjutnya.
6. Pendapatan yang didapat dari kunjungan wisatawan harus digunakan untuk
pemeliharaan dan pengembangan tempat wisata.
7. Aktivitas turisme harus dirancang dengan mempertimbangkan kemungkinan bagi
budaya tradisional untuk bertahan dan berkembang.
8. Ketentuan dan aturan pariwisata harus dirancang dengan cara yang membantu
menaikkan standar kehidupan dari wilayah tersebut sekaligus memenuhi
kebutuhan wisatawan.
9. Para profesional, khususnya investor harus mampu mengkomunikasikan
informasi dan rencana bisnis mereka dengan objektif dan transparan kepada
masyarakat lokal yang ada di lingkungan wisata tersebut.

9

2.2.2 Hubungan Antar Wisatawan dan Masyarakat Lokal
Keberadaan wisatawan massal sangat terasa di negara-negara yang berkembang
meskipun tidak menutup kemungkinan juga membawa dampak di Negara-negara besar.
Contoh nyatanya adalah meningkatnya kriminalitas dan masalah sosial lain di kota-kota
dunia yang penuh wisatawan sperti New York, London, Miami, Hawaii, dan lainnya.
Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan wisatawan pada lingkungan sekitarnya tidak
semata-mata hanya ditentukan oleh jumlah melainkan juga oleh jenis wisatawan yang
datang. Valene Smith (Hosts and Guests, 1992) membagi wisatawan kedalam lima
kelompok sesuai tipe, jumlah, dan kemampuan adaptasi dari wisatawan itu sendiri kepada
kebudayaan lokal seperti yang tergambar dalam tabel berikut:
Tipe Wisatawan
Exploler
Elite
Off-Beat

Jumlah Wisatawan
Sangat terbatas
Jarang terlihat
Tidak biasa, namun bisa

Kemampuan Beradapasi
Beradaptasi sepenuhnya
Beradaptasi sepenuhnya
Beradaptasi dengan baik

Unusual
Incipient Mass

ditemukan
Hanya ramai di waktu tertentu Mampu beradaptasi
Kedatangan dengan jumlah dan Mencari amenitas berbudaya

Mass

waktu yang stabil
Kedatangan terjadi terus

barat
Mengharapkan amenitas

Charter

menerus
Kedatangan dalam jumlah

berbudaya barat
Menuntut amenitas berbudaya

yang sangat besar

barat

Menurut Chamberlein (1996), secara naluri, orang tidak suka pada keramaian atau
kerumunan di sekitar tempat tinggal mereka yang mampu mempengaruhi atau mengubah
kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, semakin besar perekonomian lokal
bergantung pada turisme, semakin besar pula keikutsertaan komunitas lokal pada industri
turisme dan perjalanan. Komunitas lokal diharapkan dapat memberikan layanan yang
semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah wisatawan. Sikap komunitas terhadap
wisatawan bergatung dari keterlibatan komunitas tersebut dari turisme.
Gartner mengatakan, turisme adalah satu-satunya faktor yang dapat membawa
perubahan sosial-budaya. Selain perubahan secara global, perubahan juga terjadi secara
wilayah karena turisme membuat pertemuan dua budaya yang mungkin mengubah norma
10

dan standar yang ada. Suka maupun tidak, komunitas lokal akan perlu mengubah norma
atau standar yang mereka miliki untuk memberikan kepuasan kepada wisatawan yang
datang. Masalahnya, selanjutnya banyak anggota komunitas lokal yang akhirnya malah
mengabaikan sepenuhnya nilai-nilai tradisional mereka karena memenuhi tuntutan
wisatawan dan akhirnya kehilangan keunikan mereka sebagai suatu suku tertentu.
Perlu diingat bahwa wisatawan hidup dalam dunia yang tidak nyata di wilayah
destinasi wisata. Kebudayaan wisatawan terbentuk dari pengamatan terhadap perilaku
wisatawan yang datang lebih dulu. Kehidupan yang dijalani wisatawan di lingkungan
sekitar daerah wisata berbeda sangat signifikan dengan kehidupan masyarakat lokal di
wilayah tersebut. Ketidakmampuan komunitas lokal dalam menjadi bagian dari
kebudayaan wisatawan dapat menimbulkan reaksi negatif dari wisatawan kepada
komunitas lokal (Gartner 1996).
Menurut UNESCO (1976), ada empat ciri yang menunjukkan hubungan antara
wisatawan dan komunitas lokal, yaitu:
1. Hubungan bersifat sementara dan dangkal
2. Terbatas dalam kendala ruang dan waktu, pengunjung berharap akan dapat melihat
segala sesuatu dalam waktu yang terbatas.
3. Kurang spontanitas dalam hubungan. Semua pertemuan diatur dalam jadwal tur yang
teratur dan sarat kegiatan ekonomi.
4. Hubungan tidak sama rata dan tidak stabil dikarenakan kekayaan dan status sosial
dari partisipan.
Banyak faktor yang dapat menimbulkan ketidakmampuan ini. Yang paling utama
adalah dari segi Bahasa. Selain itu juga dikarenakan banyaknnya eksploitasi warga lokal
sebagai objek wisatawan. Contoh ekstrim dari kasus ini adalah “human-zoo” yang terjadi
di perbatasan Thailand dan Myanmar, yaitu eksploitasi wanita suku Padaung untuk
memenuhi keingintahuan wisatawan. Oleh karena itu, dibutuhkan representasi dari warga
lokal untuk memberikan informasi kepada wisatawan agar tidak ada kesalahpahaman.
Interpretasi memainkan peran penting dalam pariwisata yang berkelanjutan, yaitu untuk
menyampaikan kebudayaan lokal, tentunya harus disertai dengan teknik komunikasi yang
baik pula.

11

2.2.3 Faktor Penjualan
Pemasaran dapat menjadi faktor dalam hubungan antara komunitas tuan rumah
dan wisatawan. Pemasar dapat menjadi organisator pemasaran tujuan dari wilayah itu
sendiri atau perusahaan lokal yang telah menjual jasanya. Namun seringkali keterkaitan
komunikasi diberikan oleh pemasar yang tidak bertanggungjawab ke daerah tujuan dan
memiliki alasan sendiri untuk meningkatkan pariwisata.
2.2.4

Tipe Perubahan dalam Komunitas

2.2.4.1 Dampak pada Struktur Populasi
Peningkatan pariwisata akan mewajibkan orang baru untuk bekerja di
perusahaan pariwisata dan untuk menjalankan layanan tambahan yang dibutuhkan.
Hasilnya bukan hanya peningkatan populasi tapi juga perubahan komposisinya.
2.2.4.2 Transformasi Struktur Pekerjaan
Kesempatan kerja di bidang pariwisata akan menarik orang dari pekerjaan
lain. Di masyarakat regional, pekerjaan tersebut seringkali berkaitan langsung dengan
pertanian atau peran pelayanan terkait pertanian. Musim mempengaruhi minat
pekerjaan dan ini mungkin mengganggu masyarakat secara sosial karena proporsi
tenaga kerja yang signifikan datang dan berjalan sesuai permintaan pariwisata.
2.2.4.3 Transformasi Nilai
Meningkatnya populasi bisa mengubah perpaduan nilai di daerah tujuan.
Populasi dengan cepat meningkat di Far North Queensland pada tahun 1980an,
Dewan Kota Cairns mengatakan: Kita memiliki masalah dengan konsekuensi sosial.
Isu utama yang dibawa pariwisata ke daerah ini adalah adanya perbedaan
masyarakat. Ada penduduk setempat yang menggambarkan diri mereka dan tidak
ingin melihat perubahan yang ada. (Industries Assistance Commission 1989).
a. Efek Demonstrasi
Ini adalah nama lain untuk proses akulturasi, sebuah teori yang
mengasumsikan bahwa ketika budaya berinteraksi, yang dominan mengalahkan
12

kaum lemah. Aspek-aspek tertentu dari satu budaya diadopsi oleh yang lain
sehingga menghasilkan budaya baru dan lebih didasarkan pada pola perilaku
budaya yang kuat atau dominan. Ini adalah reaksi terhadap akulturasi yang
menghasilkan dampak sosial budaya (Gartner 1996). Hal ini paling terlihat
apabila ada perbedaan yang signifikan antara status ekonomi tuan ruma dan
wisatawan. Akibatnya, penduduk bisa mengadopsi gaya berpakaian baru dan
mulai meniru hal yang disukai para turis.
b. Orang Marjinal
Orang marjinal adalah orang yang telah menolak kehidupan biasanya sebagai
hasil usaha untuk berasimilasi ke dalam budaya turis, namun asimilasi penuh
tidak mungkin karena ‘sering didasarkan pada perilaku bermain yang berlebihan
yang dimungkinkan oleh sejumlah besar uang’ (Gartner 1996). Orang marjinal
tidak mengadopsi seperangkat norma dan standar yang dapat diterima oleh
budaya dan perilakunya dianggap menyimpang oleh kedua kelompok, yang
selanjutnya memisahkannya dari budaya baik.
c. Komodifikasi Budaya
Ini berarti mengepak acara budaya yang akan dijual, menyesuaikannya dengan
kerangka waktu turis, atau menggelarnya di area yang sesuai dengan turis
daripada acara itu sendiri. Komodifikasi juga terjadi saat kerajinan tangan
diproduksi untuk dijual kepada turis, walaupun metode pembuatan tradisional
tidak digunakan
2.2.4.4 Pengaruh dalam Kehidupan Sehari-hari
a. Kemacetan Orang
Komunitas yang kecil bisa kewalahan dalam menghadapi kedatangan
rombongan turis yang banyak. Chamberlain memberikan contoh kapal pesiar
yang menurunkan ratusan penumpang di sebuah pulau kecil di lepas pantai
Sumatera, tempat tersebut dikunjungi karena budaya dan pemandangannya yang
indah.
13

Penumpang ini tinggal di kota dan bukan pecinta alam ataupun budaya.
Mereka berada disana sekitar 8 sampai 10 jam sebelum kemudian mereka pergi.
Ini merupakan skenario untuk dampak sosial dan lingkungan yang neagtif kecuali
jika keseluruhan situasi ditangani dengan sangat hati-hati dan dikelal secara
sensitif. (Chamberlain 1997, hal. 2)
b.

Kemacetan lalu lintas
Kemacetan lalu lintas adalah masalah yang lebih umum, biasanya

memerlukan satu jam atau lebih dari tiga bentuk: konflik antara pejalan kaki dan
mobil, kelebihan lalu lintas pada pusat kota dan kurangnya lahan parkir yang
memadai. Hal itu dapat terjadi kapan saja, seperti tempat-tempat resor atau pada
waktu-waktu tertentu, seperti malam tahun baru atau festival. Setidaknya, sampai
batas tertentu hal itu dapat ditangani.
c.

Kelebihan Infrastruktur
Kurangnya sistem pembuangan limbah adalah salah satu masalah

infrastruktur yang paling umum dan obyektif yang dihadapi oleh pihak berwenang
untuk peningkatan pariwisata. Namun, air dan energi juga bisa dibatasi dan solusi
yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tambahan mungkin juga berada di
luar kapasitas masyarakat setempat. Hasilnya adalah kegagalan pasokan, polusi
dan bahaya kesehatan.
d.

Perubahan Harga Tanah
Pariwisata dapat memaksa harga tanah naik karena membutuhkan lahan

untuk akomodasi dan fasilitas lainnya.


Tanah yang Tidak Berguna: Penggunaan lahan untuk tujuan wisata
mungkin mengorbankan kemudahan lain yang dinikmati oleh sebagian
penduduk setempat. Misalnya, keputusan untuk membangun kompleks
wisata di taman atau di sepanjang bentangan garis pantai yang sepi bisa
menyebabkan

hilangnya

14

kemudahan

bagi

penduduk

lokal

yang

menggunakannya sebagai lahan rekreasi sebelum kompleks tersebut
dibangun.
 Kerugian

pada

Bisnis

Lain:

Perkembangan

pariwisata

dapat

menyebabkan berbagai jenis kerugian aktivitas bisnis. Misalnya,
organisasi Komersial Queensland mengatakan pada investigasi bahwa
penggunaan lahan basah dan rawa mangrove untuk pengembangan
pariwisata memberlakukan biaya langsung pada industry perikanan,
karena wilayah tersebut mencakup habitat ikan yang merupakan bagian
integral dari laut.
 Polusi Arsitektural: Desain yang tidak tepat untuk hotel, terminal, taman
hiburan dan atraksi serta fasilitas lain dapat mengganggu integritas
pemandangan sosial dan budaya dengan cara membuat polusi arsitektural.
 Perubahan pada Kain Perkotaan: Bangunan wisata bisa membuat
bayangan dan menutupi pemandangan. Akses ke pantai mungkin
terhalang, ekologi daerah dapat berubah.
 Kejahatan Terhadap Wisatawan: Sebuah study dari Kelly (1993)
menunjukkan bahwa tingkat kejahatan lebih tinggi di Cairns dan Gold
Coast daripada di bagian lain Queensland. Crotts (1996) telah
menunjukkan beberapa alasan mengapa wisatawan adalah sasaran yang
sesuai untuk penjahat: mereka dianggap memiliki barang-barang kekayaan
seperti kamera, kartu tunai dan kartu kredit, mereka relative mudah
diamati karena perbedaan jenis pakaian dan perbedaan tempat yang
mereka kunjungi; mereka sering berada di lingkungan yang mudah bagi
pelaku untuk sampai ke mereka dan juga melarikan diri begitu kejadian
terjadi.
 Pelanggaran oleh Turis: Pelanggaran yang sering dikaitkan dengan
wisatawan meliputi vandalism, penyalahgunaan obat-obatan terlarang
serta alcohol. Perilaku seperti ini sering menyertai acara ciri khas tahunan
seperti festival musik dan demonstrasi sepeda motor.
2.3 Efek Sosiokuktural Positif dari Pariwisata

15

Pariwisata dapat membantu memelihara aktivitas budaya. Piagam International Council
on Monuments and Sites yang diproduksi oleh ICOMOS tahun 1999 mengakui bahwa pariwisata
yang berlebihan atau kurang dikelola dapat mengancam warisan budaya. Piagam tersebut juga
menyatakan bahwa pariwisata semakin diakui sebagai kekuatan positif untuk pelayanan alami
dan

budaya.

Hal

ini

dapat

menangkap

karakteristik

ekonomi

dari

warisan

dan

memanfaatkannnya untuk konservasi dan sumber dana.
2.4 Modal Dampak Sosiokultural Doxey
Doxey mengidentifikasi empat tahap terkait dengan peningkatan jumlah wisatawan, yaitu:
Tahap 1: Euforia. Warga mendukung pengembangan parwisata dan siap berbagi komunitas
dengan para pengunjung. Manfaatnya adalah peningkatan pendapatan dan nilai properti yang
lebih tinggi.
Tahap 2: Apati. Akhirnya, pertumbuhan yang memicu pesatnya perkembangan pariwisata
mulai melambat. Tingkat kenaikan nilai tanah dan ekspansi usaha telah mereda. Pariwisata
diterima sebagai bagian dari basis ekonomi masyarakat. Itu bukan hal baru lagi. Struktur
sosial daerah kemungkinan besar berubah dengan pendatang baru yang datang untuk mencari
pekerjaan.
Tahap 3: Iritasi. Kemungkinan besar pengembangan pariwisata tidak terencana dan telah
menyebar ke daerah-daerah yang sensitive terhadap lingkungan. Penduduk setempat harus
berbagi dengan orang luar yang dulunya merupakan tempat rekreasi mereka sendiri. Jika
lingkungan atau daya tarik daerah berubah secara drastic melalui pembangunan, jumlah
pengunjung bisa menurun, mengakibatkan kelimpahan fasilitas dan akhirnya mengalami
kemunduran ekonomi. Selama tahap iritasi, dampak sosial dan lingkungan dari
pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan mulai mendapat perhatian. Warga
setempat akan merasa “kehilangan” tempat dan menyalahkan pariwisata untuk itu.
Tahap 4: Antagonisme. Warga menyalahkan wisatawan karena perkembangan yang tidak
terkendali. Kemungkinan besar, wisatawan yang datang dengan euphoria berubah menjadi
tipe pengunjung yang sama sekali tidak tertarik dengan adat istiadat dan tradisi setempat dan
lebih tertarik pada atraksi fisik tertentu. Warga menunjukkan pertentangn mereka dengan
misalnya menulis surat tentang kemarahan mereka kepada koran setempat yang mengeluhkan
berbagai jenis perilaku wisatawan. Perilaku pasif-agresif seperti ini dapat beralih ke tindakan
16

yang nekat, seperti ketika memilih pelat nomor negara bagian dipilih sebagai objek untuk
aktivitas kriminal.
2.5 Adaptasi Wisatawan
Gullahorn dan Gullahorn pada tahun 1963 membuat sebuah penelitian tentang adaptasi
yang dialami wisatawan dari kebudayaan lokal di tempat asal mereka dengan lingkungan di
tempat wisata. Pada tahap pertama yang dialami wisatawan merasa senang dan bersemangat
dengan lingkungan dan kebaruan situasi di tempat wisata. Tahap kedua, wisatawan akan
merasa kecewa dan menjadi lebih kritis dengan keadaan di sekitar tempat wisata setelah
mereka telah lebih terbiasa dengan lingkungan. Akhirnya, meskipun terkadang terjadi dalam
waktu yang lama, wisatawan akan berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Wisatawan juga mungkin akan mengalami masa ‘re-entry crisis’, yaitu kesulitan untuk
kembali pada lingkungan asal ketika mereka kembali ke tempat asal mereka.
Studi lain, seperti yang dilakukan oleh Sutton (1967) menunjukkan bahwa sebelum sikap
sebelum keberangkatan akan menunjukkan kemampuan wisatawan untuk beradaptasi di
tempat yang baru. Pembuktian menunjukkan bahwa kepuasan pribadi menjadi poin penting
disini. Ketika wisatawan pergi dengan ekspektasi pengalaman yang positif, maka
pengalaman positif lah yang akan didapatkan ketika berlibur.
Adaptasi yang baik di lingkungan wisata dapat menimbulkan fenomena ‘rumah kedua’,
yaitu keinginan untuk kembali lagi ke tempat wisata karena rasa nyaman yang muncul,
bahkan banyak juga yang memilih untuk menetap di sekitar lingkungan tempat wisata. Hal
ini dapat ditandai dengan munculnya resort-resort yang banyak muncul di lingkungan wisata
popular. Contohnya adalah resort –resort yang ada di kawasan Mediterania. Ketika ekspatriat
membeli rumah di kawasan ‘rumah kedua’, mereka dengan rela hati akan berusaha
mempelajari Bahasa dan budaya dari lingkungan disekitarnya. Namun, ketika terjadi
kedatangan orang dari kewarganegaraan tertentu dalam jumlah besar, yang membeli rumah di
satu lingkungan tertentu dan mereka berekspektasi untuk mendapatkan hiburan seperti di
tempat asal mereka, dapat terjadi perubahan budaya lokal dan ‘kerusakan’ gaya hidup lokal.
Wisatawan akan selalu mengharapkan sebuah budaya yang instan, untuk mengalami
perbedaan kebudayaan di tempat wisata tanpa harus tahu proses keseluruhan yang harus
dijalani. Dean MacCannell (1989) merumuskan fenomena ini dalam ‘pementasan keaslian’,
17

yaitu pencarian wisatawan akan kebudayaan lokal akan membuat komunitas di lingkungan
wisata berusaha menyajikan pengalaman tersebut ataupun membuatnya seolah-olah seasli
mungkin. Budaya pada titik ini ada dalam bahaya untuk dikomersilkan dan disepelekan.
Contoh nyatanya adalah mahalnya harga suvenir di tempat-tempat wisata. Wisatawan
mencari produk khas dari suatu tempat dan akan merasa puas ketika dapat membayar produk
yang mereka sangka khas dari daerah tersebut. Sayangnya, banyak kualitas produk yang
sebenarnya sangat buruk dan jauh dari kualitas produk asli namun dihargai sama mahalnya
dengan produk yang asli. Bagi para pengerajin, mereka pun ‘dipaksa’ untuk membuat karya
dengan bentuk and warna yang disukai wisatawan bukan seperti bentuk dan warna yang asli.
2.6 Manajemen Dampak Sosial Budaya dari Pariwisata
Secara umum ada dua cara untuk mengatur dampak sosial budaya dari pariwisata.
Pertama adalah menjaga hubungan yang baik antara tuan rumah dan wisatawan sehingga
wisatawan merasa diterima dan keuntungan sosial tercipta bagi kedua belah pihak. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah penempatan wisatawan di resort yang bersifat inklusif.
Wisatawan akan ditempatkan di tempat-tempat khusus yang terpisah dari lingkungan
masyarakat lokal sehingga kontak negatif antara wisatawan dan masyarakat (terutama dalam
hal transaksi) akan dapat diminimalisir.
Yang kedua adalah peraturan dari pemerintah. Undang-undang yang dibuat pemerintah
harus dapat dibuat untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar sekaligus menarik pasar
wisatawan tertentu. Di satu sisi pemerintah harus mampu menarik mereka yang mampu
mendatangkan keuntungan bagi negara, namun di sisi lain pemerintah harus mampu
mendorong wisatwan untuk tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat lokal.

BAB III
18

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bab ini berkaitan dengan cara pariwisata memengaruhi kehidupan sosial budaya di suatu
tempat. Pemerintah dan pebisnis pariwisata akan terus berupaya meningkatkan pariwisata, baik
karena manfaat ekonomi maupun manfaat lainnya yang berguna bagi kepentingan
negara/perusahaan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dibalik manfaat yang ada, pariwisata
memiliki dampak negatif yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah di
masyarakat, terutama di bidang sosial-budaya.
Dampak sosial budaya terjadi setiap kali orang dari berbagai latar belakang bertemu
melalui pariwisata. Penting diingat bahwa ketika pariwisata mencapai tingkat tertentu,
kemungkinan besar pariwisata akan mengubah tujuan orang-orang yang tinggal disana, termasuk
perubahan sistem nilai, perilaku individu, gaya hidup kolektif, tingkat keselamatan, perilaku
moral, ekspresi kreatif, upacara tradisional, dan organisasi masyarakat. Jenis wisatawan yang
datang juga dapat mengubah masyarakat yang ada di sekitar tempat wisata. Semakin besar
ekonomi lokal bergantung pada pariwisata, semakin besar pula tingkat keterlibatan lokal dalam
industri perjalanan dan pariwisata. Pemasaran mungkin menjadi faktor dalam hubungan antara
komunitas tuan rumah dan wisatawan. Tujuannya adalah membangkitkan harapan wisatawan
dengan jasa mereka.
Secara umum ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk membangun pariwisata yang
berkelanjutan. Yang pertama perlu kesadaran konservasi dan penghormatan kepada flora, fauna,
budaya, dan bentang alam di sekitar tempat wisata. Selain itu pariwisata harus dapat membawa
keuntungan bagi masyarakat lokal baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Di sisi
lain, pariwisata juga harus mampu memberikan pengalaman kepada wisatawan mengenai
kebudayaan lokal.
Jenis perubahan pada masyarakat yang dapat dibawa oleh pariwisata meliputi: perubahan
populasi, transformasi bentuk dan jenis pekerjaan, dan transformasi nilai. Pariwisata juga bisa
menghasilkan masalah yang sangat nyata bagi masyarakat tuan rumah, seperti keramaian orang
dan kemacetan lalu lintas, kelebihan infrastruktur, perubahan harga tanah, hilangnya penggunaan
lain untuk keperluan lain, kehilangan bisnis lain, polusi arsitektural, perubahan yang tidak
diinginkan pada kain perkotaan, dan peningkatan kejahatan.
19

Adaptasi wisatawan dipengaruhi oleh pola pikir wisatawan bahkan sebelum berangkat.
Adaptasi wisatawan dapat menimbulkan fenomena ‘rumah kedua’, yaitu sebuah fenomena
dimana wisatawan tinggal di daerah wisata karena kenyamanan yang mereka rasakan.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengatur dampak sosial budaya pariwisata.
Yang pertama adalah menjaga hubungan baik antara wisatawan dan masyarakat lokal. Yang
kedua daalah perlunya peraturan dari pemerintah yang mengakomodasi kenyamanan wisatawan
dan masyarakat lokal.

DAFTAR PUSTAKA

20

Holloway, J. Christopher dan Neil Taylor. 2006. “The Bussiness of Tourism”. UK: Pearson
Education Limited.
Richardson, I. John dan Martin Fluker. 2004. “Understanding and Managing Tourism”.
Australia: Pearson Education Australia.
Sugiono, Dendy dkk. 2008. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Theobald, William F. 2005. “Global Tourism”. USA: Elsevier Inc.

21