Kapitalisme Katastrofi Ekonomi dan Isu K

Kapitalisme, Katastrofi Ekonomi, dan Isu Kesejahteraan:
Catatan Kecil
Herdito Sandi Pratama
Apa yang ditakutkan orang-orang atas katastrofi global: krisis finansial, tumbangnya
global corporation, meningkatnya illegal trading; adalah ketakutan bahwa sistem ekonomi
yang mereka hidupkan, yakni kapitalisme, menemui jalan buntu sementara alternatif lain
yang disodorkan belum mampu diuji secara publik. Ketika gejala-gejala katastrofi terjadi,
beberapa model baru ekonomi di luar kapitalisme ditawarkan sebagai substitusi. Apakah
kapitalisme__yang bersimbiosis dengan liberalisme__harus ditolak saat gejala katastrofi
global muncul? Lebih khusus, apakah sosialisme mesti ditawarkan ketika krisis finansial
Eropa mendominasi perbincangan global?
Salah satu sesat piker (logical fallacies) yang umum digunakan orang untuk
membuktikan satu teori benar adalah dengan membuktikan teori lain salah. Secara
hipotetis, bayangkan ada dua teori A dan B. Sesat pikir terjadi ketika teori A dinyatakan
salah (dengan cara dinegasi), lantas teori B menjadi benar dengan sendirinya (diafirmasi).
Krisis Amerika diasosiasikan sebagai kegagalan kapitalisme (dan liberalisme), kegagalan
yang diartikan sebagai pembuktian bahwa sosialisme adalah yang benar. Padahal, bila A
salah, bukan berarti B benar. Bisa jadi C, D, E, atau yang lainnya yang benar. Bukan
berarti, bila kapitalisme gagal, maka tesis sosialisme menjadi benar. Sesat piker seperti ini
dipergunakan orang untuk menyusupkan gagasan tertentu: sosialisme, syariat Islam, dan
lainnya. Padahal, ia tidak meneguhkan yang lainnya benar.

Sesat pikir lainnya adalah peneguhan akibat (consequent) untuk membuktikan
sebab (antecedent). Krisis finansial, kegagalan pasar merespon harga, adalah suatu
hasil/akibat dari suatu gejala tertentu. Sayangnya, secara implikatif, akibat tidak mampu
menjelaskan sebab. Akibat tidak bisa meneguhkan sebab. Oleh karena itu, konklusi bahwa
kapitalisme gagal total tidak bisa dibenarkan melalui peneguhan akibat berupa krisis
finansial. Lantas, ukuran apa yang digunakan untuk menilai kapitalisme (dan dalam level
tertentu berarti juga liberalisme) gagal? Umumnya, isu kesejahteraan adalah parameter
itu.
Model dominan dalam ekonomi adalah individu berupaya sebaik-baiknya
memuaskan preferensi mereka. Model ini menempatkan manusia sebagai rational being,
bukan rasional dalam pencapaian akhirnya (end pursued) melainkan rasional dalam
kalkulasi cara-cara memenuhi capaian itu.1 Proponen untuk pengertian ini adalah David
Hume, yang meyakini rasio sebagai budak dari hasrat. Umumnya, sebuah gagasan
dimunculkan untuk melayani pencapaian sesuatu, telos (tujuan) itu adalah yang
dihasratkan terpenuhi. Metode dalam ilmu pengetahuan dan filsafat juga bekerja dalam
pengertian ini: dimaksudkan untuk sesuatu yang lainnya. Kapitalisme, dengan demikian,
mempunyai telos tertentu: invisible hand, equilibrium, bahkan keadilan. Meskipun, tidak
ada jaminan bahwa tujuan itu akan tercapai. Pendekatan ekonomi yang menempatkan
manusia sebagai makhluk rasional tidak mengabaikan pemahaman bahwa the end pursue
Shaun P. Hargreaves Heap. Economic Rationality. hlm. 42 dalam John Davis, Alain Marciano dan

Jochen Runde (ed.). 2004. Economics and Philosophy (Massachusets: Edward Elgar Publishing)

1

bersifat utopis, asalkan distribusi pilihan yang rasional bisa maksimal diupayakan. Inilah
karakteristik model pilihan rasional.
Ukuran yang seringkali digunakan untuk mengevaluasi suatu model ekonomi politik
adalah kesejahteraan, yang tentu perlu diuraikan lebih teknis pengertiannya. Bila tidak
mampu merespon positif isu kesejahteraan, maka sebuah sistem mesti ditinggalkan.
Kapitalisme memiliki simbiosis dengan liberalisme. Tesis utama liberalisme klasik adalah:
freedom to choose is more important than what is choosen. Dalam politik, ironi2 seorang
liberal adalah ia bebas memilih namun pilihannya tidak dizinkan mengganggu pilihan orang
lain. Sehingga, dalam liberalisme, orang mesti berpegang pada satu kode konstitutif. Bila
anda seorang liberal, tentu saja anda harus membiarkan seseorang memilih menjadi milisi
relijius. Namun sebenarnya, memilih sesuatu (milisi) tidak diizinkan sebab ia akan
mengganggu pilihan rasional orang lain. Oleh karenanya, liberalisme mensyaratkan
sekularisme. Apapun yang tidak dimungkinkan difalsifikasi secara rasional (misalkan
agama) harus dirawat di ruang privat. Kalaupun mau disusupkan ke ruang publik, ia harus
disekularisasi, dimungkinkan dinilai salah melalui dialog rasional.
Tesis liberalisme dalam politik berlaku juga dalam ekonomi. Orang bebas memilih

sesuatu atas dasar apapun: preferensi, utilitas, maupun nilai. Kapitalisme sendiri
memberikan kemungkinan untuk itu. Persoalannya dengan kesejahteraan adalah: banyak
orang tidak mampu memilih atas dasar tingkat kesejahteraan. Seseorang yang
menjalankan ibadah puasa misalnya, memilih berpuasa bukan karena tidak bisa memilih
untuk makan. Ia berpuasa atas dasar nilai yang diyakininya sendiri. Sementara seseorang
yang miskin dan tengah kelaparan tidak memiliki pilihan lain selain tidak makan. Amartya
Sen membicarakan isu kesejahteraan ini dalam essaynya Capability and Well-Being dengan
memperkenalkan term functioning, capability, dan value. “Functionings represent parts
of the state of a person – in particular the various things that he or she manages to do or
be in leading a life. The capability of a person reflects the alternative combinations of
functionings the person can achieve, and from which he or she can choose one
collection”.3 Isu kesejahteraan, demikian, merupakan soal akses. Tesis liberalisme dalam
politik mengenai freedom to choose mensyaratkan adanya capability untuk memilih.
Liberalisme politik harus diterjemahkan ke dalam liberalisme ekonomi. Kebebasan memilih
presiden dalam pemilu harus berbanding lurus dengan kebebasan untuk memilih makanan
hari ini. Untuk isu kesejahteraan ini, keadilan adalah menyediakan akses.
Pustaka:
Davis, John, Alain Marciano dan Jochen Runde (ed.). 2004. Economics and Philosophy
(Massachusets: Edward Elgar Publishing)
Hausman Daniel M. (ed.). 2008. The Philosophy of Economics (New York: Cambridge University

Press)
Knight, Frank H. What is Truth in Economics? Journal of Political Economy. Vol.48, No. 1. 1940.
Sen, Amartya. 2009. The Idea of Justice (New York: Belknap Press)
Toulmin, Stephen. 2003. The Uses of Argument (New York: Cambridge University Press)
Secara khusus, Rorty adalah orang yang memperkenalkan istilah ‘public irony’.
Amartya Sen. Capability and Well-Being. Hlm. 271 dalam Daniel M. Hausman (ed.). 2008. The
Philosophy of Economics (New York: Cambridge University Press)

2

3