Sumbu Sejarah Kitab Kitab Suci

Sumbu Sejarah Kitab-Kitab Suci
Book Review:
Sejarah Kitab-Kitab Suci
Mukhlisin Purnomo
Forum, Yogyakarta, Desember 2012
364 halaman.
Ada yang terabaikan dalam tradisi keberagamaan kita sejauh ini: aspek
historisitas kitab suci dari agama samawi. Sebagai agama yang sama-sama
mengklaim dirinya hadiah dari Allah, Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai
aspek-aspek historisitas yang tidak bisa diputuskan satu sama lain. Ketiga
agama ini nyaris mempunyai sumbu yang sama. Namun begitu, sedikit sekali
upaya untuk mencari sumbu tersebut sebagai kesadaran rekonsiliasi atau,
setidaknya, ia menjadi titik temu untuk melihat khazanah sejarah masingmasing yang terhubungkan tadi.
J. Warner Wallace, penulis buku Cold Case Christianity (2013),
mengungkapkan hal senada bahwa many of the world’s best known religious
texts are silent when it comes to claims about history. Hingga hari ini kita
memang tidak bisa mengelak bahwa konteks sejarah dari kitab suci
cenderung disembunyikan satu sama lain, menjadi sesuatu yang saling
menengarai. Padahal jika ada upaya untuk melakukan verifikasi sejarah
terhadap masing-masing kitab suci, dengan gamblang akan ditemukan
korelasi dan benang merah dari ketiga agama tersebut. Hasil dari upaya

seperti itu akan memberikan inspirasi untuk “proyek agama” ke depan.
Salah satu cara yang sangat bagus dan patut diapresiasi telah dilakukan
Mukhlisin Purnomo dengan menulis buku langka ini: Sejarah Kitab-Kitab Suci.
Buku ini fokus hanya membahas tentang sejarah empat kita suci, yaitu
Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Buku ini menjadi buku langka di Indonesia
karena sebelumnya nyaris tidak ada karya berupa buku yang secara tekun
menghadirkan aspek-aspek historis dari kitab suci. Sebenarnya, sebagai
catatan tambahan, seandainya Purnomo mau bersabar menambahkan
sejarah kitab-kitab dari semua agama yang diakui di Indonesia, seperti
Buddha (Tripitaka), Hindu (Veda) dan Konghucu (Sishu Wujing), buku ini akan
terasa kontekstualitasnya bagi Indonesia. Meskipun ketiga agama terakhir
mempunyai sejarah yang berbeda dari lintasan sejarah mainstream dari tiga
agama sebelumnya, spirit dan nilai-nilai yang terkandung di balik sejarah
kitab suci mereka bisa menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga.
Sebagai agama Ibrahim, masing-masing sejarah kitab suci mereka
mempunyai klaim yang sangat kuat. Klaim mereka bukan tanpa data dan
verifikasi sejarah. Satu sisi, mereka saling menguatkan satu sama lain. Di sisi
lain, mereka justru saling menghapuskan, sebagai upaya menjadi kebenaran

tunggal di balik klaim sejarah mereka masing-masing—untuk menyebutkan

kitab suci mereka paling benar.
Dalam konteks tersebut, Wallace menyebutkan bahwa tidak semua teks
kuno, yang kemudian dipercaya menjadi kitab suci, selalu disandarkan
sebagai teks ketuhanan (divinity); ada beberapa teks yang hanya menjadi
antik karena aspek kuna (ancient), tetapi tidak suci (not “holy”). Jika sebuah
teks/atau kitab ingin mengklaim sebagai kitab klasik dan suci, itu harus
sudah melewati keantikan (antiquity) dan kemduian kategori suci (holy).
Karena, lanjut Wallace, a book cannot be holy or divine if it is lying about
ancient history.
Sebelum memasuki sejarah secara detail tentang keempat kitab suci dalam
buku ini, Purnomo seperti ingin mengajak pembaca untuk bersepakat di awal
bahwa sejarah keempat kitab suci dari agama Samawi tersebut merupakan
sejarah yang kontinyu, dan saling timpa-bertimpa. Untuk itu, pembacaan
historis memang harus dimulai sejak kitab suci paling awal, yaitu Taurat yang
kemudian disusul oleh sejarah kitab-kitab suci setelahnya seperti Zabur, Injil
dan Al-Qur’an. Meski dari bebepara sumber menyebutkan bahwa Al-Qur’an
dan nabinya, Muhammad, disebutkan paling awal. Tapi secara fakta sejarah,
yang hadir sebagai peristiwa yang disaksikan, berbicara lain. Dalam narasi
seperti ini, Al-Qur’an disebut sebagai penyempurna sekaligus purna sebagai
firman Allah melalui para rasul.

Semua deskripsi di atas dicoba ditelusuri oleh Purnomo untuk menguji aspek
antiquity dan holy keempat kitab suci tersebut. Misalnya yang terjadi dengan
kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, sebagai kitab paling tua dari
agama-agama Ibrahimi. Dengan mengutip Denis Green (hal 35), Spinoza (hal
38), dan David F. Hinson (hal 48), Purnomo ingin menjelaskan tentang aspekaspek keantikan dan sekaligus keunikan yang yang terjadi di seputar
penulisan kitab suci Taurat.
Di bab berbeda, ketika buku ini menjelaskan tentang kitab Zabur yang
diturunkan kepada Nabi Daud, Purnomo mengingatkan kita bahwa kitab cuci
tersebut adalah kelanjutan syariat dari kitab sebelumnya, yaitu Taurat.
Namun begitu, kitab Zabur, yang jamak dikenal dengan nama Mazmur,
meliki keunikan tersendiri yang nyaris menjadi rujukan orang-orang Kristen
dibandingkan kitab-kitab lain dalam Alkitab. Karena, seperti mengutip
Davidson, Mazmur mencakup keseluruhan pengalaman manusia (hal 104)
yang dengan mudah langsung menyentuh hati para pemeluknya. Di samping
itu, aspek sejarah di balik kitab Zabur lebih benderang ketimbang kitab
Taurat. Purnomo bisa menjelaskan dengan cukup detail dengan sumber yang
lengkap dan kemudian bisa disimpulkan bahwa aspek antiquity dan holy di
balik kitab ini sudah tercapai (hal 123).

Selanjutnya, buku ini menulis sejarah di balik kehadiran kitab Injil (hal 147)

dan Al-Quran (hal 245) dengan lebih lengkap lagi. Secara kuantitas halaman,
penjelasan untuk sejarah dua kitab ini memakan porsi yang lebih banyak. Itu
bisa dimaklumkan karena sumber-sumber yang bisa dikutip dan didalami
oleh penulis buku ini jauh lebih mudah daripada referensi-referensi tentang
dua kitab sebelumnya. Dalam konteks sepak terjang sejarah kedua kitab dan
agama yang terakhir ini sudah sangat banyak dijumpai, misalnya dalam
buku Hugh Goddard Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen (Bernando J. Sujibto,
Kompas: 14 April 2013).
Buku ini patut diapresiasi karena sudah memberikan detail-masif tentang
sejarah kitab-kitab suci agama samawi dengan bantuan penjelasan ihwal
konstruksi sosial-budaya, politik dan ekonomi pada masing-masing fase dan
rentang sejarah panjang. Namun ada beberapa hal yang mengganggu dalam
buku ini, seperti teknik kepenulisannya yang masih tumpang tindih, seperti
menambalkan begitu saja data tanpa diolah secara lebih baik; kesalahan
elementer seputar EYD; dan yang paling parah adalah kecolongan penulis
dengan menulis ulang paragraf yang sebelumnya sudah ada (hal 36 dan
46).
Kritik terakhir menengarai atau bahkan meyakinkan saya bahwa penulis
buku ini terlihat terburu-buru dalam menekuni riset tentang data-data yang
dipunyai. Bila saja penulis lebih sabar mendalami dan menghadirkan datadata historis secara detail-masif, atas beberapa bukti elementer, saya kira

buku ini bisa jadi rekomendasi bagi para mahasiswa perbandingan agama
dan yang berkaitan.
Published at Gatra Magazine ed. 7-11 December 2013.