Manusia dan Alam dalam Al Quran

Manusia dan Alam dalam Al-Quran
FAJAR KURNIANTO
Bencana demi bencana di negeri ini kian akrab dengan kehidupan kita. Hampir, di setiap
sudut di negeri ini, ancaman bencana terus mengintai. Tidak pandang tempat: di dataran tinggi,
rendah, pesisir, pedalaman, desa, maupun perkotaan. Pendek kata, kita hidup bersama ancaman
demi ancaman bencana. Nah, bagaimana strategi kita menghadapinya?
Tulisan ini ingin menguraikan relasi antara manusia dengan alam dalam perspektif
tekstualitas Al-Quran. Perlu disadari, Al-Quran, sebagai salah satu teks keagamaan yang sakral,
tidak hanya berbicara soal manusia dalam konteks relasinya dengan Tuhan. Ia juga berbicara soal
manusia dan alam tanpa terlepas dari kaitannya dengan dimensi ketuhanan sebagai modal dasar
manusia mempertanggungjawabkan keberadaannya di atas muka bumi.
***
Interaksi manusia dengan alam tidak berlangsung bersamaan dengan mewujudnya alam
(baca: bumi) pertama kali. Selang beberapa waktu yang sangat lama sejak bumi mewujud,
interaksi itu baru terwujud. Gambaran tradisional tentang asal-muasal bumi secara tekstual
tersurat dalam Al-Quran, “Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
pada mulanya adalah sesuatu yang padu menyatu, kemudian Kami pisahkan keduanya.” (QS AlAnbiya’ [21]: 30).
Secara tersurat pula dikatakan bahwa prosesi itu berlangsung selama enam hari,
“Sesungguhnya Tuhan kalianlah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Lalu, Dia
bersemayam di atas ‘Ars.” (QS Al-A’raf [7]: 54). Beberapa teks-teks Al-Quran yang senada
antara lain: QS Yûnus [10]: 3, QS Hud [11]: 7, QS Al-Furqan [25]: 59, QS Al-Sajdah [32]: 4, QS

Qaf [50]: 38, dan QS Al-Hadid [57]: 4.
Pesan Tuhan ini menggambarkan secara jelas bahwa proses penciptaan bumi dan langit
melalui suatu pergerakan. Setelah selesai tercipta, semuanya juga melakukan pergerakan. Planetplanet yang stabil mengitari matahari dengan jalur evolusinya masing-masing, bulan yang
mengitari bumi, serta bumi itu sendiri yang berotasi pada porosnya. Dari sini dapat dipahami
bahwa bumi sebetulnya bukan benda mati yang pasif tak bergerak. Secara jelas, Tuhan

mengatakan, “Kamu lihat gunung-gunung itu. Kamu menyangka ia tetap di tempatnya, padahal
ia berjalan seperti jalannya awan. Demikianlah ketentuan Allah yang mengokohkan segala
sesuatu.” (QS Al-Naml [27]: 88).
Setelah bumi tercipta, secara tekstual pula dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia
sempurna pertama bernama Adam dan pasangannya untuk dijadikan sebagai khalifah di muka
bumi, menggantikan makhluk-makhluk seperti manusia yang sebelumnya telah menghuni bumi,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Aku akan menjadikan manusia sebagai
khalifah di atas muka bumi.’ Para malaikat berkata, ‘Apakah Engkau akan menjadikan manusia
yang suka merusak dan menumpahkan darah sebagai khalifah?’ Tuhan menjawab, ‘Aku lebih
tahu tentang apa yang tidak kalian ketahui.’” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Dengan berbagai alasan, salah satunya karena kesalahan yang dilakukan oleh Adam dan
pasangannya, mereka diturunkan oleh Tuhan dari surga (terlepas dari tafsir surga, apakah surga
di akhirat atau surga di dunia), “Lalu, keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman, ‘Turunlah kalian semua ke atas muka

bumi. Sebagian kalian akan menjadi musuh bagi yang lainnya. Di atas muka bumi ada tempat
kediaman dan kesenangan hidup hingga waktu yang telah ditentukan.” (QS Al-Baqarah [2]: 36).
Manusia telah menjadi “penguasa” sah “mandataris” Tuhan, dengan amanah tunggal:
menjalankan fungsi kekhalifahan di atas muka bumi secara bertanggung jawab. Amanah ini
sebelumnya telah Tuhan tawarkan kepada makhluk-makhluk selain manusia, “Sesungguhnya,
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan, amanat itu dipikul oleh
manusia. Sesungguhnya, manusia itu amat zalim dan bodoh (karena tidak menjalankan amanat
itu secara baik).” (QS Al-Ahzab [33]: 72).
Apa yang dikhawatirkan para malaikat terbukti. Tindakan-tindakan destruktif (perusakan)
terhadap alam dan pertumpahan darah terjadi di mana-mana. Alam dieksploitasi habis-habisan
tanpa memedulikan dampaknya. Hutan-hutan yang tadinya rimbun berjibun kini sudah semakin
gundul tanpa upaya reboisasi kembali, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Al-Rum [30]: 41).
Berbagai musibah alam yang menimpa manusia secara tegas adalah akibat perbuatan
manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab, bukan perbuatan Tuhan. Karena itu, tidak ada

alasan apa pun untuk mengkambinghitamkan Tuhan, “Apa saja nikmat yang kamu peroleh, maka
itu dari Tuhan. Dan, apa saja bencana yang menimpamu, maka itu akibat kesalahan dirimu

sendiri.” (QS Al-Nisa’ [4]: 79).
Pertanyaannya, kenapa manusia-manusia yang tidak berbuat kerusakan ikut kena
getahnya pula? Secara tegas, Tuhan mengatakan bahwa bencana-bencana itu tidak hanya akan
menimpa manusia-manusia perusak, tetapi menimpa semuanya, “Peliharalah dirimu dari bencana
(siksa) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (QS Al-Anfal
[8]: 25).
Bagi orang-orang yang tidak bersalah, bencana adalah ujiannya. Sementara bagi para
perusak yang tidak bertanggungjawab, bencana adalah azab Tuhan. Kesadaran bahwa bencana
adalah ujian akan semakin menguatkan keyakinan manusia kepada kekuasaan dan kebesaran
Tuhannya, “Yakni, mereka yang jika ditimpa bencana, mereka mengatakan, ‘Kita semua milik
Tuhan. Dan, kita pasti akan kembali pada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang akan
mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka.” (QS Al-Baqarah [2]:
156–157).
***
Alam dan manusia, secara tekstual telah dipetakan oleh Tuhan. Pemetaan tersebut tentu
saja tidak sekadar menjadi renungan bersama, tetapi sekaligus peringatan keras agar manusia
tidak main-main menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang paling bertanggung jawab
terhadap setiap bencana yang terjadi.
Langit, bumi, dan gunung-gunung telah berdialog dengan Tuhan ketika ditawari amanat.
Makna kasarnya, bumi bukan benda mati, walaupun dalam kajian fisika maupun biologi ia

dikategorikan sebagai benda mati. Secara substansial, bumi melakukan pergerakan sama halnya
dengan pergerakan manusia yang menandai berjalannya roda kehidupan.
Dengan makna lain yang lebih radikal, bumi juga sama dengan manusia. Ia bisa tidak
tahan dengan ulah-ulah manusia yang tidak tahu diri. Bumi “menyadari” keterbatasannya
dibandingkan dengan manusia yang sangat potensial karena anugerah akal pikiran yang diterima
dari Tuhan. Karena itu, bumi “menyadari” bahwa amanat Tuhan tidak layak ia terima. Ia rela
menjadi pijakan manusia selama manusia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sayangnya, dalam konteks bencana di negeri ini, ketidakbertanggungjawaban para
perusak alam membuahkan murka alam yang —terpaksa— merenggut nyawa-nyawa tak
bersalah. Jika sudah mengamuk, alam memang tidak akan pernah kompromi. Bahkan, hingga
kini, belum ada satu teknologi pun yang mampu memastikan waktu yang tepat datangnya
bencana.
Di sinilah pentingnya kesadaran teologis terhadap alam dalam diri umat manusia —
kesadaran yang tidak hanya meyakini bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga,
dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan untuk kebaikan manusia, tetapi juga meyakini ada
pertanggungjawaban manusia, baik terhadap alam maupun pencipta-Nya. Semua itu menjadi
tugas bersama, terutama para pengelola negara dan bangsa ini, guna memetakan langkah-langkah
antisipatif lebih maksimal. Wallah a’lam.
*Artikel ini dimuat di koran Duta Masyarakat, Kamis 3 Agustus 2006