Al Quran dan Bahasa Arab Wacana Pengaruh

Kajian Interaktif
Al-Mîzân Study Club
Rabu, 29 Juni 2016

Al-Quran dan Bahasa Arab; Wacana Pengaruh dan
Keterpengaruhan antara al-Quran dan Bahasa Arab
Prolog
Telah jamak diketahui bahwasanya al-Quran ialah mukjizat bagi kenabian
Muhammad saw., diturunkan dengan bahasa Arab dan lahir di tengah-tengah
bangsa Arab. Zaman Jahiliah1, begitulah zaman ketika lahirnya Nabi saw.
Penyembahan berhala, penguburan para anak perempuan hidup-hidup, minum
minuman khamr, dan lain sebagainya, semua hal itu menunjukkan
ketergelinciran mereka dari jalan yang benar. Mereka bukanlah bodoh karena
tak mampu membaca, mereka bodoh karena tabiatnya yang pemarah dan watak
mereka yang keras2.
Kerasulan Muhammad dengan al-Quran sebagai mukjizatnya, sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Baqillani3 membuka jalan yang luas bagi perkembangan
bangsa Arab. Pun menjadi jalan perubahan dahsyat yang tidak mereka ketahui
sebelumnya. Perkembangan ini terjadi di seluruh aspek; baik sosial, kebudayaan,
maupun politik dan ekonomi. Lebih khususnya, perkembangan ini terlihat sangat
jelas pada bahasa Arab itu sendiri.

Kehadiran al-Quran di tengah-tengah bangsa Arab memberikan pengaruh dan
keterpengaruhan (al-ta’tsiir wa al-ta’attsur) dalam dimensi yang luas. Secara
ringkasnya, mereka menjadi lebih “berbudaya”. Inilah apa yang disebut oleh
Hasan al-Baqûri sebagai arabisasi non Arab, dan berperadabannya bangsa Arab
‫رررررر الرررعرررب‬
‫)ترررعرررب العررمجرررر و تح ض‬4). Sejarah mengatakan bahwa dahulu, Islam (dan bangsa
Arab) pernah mencapai puncak kejayaan yang sangat dahsyat, tak ada yang
mampu menandingi sama sekali. Tak lain, hal ini disebabkan oleh meluas dan
menguatnya bahasa mereka, bahasa Arab.
Bagi suatu kaum, bahasa ialah sebuah tolok ukur akal dan keilmuan yang
berkembang pada saat tertentu 5. Menurut Hasan al-Baquri, ia bukanlah sesuatu
1 Zaman sebelum datangnya Islam, sekitar 50 tahun sebelumnya. Lihat pula: Ibn Mandzur, Lisaan al ‘Arab.
2 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 110
3 Abu Bakr Muhammad ibn al-Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn Qâsim, dikenal juga dengan Ibn al-Baqillani. Lahir
di Bashrah, tak ada satu sejarawan pun yang mencatat tahun kelahirannya, begitu pula dengan tahun wafatnya. Lihat lebih
lanjut: al-Baqillani, I’jâz al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, Kairo, cet. VII, 2009, hlm. 17
4 Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al- Ma’ârif, Kairo, cet. IV, 1987,
hlm.
5 Ahmad Amin, op. cit., hlm. 83


1

yang jumud, melainkan sesuatu yang mengalami pasang surut, menguat dan
melemah. Lebih dari itu, ia merupakan parameter kemajuan atau pun
kemunduran suatu bangsa6.
Al-Quran diturunkan pada masa puncak pengetahuan mereka tentang unsurunsur syair yang bagus, makna dan tujuan syair, serta bagaimana syarat
seseorang bisa disebut penyair. Sehingga, syair merupakan bidang seni bahasa
yang mendapat pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran ini secara jelas.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, bahasa pun mengalami perubahan.
Kehadiran al-Quran ternyata memberikan pengaruh dan keterpengaruhan yang
sangat signifikan, khususnya dalam konteks bahasa Arab pada masyarakat Arab
Jahiliy. Lalu, apa dan siapa yang terlibat dalam pengaruh dan keterpengaruhan
itu, serta bagaimana pengaruh dan keterpengaruhan itu terjadi?
Kali ini, penulis mencoba mengetengahkan topik seputar pengaruh al-Quran
terhadap bahasa Arab, yakni bahasa Arab itu sendiri. Meski pembahasan ini
singkat dan sangat terbatas, minimal pada akhirnya, penulis dapat meneroka 7
simpul antara pengaruh dan keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab.
Namun, sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, penulis tegaskan bahwa
membahas tentang bahasa, sebenarnya bukan pada hak penulis untuk
memaparkan apa dan bagaimana bahasa itu. Mengapa? karena bahasa ialah

sebuah lautan, tidak akan mampu menyelaminya kecuali para nabi. Bahkan, Ibn
Qutaibah pun berkomentar, bahwa bangsa Arab sekalipun, mereka tidak
mengetahui seluruh perkara yang ada pada bahasa mereka, terlebih kata-kata
yang asing dan mutasyabih8. Namun, penulis akan mencoba memaparkan secuil
tentangnya, dengan apa yang penulis pahami pada saat ini.
Potret Bahasa pada Masyarakat Arab Jahiliah
Sebelum melihat potret bahasa Arab pada masyarakat Jahiliah, alangkah baiknya
jika kita mengetahui terlebih dahulu, apa itu bahasa. Abu al-Fath ibn Jani dalam
al-Khashâish-nya menyebutkan, bahwa bahasa ialah lambang suara yang
digunakan oleh suatu kaum menyampaikan suatu maksud tertentu. Sedangkan
menurut KBBI, bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri.
Berbicara tentang bahasa Arab, tentu berkaitan erat dengan kalam dan
perkataan bangsa Arab. Menurut ibn Rasyîq, kalam (perkataan) bangsa Arab
6 Hassan al-Baquriy, op. cit,. hlm. 29
7 Membuka daerah atau tanah baru (untuk sawah, ladang, dan sebagainya), merintis, menjelajahi. Lihat: Kamus Besar
Bahasa Indonesia/teroka.
8 Dr. M. Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fi Tathawwur al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, Karo, cet. III, 1952, hlm.34


2

dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni berupa manzum ataupun mantsur. Apa
yang mereka ucapkan ialah hikmah, seperti yang diceritakan oleh Ibn Husain alNaisaburiy, bahwa sahabat Umar ibn al-Khattab bertanya kepada Ka’ab ibn alAhbar setelah bersyair: “ Wahai Ka’ab, apakah engkau menemukan para penyair
disebut dalam kitab Taurat?”. Ia menjawab: “Dalam Taurat, saya menemukan
suatu kaum dari keturunan nabi Ismail as. yang berbicara dengan penuh hikmah,
pandai membuat amtsal, dan saya tidak mengetahuinya selain (mereka ialah)
bangsa Arab.”9
Selain bakat dan kemampuan, ternyata lingkungan juga mempengaruhi bahasa
mereka, bahasa Arab. Menurut Hasan al-Baquriy, bahasa dan sastra Arab
merupakan hasil dari lingkungan alami10, di samping lingkungan sosial. Pada
zaman dahulu, masyarakat Arab hidup di padang pasir secara berkelompok,
berpindah-pindah mencari sumber air, sulitnya tanaman untuk tumbuh, cuaca
alam yang berubah-ubah sedemikian hingga mereka hidup hanya untuk sekedar
hidup, serba kekurangan dan sulit. Dengan kata lain, mereka hidup di bawah
kasih sayang alam.11
Kehidupan masyarakat Arab kala itu jauh dari keilmuan dan filsafat, samarnya
peran akal, dan tidak ada pemikiran dan pendalaman tentang hakikat suatu hal.
Semua yang mereka pikirkan adalah spontanitas terhadap apa ditangkap oleh
indera. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai lebah yang cepat berpindah

mencari nektar, tanpa ada pendalaman dan ketekunan terhadap apa yang
mereka hadapi.12
Semua yang ada di sekeliling mereka ialah alami. Seluruhnya ciptaan Allah swt.;
tak ada istana mewah, gedung megah, pepohonan yang rindang, maupun ladangladang yang luas. Bahkan, mereka memakan apa saja yang mereka temui, dan
memakai pakaian dari bahan kulit hewan yang ada di sekitar mereka. 13
Kemudian, dapat dikatakan bahwa syair kala itu merupakan syair nyata (al-syi’ru
al-wâqi’iy). Artinya, ia merupakan sebuah penggambaran kehidupan yang
terjadi. Hanya saja, lemah dari khayalan dan ide-ide yang menggugah emosi.14
Sebenarnya, pengetahuan masyarakat Arab telah ada sejak dahulu, misal:
kedokteran dan kelangitan maupun tata ruang. Hal ini terlihat dalam beberapa
syair yang mereka gubah dan praktik nyata keseharian, yang tanpa mereka
9 Abi ‘Ali al-Hasan ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fî Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 17
10 Apa yang ada di sekitar mereka, meliputi gurun, gunung-gunung, sungai, hewan, bebatuan dan tetumbuhan, dll.
11 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Ashriyyah al-‘ammah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 75
12 Ahmad Hassan al-Baquriy, Atsar al-Quran al-Karim fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dar al- Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987,
hlm. 86
13 Ahmad Hassan al-Baquriy, op. cit., hlm. 83
14 Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 91


3

sadari, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui hal-hal tersebut.
Hanya saja, pengetahuan yang sesuai dengan kategori agar bisa disebut sebagai
ilmu belum mereka peroleh.15
Sedangkan dalam lingkungan sosial, maka ia bagaikan sebuah buku yang
memuat prinsip dan adat-istiadat masyarakat Arab. Dalam kesehariannya,
mereka biasa mengungkapkan segala sesuatu melalui syair dan prosa atau biasa
disebut natsr; baik natsr masjû’ maupun natsr mursal. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikatakan oleh Charles Pellat, bahwa kemampuan mereka dalam
menggubah nazam telah muncul jauh sebelum datangnya Islam 16. Mereka
mampu mengungkapkan semuanya secara detail; bagaimana penggambaran
bumi, langit, udara, tetumbuhan, burung yang terbang ke langit, hingga
penggambaran perang dengan segala alatnya, meratapi mayat, juga tentang
keteladanan terhadap sesama.17
Lingkungan alam dan sosial yang sedemikian rupa ternyata membawa pengaruh
yang jelas pada kejiwaan mereka -khususnya intuisi kebahasaan. Masyarakat
yang tinggal di gurun (Badui) sangat mudah melihat alam terbuka; misalnya,
sengatan sinar matahari langsung, bulan yang terlihat jelas di malam hari tanpa
adanya penghalang gedung, pepohonan dan sebagainya. Dari sinilah muncul

karakter mereka yang kuat, indah dan keras yang mendorong jiwa pada
kerinduan terhadap Yang Maha Penyayang, Pencipta dan Penjaga alam tersebut,
yakni Allah swt.18. Barangkali, inilah rahasia mengapa tiga agama19 tumbuh
dalam lingkungan gurun (padang pasir).20
Bahasa menunjukkan bangsa. Sebagian kaum orientalis mengatakan bahwa pola
pikir bangsa Arab tidaklah komprehensif seperti pola pikirnya bangsa Yunani,
misalnya. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak mereka tentang alam
semesta dan isinya. Misalnya, bagaimana alam ini terbentuk? Mereka melihat
bahwa alam semesta ialah sesuatu yang terkait satu sama lain dan berjalan pada
sebuah aturan tertentu. Bagaimana keterpaduan itu ada, bagaimana munculnya,
dan dari apa ia diciptakan, inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengawali dasardasar filsafat mereka.21
Mengenai hal ini, Hasan al-Baquriy mengatakan, bahwa pada hakikatnya, fitrah
bangsa Arab sejajar dengan Perancis dan Yunani. Hanya saja, mereka -Perancis
dan Yunani- berperadaban lebih maju, mempunyai sistem yang lebih mapan,
15 Ahmad Amin, op. cit., hlm. 79
16 Charles Pellat, op. cit., hlm. 28
17 Ibid., hlm. 109
18 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74
19 Tiga agama yakni Yahudi ( gurun Sinai), Nasrani (Palestina), dan Islam (gurun Arab).
20 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, op.cit., hlm. 74

21 Ibid., hlm. 68

4

terlebih lagi mereka telah mengenal ilmu dan pengetahuan -warisan secara
turun temurun. Tentunya, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi bangsa
Arab saat itu yang hanya tinggal di gurun. Karena lingkungan menggambarkan
peradaban, maka sebatas itu pula lah peradaban dan pengetahuan bangsa Arab.
Akhirnya, jika tolok ukur peradaban suatu bangsa seperti ini, maka bisa
dikatakan bahwa mereka belum melek budaya. Bahkan, jauh dari kata
berbudaya.
Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Ahmad Amin, sebagai berikut.
“Dan sama saja, baik benar ataupun tidak, bangsa Arab sungguh telah tertinggal
dalam kebudayaan dari bangsa-bangsa sekitarnya. Mereka terkalahkan oleh
kehidupan Badui, dan kebanyakan dari mereka hidup berkelompok nan
berpindah-pindah..” (Ahmad Amin: 1996)
Kemudian, bagaimana bisa kita mengetahui gambaran pemikiran dan keilmuan
bangsa Arab kala itu? Ahmad Amin mengatakan bahwasanya syair dapat
dijadikan sebagai alat peraga untuk menggambarkan pemikiran dan keilmuan
bangsa Arab kala itu, di samping matsal (pepatah) dan qishash (cerita).

Setidaknya, gambaran tentang kehidupan mereka tercakup dalam syair. Selain
karena syair ialah kebanggaan bagi mereka, syair merupakan pemegang otoritas
bahasa tertinggi saat itu.
Syair merupakan dîwan bangsa Arab22. Artinya, segala sesuatu mengenai
kehidupan mereka terdapat dalam syair; baik saat perang maupun damai. Inilah
yang menyebabkan kita tidak bisa lepas dan mencukupkan diri terhadap syair
jika ingin menelisik kehidupan masyarakat Arab dahulu kala. 23
Begitu eratnya kaitan antara syair dengan kehidupan masyarakat Arab kala itu,
hingga Rasulullah saw. bersabda dalam hadits riwayat Aisyah ra. bahwasanya
beliau bersabda: ”Bangsa Arab tidak akan meninggalkan syair, hingga unta
meninggalkan punuknya.”24. Selain itu, syair mempunyai kedudukan yang agung
dalam masyarakat Arab. Bahkan, kedudukan seorang penyairpun hampir sama
dengan kedudukan para pemimpin kabilah mereka.25
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya syair mempunyai tujuan dan maknamakna tertentu. Makna-makna ini terus berkembang sesuai dengan
perkembangan bangsa Arab, dari Badui menjadi masyarakat Madani. Pada
22 Dr. husain Zarrûq, Al-Quran al-Karîm wa Iqâmatu Ummati al-‘Ilmi, Dâr al-Salâm, cet. I, Kairo, hlm. 72. Lihat pula:
Tabaqât Fahûli al-Syu’arâ’ oleh Muhammad ibn Salâm al-Jamhiy, hlm. 24, dan: Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru alQuran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
23 Ibid., hlm. 72
24 Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul
Hamid, Dâr al-Thalâi’, Kairo, 2006, hlm. 26

25 Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193

5

zaman pra Islam, kasidah26 mempunyai empat maksud yang paling mendasar,
baik berupa pujian atas seseorang ataupun suatu kaum, pemuliaan, ejekan
maupun ratapan terhadap para mayit. 27
Begitulah potret bahasa Arab dalam masyarakat Arab Jahiliah sebelum
datangnya Islam. Ternyata, otoritas bahasa terdapat dalam syair dan ia mampu
memonopoli kehidupan saat itu. Mereka terus hidup dan berinteraksi seperti itu;
tak mengenal budaya selain kepiawaian menggubah syair dan natsr, merasa
cukup -jika tidak ingin disebut tidak mampu- dengan apa yang mereka punya
saat itu. Hingga datanglah Islam dengan al-Quran sebagai hujahnya yang
menjadi titik tolak perubahan bangsa Arab.
Turunnya Al-Quran di Tengah Kegemilangan Bahasa Arab
Bangsa Arab ialah sebaik-baiknya umat. Hikmah yang ada pada mereka ialah
semulia-mulianya hikmah, begitulah Ibn Rasyîq menyifati mereka dalam
kitabnya, al-‘Umdah. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah swt. dalam al-Quran
surat Ibrahim ayat 4, yang artinya: “ Dan kami tidak mengutus seorang Rasul
pun, melainkan sesuai dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat menjelaskan

kepada mereka.”
Menurut al-Wasathiy, al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab Qurasyiy28.
Alasannya, karena bahasa Quraisy ialah bahasa yang mudah dan jelas.
Sedangkan bahasa masyarakat Arab (lainnya) ialah buruk dan asing.29
Diturunkan di tengah kegemilangan bahasa Arab, tentunya hal ini menjadi
sebuah tantangan tersendiri bagi al-Quran. Di saat mereka mencapai puncak
kefasihan bahasa dengan syair sebagai karya kebanggaannya, al-Quran sebagai
pondasi kenabian Muhammad turun dengan bahasa yang sama. Meski demikian,
tidak berarti al-Quran datang begitu saja tanpa ada sisi kemukjizatannya. Justru,
ada maksud dan tujuan tersendiri dengan redaksinya yang berbahasa Arab.
Dikatakan gemilang, karena masyarakat Arab kala itu sangat piawai menggubah
syair, prosa, maupun kasidah-kasidah lain yang mempunyai wazan dan qafiyah
yang rumit sedemikian hingga ia dinilai istimewa. Padahal, bagi orang yang
cerdas sekalipun, membuat syair lebih sulit dari memindahkan batu yang sangat
besar.30

26 Bentuk puisi, berasal dari kesusastraan Arab yang biasa dinyanyikan.
27 Charles Pellat, op. cit., hlm. 31. Lihat juga: Ibn Rasyîq dalam Al-‘Umdah.
28 Hasan al-Baquriy, Atsaru al-Quran al-Karîm fi al-Lughah al-‘Arabiyyah, Dâr al-Ma’arif, Kairo, cet. IV, 1987, hlm. 40
29 Ibid., hlm. 40
30 Ibn Rasyîq, op. cit., hlm. 100

6

Abu Abdillah al-Jamhiy dalam kitab al-Thabaqat mengatakan, bahwa masa-masa
turunnya al-Quran ialah masa puncak kejayaan syair 31. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Dr. Muhammad Zaghlul pula, bahwa al-Quran diturunkan saat di
mana syair berada pada posisi yang tinggi32.
Agar suatu ajaran bisa diterima, maka ajaran itu harus menggunakan bahasa
mereka. Menyikapi kondisi bangsa Arab sedemikian rupa, Allah mengutus
seorang Rasul dengan al-Quran sebagai hujah atasnya. Suatu risalah akan
diterima jika ia membawa bukti yang kuat atasnya dan tidak ada keraguan
sedikitpun bahwasanya ia adalah sebenar-benar utusan yang Allah pilih untuk
suatu kaum.
Turunnya al-Quran memicu rasa heran dan ketakjuban yang hebat bagi kalangan
masyarakat Arab saat itu. Sesuai dengan pengetahuan mereka tentang nazam,
syair dan kasidah, al-Quran tidak masuk dalam kategori ketiganya. Al-Quran
bukanlah syair, bukan pula perkataan tukang tenung 33, pun nabi, ia bukanlah
seorang penyair34. Bahkan, Imam Abu Zar’atirrazi berkata:” Tidak ada keturunan
Abdul Muthalib melainkan mereka ahli bersyair, kecuali Muhammad saw.”
Telah disinggung sebelumnya, bahwasanya al-Quran ialah hujah bagi Rasulullah
saw. atas mereka, bangsa Arab. Hal ini agar lebih jelas bagi mereka bahwa
mereka lemah, tak mampu menandingi, dan tak ada alasan apapun untuk
mengelak dari hakikat bahwa ia diturunkan dari sisi Allah swt 35. Pengetahuan
mereka sendirilah yang menyadarkan, bahwa mereka tak sanggup
menandinginya.36
Imam al-Baqillani juga menegaskan, jika al-Quran diturunkan dengan bahasa
‘Ajam (nonArab), maka mereka akan dapat menyanggahnya dengan mudah.
Alasan ini disebutkan dalam I’jâz al-Quran; baik karena redaksi bahasanya
bukanlah bahasa keseharian mereka, mungkin juga elakan tidak diketahuinya
makna tersebab mereka tidak paham segi i’jaznya, bahkan, mereka dapat
berkilah dengan berbagai macam alasan lainnya.37
Sebelum beranjak lebih jauh, harus dipahami terlebih dahulu, bahwa: pertama,
al-Quran ialah apa yang dibawa oleh Rasulullah saw., dan dibacakan kepada
kaumnya selama 23 tahun.Untuk mengetahuinya, dapat diketahui dengan
31 ‫ الخ‬..‫ أن الشعر كان في الجاهلية في ربيعة‬:‫ وغيره من المؤلفين‬,‫ذكر أبو عبد الله بن محمد بن سلم الجمحي في كتاب الطبقات‬.
Ibn Rasyîq, Al-‘Umdah fi Mahâsini al-Syi’ri wa Âdâbihi wa Naqdihi, op. cit., hlm. 75
32 Dr. Muhammad Zaghlul Salam, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt,
hlm.193
33 QS. Al-Hâqqah:41-42
34 QS. Yâsîn: 69
35 Al-Hâqqah:43
36 Al-Baqillâni, I’jâzu al-Quran, ditahkik oleh al-Sayyid Ahmad Shaqr, Dâr al-Ma’ârif, cet. VII, Kairo, hlm. 5
37 Ibid., hlm. 13

7

riwayat mutawatir atau biasa disebut al-naql al-mutawâtir. Kedua, bahwa alQuran mendorong mereka untuk bersatu membuat yang serupa dengannya (altahaddiy)38. Hal ini dapat kita temukan pada banyak ayat, diantaranya: QS. AlBaqarah: 23-24, dengan tantangan satu surat saja. Atau bilangan yang lebih
besar, dalam ayat lain disebutkan sepuluh surat yang serupa dengannya39.
Sebenarnya, kata al-tahaddiy merupakan kosa kata baru; tidak ada dalam alQuran, tidak pula dalam hadits-hadits Rasul, bahkan belum ada pula di kalangan
para sahabat dan orang-orang setelahnya. Hingga pada akhir abad ketiga dan
permulaan abad keempat, muncullah kosa kata ini, sampai sekarang 40. Seperti
apa yang dikatakan oleh Mahmud Syakir dalam Madâkhilu I’jâzi al-Quran,
kalimat ini selalu diiringi dengan kata i’jâz dan mukjizat. 41
Kata al-tahaddiy memiliki beberapa makna, diantaranya: menyaingi dan melawan
untuk menang, bermaksud terhadap sesuatu, bermaksud menemui, dan menjadi
jelas42. Secara bahasa, kata ini bermakna: maksud seseorang yang berkumpul
menjadi satu untuk melakukan sesuatu, dengan tujuan menyaingi dan
menyanggah musuhnya, serta memperlihatkan kemampuan atasnya.43
Kiranya, membahas tentang al-tahaddiy (selanjutnya disebut dengan persatuan
-pen) menjadi menarik di sini, karena kata ini terkait erat dengan sub bahasan
kita kali ini. Kata yang selalu diiringi dengan kata i’jaz dan mukjizat ini -yakni:
al-tahaddiymemancing
lawan
bicara
untuk
mengerahkan
segala
kemampuannya, berusaha keras, dengan keyakinan (penantang) bahwa mereka
tidak akan mampu atasnya. Sehingga, jelaslah bahwa mereka lemah dan tidak
sanggup beradu kehebatan. Secara bersamaan, mereka menyadari bahwasanya
hal tersebut merupakan sesuatu di luar kemampuannya, yang pada akhirnya
“memaksa” mereka untuk mengakui bahwa Rasulullah saw. ialah utusan Allah
swt 44. Dengan demikian, jelas pula bahwa al-Quran ialah kalam Allah yang
mu’jiz, pun sebagai mukjizat kenabian Rasulullah saw. yang didukung oleh
berbagai bukti kuat lainnya.45
Lebih jelasnya, berikut jalan yang ditempuh menuju premis akhir bahwa alQuran ialah mu’jiz. Al-Quran diturunkan saat di mana bahasa mereka menguat
(menjadi sesuatu yang diperhitungkan), merebak-luasnya balaghah di kalangan
mereka, menjamurnya para penyair serta para khatib yang handal. Dalam
38 Ibid., hlm. 17
39 QS. Hûd: 13-14
40 Abu Fihr Mahmud Muhammad Syâkir, Madâkhilu I’jâzi al-Qurân, Mathba’ah al-Madaniy al-Mu’assasah al-Su’ûdiyyah
bi Mishra, cet. I, Kairo, hlm. 20
41 Ibid., hlm. 23
42 Ibid., hlm. 21
43 Ibid.,
44 Ibid., hlm. 22
45 Ibid., hlm. 27

8

kondisi seperti ini, kehadiran al-Quran sudah tentu menarik perhatian mereka
dan memicu semangat untuk menyanggah sedemikian hingga mereka
beranggapan bahwa mereka mampu. Dari sinilah mereka ber-tahaddiy, bersatu,
hingga perkara ini menjadi jelas dengan sendirinya (didukung oleh pengetahuan
mereka tentang bahasa), bahwa mereka tidak akan pernah mampu, hingga
mencapai titik akhir bahwa ia adalah kalam Allah yang mu’jiz, tak akan pernah
tertandingi..46
Pengaruh dan Keterpegaruhan al-Quran terhadap Bahasa Arab
Kehadiran al-Quran di tengah kondisi seperti yang tersebut di atas
menghadirkan pengaruh dan keterpengaruhan terhadap bahasa Arab. Tentu,
akan terbersit pertanyaan dalam benak kita: apa yang mempengaruhi dan siapa
yang terpengaruhi, serta bagaimana hal itu bisa terjadi?
Pembacaan wacana pengaruh serta keterpengaruhan di sini dapat dilihat dari
dua sisi. Pertama, kita melihat bahwa al-Quran berperan sebagai subjek. Artinya,
ia yang mempengaruhi bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadi objek yang
terpengaruhi. Namun, di sisi lain, dapat juga dilihat sebaliknya; al-Quran sebagai
objek terpengaruh dengan bahasa Arab sebagai subjek yang mempengaruhinya,
dan inilah sudut pandang kedua.
Berangkat dari pengertian konsep pengaruh dan keterpengaruhan. Konsep ini
berasal dari akar kata yang sama, yakni pengaruh. Dengan kata pertama tetap
sebagaimana asalnya, sedang kata kedua mengalami prefiks keter- dan sufiks –
an. Pengaruh dan keterpengaruhan, dalam bahasa Arab dikenal dengan al-ta’tsîr
wa al-ta’attsur. Hal ini dapat terjadi ketika ada dua hal yang saling bertemu
dan/atau bersinggungan, yakni al-Quran dan bahasa Arab, dalam konteks kali ini.
Pengaruh yang disebabkan oleh al-Quran dapat dilihat pada perluasan lafal dan
makna bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena al-Quran menggunakan bahasa
yang sebagian besar tidak ada pada zaman Jahiliah. Seperti apa yang disebutkan
dalam Fajru al-Islam, bahwa al-Quran memuat bahasa yang digunakan pada
zaman Jahiliah dulu. Namun tidak sempurna, karena ada kata yang tidak ada
pada zaman Jahiliah, tetapi ada dalam al-Quran. 47
Apa yang sampai kepada kita mengenai kebudayaan Jahiliah menunjukkan kita
bukti yang jelas bahwasanya bangsa Arab ialah bangsa yang paling banyak
menggubah syair48. Bahkan, Charles Pellat dengan yakin mengatakan bahwa

46 Ibid., hlm. 26
47 Ahmad Amin, Fajr al-Islam, al-Hai’ah al-Mashriyyah al-‘Âmmah li al-Kitab, Kairo, 1996, hlm. 76
48 Charles Pellat, Langue et Litterature Arabes, Dâr al-Gharb al-Islami, Beirut, cet. I, 1997, hlm. 87

9

syair ialah tali hubung yang kuat antara zaman dahulu dan sekarang. Syair ialah
yang pertama sebelum melangkah ke sastra Arab lainnya. 49
Sejak dahulu mereka -bangsa Arab- terbiasa meriwayatkan syair dan kabar. Syair
juga sebagai bahan pembicaraan di waktu samar50, maupun pelaksanaan akad di
pasar. Maka, ketika al-Quran datang, mereka menghafal, membacanya pagi dan
petang, dan bertanya apa yang tidak dipahami dengan perantara syair, karena
itu diwannya mereka51. Akhirnya, syair menjadi alat untuk memahami al-Quran
serta tafsirnya.
Di antara tokoh yang menggunakan syair sebagai alat untuk menafsiri al-Quran
ialah Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas52. Ibn Abbas pernah berkata: “Jika kalian
kesulitan memahami makna al-Quran, maka ambillah syair. Sesungguhnya syair
ialah diwannya bangsa Arab..”. Dari sinilah kemudian syair digunakan sebagai
alat memahami kalimat-kalimat yang asing dalam al-Quran.53
Al-Quran juga menyebabkan pergolakan bahasa Arab yang mulai terjadi pada
awal kurun 2 H, ketika terjadinya futûhât Islâmiyyah. Khususnya, setelah
mapannya sistem negara-negara Islam saat itu, juga tersebarnya bahasa Arab di
wilayah-wilayah tersebut. Pun ia menjadi kitab bangsa Arab yang pertama,
undang-undang agama mereka yang baru -Islam-, menjadi bahasa negara-negara
yang dibuka, bahasanya kepala negara, bahasa sastra, penulisan serta politik
dan hukum. Al-Quran secara tidak langsung mengalihkan perhatian mereka
-penduduk negeri-. 54
Akibat lain dari percampuran bangsa Arab dengan bangsa lain ialah adanya
tahrif55, munculnya bahasa-bahasa asing, sehingga bahasa Arab berubah dari
bahasa asalnya (Badui). Pun merebaknya nada bahasa (lahn), bercampurnya
lahjah/dialek, dan kerancuan antara satu kata dengan kata lainnya, hingga
muncullah bahasa baru di wilayah-wilayah pembukaan yang akhirnya disebut
dengan bahasa ‘âmiyah.56
Begitulah al-Quran menjadi faktor yang mendorong para ulama untuk mendalami
bahasa Arab dengan segala kesulitan dan rintangan dalam mengkaji dan
menjernihkannya. Ibn Khaldun menegaskan, setelah sebelumnya disebutkan oleh
al-Farabiy, seperti ini: “al-Quran telah menerangkan kemaslahatan umat di dunia
49 Charles Pellat, op. cit., hlm. 241
50 Samar: waktu tengah malam sampai sebelum sahur; bangsa Arab terbiasa berkumpul dan ngobrol bersama keluarga di
waktu ini.
51 Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, Dâr al-Ma’ârif, cet. III, Kairo, tt. hlm. 193
52 Ibid., hlm. 32
53 Ibid., hlm. 194
54 Ibid., hlm. 151
55 Perubahan huruf atau kalimat dalam bahasa Arab
56 Dr. Muhammad Zaghlul, Atsaru al-Quran fî Tathawwuri al-Naqdi al-‘Arabiy, op. cit., hlm. 153

10

dan akhirat, apa-apa yang datang dan berlalu dari mereka. Dan tidak ada cara
untuk mengetahui dan memahami maknanya kecuali dengan pendalaman bahasa
Arab.” 57
Kemudian, mengenai sisi keterpengaruhan al-Quran terhadap bahasa Arab.
Apakah al-Quran terpengaruh oleh bahasa Arab? Menurut penulis, tidak.
Alasannya dapat kita pada hikmah pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa alQuran, diantaranya: karena ketika Nabi saw., diutus, bahasa Arab sedang di
puncak kegemilangannya dan mendapat perhatian yang besar. Di sisi lain,
bangsa Arab saat itu sudah memiliki malakah (kemahiran) dalam mengkritik dan
mengunggulkan suatu kalimat, juga dengan mudah merangkai kata sehingga
tersusun menjadi kalam yang istimewa maupun sebaliknya. 58
Epilog
Turunnya al-Quran sebagai undang-undang kaum muslim menjadi titik tolak
perubahan bahasa Arab. Makna-makna mengalami perluasan, juga penyempitan.
Pun syair sebagai pemegang otoritas bahasa tertinggi, sudah tentu
bersinggungan dengan al-Quran. Ada kalanya ia digunakan untuk menafsiri alQuran, meski kadang “terkungkung” oleh nilai-nilai al-Quran di sisi lain.
Pembukaan wilayah-wilayah Islam kala itu menjadi faktor yang sangat penting
terhadap perluasan bahasa Arab. Maka, ketika wilayah-wilayah tersebut meluas,
Islam berjaya, bukan? Karena lemah-kuatnya bahasa menunjukkan majumundurnya suatu bangsa.
Meski bahasa Arab selalu menjadi bahasa resmi negara-negara Islam kala itu,
namun tidak seperti Indonesia. Selain karena penyampaian yang berbeda, Wali
Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia sangat menghormati budaya negeri.
Jadi, dengan metode penyebaran dan kondisi negeri serta perbedaan masa yang
berbeda, menjadikan Indonesia tidak terlalu urgen untuk harus berbahasa Arab.
Hendaknya bagi kaum muslim untuk kembali berpegang teguh dengan al-Quran
sebagaimana para ulama kita terdahulu berpegang teguh. Menghidupkannya,
menyesuaikan konteks dengan apa yang tertuang dalam ayat, karena al-Quran
universal dan selalu relevan, sampai kapan pun.
Jika ditemukan suatu pemahaman yang ganjal dan tidak sesuai dengan syariat
Islam, maka yang salah bukanlah al-Quran ataupun haditsnya. Tetapi,
pemahaman terhadap keduanya. Hal ini lah yang selalu ditekankan oleh beliau,
syekh Dr. Muhammad Mehanna. Wallâhu A’lamu.
57 Dr. Muhammad Zaghlul, op. cit., hlm. 159
58 Muhammad Abdul ‘Adhîm al-Zarqâniy, Manâhilu al-‘Irfân fî Ulûmi al-Quran, Dâr al-Ihyâ’ al-Kitab al-‘Arabiyyah, vol.
II, Kairo, 1980, hlm. 337

11

Hamidatul Hasanah
Alumni Markaz Lughah 2015/2016
Universitas al-Azhar Kairo

12