Usaha dan Doaku Perkenalkan nasi

Usaha dan Doaku

Perkenalkan, namaku Tuti Febrina. Aku biasa dipanggil temanku dengan sebutan “TUJIL” yang
singkatan dari tukang jilat. Eits, tapi jangan negatif dulu broh tentang singkatan ini. Haha.. jadi
begini, dulu waktu masih umur 5 tahunan, aku suka banget jilatin sendok bekas masakannya ibu,
aneh memang tapi itulah kebiasaanku waktu kecil. Sehingga ayahku memanggil aku ‘TUJIL”
tukang jilat.
Nah itu sekilas sejarah nama panggilanku..
Aku adalah anak kembar, dan punya satu kakak cewek (yang kata mama sih dia pelit,
perhitungan gitu hihi). Kembaran aku itu cowok, dia orangnya plin plan dan rada nyebelin.
Aku lahir di keluarga yang bisa dibilang golongan tidak mampu, kami tinggal di rumah
kontrakan yang sudah tua, kira kira sudah 18 tahunan kami huni. Inilah alasanku mengapa aku
memilih untuk bekerja daripada harus kuliah setelah tamat Sekolah ini yah.. karena melihat
kondisi keuangan keluargaku yang tak memungkinkan. Aku mempunyai motivasi terbesar untuk
membahagiakan orangtuaku. Memang sebelumnya aku sempat kesal, karena ayah sebelumnya
telah berjanji untuk mengkuliahkanku setelah tamat nanti, tapi ternyata…
But.. no problem, setelah diberi pengertian oleh Ibu, aku mulai menerima kenyataan dan mulai
mencari jalan dimana aku harus bisa membantu perekonomian keluargaku. Keinginan terbesarku
tentunya membangun rumah untuk kedua orangtua dan mengkuliahkan diriku sendiri.
Awalnya aku bekerja di salah satu perusahaan pialang di pekanbaru, sebagai financial consultant.
Namanya sih keren ya financial consultant tapi setelah aku jalani tu profesi, ternyata tugasnya

mencari nasabah orang kaya, yang oke punya, beeh.. hampir sama dong dengan marketing (betul
gak?) karena sudah terlanjur diterima disana aku memutuskan untuk menjalaninya dulu hingga
dua bulan.
Nol, aku tidak mendapatkan nasabah.
Lalu aku memutuskan untuk resaign dari sana dengan gaji terakhir sebesar 395 ribu. Dua bulan
hanya dapat segitu? It’s so amazing!
Setelah resaign dari sana, aku menjadi pengangguran lumutan di rumah, hari hariku hanya diisi
dengan makan, tidur, bantu Ibu dan tidur lagi (yaah, mbah surip dong). pas banget sama
singkatan nama aku, Tuti “Tukang tidur”
Sadar dengan keadaan seperti ini, aku mulai bosan dan jenuh di rumah. Lalu aku memutuskan
untuk mencari pekerjaan via internet.
Banyak sekali lowongan pekerjaan disana, mulai dari sales, marketing, koki, dll. Tapi aku lebih
tertarik bekerja di bagian admin, sesuai dengan jurusan aku dulu pas sekolah di kejuruan.
Alasannya? biar gak lari jalur brooh.. hihi
Mulailah aku mengumpulkan segala informasi pekerjaan di internet, bahkan aku sampai
membuat folder khusus buat lowongan kerja di laptop ayah. Aku mencari yang memang menarik
buatku, hingga aku tulislah surat lamaran sebanyak mungkin untuk melemparnya keperusahaan
perusahaan yang lagi membutuhkan tersebut. Namun anehnya, setelah aku lempar lempar tu
lamaran, mereka gak lempar aku balik cooy *nah*
Aku mulai putus asa saat itu, aku sudah menghabiskan banyak modal kesana, mulai dari


membeli amplop, fotokopi ini fotokopi itu… sampai akhirnya uang di dompetku sakaratul maut
tinggal menunggu ajal.
Hari berganti minggu, aku tak kunjung dipanggil panggil.. (dipanggil yang Maha Kuasa *eh)
salah, maksudnya dipanggil sama perusahaan itu loh yang aku buat lamaran kemarin meen..
Berdoa.. hanya itu jalan satu satunya yang ada dipikiran ku
Setiap malam aku selalu memanjatkan doa, meminta petunjuk-Nya..
Tapi tak jua aku mendapatkan hasil. Aku merasa usaha dan doaku hanya sia-sia
Ibu menasehatiku waktu itu, dan mengatakan “Tidak semua usaha dan doa itu langsung dijawab
oleh Tuhan, yakin dan percaya suatu saat Tuhan pasti kabulkan. Mungkin tidak untuk sekarang
tapi mungkin saja besok” aku merenungkan pesan ibu setiap malam sebelum aku tertidur. Aku
memutuskan untuk tetap terus berdoa dan berusaha tanpa henti.
Hingga pada suatu hari, akhirnya aku dipanggil untuk bekerja disalah satu Dealer mobil yang
terkenal dipekanbaru sebagai admin project yang gajinya lumayan besar. Aku sangat bahagia dan
langsung bersyukur atas kebesaran Tuhan yang luarbiasa dalam hidupku.
Mendengar kabar tersebut, ayah dan ibu tampak bahagia dan bangga padaku. Mereka sangat
mendukung.
Aku berjanji tak akan mengecewakan Ayah Ibu, aku akan terus berusaha hingga mimpi itu bisa
aku raih. “Mencapai sukses dengan doa dan usaha” itu yang sekarang menjadi motto terbaik
dalam hidupku.

So, buat teman-teman yang ngebaca, jangan mudah putus asa ya. Terus berusaha dan berdoa.
Tuhan pasti kasih jawabannya

Kerja Keras Itu Kuncinya
“Cuci… cuci sendiri, makan… makan sendiri… ehei”
Nyanyiku terus-menerus, akhir-akhir ini banyak orang-orang yang memanggilku ke rumah
mereka, untuk makan, tentu saja bukan, mereka hanya memintaku untuk mencucikan baju
mereka, mudah-mudahan ini merupakan sebuah keuntungan, atau mungkin sebaliknya, ah
terserahlah… yang penting aku masih bisa mendapatkan uang dan ucapan I love you [Aku
mencintaimu] eh, hehe… keceplosan.
“Yang itu sudah selesai?” Tanya Mbak Karis salah satu orang yang memanggilku untuk mencuci
baju, atau bisa dikatakan, salah satu pelangganku.
“Sedikit lagi” Jawabku sambil terus mencuci tumpukkan baju ini. Dengan gesit dan cekatan,
kupercepat gerakanku, tak mau membuat Mbak Karis menunggu lebih lama lagi.
Keringat bercucuran di dahiku, segera ku lap dengan menggunakan punggung tanganku, senyum
terukir di wajahku, akhirnya selesai juga, segera ku bangkit dari dudukku, kubersihkan tanganku
dari sisa-sisa sabun, kubalikkan tubuhku menghadap Mbak Karis, dengan sopan kubungkukan
badanku sesaat untuk berterima kasih, kulihat dia hanya tersenyum dan memberiku beberapa
uang, segera kuambil, ini dia upahku, batinku.


Aku pun pamit pada Mbak Karis untuk segera ke rumah, lagi-lagi dia hanya tersenyum padaku,
dia memang sangat baik bukan, segera kulangkahkan kakiku keluar dari rumahnya, dengan
langkah bak waria maco, aku pun segera berlari menuju rumahku.
Siang ini matahari begitu menyengat, membuat orang-orang tak mau berlama-lama di luar,
metode menjaga keputihan kulit hem… hah dasar orang Sukamara, tapi ternyata, masih ada
orang-orang yang bermain di luar, itu pun cuma anak-anak sepertiku, dan sudah kuduga, mereka
hitam.
Kicauan burung menyambutku saat aku sudah tepat berada di depan rumahku, membuatku
semakin bersemangat untuk menjalani hari ini, tanpa basa-basi lagi akupun langsung… kentut,
hehe, sudah tidak tahan dari tadi.
“Oh, Bagan… kau sudah pulang…” Ucap ayahku yang tiba-tiba muncul di belakangku, untung
saja aku sudah selesai kentut.
“Eh…i.. iya” Ucapku dengan senyuman merekah, dengan tergesa-gesa kurogoh sakuku,
mengambil upah cucian yang kudapat kemarin, tentu saja dengan tingkatan uang yang kencang,
baru, rapi, berkilau, harum, elegan, hanya saja berwarna coklat buruk, jiahh… bagus bukan.
Segera kuberikan uang tersebut kepada ayahku, dia hanya tersenyum lembut dan secepat tuyul
mengambil uang itu dari tanganku, subhanallah… dengan gaya yang lentik dan slow motion
(Gerakan lambat) pula ah… membuatku ingin kentut saja.
Jika kalian bertanya kenapa aku tidak memberikan uang pendapatanku hari ini, syuut… diam
saja. Mungkin karena melihat gelagatku yang mencurigakan, tiba-tiba saja ayahku menjulurkan

tangannya kepadaku seperti berkata, ‘give me your money, beybeh’ #Beybeh maksudnya baby#
(‘Berikan aku uangmu, sayang’).
Dan hal itu langsung membuatku membantin, ‘Like a bad boy’,(‘Seperti lelaki jahat’), dan mau
tak mau, ikhlas tak ikhlas, ya sudahlah, langsung kuberikan kepada ayahku uang pendapatanku
hari ini, membuat dia kembali tersenyum lembut.
“Terima kasih nak, kamu ini, sudah kecil, hitam pula, eh… hehe.. maksud ayah…” Ucap ayah
yang segera kuputus.
“Hehe, sudahlah yah, ayah juga hitam, eh… maksud Bagan, sudah seharusnya Bagan begini, dan
emm lebih baik kita masuk ke rumah, nanti ayah bisa tambah sakit, ayo…”
Segera kupapah ayahku memasuki rumah kami yang sangat menyedihkan ini, tak apalah, yang
penting rumah ini masih bisa ditempati.
Namaku Bagan, ya… setidaknya orang-orang sering memanggilku begitu, mungkin jika aku
sekolah sekarang, aku sudah kelas 5 SD, itu artinya, aku tidak sekolah sekarang, banyak faktor
yang menyebabkan itu, mulai dari ekonomi keluargaku yang memang berada di garis miskin,
juga diriku yang memang harus mencari nafkah sehari-harinya, itu karena…
Ayahku, dia tidak bisa bekerja lagi, sebuah penyakit yang aneh menyerangnya, oleh karena itu,
akulah yang harus bekerja sekarang, dan penyakit ayahku itu sangat aneh menurutku, penyakit
itu membuat kulit ayahku hitam kusam, dan kulitnya berbau menusuk, dan hal itulah yang
menyebabkan kami sering dihina, di caci maki, dan ah… keadaan ayahku tidak sampai disitu,
kakinya pun buntung, gara-gara saat dulu masih bekerja menjadi kuli bangunan, bisa dibilang

kecelakaan kerja, membuatnya harus berjalan menggunakan tongkat.
Dan yang membuatku semakin sayang pada ayahku, dia tidak pernah sedikit pun mengeluh, tak

jarang pula dia ingin membantuku bekerja, tentu saja kularang, sungguh tak tega aku melihat
keadaan ayahku sekarang, dan dengan itu, aku bertekad membuat ayahku bahagia dan tak
melarat seperti ini, aku berjanji.
Setelah merebahkan tubuh ayahku di atas kasur yang tak terlalu bagus, hanya elegan, ada
miniatur kecoa pula, saat kita memakai kaca mata hitam untuk melihat kecoa itu, tentu saja, yang
terjadi adalah, semua jadi gelap, eh maksudku, ah sudahlah.
Aku pun kembali keluar rumah, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, dan itu artinya, ‘Si
Bolang’ sudah mulai, ah lupakan tentang bolang, kembali ke pembicaraan, seperti biasa, anakanak akan pulang dari sekolah, aku pun duduk di salah satu kursi di depan rumahku, tak perlu
menunggu lama, anak-anak berseragam berjalan dengan riang, berjalan menuju tujuan masingmasing, ada yang terlihat berjalan dengan riang, ada juga yang berjalan sambil bercanda.
Baju itu, seragam itu, peralatan sekolah itu, kapan aku bisa memilikinya?.
“Bagan…”, Panggil seseorang yang membuat lamunanku buyar seketika bak burung-burung
perkutut yang telah lepas dari sangkarnya, artinya… luar biasa, lamunanku 3D.
Ternyata teman-temanku, mereka pun menghampiriku dan duduk di sampingku, tak jauh berbeda
denganku, teman-temanku ini juga lebay dan alay, ah maksudku mereka juga tak bisa berkencan
dengan Mbak Cantika, haihsss… tepatnya berekonomi rendah sepertiku, dan juga sangat ingin
bersekolah sepertiku, nah baru benar.
Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu berkumpul untuk melakukan Sholat Zuhur bersama,

dan ternyata azan sudah berdendang, kami pun segera pergi menuju masjid terdekat.
Akhirnya, setelah pulang dari masjid, kami kembali berkumpul di rumahku, dengan tema,
‘curhat yuk~’.
“Kalian tahu tidak, hari ini aku sungguh sial…” Ucap Nahir salah satu temanku, membuka
percakapan.
“Memangnya ada apa?”,Tanya Usain.
“Yah… kau tahu tidak, pagi tadi hehe, tanpa sengaja aku melihat buah mangga montok yang
menggugah iman, setelah itu, aku melirik kiri dan kanan lalu berkata, ‘aman’…” Ucap Nahir
yang tiba-tiba dipotong Saipudin.
“Wah, kamu maling ya itu mangga?” Nahir pun menjawab.
“Tentu saja, Nahir gitu loh, dan dimohon jangan memotong, nah… aku sudah mengambil
ancang-ancang dari situ, lalu 1.. 2… 3…”
“Kamu panjat itu pohon?” Tanya Juki yang tiba-tiba memotong, membuat Nahir agak kesal.
“Bukan, itu ancang-ancang untuk melepas sandal, nah baru kunaiki pohon mangga itu, saat
sudah hampir sampai ke tempat tujuan tiba-tiba…” Ucap Nahir yang membuat kami deg-degan
“Tiba-tiba eh… nggak ada angin, nggak ada hujan, celanaku melorot, cepat-cepat kunaikkan
lagi, eh tiba-tiba ada waria, parahnya lagi waria itu malah teriak ‘maling… maling’, kaget
aku…” Ucap Nahir lagi yang membuat kami langsung syok.
“Lalu…” Ucapku.
“Beuh… langsung bukah (Lari) aku…” Jawabnya yang langsung membuat kami semua tertawa,

memang selalu menyenangkan jika bersama-sama dengan teman-temanku.
“Itu akibatnya berbuat tak baik…” Timpalku.

Akhirnya teman-temanku berpamitan kepadaku, jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB
waktunya untuk aku dan teman-temanku bekerja mencari uang.
Aku pun memasuki rumahku tepatnya kamar ayahku. Kulihat ayahku sedang makan, dengan
sopan, akupun pamit kepada ayahku untuk menemui Pak Pahmi, tempatku bekerja sebagai
nelayan, ayahku hanya menggangguk, dan setelah itu, aku sudah berlalu dari hadapannya.
Segera ku pergi ke jamban, tempat perahu Pak Pahmi berada, dan ternyata Pak Pahmi sudah tiba.
“Assalamualaikum pak…” Ucapku sambil mengatur napas karena berlari-lari tadi.
“Ah, walaikumsalam, nah seperti biasa, Bagan… karena kamu sudah datang, cepat naiki perahu
yang berwarna biru di sana dan untuk yang lain, menggunakan perahu yang seperti biasa”,
Perintah Pak Pahmi, kami semua langsung menggangguk, ya… bukan hanya aku yang bekerja
disini, banyak anak-anak lain juga, yang kurasa berekonomi kurang sepertiku, kira-kira sudah 1
tahun aku bekerja disini, dan sepengetahuanku, Pak Pahmi ini sangat baik.
Saat aku ingin menaiki perahu, tiba-tiba Pak Pahmi mencegahku, aku hanya menurutinya.
“Nak… maaf mengganggu sebentar, bapak hanya ingin bertanya sebentar, emmm siapa nama
ayah nak Bagan?, mungkin bapak bisa membantu ayahmu…” Ucap Pak Pahmi yang membuatku
terdiam.
“Na…na… nama ayah Bagan… emm..” Ucapku terbata, entahlah… kenapa aku jadi gugup

seperti ini, Pak Pahmi hanya ingin tahu nama ayahku, ayo Bagan, katakan.
“Emmm… nama ayah saya… Joni pak…” Ucapku dengan lirih, tetapi masih bisa didengar oleh
Pak Pahmi, kulihat Pak Pahmi seketika terdiam, membuatku merasakan hal yang ganjil.
“Maksudmu Joni yang terkena penyakit aneh itu?”, Tanya Pak Pahmi dengan nada yang tak
kusuka.
“I…iya…” Jawabku.
“Joni yang buruk rupa, jelek, dan menjijikkan itu?…”, Sekarang aku benar-benar tidak suka
mendengarnya.
“Tidak, ayah saya tidak sejelek itu…” Ucapku.
“Oh kau benar, dia lebih jelek daripada itu, dan sekarang, kau ku pecat” Ucap Pak Pahmi, a…
apa.
“Pak… jangan pak, jangan pecat saya pak, sangat sulit mencari orang sebaik bapak yang mau
mempekerjakan saya, saya mohon pak, saya… saya akan bekerja dengan giat pak, hiks… saya
juga akan mencari lebih banyak ikan setiap harinya pak, tapi saya mohon pak, jangan pecat saya”
Ucapku memohon berlutut di hadapan Pak Pahmi.
“Cih… mana sudi aku mempekerjakan anak Joni sepertimu, dan jangan sentuh kakiku, aku tak
mau penyakit ayahmu itu menular padaku..”, Ucap Pak Pahmi kasar, lalu dia pun menendang
tubuhku, membuatku sedikit terpental dan meringis kesakitan.
Sambil menangis, aku pun berlalu dari jamban itu, menuju rumahku.
Hiks… tak apalah, masih ada pekerjaan lain yang bisa kulakukan, batinku mencoba

menenangkan diri.
Setelah sampai di rumah, kuusap sisa air mata di pipiku, dengan langkah lesu, aku pun duduk,
hah~ lebih baik pekara tentang dipecatnya aku oleh Pak Pahmi kusembunyikan saja, aku takut
kalau-kalau ayah sedih mendengarnya. Menerawang ke atas awan, begitu terik dan menyilaukan,
menarawang ke bawah, sunyi dan gelap, hah, keadaan itulah yang sedang kujalani sekarang,
pasang surut kehidupan selalu aku dan ayah rasakan, huh… secepat inikah aku mengeluh,

ayahku saja tak pernah mengeluh, semangat Bagan, kau masih bisa bekerja, melakukan apa yang
bisa kau lakukan, semangat.
Kulangkahkan kembali kakiku, berjalan dengan penuh semangat, menebar-nebar cahaya dimanamana, tak peduli ada kotoran yang kuinjak disana, yang besar maupun yang kecil bak upil yang
centil, aku memang puitis bukan.
Berjalan dan terus berjalan, dan akhirnya, sampailah aku tepat di depan sebuah rumah Bibik
Isma, kuketuk segera pintu rumah Bibik Isma, tak perlu menunggu lama, sang pemilik rumah
pun keluar dari kediamannya.
“Oh… Bagan, tumben sekali kau datang jam segini”, Ucap Bibi Isma sambil membawaku
duduk.
“Hehe, Bagan hanya ingin cepat bekerja”, Ucapku seadanya, Bibi Isma hanya mengangguk, lalu
tiba-tiba, Bibik Isma mengeluarkan sebuah keranjang, ingin kuambil keranjang itu, tapi tiba-tiba,
Bibik Isma berkata.
“Bagan, maaf bibik ingin bertanya sebentar, apakah Joni itu ayahmu?” Tanya Bibik Isma yang

langsung membuatku kaget, dan terdiam.
“Ah… ternyata benar, mana mungkin Joni itu ayahmu, haha… Joni itu kan…”
“Joni itu ayahku” Potongku cepat, Susana hening seketika.
“Kau kupecat, kau tak perlu menjajakan kerupuk basahku lagi, dan, jangan pernah kau datang ke
rumahku lagi”, Ucap Bibik Isma, lalu ingin berlalu dari hadapanku, kupotong cepat langkahnya.
“Kenapa kalian tidak suka dengan ayahku?” Tanyaku.
“Apalagi kalau bukan karena dia itu pembawa sial!” Ucap Bibik Isma.
“Tidak, kalian salah, ayahku bukan pembawa sial dia…”
“Dia apa, oh aku tahu, penyebar penyakit maksudmu?”,
Ucap Bibik Isma membuat tubuhku seketika memanas.
“Jangan lupakan juga, dia itu…”
“CUKUP!…” Teriakku dan segera kuberlalu dari hadapannya.
Besoknya…
“Bagan… BAGAN!” Teriak seseorang dari luar rumahku yang hampir saja membuat rumahku
ini roboh.
“Iya… iya… aku keluar, aku keluar..” Ucapku dan ternyata…
“Kalian… ada apa?” Tanyaku lalu membawa 5 temanku itu duduk.
“Huh…huh…ah…hah…huh… kami… huh…hosh…hosh… tadi, huh…” Ucap Nahir dengan
nafas yang sangat terengah-engah.
“Pelan-pelan…” Ucapku sambil menepuk bahunya pelan.
“Weh… bukannya tadi kau tidak ikut lari..” Ucap Saipudin.
“Eh… hehe…benar juga, dan Bagan, kita sangat ingin sekolah bukan?” Ucap Nahir, aku pun
mengangguk.
“Kita juga bekerja mencari uang karena mungkin dengan itu kita bisa bersekolah bukan?”
Ucapnya lagi yang membuatku kembali mengangguk.
“Kita juga punya cita-cita besar yang ingin kita wujudkan bukan?” Ucapnya lagi yang
membuatku mengangguk lagi, ada apa memang?.
“Nah, dengan itu… emm apa Sai?” Tanya Nahir kepada Saipudin, PLAAKK…
“Au…” Ringis Nahir karena baru saja tangan kekar milik Saipudin mendarat tepat di jidatnya.
Jiahhhh… bikin tegang saja.

“Langsung ke inti saja, Bagan, kami ingin mengajakmu pergi mengambil buku-buku pelajaran,
ada salah satu sekolah yang banyak membuangnya, bagaimana?, kau mau ikut tidak?, hehe..
kamu takut kau sibuk” .Ucap Juki membuatku langsung tersenyum masam.
“Tidak, aku tidak sibuk hari ini, karena… aku sudah di pecat dari semua pekerjaanku, emm,
menjajakan kerupuk basah pun aku di pecat juga dan… ah sudahlah, sebaiknya kita cepat pergi,
ayo” Ajakku, tetapi kulihat teman-temanku memasang wajah bersalah, membuatku langsung
berkata.
“Sudah, tidak apa-apa, jadi, dimana sekolah itu…?”

“Disini?” Tanyaku saat kami sudah tepat berada di depan sebuah sekolah, Nahir menjawabku
dengan anggukan, akhirnya kami pun segera berpencar untuk mencari buku tersebut.
Tiba-tiba…
“Bagan…”
Eh… dia…
“Apa yang sedang kau lakukan?” Ucapnya, harus kujawab kah pertanyaan ini, tidak.. ini tidak
penting, segera ku ingin melangkahkan kakiku, tetapi dengan cepat, dia menghentikannya.
“Beginikah sikapmu terhadap kembaranmu sendiri?” Apa yang dia katakan, cih… menyebalkan,
segera kubalikkan badanku yang tadinya membelakanginya, ku tatap dia tajam.
“Kenalkah aku denganmu?” Ucapku, terlihat dia tertawa, apa ini, tidak ada yang lucu.
“Kau ini, ini aku Bagus, kau ingat sekarang?” Ucapnya dengan senyuman manis, senyuman
manis?, cih… dengan menggunakan seragam itu dia tersenyum manis, mungkin dia ingin
menertawai kehidupanku sekarang ini.
“Oh… aku ingat, kau kembaranku, kembaranku dulu yang meninggalkan diriku dan ayahku,
kau… kau yang meninggalakan kami bersama ibumu itu, ibumu yang, cih… buta kekayaan itu,
saat itu ayah masih sakit, tapi wanita itu dengan angkuh berjalan membawamu pergi, pergi untuk
tinggal bersama seorang pria yang kaya, meninggalkan kami yang… haishh… lupakan, umurku
masih 2 tahun saat itu, tapi apa kau tahu, saat itu hatiku sakit, sakit melihat ayah yang menangis
hanya karena wanita jahat itu, dan sekarang, kau tahu, apa yang kau perbuat pada kami
sekarang?”
“Bagan… aku..”
“Kau membuat kami menderita seperti ini, kau tahu, rasanya sangat menyakitkan, sangat
sakit…” Ucapku, dia hanya terdiam, hanya itu yang kau lakukan, cih… segera ku berlalu dari
hadapannya, muak sekali aku jika harus berlama-lama disini.
Aku pun terus berjalan, tak kuhiraukan teman-temanku yang menatapku heran, aku hanya ingin
terus berjalan dan jalan, tapi tiba-tiba, Nahir menghalangi jalanku.
“Aku ingin sendiri…” Ucapku lirih, dan kembali aku ingin berjalan, tetapi, Nahir tiba-tiba
berbisik tepat di telingaku…
“Rumahmu… kebakaran…” .
DEG… DEG… DEG… ayah…
Segera kuberlari sekencang-kencangnya, sudah banyak orang-orang yang kutabrak, tidak
kupedulikan hal itu, aku hanya terus berlari dan lari, pikiranku hanya satu, ayahku… dan aku
hanya ingin segera sampai ke rumahku.

Peluh telah membanjiri wajahku, segera kulap dengan punggung tanganku tepat saat aku sudah
berada di kerumunan orang yang terlihat mengerumuni kediamanku, api ternyata sudah
memakan hampir seluruh rumahku, membuatku langsung menerobos kerumunan orang banyak,
polisi sedang mengamankan kalau-kalau ada orang yang terlalu dekat dengan api itu, tapi…
bukan itu yang kupermasalahkan.
Pemadam keabaran sama sekali tak terlihat, kuedarkan pandanganku ke seluruh arah, sebagian
besar warga disini hanya memandangi api ini bak tontonan sirkus yang menegangkan, apa ini,
tidak adakah sedikit keinginan hati nurani mereka untuk membantu memadamkan api ini, kulihat
hanya sedikit orang-orang yang mencoba memadamkan api ini.
Aku mulai panik, ayahku masih di dalam, tak tahu apakah masih dalam keadaan hidup atau…
tidak…
Dengan segenap tenaga, kucoba menerobos barisan tegap polisi-polisi, tapi nihil, aku pun
tambah panik.
“Bukannya itu bocah anak Joni, hei bocah, CEPAT PERGI DARI SINI!, DASAR ANAK
MISKIN”, Ucap salah satu polisi, ucapan itu…
“IYA, SUDAH SANA, JANGAN DEKATI API INI, TAK USAH KAU DATANGI AYAHMU
SANG PEMBAWA SIAL ITU…”, Ucap salah satu polisi lain, membuat badanku bergetar.
“Wah… sudah dibilang jangan masuk, masih saja, DASAR TAK PUNYA ETIKA, SAMA SAJA
DENGAN AYAHNYA YANG MENJIJIKAN ITU” Ucap seorang wanita dari kerumunan.
“Ayahku tidak menjijikan” Ucapku lirih.
“Oh benar juga, ayahmu itu hanya MANUSIA PEMBAWA SIAL!” Ucap wanita itu lagi, hinaan
ini… ukh… aku tidak tahan lagi.
“KALIAN YANG TAK PUNYA ETIKA, MENERIAKKI SEORANG ANAK KECIL MISKIN
YANG TAK TAHU APA-APA, HIKS… hatiku sakit mendengarnya…hiks” Runtuh sudah
pertahananku, lelaki macam apa aku ini..
“YAA… DASAR TAK TAHU MALU, cepat hentikan kelakuan kalian, dia ini hanya anak kecil,
dan… berhenti menghina orang, bisa jadi, kalian lah yang pembawa sial” Ucap… i…
“Kau tidak apa-apa Bagan..?” Ucapnya sambil menghampiriku, aku masih terus mengalirkan air
mata.
“Ibu akan mencoba menyelamatkan ayah, jadi tunggu disini, oke” Ucapnya lalu mulai berdiri
dari posisi jongkoknya yang langsung membuatku memegang tangannya, mencoba
menghentikan gerkannya, dan itu berhasil.
“Hikss… jangan pergi, sudah cukup Bagan kehilangan seorang ayah, sudah cukup, Bagan tak
mau kehilangan keluarga Bagan yang lain lagi, ibu…” Ucapku masih dengan lelehan air mata
yang menggenang, terlihat dia terdiam, dan tiba-tiba memelukku.
“Maafkan ibu Bagan, ibu takkan meninggalkanmu lagi, ibu janji…”
“Bagan… Bagan… emm, apa Bagan masuk sekolah?” .
“Saya disini bu… maaf saya telat..” Ucapku dan segera duduk di samping Bagus.
Ya, sejak tragedi kebakaran 10 hari yang lalu, aku sudah tinggal bersama ibuku, dan juga
bersama Bagan, aku pun tak melarat lagi.
Dan sejak itu pula, sumbangan untuk orang miskin semakin besar, sampai-sampai dibukanya
sekolah gratis, nah disitulah teman-temanku bersekolah, ah akhirnya aku bisa mewujudkan
impianku mulai dari sekarang, terima kasih bu, ayah, Allah… kebahagiaan akan datang
kepadaku dari sini.
“Nah. Keluarkan buku matematika kalian, sebentar lagi kita akan belajar matematika, dan segera

juga mengumpulkan pr matematika ya…” Ucap Bu guru membuat yang lain menyahut iya,
sedangkan aku…
“AAAPAAA…!”
TAMAT