Matahari Memata Matai Hari Skyline Kaki (1)

Skyline - Kaki Langit
Edisi 1

Cerdas dan Inspiratif

Matahari, Memata-Matai Hari
Baik Karto Soto, Karto Bengkel, maupun Karto Luwak sampai matinya tak tahu bahwa nasibnya,
bersama nasib 600 juta rekannya di dunia, telah beribu kali didiskusikan, diseminarkan, dikonferensikan.
Bahkan sehabis tokoh ornop dari India itu pidato keras mengecam “transnasionalisasi”, monster-monster
modal penjala teri, anggur dituangkan dari botol-botol ke gelas-gelas manis, dan “Cheers!... untuk kaum
miskin di bumi Tuhan!” Sekalian peserta meneguknya, meletakkan kembali gelasnya, dan bertepuk.
Orang terharu, berpeluk-pelukan, hamper menitikkan air mata, menghayati kemiskinan, baik yang mutlak maupun yang sedang-sedang.
Seandainya bunyi tepuk tangan terhadap kaum miskin direkam dari seminar demi seminar, dari
Jember sampai Boston, dibutuhkan kaset sejumlah orang miskin di dunia. Dan golongan miskin pun akan
menjadi kenyang. Jangan kasih rekaman diskusinya, sebab kemungkinan mereka bingung.
Bagaimana menerangkan bahwa, setidaknya, ada guratan dari wajah seminar-seminar semacam
itu yang klise? Bahwa beratus ribu kata dalam dalam konferensi itu terbang bagai pawai burung di
angkasa, yang sesudah letih berlanglang buana begitu sukar menemukan dahan pepohonan atau kebun
untuk hinggap? Pernahkan diteliti berapa jumlah sarjana, master, dan doktor yang dihasilkan oleh tema
kemiskinan, penindasan, keprihatinan? Apa sajakah relevansi atau irrelevansi dari yang dilakukan para
sarjana kemiskinan itu dengan usaha memerangi kemiskinan? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan berkat makin banyaknya para piawai yang makanan utamanya masalah kemiskinan?

Seberapa jauhkah orang miskin bukan merupakan barang jualan baru bagi para intelektual-karieris?
Pertanyaan semacam ini memang lahir dari bakat su’udhdhon, sangka buruk. Karena itu, jangan
hentikan seminar, kalau mungkin Tuhan kita kasih undangan khusus. Bahkan Soedjatmoko pusing tujuh
keliling, pada tahun 2000 nanti amat sedikit kemiskinan mutlak bias kita kurangi. Ia suntuk mencari
metode pembangunan demokratik, dan memaket berates wejangan yang entah bagaimana nasibnya di
gerbang pintu imperium bumi maupun bagian-bagiannya.
Tapi kita tidak putus asa. Dari sebuah tempat di Eropa, kita dekap kepingan itu, kita lemparkan
kembali ke gerbang istana --- merekomendasi kementerian kerja sama pembangunan, kementerian pendidikan formal, dan kementerian keadilan sosial dan penanganan kesehatan, untuk menaburkan duit bagi
usaha-usaha pembebasan segala bidang di negara-negara Dunia Ketiga.
Untuk itu kita perlu diskusi kebudayaan dan pembangunan empat hari. Dimulai dengan memperdebatkan kembali definisi kebudayaan, cukup buntu, karena para seminaris ini manusia-manusia ontologis, sedang jutaan orang yang diperbincangkan itu manusia lingkungan lumrah. Akan kita paksa mereka
membebaskan diri secara kita. Kemudian, tentulah, ditelusuri segala segi proses pembebasan, ekonomis,
sosial budaya, politis. Klise pengelasan sosial ekonomi kita putar lagi: hari ini makan kagak? Besok makan
kagak? Besok makan apa, enaknya? Besok makan di mana, asyiknya? Besok makan siapa, sebaiknya?
Pada hari keempat, dipersiapkan lunch yang bukan main mewah, penuh warna-warni, dan artistik.
Untuk itu diperlukan klise baru: Saudara-saudara, entah makanan ini tergolong kelas berapa, tapi toh ini
khusus kalau seminar saja. (Seseorang membisikkan klise: Wah, beginilah kita, kering mulut
mendiskusikan kemiskinan dan penderitaan, lantas pesta). Kemudian klise lagi: makan, berdikit-dikit,
estetis, tapi kenyang. Tertawa, ngobrol, “Wah, bahasa Indonesia itu bunyinya enak, ya? Saya punya katakata mutiara bagus: Matahari, memata-matai hari… Faaantastic! Isn’t it?”
Inti diskusi itu adalah diskusi itu. Inti seminar itu adalah seminar itu. Bagus sekali diskusi kita,
pemilihan orangnya cocok dengan temanya, tapi cukup beragam sehingga tidak stereotip, dari yang paling

kiri sampai yang paling kanan, terfokus tetapi longgar, dinamis, sukses. Selamat, selamat.
Lalu kita menata pakaian, mengangkat kopor, berpelukan satu persatu. Lusa kita mendapat undangan seminar yang lain.
Dan Karto Soto, Karto Bengkel, Karto Luwak, Karto Gathel….

1

Business Name

Cermin
SYAIR TUKANG BAKSO

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu
oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.
Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu
sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.
“Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!” gerutu seseorang.
“Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!” tambah lainnya, dan disambung — “Ya, ya, betul!”
“Jangan marah, ikhwan,” seseorang berusaha meredakan kegelisahan, “ia sekedar mencari makan….”
“Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!” potong seseorang yang lain lagi.
“Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!” sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: “Khauf, rasa
takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada
hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain
menjadi kecil adanya.”
“Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik.
Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso. Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi
tidak takutkah Anda untuk menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada
jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini,
takutkah atau tidak?”
“Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa
lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk
menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua.”
Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati
para peserta pengajian.
“Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari,” Pak Ustadz melanjutkan, “karena kita
masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah,
takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa
menghibur istri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat… Masya Allah, sungguh kita
masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!”


Contact Person
E-Mail
Blog

: skyli e.kakila git@g ail. o
: skyli e-kakila git. logspot. o

Bulei i i dapat A da u duh di:
skyli e-kakila git. logspot. o
2