44803315 etnofarmasi suku tengger kecamatan sukapura kabupaten probolinggo

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan tropika terbesar
kedua di dunia, kaya dengan keanekaragaman hayati dan dikenal sebagai salah satu
negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazilia (Ersam, 2004). Didalamnya
terdapat kurang lebih 40.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut sekitar 1.300
diantaranya digunakan sebagai obat tradisional (Muktiningsih et al., 2001).
Keanekaragaman obat tradisional yang ada memberikan suatu referensi baru terhadap
dunia pengobatan.
Menurut Kuntorini (2005) melonjaknya harga obat sintetis dan efek
sampingnya bagi kesehatan meningkatkan kembali penggunaaan obat tradisional oleh
masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di sekitar. Obat
tradisional dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat secara turun temurun dan sampai
sekarang ini banyak yang terbukti secara ilmiah berkhasiat obat

(Syukur dan

Hernani, 2002). Selain itu obat tradisional tersebut dapat digunakan sebagai dasar

pengembangan obat baru (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Akan tetapi cara-cara pengobatan tradisional tidak dicatat dengan baik karena
teknik pengobatannya diajarkan secara lisan (Rosita et al., 2007), sehingga dalam
perkembangannya banyak teknik pengobatan lama yang hilang atau terlupakan. Hal
tersebut mendorong untuk dilakukannya upaya pemanfaatan dan pelestarian
pengetahuan masyarakat atau suku tentang pengobatan tradisional yang telah
dilakukan secara empiris. Upaya tersebut mulai dari inventarisasi, pemanfaatan, budi
daya sampai dengan penggalian kembali pengetahuan suku lokal tentang obat
tradisional (Darmono, 2007).
1

2

Langkah awal yang sangat membantu untuk menggali pengetahuan suku lokal
terhadap resep tradisional berkhasiat obat yaitu dengan berbagai pendekatan secara
ilmiah (Kuntorini, 2005). Salah satu pendekatan tersebut adalah etnofarmasi (Pieroni
et al., 2002). Pendekatan etnofarmasi telah dilakukan di berbagai suku di Indonesia,
diantaranya yang telah diterapkan pada masyarakat lokal Suku Muna Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Utara (Windadri et al, 2006), dan di sekitar
kawasan Gunung Gede Pangrango (Rosita et al, 2007). Keduanya mendapatkan resep

tradisional dari pengetahuan suku lokal tersebut.
Tengger sebagai salah satu suku di Indonesia, menurut Sutarto (2009)
masyarakatnya masih bersikukuh dengan tradisi yang diwarisi dari para
pendahulunya. Tradisi tersebut antara lain upacara Kasada, upacara Karo, Upacara
Unan-Unan dan masih banyak lagi upacara lain yang sampai sekarang masih
dijalankan dengan norma-norma sosial yang tetap terjaga. Salah satu norma sosial
yang ada adalah interaksi Suku Tengger dengan alam sekitar yang terdapat banyak
sumberdaya alamnya. Sumberdaya alam tersebut berada dalam kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru yang berupa fenomena Kaldera Tengger dengan
lautan pasir yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan
Gunung Semeru, keragaman flora langka dan endemik serta potensi hidrologis yang
tinggi termasuk keberadaan 6 buah danau alami yang indah (Hidayat dan Risna,
2007). Keadaan alam yang ada mampu menarik banyak wisatawan domestik maupun
mancanegara datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Wisatawan umumnya membawa peradaban modern yang dapat menggeser
sejumlah pengetahuan lokal masyarakat (Windadri et al., 2006). Hal ini dapat
menyebabkan pengetahuan tentang tumbuhan obat

pada masyarakat atau Suku


Tengger juga mengalami erosi (hilang). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
etnofarmasi di suku Tengger agar kelestarian pengetahuan maupun penggunaan obat
tradisional tetap terjaga dan dapat digunakan sebagai referensi dasar pengembangan
bahan obat baru.

3

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Tumbuhan, hewan dan bahan mineral apa yang dimanfaatkan sebagai bahan obat
tradisional oleh Suku Tengger?
2. Bagaimana cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral tersebut
sebagai obat tradisional?
3. Berapa persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan, dan
bahan mineral tersebut sebagai obat tradisional?
1.3 Tujuan
Penelitian di lingkungan Suku Tengger ini bertujuan untuk:
1. Melakukan inventarisasi tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan
Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.

2. Mengetahui cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral untuk
pengobatan.
3. Mengetahui persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan, hewan,
dan bahan mineral tersebut sebagai obat
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan membawa manfaat antara lain:
1. Memberikan informasi mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang
digunakan oleh Suku Tengger sebagai bahan obat tradisional.
2. Memberikan informasi cara penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral
tersebut untuk pengobatan.
3. Memberikan informasi persentase pengetahuan atau penggunaan setiap tumbuhan,
hewan, dan bahan mineral tersebut sebagai obat
4. Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai Etnofarmasi Suku Tengger
dan pengembangan obat di Indonesia.

4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Etnofarmasi

Sebagian besar peneliti di berbagai negara di dunia menyadari bahwa sukusuku terasing memiliki berbagai kearifan, pengetahuan, dan pengalaman yang
bermakna besar bagi manusia dalam masyarakat modern. Kedekatan mereka dengan
alam, pengetahuan mengenai tumbuhan yang bergizi atau mengandung berbagai zat
yang dapat mengobati berbagai penyakit dan keberhasilan masyarakat untuk
mempertahankan eksistensinya dari generasi ke generasi merupakan sesuatu yang
mengandung banyak pelajaran bagi manusia dan masyarakat modern (Rosita et al.,
2007).
Secara etnografi masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa ratus suku yang
masing-masing mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Hal itu tampak dari
bahasa, adat-istiadatnya dan

pengetahuan lokal tradisional dalam memanfaatkan

tumbuhan obat. Pengetahuan tumbuhan obat ini spesifik bagi setiap etnis, sesuai
dengan kondisi lingkungan tempat tinggal masing-masing suku atau etnis
(Muktiningsih et al., 2001).
Etnofarmasi berasal dari kata etno dan farmasi. Etno adalah suku atau
kelompok, sedangkan farmasi adalah ilmu yang mempelajari tentang obat obatan.
Menurut Pieroni et al, (2002) Etnofarmasi adalah gabungan disiplin ilmu yang
mempelajari tentang hubungan antara kebiasaan kultur dalam suatu kelompok

masyarakat ditinjau dari sisi farmasetisnya. Oleh sebab itu akan melibatkan studi
identifikasi, klasifikasi dari produk natural (etnobiologi), preparasi secara farmasetis
(etnofarmasetis) dan efek yang diklaim (etnofarmakologi) beserta aspek pengobatan
secara sosial (etnomedisin).

4

5

Penelitian etnofarmasi difokuskan pada sebuah komunitas untuk menemukan
kembali “ Resep” tradisional dan mencoba mengevaluasinya baik secara biologis
maupun secara kultural (Pieroni et al., 2002). Dalam pendekatannya dengan
masyarakat, etnofarmasi sama dengan etnografi yang menjadikan pengamat terlibat
dalam kebudayaan yang sedang diteliti (Haviland, 1999). Oleh sebab itu akan
didapatkan referensi untuk pengembangan atau penemuan obat baru yang berasal dari
komunitas atau etnis tertentu.
Pieroni et al, (2002) telah melakukan penelitian mengenai Etnofarmasi pada
Etnis Albanian di utara Basilicata Italia. Ditemukan lima puluh empat tumbuhan yang
digunakan sebagai obat, dari tumbuhan yang didapatkan terdapat bermacam-macam
cara penggunaan dan kegunaannya. Di Indonesia penelitian pemanfaatan tumbuhan

obat oleh suku atau masyarakat juga pernah dilakukan. Windadri et al, (2006)
melakukan penelitian di masyarakat lokal suku Muna Kecamatan Wakarumba,
Kabupaten Muna, sulawesi Utara, dan didapatkan enam puluh satu tanaman sebagai
obat oleh suku lokal tersebut. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Rosita et al,
(2007), didapatkan delapan puluh tanaman berkhasiat obat menurut masyarakat di
sekitar kawasan Gunung Gede Pangrango.
2.2 Pengobatan Tradisional
Tumbuhan telah lama diketahui sebagai salah satu sumber daya yang sangat
penting dalam upaya pengobatan dan mempertahankan kesehatan masyarakat.
Sejarah awal suatu tumbuhan sulit untuk ditelusuri sebagai obat, meskipun demikian
ada pendapat bahwa suatu tumbuhan digunakan sebagai obat didasarkan pada tandatanda fisik (bentuk, warna, rasa) yang ada pada tumbuhan atau bagian tumbuhan
tersebut, dan tanda-tanda tersebut diyakini berkaitan dengan tanda-tanda penyakit
atau tanda-tanda penyebab penyakit yang akan diobatinya ( Gana et al., 2008).
Adapun yang dimaksud dengan obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan
bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau
campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk

6

pengobatan berdasarkan pengalaman masyarakat (Katno dan Pramono, 2009), dan

pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar
dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional
(OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO) karena sebagian besar OT
berasal dari TO.
Penggunaan suatu tumbuhan sebagai obat tradisional di Indonesia telah
dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Obat tradisional
tersebut telah digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia secara turun menurun
(Zein, 2005). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya naskah lama pada daun lontar
Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat
Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang nDalem dan relief candi Borobudur
yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai
bahan bakunya (Sukandar, 2009).
Menurut Sari (2006) penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih
aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional
tersebut memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.
Bahkan sampai saat inipun menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80%
penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional
termasuk penggunaan obat yang berasal dari tumbuhan (Radji, 2005).
Banyak penyakit dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional, seperti
halnya pada penyakit malaria yang di Indonesia banyak menggunakan tumbuhan

seperti sambiloto, pule, brotowali dan johar yang dapat mencegah kerusakan hati,
limpa dan meningkatkan imunitas dibandingkan obat modern (Zein, 2005). Selain
malaria, pengobatan batu ginjal juga menggunakan tumbuhan obat dan relatif aman.
Tanaman yang digunakan untuk pengobatan batu ginjal seperti: asam jawa
(Tamarindus indica),

belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi),

dan sambiloto

(Andrograpidis paniculata) yang mengandung bahan aktif kalium dan berguna
sebagai peluruh batu ginjal dan terbukti berkhasiat dibandingkan obat modern
(Wakidi, 2003).

7

Dilihat dari kemanjurannya atau manfaat sebagai bahan pengobatan, obat
tradisional tergantung dari beberapa hal antara lain: kebenaran bahan, ketepatan
dosis, ketepatan waktu penggunaan, ketepatan cara penggunaan, ketepatan telaah
informasi, dan tanpa penyalahgunaan obat tradisional itu sendiri (Sari, 2006).

Semakin tepat atau baik dalam penggunaan atau pemilihan bahan, maka kemanjuran
atau manfaat pengobatan akan didapatkan.
2.2.1 Kelebihan dan Kelemahan Obat Tradisional
Dibandingkan obat-obat modern, OT/TO memiliki beberapa kelebihan dan
kelemahan. Kelebihannya antara lain: efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu
ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu
tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakitpenyakit metabolik dan degeneratif. Sedangkan kelemahannya yaitu: efek
farmakologis yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta
volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis
mikroorganisme (Katno dan Pramono, 2009).
Lemahnya efek farmakologis dikarenakan rendahnya kadar senyawa aktif
dalam bahan obat alam serta kompleknya senyawa yang umum terdapat pada
tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil
ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang berguna dan
membatasi sekecil mungkin senyawa yang ikut tersari. Demikian juga dengan sifat
bahan baku yang higroskopis dan mudah terkontaminasi mikroba, perlu penanganan
pascapanen yang benar dan tepat (seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi,
pengubahan bentuk, pengepakan serta penyimpanan).
Untuk mengurangi kelemahan tersebut, para ahli telah menempuh berbagai
cara pendekatan agar dapat ditemukan bentuk obat tradisional yang ideal. Dengan

demikian didapatkan obat tradisional yang telah teruji khasiat dan keamanannya.
Pendekatan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok obat fitoterapi atau
fitofarmaka (Katno dan Pramono, 2009).

8

2.3 Tinjauan Tentang Suku Tengger
2.3.1 Keadaan Geografis
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) ditetapkan menjadi
kawasan taman nasional sejak Oktober 1982 berdasarkan Surat Pernyataan Menteri
Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman
nasional karena memiliki potensi kekayaan alam yang tidak saja besar namun juga
unik. Kekayaan alam tersebut berupa fenomena Kaldera Tengger dengan lautan pasir
yang luas, pemandangan alam dan atraksi geologis Gunung Bromo dan Gunung
Semeru (Hidayat et al., 2007). Jumlah luas keseluruhan TN-BTS ialah 50.273,30 ha,
didalamnya terdapat pegunungan, dan juga terdapat 4 buah danau (ranu) masingmasing : Ranu Pani (1 ha), Ranu Regulo (0,75 ha), Ranu Kumbolo (14 ha) dan Ranu
Darungan (0,5 ha), (Dephut, 2009a).
TN-BTS terletak pada 70 54’-80 13’ LS dan 1120 51’-1130 04’ BT. Adapun
kondisi fisik wilayah tersebut terletak pada ketinggian 750-3.676 m dari permukaan
laut (dpl). Gunung Bromo menjulang dengan ketinggian 2.392 m dpl dan Gunung
Semeru dengan ketinggian 3.676 m dpl. Kondisi tanah adalah regosol dan litosol, dan
warna tanah kelabu, coklat, coklat kekuning-kuningan sampai putih dan suhu udara
antara 30C sampai 200C (Sudiro, 2001). Keadaan topografi bervariasi dari
bergelombang dengan lereng yang landai sampai berbukit bahkan bergunung dengan
derajat kemiringan yang tegak dengan curah hujan rata-rata 6.604 mm/tahun dan
memiliki tipe ekosistem sub montana dan sub alphin dengan pohon-pohon yang besar
dan tinggi berusia ratusan tahun (Dephut, 2009a).
Suku Tengger berada di TN-BTS dan merupakan suku asli yang beragama
Hindu (Dephut, 2009a). Wilayah yang dimasukkan ke dalam “Desa Tengger” yaitu
desa-desa dalam wilayah 4 kabupaten yang mayoritas penduduknya beragama Hindu
dan masih memegang teguh adat-istiadat Tengger, dan desa-desa yang dimaksud yaitu
Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan
Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono,

9

Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo,
Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), dan
Argosari serta Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang) (Sutarto,
2009).

Gambar 2.1 “Desa Tengger” yang masyarakatnya mayoritas beragama Hindu Tengger

Saat ini, desa yang termasuk dalam “ Desa Tengger” hanya desa-desa yang
berada di Kecamatan Sukapura (Gambar 2.1) yang masyarakatnya mayoritas masih

10

beragama Hindu Tengger. Desa-desa di kawasan Tosari, Ranu Pani dan yang lain
sudah mengalami Islamisasi (Sutarto 2009. Komunikasi pribadi). “ Desa Tengger”
yang pada awalnya berjumlah tujuh belas desa yang tersebar diempat Kabupaten,
sekarang tinggal lima desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak, Desa
Wonotoro, Desa Ngadisari, yang berada di Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo. Pada bulan Maret 2003 “desa Tengger” berpenduduk 6274 jiwa yang
tersebar di Desa Ngadirejo 2750 jiwa, Desa Ngadas 685 jiwa, Desa Jetak 559 jiwa,
Desa Wonotoro 717 Jiwa, dan Desa Ngadisari 1563 jiwa (Sutarto, 2007).
2.3.2 Sejarah Suku Tengger
Sejarah suku Tengger menurut Sutarto (2009) sebagai berikut:
Kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru tidak banyak memiliki
data kepurbakalaan dan kesejarahan yang dapat mengungkap kehidupan masyarakat
Tengger. Prasasti batu yang pertama kali ditemukan, berangka tahun 851 Saka (929
M), menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di kawasan
pegunungan Tengger, adalah sebuah tempat suci yang dihuni oleh hulun hyang, yakni
orang yang menghabiskan hidupnya sebagai abdi dewata. Prasasti kedua yang
ditemukan, masih dalam abad yang sama, menyatakan bahwa di kawasan ini
penduduknya melakukan peribadatan yang berkiblat kepada Gunung Bromo, dan
menyembah dewa yang bernama Sang Hyang Swayambuwa, atau yang dalam agama
Hindu dikenal sebagai Dewa Brahma. Pada tahun 1880 seorang perempuan Tengger
menemukan sebuah prasasti yang terbuat dari kuningan di daerah Penanjakan yang
termasuk Desa Wonokitri, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini berangka tahun 1327
Saka atau 1407 M yang menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandhit dihuni
oleh hulun hyang atau abdi dewata, dan tanah di sekitar Walandhit disebut hila-hila
atau suci. Warga desa Walandhit dibebaskan dari kewajiban membayar titileman,
yakni pajak upacara kenegaraan karena mereka berkewajiban melakukan pemujaan
terhadap Gunung Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan.

11

Prasasti Walandhit menunjukkan bahwa kawasan Bromo-Tengger-Semeru
sudah berpenghuni sejak Kerajaan Majapahit masih berjaya. Oleh karena itu, adanya
keyakinan bahwa nenek moyang orang Tengger adalah pengungsi dari Majapahit
perlu dikaji ulang. Ada dua kemungkinan yang perlu dipertimbangkan, pertama
meskipun orang Walandhit bukan keturunan Majapahit, kegiatan beragama Suku
Tengger tidak berbeda jauh atau mungkin sama dengan warga kerajaan Majapahit
pada umumnya, yaitu melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bercorak HinduBudha. Kemungkinan kedua, masyarakat Walandhit dengan suka cita menerima para
pengungsi dari Majapahit yang terdesak oleh ekspansi Kerajaan Islam Demak,
terutama setelah Karsyan Prawira dan daerah sekitarnya berhasil diislamkan oleh
tentara Demak pada abad ke-16 M. Para pengungsi dari Majapahit tersebut kemudian
menyatu dan menurunkan orang Tengger yang kita kenal sampai sekarang. Pada
waktu itu daerah pedalaman termasuk dataran tinggi Tengger, belum sempat direbut
oleh tentara Demak.
Suku Tengger sekarang begitu yakin bahwa nama Tengger berasal dari paduan
dua suku kata teakhir dari nama nenek moyang mereka, yaitu Rara Anteng (TENG)
dan Jaka Seger (GER). Rara Anteng dipercaya sebagai putri Raja Brawijaya V dari
Kerajaan Majapahit dan Jaka Seger, putra seorang brahmana yang bertapa di dataran
tinggi Tengger. Di samping itu, orang Tengger juga menegaskan bahwa kata Tengger
mengacu kepada pengertian Tengering Budi Luhur (Tanda Keluhuran Budi Pekerti).
Walaupun semua prasasti belum dapat mengungkapkan sejarah yang jelas mengenai
asal mula suku Tengger, namun adat dan kebudayaan tetap terjaga sampai sekarang.
Pemuka adat atau dukun di Suku Tengger merupakan para pewaris aktif
tradisi Tengger. Berdasarkan Sudjatno (1994), dukun bagi Suku Tengger adalah
pemuka masyarakat yang berperan sebagai pusat nilai-nilai. Peran yang setrategis itu
menyebabkan dukun dijadikan sebagai panutan masyarakat, pemimpin religi, agen
perubahan, dan juga sebagai pusat konsultasi masyarakat dan biasa disebut dukun
gedhe (dukun besar). Sedangkan dukun yang dapat menyembuhkan dan membuat
orang menjadi sakit adalah dukun cilik (dukun kecil) (Sutarto, 2007). Saat ini,

12

keberadaan dukun cilik

(Batra) di Kecamatan Sukapura sudah tidak ditemukan

(Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis pada bulan Mei 2009), sehingga
diperlukan kembali penggalian pengetahuan pengobatan tradisional di Suku Tengger
untuk pelestarian keanekaragaman budaya suku bangsa.
2.3.3 Kehidupan Suku Tengger
Menurut Sutarto (2009) identitas Suku Tengger terkesan problematis dan
membuat banyak orang tertipu, karena Suku Tengger bukan suku primitif, suku
terasing, atau suku lain yang berbeda dari suku Jawa. Hal tersebut dilihat dari tata
kehidupan yang dijalani oleh Suku Tengger, seperti penggunaan sepeda motor sebagai
alat transportasi, media elektronik televisi dan radio yang hampir semua keluarga
memiliki, demikian juga alat komunikasi Handphone yang hampir semua kalangan
muda juga memilikinya. Imajinasi dan eksotisme masal modern yang ditangkap
melalui media elektronik yang dimiliki Suku Tengger hanya membuat Suku Tengger
terhenyak dan terkagum-kagum tetapi belum terpengaruh oleh gaya hidup orangorang atau tokoh-tokoh yang mereka lihat melalui media tersebut.
Sebagian besar Suku Tengger masih memposisikan dirinya sebagai wong
gunung (orang yang tinggal di gunung) yang berbeda dari wong ngare (orang yang
bertempat tinggal di tempat rata, di dataran rendah atau di kota). Di mata wong
gunung, wong ngare itu penuh kesenjangan, banyak yang kaya, tetapi banyak pula
yang miskin, tidak memiliki tanah. Menurut wong gunung, wong ngare itu lebih suka
menyendiri dan membedakan status. Wong ngare sering menilai seseorang dari
pangkatnya. Sebaliknya, bagi wong gunung, semua orang dianggap sama (padha) dan
satu keturunaan (sakturunan). Karena padha dan sakturunan, maka dalam kehidupan
wong gunung tidak dikenal istilah kongkon (menyuruh) orang lain. Istilah yang
dikenal adalah bantu kuwat yakni memberi bantuan kepada tetangganya karena beban
pekerjaan tetangga tersebut terlalu berat (Sutarto, 2009). Begitu juga dengan
semangat pluralisme yang diejawantahkan melalui sikap budaya dan agama membuat
Suku Tengger terbebas dari konflik yang berdimensi etnis dan keagamaan

13

Kejujuran dan ketulusan Suku Tengger masih dapat dilihat sampai saat ini,
dengan angka kejahatan di desa-desa Tengger pada umumnya hampir tidak ada.
Suasana damai, tenteram, aman, dan penuh toleransi tercermin dalam kehidupan
sehari-hari Suku Tengger. Galba et al, (1989) menambahkan bahwa Suku Tengger
menjaga hubungannya dengan alam dan mencintai alam lingkungan tempat mereka
tinggal dengan cara mereka memanfaatkannya sebagai lahan pertanian dan bertani
dengan baik. Dalam hal ini,Suku Tengger tidak merusak hutan untuk dijadikan ladang
atau untuk diambil kayunya atau membuang sampah secara sembarangan yang akan
berakibat pada pencemaran lingkungan lahan pertanian. Hal ini telah diketahui Suku
Tengger untuk menjaga agar tidak terjadi erosi di hutan dan mencegah terjadinya
banjir.
Dalam menjaga keselarasan antara alam dan kehidupan manusia, Suku
Tengger juga mengadakan serangkaian upacara. Upacara Kasodo merupakan salah
satu upacara untuk menjaga keselarasan alam, yaitu menjaga agar Dewa tidak marah
sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti gunung meletus, tanah
menjadi tidak subur, panen gagal dan sebagainya (Galba et al., 1989).
Suku Tengger juga dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh. Ketika
hasil pertanian mengalami harga yang tidak stabil dan biaya operasional yang tinggi
dalam pengolahan pertanian, tidak menyusutkan semangat Suku Tengger dalam
mengelola dan mempertahankan tradisi sebagai petani tradisional. Hal ini terlihat dari
persentase Suku Tengger yang bermata pencaharian sebagai petani sebanyak 95%
(Sutarto, 2009). Dengan demikian, kegiatan pertanian menyatu dalam kehidupan
sehari-hari Suku Tengger.

2.3.4 Flora dan Fauna di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
a. Flora

14

Di wilayah TN-BTS terdapat kurang lebih 600 jenis flora, dan yang banyak
dijumpai antara lain mentigi (Vaccinium varingaefolium), akasia (Acacia decurrens),
kemlandingan gunung (Albisia lophanta), cemara gunung (Casuarina junghuniana)
dan adas (Funiculum vulgare). Begitu juga di hutan Semeru bagian selatan terdapat
157 jenis anggrek seperti Malaxis purpureonervosa, Maleola witteana dan Liparis
rhodochila. Di samping jenis-jenis di atas terdapat pula jenis tumbuhan pegunungan
Tengger di antaranya pakis uling (Cyathea tenggeriensis), putihan (Buddleja
asiatica), senduro (Anaphalis sp.) dan anting-anting (Fuchsia magallanica), jamuju
(Dacrycarpus imbricatus), cemara gunung (Casuarina sp.), eidelweis (Anaphalis
javanica), berbagai jenis anggrek dan jenis rumput langka (Styphelia pungieus)
(Dephut, 2009b).
Hidayat dan Risna (2007) menemukan 13 jenis tumbuhan obat di resort Ranu
Pani, Senduro dan Pronojiwo. Tiga jenis diantaranya termasuk kategori tumbuhan
obat langka yaitu pronojiwo (Euchresta horsfieldii), pulosari (Alyxia reinwardtii) dan
sintok (Cinnamomum sintoc) di kawasan TN-BTS, dan satu jenis tumbuhan obat
langka yaitu purwoceng (Pimpinella pruatjan) ditemukan di perkebunan penduduk.
b. Fauna
Di TN-BTS terdapat sekitar 137 jenis burung, 22 jenis mamalia dan 4 jenis
reptilia. Sedikit jenis mamalia yang dapat dijumpai, di antaranya babi hutan (Sus
scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), trenggiling
(Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), budeng (Presbytis cristata) dan
beberapa jenis mamalia kecil lainnya (Dephut, 2009b).
Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di TN-BTS antara lain luwak
(Pardofelis marmorata), rusa (Cervus timorensis ), kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), kijang (Muntiacus muntjak ), ayam hutan merah (Gallus gallus), macan
tutul (Panthera pardus ), ajag (Cuon alpinus ) dan berbagai jenis burung seperti alapalap burung (Accipiter virgatus ), rangkong (Buceros rhinoceros silvestris), elang ular
bido (Spilornis cheela bido), srigunting hitam (Dicrurus macrocercus), dan elang
bondol (Haliastur indus) yang hidup di Ranu Pani, Ranu Regulo, dan Ranu Kumbolo

15

(Dephut, 2009a). Hewan lain yaitu kupu-kupu yang ditemukan di Hutan Ireng-ireng
wilayah konservasi Senduro Lumajang kawasan TN-BTS. Ditemukan sebanyak 31
species dan sub species yang berasal dari 21 genus dalam delapan famili. Satu species
dilindungi undang-undang di Indonesia yaitu Troides Helena (Suharto et al., 2005).
2.3.5 Pengetahuan Suku Tengger Tentang Flora -Fauna dan Manfaatnya
a. Pengetahuan Flora
Keadaan alam sebagaimana yang telah diuraikan, terutama dari jenis tanah,
keadaan tanah, dan suhu udara daerah Tengger akan mempengaruhi dan sangat
menentukan keberadaan jenis tumbuhan yang dapat tumbuh subur secara alami.
Tumbuh-tumbuhan yang dapat hidup subur di kawasan Tengger sangat beragam,
mulai dari tanaman pohon yang besar sampai tanaman herba dan tergolong kecil.
Tanaman pohon, seperti akasia, cemara gunung, bambu dapat dijumpai di sekitar
pegunungan Tengger. Sedangkan tanaman herba, termasuk jenis sayuran sangat
beragam, misalnya kentang, kubis, wortel, jagung, ubi ketela, bawang putih, bawang
prei, sawi, dan tomat yang merupakan hasil pertanian Suku Tengger (Sutarto, 2009).
Dahulu, jagung merupakan tanaman pokok Suku Tengger, tetapi saat ini tidak
banyak ditanam lagi. Hal ini disebabkan karena nilai ekonominya rendah, oleh sebab
itu Suku Tengger menggantinya dengan sayur-sayuran yang nilai ekonominya tinggi.
Meskipun demikian, masih dapat dijumpai di beberapa wilayah Suku Tengger masih
menanam jagung di lahan pertaniannya, karena tidak semua Suku Tengger mengganti
makanan pokoknya dengan beras. Bahkan sampai sekarang nasi aron Tengger (nasi
jagung) masih tercatat sebagai makanan tradisional dalam khazanah kuliner
Nusantara (Sutarto, 2009).
Selain hasil pertanian, Suku Tengger juga menanam cemara, pinus, pakis, dan
akasia yang dapat menahan longsoran tanah (Sutarto, 2009). Selain itu, dalam
kesehariannya Suku Tengger mempergunakan batang dan ranting pohon cemara
untuk bahan bakar dapur (pawon), dan berdiang (gegeni) untuk mengatasi hawa
dingin.

16

b. Pengetahuan Fauna
Suku Tengger sebagian besar memiliki sapi, kerbau, kambing, kuda, dan ayam
sebagai binatang ternak (Depdikbud, 1997). Binatang ternak tersebut dagingnya
digunakan untuk dikonsumsi, dijual untuk kebutuhan rumah tangga dan dipakai untuk
keperluan selamatan atau upacara adat. Sedangkan kotorannya sengaja dikumpulkan
untuk pupuk kandang pada lahan pertanian mereka.
Binatang ternak dipelihara dengan dibuatkan kandang tersendiri yang terpisah
jauh dari rumah pemukiman penduduk. Hewan ternak tersebut tidak dilepas supaya
tidak mengganggu dan merusak tanaman atau lahan pertanian. Rumput gajah
biasanya digunakan sebagai makanan ternak setiap hari, karena makanan ternak ini
tidak sulit diperoleh dan umumya banyak ditanam di tegalan atau di pekarangan
penduduk.
Suku Tengger menggunakan hasil pertanian dan ternak untuk dikonsumsi,
dijual, dan digunakan untuk upacara adat. Hal ini dapat dilihat pada upacara Kasodo
yang mempersembahkan hasil pertanian dan ternak untuk dipersembahkan ke
Gunung Bromo setiap setahun sekali. Hasil pertanian dan ternak di tempatkan pada
sebuah Ongkek (alat sesaji yang terbuat dari kayu dan bambu petung yang dapat
dipikul) yang berisi jagung, bawang merah, kubis, pisang, kentang, dan kadangkadang padi, dan kelapa, dan juga kambing, ayam, angsa, itik, serta burung. Ongkek
biasanya diberi hiasan bunga dan janur kuning agar kelihatan indah. Untuk
persembahan yang lain seperti pada upacara Karo, Unan-unan, Entas-entas Suku
Tengger menggunakan Kerbau sebagai hewan kurban dan juga kemenyan digunakan
dalam selamatannya (Sutarto, 2007).

BAB 3. METODE PENELITIAN

17

3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang menggunakan metode
kualitatif

dan

kuantitatif.

Metode

kualitatif

digunakan

untuk

mengetahui

pengggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau digunakan
Suku Tengger sebagai obat, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan atau penggunaan tumbuhan, hewan, dan bahan
mineral sebagai obat (Sudjatno, 1994).
3.2 Tempat Dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan
Ngadisari Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli – Desember tahun 2009.
3.3 Populasi Dan Sampel
3.3.1 Populasi
Suku Tengger di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari
Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
3.3.2 Sampel
Suku Tengger yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan, hewan, dan
bahan mineral dalam pengobatan tradisional.
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

17

18

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Snowball
Sampling. Dengan menentukan sampel awal kemudian menentukan sampel
berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh (Suharyanto et al., 2009). Dalam
metode sampling dimulai dengan kelompok kecil yang diminta untuk menunjukkan
kawan masing-masing. Kemudian kawan-kawan itu diminta pula menunjukkan
kawannya masing-masing lainnya, dan begitu seterusnya sehingga kelompok itu
bertambah besar bagaikan bola salju (Snowball) yang kian bertambah besar bila
meluncur dari puncak ke bawah (Soeratno, 1993).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data didapatkan melalui wawancara semi-structured dan
structured dengan informan yang mengetahui atau menggunakan tumbuhan sebagai
obat (Pieroni et al., 2002), dengan menggunakan tipe pertanyaan open-ended
(Notoatmodjo, 2002). Teknik tersebut lazim digunakan dalam penelitian etnobotani
(Cotton, 1996). Apabila dimungkinkan juga menerapkan teknik observasi langsung
(participant observation) dengan mengikuti sebagian aktivitas sehari-hari penduduk.
Setiap jenis tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang dimanfaatkan sebagai
bahan obat dicatat nama lokal, bagian yang digunakan, cara penggunaan, dan
kegunaannya. Jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang belum diketahui nama ilmiahnya
diambil contoh herbariumnya untuk keperluan identifikasi.
3.5 Instrumen Penelitian
Alat atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
alat-alat pedoman wawancara (kuisioner) serta sarana dokumentasi (kamera dan alat
perekam).

3.6 Rancangan Penelitian

19

Rancangan penelitian yang diterapkan
Sa1
Pa

S

Sn

Sa2
Sast
Sb1

Pb

S

Sn

Sb2
Sbst
Sc1

P

Pc

S

Sn

Sc2
Scst
Sd1

Pd

S

Sn

Sd2
Sdst
Se1

Pe

S

Sn

Se2
Sest

Gambar 3.1 Rancangan penelitian untuk pengambilan data
P
Pa
Pb
Pc
Pd
Pe
Sn

= Populasi
= Populasi desa Ngadas
= Populasi desa Jetak
= Populasi desa Wonotoro
= Populasi desa Ngadirejo
= Populasi desa Ngadisari
= Pengambilan Snowball

D

20

S
Sa1
Sa2
Sast
Sb1
Sb2
Sbst
Sc1
Sc2
Scst
Sd1
Sd2
Sdst
Se1
Se2
Sest
D

= Sampel
= Sampel desa Ngadas 1
= Sampel desa Ngadas 2
= Sampel desa Ngadas seterusnya
= Sampel desa Jetak 1
= Sampel desa Jetak 2
= Sampel desa Jetak seterusnya
= Sampel desa Wonotoro 1
= Sampel desa Wonotoro 2
= Sampel desa Wonotoro seterusnya
= Sampel desa Ngadirejo 1
= Sampel desa Ngadirejo 2
= Sampel desa Ngadirejo seterusnya
= Sampel desa Ngadisari 1
= Sampel desa Ngadisari 2
= Sampel desa Ngadisari seterusnya
= Data

3.7 Prosedur Penelitian
Prosedur kerja dimulai dari persiapan penelitian hingga Analisis hasil meliputi
tahap-tahap sebagai berikut:
3.7.1 Menentukan sampel
Sampel yang dipilih berdasarkan teknik pengambilan sampel (Snowball
Sampling).
3.7.2 Interview Informan
Berdasarkan Pieroni et al, (2002) interview yang digunakan dalam
penelitian bersifat semi-structured dan structured. Pieroni et al, (2002) menyebutkan
bahwa tahap pertama dari studi lapangan yang dilakukan, para informan ditanya
apakah menggunakan tumbuhan, hewan, dan bahan mineral obat dan pengobatan
natural, kemudian informasi spesifik selanjutnya didapatkan dengan menggunakan
wawancara yang terstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih komplek,
informan ditanya secara spesifik untuk menjelaskan metode dan cara preparasi dari

21

pengobatan yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan menggunakan media
kuisioner.
Kuisioner tersebut akan menjadi acuan dari pertanyaan yang akan diberikan
kepada informan dan disertai dengan dokumentasi yang mendukung keabsahan
kuisioner tersebut. Kuisioner yang diberikan berisikan tentang: nama tumbuhan,
nama

hewan,

bahan

mineral,

penyakit

yang

diobati,

cara

penggunaan

(dimakan/diminum, penggunaan luar/oles), bagian tumbuhan yang digunakan (akar,
daun, kulit batang, kayu, bunga, biji, buah, kulit buah dan bagian lainnya), cara
meramu obat (komposisi, digosok, direbus, ditumbuk, dihancurkan, dosis).
3.8 Metode Analisis
3.8.1 Pengumpulan Data
Data hasil wawancara disusun seperti tabel 3.1 sampai 3.3
Tabel 3.1 Tabulasi Daftar Tumbuhan yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger
sebagai obat

No

1
2
3

st

Nama Tumbuhan
Lokal

Ilmiah

Kegunaan
Nama Famili
Bagian Tumbuhan Penyakit

Persentase
Pengetahuan

Penggunaan

22

Tabel 3.2 Tabulasi Daftar Hewan yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger sebagai
Obat
No

Nama hewan
Lokal

Nama famili

Persentase

Penyakit

Ilmiah

Pengetahuan

Penggunaan

1
2
3
st
Tabel 3.3 Tabulasi Daftar Bahan Mineral yang Diketahui atau Digunakan oleh Suku Tengger
sebagai Obat
No

Bahan mineral

Penyakit

Persentase
Pengetahuan

Penggunaan

1
2
3

st

3.8.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
a. Analisis Nama Ilmiah Dan Famili
Tumbuhan dan hewan yang digunakan olah Suku Tengger sebagai obat diidentifikasi
di Herbarium Jemberiense Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Jember.
b. Analisis Kegunaan
Dari hasil interview informan diketahui kegunaan tumbuhan, hewan dan bahan
mineral sebagai obat menurut Suku Tengger. Tumbuhan yang diketahui atau
digunakan sebagai obat dilakukan studi literatur dengan pendekatan kemotaksonomi.

23

c. Analisis Persentase Pengetahuan Atau Penggunaan Tumbuhan, Hewan dan Bahan
Mineral
Menurut

Sunarto et al, (1991) persentase pengetahuan atau penggunaan setiap

tumbuhan, hewan dan bahan mineral dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
X

a

=

x 100%

n
Keterangan:
X

= Angka rata-rata

a

= Jumlah jawaban mengenai tumbuhan, hewan, dan bahan mineral yang diketahui atau
digunakan

n

= Jumlah responden

Penulisan data persentase pengetahuan atau penggunaan dari tumbuhan atau hewan
yang digunakan oleh Suku Tengger sebagai obat dalam tabel (Pieroni et al., 2002):
= Informasi yang didapatkan sampai 20%
= Informasi yang didapatkan lebih dari 20%-50%
= Informasi yang didapatkan lebih besar dari 50%

24

3.9 Skema Kerja Penelitian

Mempersiapkan instrumen
penelitian

Menentukan Sampel

Interview narasumber

Analisis data

Pembahasan dan kesimpulan
Gambar 3.2 Skema kerja penelitian

25

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis Penyakit dan Cara Pengobatan
Hasil penelitian pada masyarakat lokal Suku Tengger Kecamatan Sukapura
yang terdiri dari 5 desa yaitu Desa Ngadirejo, Desa Ngadas, Desa Jetak, Desa
Wonotoro, dan Desa Ngadisari dari 29 narasumber terinventarisir 29 jenis penyakit
dengan 60 resep tradisional (Tabel 4.1). Resep tersebut telah digunakan sebagai obat
tradisional secara turun temurun yang didalamnya terdapat berbagai jenis tumbuhan
dan beberapa jenis hewan serta bahan mineral.
Tumbuhan, hewan, serta bahan mineral yang digunakan untuk resep
tradisional dalam bentuk tunggal atau campuran dengan jenis lainnya (ramuan).
Secara tunggal umumnya untuk mengatasi penyakit yang bersifat ringan, misalnya
pada luka dapat diobati menggunakan getah pisang serta menggunakan daun ganjan
(Tagetes signata Bartl.) untuk mengobati mimisan yang penggunaannya dengan
lansung disumpatkan pada hidung. Suku Tengger menggunakan campuran antara
lobak tengger dan jambu wer untuk penyakit yang relatif berat seperti sipilis. Lebih
lanjut tentang penyakit yang timbul, cara peramuan, penggunaan, dan kandungan
yang dimungkinkan berkhasiat obat, dibahas satu persatu berdasarkan penyakit.
4.1.1 Ambeien
Daun Ceplukan pada Suku Tengger digunakan untuk mengobati masalah
ambeien. Daun ceplukan (Physalis angulata L.) ditumbuk halus kemudian dioleskan
di dubur orang yang menderita. Ceplukan (Physalis angulata L.) yang berasal dari
famili Solanaceae menurut Depkes (1995) digunakan sebagai penyembuh penyakit
bisul, borok, kencing manis dengan kandungan didalamnya antara lain asam sitrat,
fisalin sterol/ terpen, saponin, flavonoid, dan alkaloid. Kandungan utama yang aktif
pada bagian daun dan kelopak menurut Sastroamidjojo (1997) adalah fisalin dengan
kegunaannya sebagai diuretikum, dan jika terlalu banyak pemakaiannya maka akan
25

26

menyebabkan pusing. Belum diketahui literature yang menyebutkan bahwa daun
Ceplukan dapat digunakan untuk pengobatan ambeien.
4.1.2 Badan panas
Suku Tengger pada kasus pengobatan badan panas menggunakan banyak
resep tradisional, antara lain:
a. Kunyit dan Sirih
Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Valeton) dari famili Zingiberaceae
ditambah daun Sirih (Piper betle L.) dari famili Piperaceae dalam suatu tempat
kemudian ditumbuk. Jumlah Kunyit dan daun Sirih yang digunakan, Suku Tengger
menggunakan dengan secukupnya. Hasil dari tumbukan yang sudah halus dioleskan
di kening dan pusar dari penderita. Kandungan bahan aktif dari Kunyit (Curcuma
domestica Valeton) antara lain minyak atsiri 3-5%, kurkumin, pati, tanin, dan damar
(Depkes, 1977). Khasiat Kunyit bisa digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit
badan panas (Wijayakusuma et al., 1998), namun belum diketahui literatur yang
menyebutkan bahwa kandungan bahan aktif dari Kunyit yang berfungsi sebagai obat
badan panas.
Sirih (Piper betle L.) mengandung minyak atsiri, kavibetol, estrogel, eugenol,
metaleugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenil propanan, dan tanin (Depkes
1980). Kegunaan yang umum dari Sirih adalah sebagai antiseptik (Asean,1993;
Depkes,1980; Sastroamidjojo,1997). Belum diketahui literatur yang menyebutkan
penggunaan Sirih sebagai antipiretik, namun pada penggunaan Sirih bersama dengan
Kunyit kemungkinan ada kandungan tertentu sehingga terjadi efek farmakologi
sebagai antipiretik.
b. Adas, Dringu, dan Temulawak
Cara peramuan dari Adas (Foeniculum vulgare Mill.), Dringu (Acorus
calamus L.), dan Temulawak (Curcuma xantorrhiza L.) yaitu dengan daun atau bunga
dari adas secukupnya ditambahkan daun Dringu tiga lembar dan rimpang temulawak
secukupnya. Adas, Dringu serta Temulawak dimasukkan pada sebuah wadah dan

27

dihaluskan. Bahan obat yang sudah halus dioleskan pada kening. Cara peramuan dan
pengobatan panas dengan resep tradisional ini sudah lama dikenal oleh Suku Tengger
terutama oleh para Dukun bayi. Pengobatan panas bayi dengan ramuan ini disertai
mantra khusus.
Tumbuhan Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae kandungan
utamanya adalah minyak atsiri yang didalamnya terdapat anethol yang tinggi
(Sastroamidjojo, 1997). Kandungan minyak atsiri dalam tumbuhan famili Apiaceae
sangat banyak dan ada dua komponen utama didalamnya, yaitu anethol dan estragole,
komponen utama tersebut bisa digunakan sebagai antipiretik. Contoh tumbuhan yang
digunakan sebagai antipiretik dari famili Apiaceae lainnya yaitu Pimpinella anisum L,
dan Angelica archangelica L. (Newal et al., 1995).
Dringu (Acorus calamus L.) famili Araceae untuk pengobatan tradisional di
Indonesia sudah tidak asing lagi. Dringu digunakan sebagai pengobatan pada masa
nifas, obat limpa yang membesar, diare dan gigi yang goyang serta insektisida,
dengan kandungan utamanya adalah minyak atsiri 1,5-3,5 % yang didalamnya
terdapat kandungan utama asasilaldehid, eugenol, dan asaron, zat pahit akorin,
amilum dan tanin (Depkes, 1978; Sastroamidjojo, 1997).
Temulawak (Curcuma xantorrhiza L.) dari famili Zingiberaceae mempunyai
kandungan bahan aktif minyak atsiri yang didalamnya terkandung sikloisoren,
mirsen, d kamfer, metilkarbon, zat warna kurkumin (Depkes, 1979). Bahan aktif yang
terkandung pada temulawak dapat digunakan sebagai pengobatan demam atau panas
(Dalimartha, 2000). Campuran Adas, Dringu serta Temulawak yang aktif sebagai obat
panas adalah Adas dan Temulawak, dimungkinkan Dringu mempunyai aktifitas lain
untuk pengobatan badan panas.
c. Daun Dadap
Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) berasal dari famili Fabaceae digunakan
oleh Suku Tengger sebagai obat penyakit panas. Cara peramuan dan penggunaan
daun Dadap yaitu dicuci bersih kemudian ditempelkan di kening penderita panas.
Daun yang ditempelkan dan sudah kering diganti lagi dengan daun yang baru.

28

Kandungan bahan aktif tumbuhan Dadap (Erythrina lythosperma Miq.) antara lain
alkaloid hypaphorine (Sastroamidjojo, 1997), dari kandungan bahan aktif tersebut
daun

dadap

digunakan

sebagai

obat

demam

(antipiretik)

(Depkes,1989;

Sastroamidjojo, 1997).
d. Buah Jeruk Nipis dengan Minyak Kayu Putih
Suku Tengger meramu resep pengobatan tradisional dari perasan buah Jeruk
nipis (Citrus aurantifolia Swingle) ditambah Minyak kayu putih (Melaleuca
leucadendra L.) untuk pengobatan badan panas. Campuran dari Jeruk nipis dan
Minyak kayu putih dioleskan keseluruh badan penderita panas. Buah Jeruk nipis
(Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan bahan aktif synephrine dan Nmethyltyramine, dari kandungan yang ada dapat digunakan

sebagai obat batuk

(Dalimartha, 2000). Belum diketahui literatur yang menyebutkan Jeruk nipis dapat
digunakan sebagai antipiretik, namun dari famili yang sama yaitu pada tumbuhan
Citrus medica Linn. digunakan sebagai antipiretik (Sastroamidjojo, 1997).
Kandungan dari Minyak kayu putih (Melaleuca leucadendra L.) dalam antara
lain minyak atsiri yang terdiri dari sineol 50-65%, α-terpineol, valeraldehida, dan
belzaldehida, dengan kandungan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan
demam, flu dan perut kembung (karminatif) (Wijayakusuma et al., 1998).
e. Daun Bawang Merah, Daun Adas, dan Tepung Beras
Daun Bawang Merah, daun Adas, dan Tepung Beras dihaluskan bersamaan
dalam suatu wadah kemudian dioleskan langsung keseluruh bagian tubuh atau bahasa
jawanya dibobok untuk pengobatan panas. Pengetahuan dan penggunaan dari
tumbuhan bawang merah (Allium ascolanicum L.) dari famili Liliaceae menunjukkan
frekuensi yang cukup baik untuk pengobatan panas badan (antipiretik). Kandungan
bawang merah (Allium ascolanicum L.) didalamnya adalah flavonoid, tannin 1%,
minyak atsiri yang mengandung komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin,
kaemferol, kuersetin, florogusin (Depkes, 1997). Kebanyakan dari famili Liliaceae
digunakan sebagai antiseptik, antibakteri dan ekspektoran (Asean, 1993; Newall et
al., 1995). Literatur yang menyebutkan bawang merah sebagai antipiretik belum

29

ditemukan, namun Rosita et al., (2007) menyebutkan bahwa penggunaan bawang
merah sebagai antipiretik atau pengobatan badan panas digunakan pada Suku lokal di
Gunung Gede Pangarango.
f. Daun Lampes
Tumbuhan lampes (Ocimum sp.) famili Lamiaceae

digunakan sebagai

pengobatan badan panas. Tumbuhan lampes tumbuh liar di pekarangan warga Suku
Tengger. Populasi dari tumbuhan lampes di kawasan Tengger sudah sangat sedikit
sekali, ditandai dengan sangat sulitnya untuk menemukan tumbuhan ini. Tumbuhan
lampes menyerupai tumbuhan mentol dilihat dari bau dan bentuk daun, tetapi lebar
dan tebal daun tidak sama dengan daun mentol. Daun lampes lebih besar dan lebih
tebal dari pada daun mentol. Pada suku Labiatae yang mempunyai rasa dan bau
mentol, mempunyai fungsi sebagai antiseptik dan flatulen (Newal et al., 1995).
g. Calitus
Calitus (Eucalyptus globulus Labill.) famili Myrtaceae digunakan untuk
pengobatan panas. Daun diremas-remas kemudian dioleskan keseluruh badan.
Kandungan aktifnya antara lain: flavonoid eucaliptrin, quercetin, quercitrin, rutin,
minyak atsiri, dan eucalyptol (lineole) 70%-85%, dari kandungan tersebut dapat
digunakan sebagai antiseptik dan ekspektoran (Newal et al., 1995). Belum diketahui
literatur yang menyebutkan calitus dapat digunakan sebagai obat panas, namun jika
didekatkan dengan famili yang sama yaitu tumbuhan kayu putih (Melaleuca
leucadendra L.) maka calitus diduga juga dapat digunakan sebagai bahan obat panas.
4.1.3 Batuk
Kasus penyakit batuk pada Suku Tengger sering terjadi. Bisa dilihat dari
banyaknya jenis resep tradisional yang digunakan untuk pengobatan.
a. Jahe
Jahe (Zingiber officinale Roscoe) dari famili Zingiberaceae sudah sangat
lazim digunakan untuk pengobatan tradisional di Indonesia. Penggunaan Jahe pada
Suku Tengger untuk menyembuhkan batuk. Peramuannya yaitu dengan cara rimpang

30

dari jahe dibersihkan kemudian ditumbuk, jahe yang ditumbuk tidak sampai halus
kemudian disedu dengan air panas. Selain untuk pengobatan batuk, jahe digunakan
sebagai minuman penghangat badan oleh Suku Tengger.
Kandungan bahan aktif Jahe (Zingiber officinale Roscoe) antara lain minyak
atsiri 2-3% mengandung zingiberen, felandren, kamfen, limonen, borneol, sineol,
sitral dan zingiberol, minyak dammar yang mengandung zingeron, dengan kegunaan
dari Jahe sebagai karminatif (Depkes,1978; Newall et al., 1995), selain itu jahe
digunakan sebagai antitusife dan ekspektoran (Asean, 1993; Sastroamidjojo,1997).
b. Buah Jeruk Nipis dan Kecap
Suku Tengger menggunakan Jeruk nipis sebagai obat batuk, dan untuk
penggunaannya ditambahkan bahan lain yaitu kecap. Peramuan obat batuk dengan
buah Jeruk nipis yaitu buah yang sudah tua diperas kemudian ditambahkan kecap dan
air secukupnya. Buah Jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle) memiliki kandungan
bahan aktif synephrine dan N-methyltyramine, dari kandungan yang ada dapat
digunakan sebagai obat batuk (Dalimartha, 2000).
c. Akar Adas
Akar Adas (Foeniculum vulgare Mill.) dari famili Apiaceae direbus kemudian
diambil airnya. Air rebusan akar adas digunakan untuk pengobatan batuk dengan
aturan pemakaian sebanyak tiga kali sehari satu gelas. Kandungan Adas sudah
diterangkan sebelumnya dan dapat digunakan sebagai ekspektoran (Asean,1993).
Kandungan aktif sebagai ekspektoran belum ada literatur yang menjelaskan.
d. Bawang Pre ditambah Garam
Bawang Pre (Allium fistulosum L.) dari famili Liliaceae di bakar kemudian
ditambahkan garam secukupnya. Hasil bakaran yang sudah hampir hangus langsung
dimakan untuk pengobatan batuk. Famili Liliaceae yang bisa digunakan sebagai obat
batuk atau ekspektoran salah satunya adalah Bawang putih (Newall et al., 1995).
Pendekatan kemotaksonomi yang berada pada Genus yang sama dimungkinkan
Bawang Pre juga bisa digunakan sebagai ekspektoran. Penelitian lebih lanjut dari
penggunaan Bawang Pre yang dicanpur dengan garam untuk obat batuk.

31

e. Daun Asam Tengger
Daun Asam Tengger (Radicula armoracia Robinson) famili Brassicaceae
digunakan sebagai obat batuk. Daun dipotong-potong dan cuci dengan air, kemudian
dibungkus dengan daun pisang dan dibakar di perapian sampai layu. Sesudah layu
daun Asam Tengger dimakan langsung. Asam Tengger tidak sama dengan Asam Jawa
(Tamarindus indica L.), Asem Tengger hampir sama dengan Lobak Tengger
(Raphanus raphanistrum L.) yang berasal dari famili Brassicaceae perbedaanya pada
bentuk dan struktur bunganya.
Asem Tengger dapat digunakan sebagai antiseptik, stimulan, diuretik, dan
infeksi saluran pernafasan dengan kandungan aktif dalam herba Asem Tengger antara
lain: fenol, minyak atsiri, asam askorbat, asparagin, enzim peroksidase, resin, dan
gula (Newall et al., 1995), sedangkan kandungan aktif yang ada pada daun antara
lain: kaemferol dan quersetin.
4.1.4 Beri-beri
Penyakit beri-beri jarang sekali muncul pada Suku Tengger, namun di Suku
Tengger terdapat resep tradisional yang selalu dijaga sampai sekarang untuk
pengobatan penyakit beri-beri. Suku Tengger menggunakan Jamur Impes (Bovista
gigantea (Batsch) Gray) famili Lycoperdaceae sebagai pengobatan. Jamur Impes
diambil secukupnya kemudian ditambahkan air dan langsung dioleskan pada bagian
tubuh yang terkena beri-beri. Suku Tengger menyertakan mantra pada waktu
mengoleskannya. Penggunaan yang umum dari Jamur Impes antara lain digunakan
untuk menghentikan pendarahan dan luka yang mengering (Sastroamidjojo,1997).
Belum diketahui literatur yang menyebutkan kandungan dan manfaat dari Jamur
Impes untuk pengobatan beri-beri.
Jamur Impes muncul di daerah Tengger pada waktu musim hujan. Keberadaan
dari Jamur Impes pada musim hujan sekarang ini sangat sulit ditemukan. Menurut

32

masyarakat Suku Tengger, hilangnya Jamur Impes dikarenakan penggunaan dari
bahan kimia untuk tanaman sayur-sayuran. Jamur Impes yang peneliti temui sudah
disimpan salah satu warga Suku Tengger selama kurang lebih 4 tahun. Berukuran
sebesar bola basket berwarna coklat, dengan permukaan seperti debu yang
menyembul keti