teritori geografis dan teritori sosial

KELANGSUNGAN HIDUP DAN
TERITORI SUMBERDAYA
Ruddy Agusyanto
dalam NKRI Dari Masa Ke Masa (Karsidi dkk., ed.). 2012. Bogor: Sains Press.
Adaptasi dan Kelangsungan Hidup
Semua mahkluk hidup (organisma) menghadapi masalah pokok yang sama, yaitu bagaimana
mereka mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, tak terkecuali manusia (Haviland,
1988). Dengan kata lain, untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, semua mahkluk hidup
mempunyai masalah pokok yaitu bagaimana ia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya.
Manusia sebagai mahkluk biologi mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar yang sama dengan
flora dan fauna seperti kebutuhan akan energi/pangan, air, dan udara. Hanya saja yang
membedakan manusia dari mahkluk hidup lainnya (flora dan fauna) adalah cara manusia dalam
memenuhi kebutuhannya dalam rangka menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Artinya, manusia sebagai mahkluk biologi memang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar
yang sama dengan flora dan fauna seperti kebutuhan akan energi/pangan, air, dan udara; tetapi
bagaimana manusia untuk bisa memperoleh energi/pangan dan minuman, menentukan jenis
makanan, cara makan dan minum, menghindari bahaya (tempat berlindung), bereproduksi atau
berketurunan dan seterusnya membuat manusia tidak sekedar sebagai mahkluk biologi (seperti
flora atau fauna). Inilah yang membedakan manusia dengan mahluk hidup/organisma lainnya
(flora dan fauna).

Selain itu, dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia tidak bisa melakukannya
seorang diri, ia memerlukan keberadaan atau bantuan orang lain – sebagai misal dia harus punya
keturunan (reproduksi) untuk menjaga kelangsungan hidupnya (eksistensi) maka ia
membutuhkan orang lain sebagai “pasangan”nya (suami atau istri), bahkan untuk identitas diri
(siapa dirinya) juga memerlukan pengakuan dari orang lain. Berdasarkan hal ini maka manusia –
mau tak mau – harus membina kerjasama dengan manusia lainnya, yang pada akhirnya
membentuk satu kesatuan sosial – baik demi kelangsungan hidup sebagai pribadi (individu) mau
pun kolektif[1] sehingga manusia dalam kehidupannya cenderung hidup mengelompok dan
identitas kolektif menjadi penting. Akhirnya, manusia mempunyai hak-kewajiban (struktur
sosial) dalam kehidupan sosialnya. Oleh karena itu pula, selain sebagai makhluk biologi,
manusia juga digolongkan sebagai mahkluk sosial. Konsekuensinya (sebagai mahkluk sosial), ia
tidak hanya memikirkan kelangsungan hidup pribadinya (dirinya saja) tetapi juga memikirkan
kelangsungan hidup kolektifnya. Oleh karenanya pula selain ada kebutuhan biologi, juga ada
kebutuhan sosial – interaksi dan hubungan sosial – seperti pertemanan atau membentuk keluarga,
keluarga luas dan masyarakat[2] yang harus dijalankan demi kelangsungan hidupnya.

Sementara itu, di sisi lain, upaya manusia, dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya – baik kelangsungan hidup secara pribadi maupun kolektif – juga menuntut
pengembangan pola-pola perilaku yang membantunya untuk dapat memanfaatkan lingkungannya
(baik lingkungan a-biotik. biotik maupun sosial) demi kepentingannya untuk memperoleh

energi/pangan dan bekal hidup lainnya, menghindari bahaya, bereproduksi atau berketurunan dan
lain-lain agar tetap survie. Pedoman-pedoman hidup yang digunakan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup inilah yang disebut dengan kebudayaan.
Oleh karena itu, selain sebagai mahkluk biologi dan mahkluk sosial, maniusia juga digolongkan
sebagai makhluk budaya. Oleh sebab itu manusia memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dengan cara-cara budaya daripada cara-cara biologis, sehingga peluang untuk
mempertahankan hidupnya menjadi lebih besar dibandingkan dengan organisma atau mahluk
hidup lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut pula maka konsep kebudayaan menjadi penting
dalam upaya manusia untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan kenyataan ini, berarti manusia juga – mau tak mau – harus memahami lingkungan
hidupnya – baik lingkungan biotik, a-biotik maupun keberadaan manusia lainnya – dalam rangka
menentukan ketersediaan bahan makanannya, pilihan makanannya, cara mengkonsumsi,
kelangsungan ketersediaan pangannya dan sebagainya demi kelangsungan hidup pribadi dan
“kelompok”nya. Oleh karena itu, konsep adaptasi menjadi penting dalam kebudayaan atau
kehidupan manusia. Artinya, manusia harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya di mana
mereka hidup, yang juga selalu dinamis.
Man has, in all circumstances, tried to adapt his environments. He has always
managed to procure food from the surrounding resources and developed an
adequate knowledge about the resources as well as the technical means to exploit
them for his survival. Quite often he had to compare with other wild animals for

food but he learned how to live in a symbiotic relationship with other
competitors and the resources in varied environments (Bender, 1975).

Oleh karena itu pula dikenal “budaya sasi[3]” yang berupa larangan-larangan untuk
“memanfaatkan” mahkluk hidup (flora dan fauna) dalam periode-periode tertentu karena pada
periode-periode tersebut flora dan fauna yang bersangkutan sedang berada dalam periode
“berkembang biak atau bereproduksi” atau dilarang memasuki area-area tertentu agar tidak
menganggu “keseimbangan hidup” demi kelestarian atas ketersediaan energi/pangan masyarakat
manusia yang tinggal dan hidup di sana. Budaya “sasi” ini merupakan konsep “konservasi
lokal”, yang bisa disebut sebagai etnokonservasi.
Dengan etno konservasi, yaitu dengan mengkeramatkan tempat-tempat seperti goa, pohon besar
dan tua atau tempat-tempat tertentu lainnya, ternyata mereka mampu menjaga “kandungan air”
dalam dunia lain (endo karst) dan menjaga keseimbangan biotik endokarst (bawah tanah). Hal ini
terbukti dari hasil penelitian ilmiah yang mengungkapkan bahwa karst justru merupakan akuifer
air yang baik. Konsep epikarst seperti yang dilontarkan oleh ahli hidrologi karst Mangin (dalam
Falah & Adiardi, 2011) menyebutkan bahwa lapisan batu gamping yang ada di dekat permukaan
karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama. Berdasarkan hasilhasil penelitian tersebut menjadi jelas bahwa kawasan karst memiliki fungsi yang jauh lebih
penting daripada hanya sekedar gundukan bahan galian atau tambang untuk industri, yaitu
sebagai akuifer air alami yang berperan penting terhadap suplai hidrologi bagi daerah sekitarnya.


Sifat alami batu gamping yang memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan dalam
kurun waktu yang cukup lama ini, maka etno konservasi masyarakat setempat mampu menjadi
kawasan karst sebagai pengendali banjir (Agusyanto, 2012).
Adaptasi “timbal-balik” ini menghasilkan “keseimbangan dinamis” antara kebutuhan-kebutuhan
umat manusia dengan potensi-potensi sumberdaya (sumber energi/pangan, air dan udara dan
lain-lain) yang ada di lingkungannya (baik secara langsung mau pun tak langsung – demi
kelangsungan hidup). Dengan demikian, adaptasi budaya yang dimaksud bukan dalam
pengertian superioritas ras[4] melainkan mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang
ditimbulkan oleh organisma/mahkluk hidup pada lingkungannya dan perubahan yang
ditimbulkan oleh lingkungan pada organisma/mahkluk hidup[5] – yang saling mempengaruhi
secara timbal-balik seperti yang ditegaskan oleh Bender. Oleh karena itu, cara-cara pemenuhan
kebutuhan hidup (pengetahuan budaya) harus bersifat adaptif, yaitu sesuai dengan lingkungan
fisik/alam (a-biotik), biotik dan sosial di mana mereka hidup dan tinggal, sehingga peluang untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya menjadi lebih besar.
Pemahaman masyarakat lokal atas lingkungan biotik dan a-biotik ini melahirkan respons adaptif
“timbal-balik” (kebudayaan) melalui tindakan-sikap-perilaku adaptif seperti di atas – bagaimana
mereka harus merespons lingkungan biotik dan a-biotik untuk merumuskan konsep-konsep
strategi pemenuhan kebutuhan hidupnya – yang di dalamnya juga mengandung konsep etno
konservasi. Mereka mempelajari kapan dan harus menanam apa; kapan harus mencari ikan dan
dengan alat seperti apa, serta kapan dan dimana harus berdagang, siapa yang membutuhkan dan

apa yang dibutuhkannya dst sehingga mereka mampu merumuskan strategi-strategi hidup
jangka pendek guna memenuhi kebutuhan sehari-hari – termasuk untuk mengatasi masalah cash
money – serta kebutuhan jangka menengah dan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam konteks
ini, respons adaptif masyarakat lokal ini bisa disebut sebagai etnostrategi. Oleh karena itu
daerah-daerah yang mempunyai karakteristik lingkungan (biotik dan a-biotik) yang mirip akan
berkembang pola kehidupan (kebudayaan) yang serupa dan perbedaan lingkungan merangsang
tumbuhnya perbedaan kebudayaan[6].

Teritori Geografis dan Sosial
Pada masa manusia masih berburu-meramu, manusia sangat tergantung (bisa dikatakan
tergantung secara absolut) pada sumberdaya energi/pangan yang ada di lingkungan hidupnya
(teritori geografinya). Oleh karena itu, manusia terus berupaya untuk melepaskan diri dari
“ketergantungan absolut” pada lingkungan alam yang menjadi teritori hidupnya tsb agar bisa
menjamin stabilitas persediaan sumberdaya energi/pangan demi kelangsungan hidupnya. Dalam
konteks ini, Smith mengatakan bahwa “…once this dependency on few cultivated and
domesticated plants increases it is not possible to depend on wild resources…this dependence
necessities the maintaining of the food producing economy and transformation of the traditional
base of society, or might even change the physical environment” (Smith, 1976). Hal senada juga
disampaikan oleh Khatry, “A new relation between man and the plants was formed as man
changed the natural environment into cultural landscape” (Khatry, 1984). Manusia harus terus

mengembangkan cara-cara baru produksi pangan. Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa tidak

semua masyarakat mempunyai teritori dengan sumberdaya energi/pangan yang selalu
memadai[7] dan juga menghadapi masalah pertumbuhan populasi, yang akhirnya mendorong
manusia harus bersedia migrasi atau mobile untuk mencari sumberdaya energi/pangan di luar
teritori geografis yang menjadi lingkungan hidupnya. Maka dari itu, pada akhirnya para anggota
sebuah masyarakat tidak selalu hidup dan tinggal bersama dalam sebuah teritori geografi yang
sama.
Dengan berkurangnya ketergantungan manusia pada sumberdaya energi/pangan yang dimiliki
oleh teritori geografisnya dan upaya menemukan cara-cara baru untuk memperkaya “produksi
pangan” serta terus mencari dan menciptakan alternatif sumberdaya energi/pangan – baik di
teritori geografisnya mau pun di luar teritori geografisnya. Dampaknya, di satu sisi, manusia
semakin mempunyai peluang untuk hidup menjadi lebih besar dari sebelumnya, tetapi di sisi lain
akan menghadapi masalah angka pertumbuhan populasi.
Segala upaya manusia untuk menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidupnya, pencapaian
peradaban manusia yang perlu digarisbawahi adalah manusia bisa survive meskipun ia tidak
memiliki sumberdaya energi/pangan dalam teritori geografisnya. Manusia bisa mempertahankan
kehidupannya melalui hubungan kerjasama atau penguasaan sumberdaya energi/pangan di luar
teritorinya. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (melangsungkan
kehidupannya) dengan membangun akses pada sumberdaya energi/pangan (alam) di luar teritori

geografisnya; melalui jasa atau menjadi bagian (mempunyai peran) dalam proses kegiatan
ekonomi (pengelolaan sumberdaya energi/pangan) seperti menjadi pegawai dalam sebuah
company (swasta atau negara), atau melalui hubungan perdagangan – di mana hasilnya bisa
digunakan untuk belanja kebutuhan energi/pangan (kebutuhan biologi) dan kebutuhan-kebutuhan
dasar lainnya. Oleh karena itu, manusia seringkali dipahami secara sempit sebagai mahkluk
ekonomi. Singkatnya, untuk bisa makan nasi, manusia tidak harus menanam padi dan punya
sawah.
Berdasarkan kenyataan ini maka konsep teritori bagi manusia baik secara personal maupun
kolektif telah terjadi pergeseran. Masyarakat tak lagi hidup subsisten (dalam arti mengandalkan
sumberdaya energi/pangan di lingkungan alamnya – teritori geografisnya). Namun, konsep
“teritori geografis” ini ternyata masih mempengaruhi konsep “teritori sosial” masa kini (konsep
teritori hampir selalu dipahami sebagai teritori geografis), meskipun kita tahu bahwa
sesungguhnya telah terjadi banyak perubahan yang signifikan dengan adanya perkembangan
kebudayaan atau peradaban manusia, sehingga dalam banyak kasus terjadi kekeliruan (kurang
tepat) dalam memahami realita. Maka dari itu, sudah seharusnya konsep “teritori” tak selalu
dipahami sebagai “teritori geografis”. Batas geografis yang tadinya sama dengan batas sosial
bagi sebuah masyarakat, kini batas geografis “pemukiman” atau “negara” tidak selalu sama
dengan batas-batas sosial. Demikian halnya dengan batas-batas teritori sumberdaya
energi/pangan (alam) juga tidak selalu sama dengan batas teritori geografis lingkungan hidupnya.
Apalagi sumberdaya kehidupan saat ini tidak hanya berupa sumberdaya energi/pangan secara

langsung (alam), dan sumberdaya energi/pangan tak langsung juga tak selalu mengacu pada
kegiatan ekonomi secara langsung, tetapi bisa berupa kegiatan ekonomi secara tak langsung
(kegiatan non-ekonomi tetapi mampu mengakses sumberdaya).
Gambar: Batas Geografis Dan Batas Sosial

Batas geografi = batas sosial
batas geografi =/= batas sosial
Dalam perjalanan waktu, akhirnya:


Kegiatan ekonomi semakin kompleks karena
semakin banyak manusia (personal dan
kolektif) tidak lagi menggantungkan diri
pada penguasaan sumberdaya alam
(energi/pangan) secara langsung; dan satu
kegiatan ekonomi membentuk satu
sumberdaya kehidupan dengan batas-batas
sosialnya, yang ditandai dengan adanya
“aturan atau hukum”nya sendiri[8].


Penguasaan sumberdaya alam
(energi/pangan) yang tidak merata, bahkan
cenderung dikuasai oleh sekelompok kecil manusia sehingga makin menyuburkan
tumbuhnya aneka kegiatan ekonomi “tak langsung”.




Perkembangan teknologi transportasi, komunikasi dan informasi membuat manusia semakin
leluasa untuk mobile (mobilitas manusia semakin intens), akhirnya aktivitas ekonomi pun
semakin terdifferensiasi dan kompleks.

Konsekuensinya, semakin banyak pula tercipta “teritori kegiatan ekonomi/sumberdaya” dan
semakin kompleks. Selain itu, kenyataan yang lain, juga terjadi pertumbuhan populasi yang terus
meningkat dan sebaliknya berimbas pada semakin menyusutnya sumberdaya alam
(energi/pangan) yang akhirnya membuat budaya persaingan menjadi tumbuh subur dan menjadi
dominan dalam kehidupan manusia, sehingga kegiatan ekonomi tak hanya mengalami
differensiasi tetapi juga terjadi stratifikasi dan semakin hirarkis.

Kehidupan Bersama Dan Distribusi Penguasaan Sumberdaya: Kawasan Karst Malang

Selatan (contoh kasus)
Kerjasama dan persaingan dalam proses kehidupan manusia adalah suatu hal yang wajar. Dengan
kata lain, di mana pun manusia itu hidup dan tinggal akan selalu menjalani proses kerjasama dan
persaingan.dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kawan bisa menjadi lawan saat harus
bersaing; dan menjadi kawan saat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi lawan yang lebih
kuat dalam rangka memperjuangkan kepentingannya. Sebagai contoh, dalam pemilihan umum
(pemilu) legislatif April 2009 kemarin, semua partai politik (parpol) bersaing untuk memperoleh
suara rakyat (pemilih). Namun, setelah pemilu legislatif, yaitu dalam rangka pemilihan presiden
bulan juli 2009, beberapa parpol tersebut akhirnya memutuskan untuk berkoalisi agar bisa
memenangkan calon presiden yang diusungnya – untuk menyaingi kekuatan parpol pemenang

pemilu beserta parpol koalisinya. Lawan bisa menjadi kawan, dan sebaliknya kawan bisa
menjadi lawan – semua tergantung pada konteksnya.
Dalam kehidupan sosial manusia, tidak hanya masalah interaksi – hubungan sosial dan
kerjasama – tetapi juga masalah persaingan atau kompetisi antara manusia yang satu dengan
yang lain. Bila salah satu dari kebutuhan yang harus dipenuhi tersebut merupakan sesuatu yang
“langka” atau terbatas ketersediaannya sehingga tidak mampu mengcover semua kebutuhan
semua manusia yang memerlukannya, maka persaingan pun tak bisa dihindari.
Persaingan bisa terjadi secara individual atau kolektif. Demi memenangkan persaingan,
persaingan individual seringkali berkembang menjadi persaingan kolektif karena masing-masing

individu meminta bantuan teman, sahabat atau kerabatnya (kesatuan sosialnya) sehingga
persaingan yang terjadi berubah menjadi persaingan antar kesatuan sosial – yang ditandai
dengan identitas yang dipergunakan adalah identitas kolektif (jaringan sosial), bukan identitas
individual lagi; demikian juga yang terjadi pada persaingan antar kesatuan sosial (entitas sosial).
Persaingan terjadi ketika suatu yang dianggap sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan para
pihak sehingga memerlukan upaya untuk memperebutkannya. Sementara yang terjadi di
masyarakat kawasan karst Malang Selatan, di mana penduduk asli yang orang Jawa dan
beragama Kristen (penduduk Sitiarjo) mempunyai mata pencaharian sebagai petani (bersawah,
berladang dan beternak serta sebagian kecil mengelola tambak ikan) tidak
bergesekan/bersinggungan secara langsung dengan para pendatang yang berasal dari berbagai
sukubangsa, yang umumnya mereka adalah nelayan dan beragama Islam; dan jika pun mereka
juga bertani, mereka berbeda area di mana pendatang memanfaatkan tanah perhutani, sedangan
penduduk asli menggunakan tanah miliknya sendiri yang sudah turun-temurun. Jika dilihat
bahwa sesuatu yang dianggap sumberdaya adalah sesuatu yang berbeda maka sangatlah wajar
mereka jarang bersitegang (konflik) karena tidak ada yang harus diperebutkan atau tidak perlu
harus berkompetisi untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara, penduduk asli yang menjadi
nelayan juga demikian, ternyata ikan yang menjadi targetnya berbeda dengan area penangkapan
ikan yang berbeda pula dan penduduk asli lebih banyak mengelola tambak ikan (oreintasinya
tetap kontinen/daratan). Sementara itu, pedatang dari Bugis mencari ikan di sekitar 200 mil dari
pantai sedangkan pendatang dari Madura mencari ikan di radius 50 mil dari pantai sehingga
mereka tidak pernah harus berkompetisi dalam mencari ikan. Begitu juga dengan masalah lahan
(baik untuk berkebun atau untuk hunian); para pendatang tidak pernah mengusik lahan penduduk
lokal/asli, selain itu juga mempunyai “pasar” yang berbeda. Dengan demikian, secara garis besar
mereka – baik penduduk asli dan pendatang atau pun pendatang dengan pendatang lainnya –
tidak saling bersinggungan dalam rangka berkompetisi atau harus bersaing dalam menjalani
kehidupan – baik masalah teritori geografis maupun teritori sumberdaya kehidupannya. Justru
sebaliknya, mereka saling mengisi, dan cenderung saling bekerjasama. Selain itu, mereka juga
memiliki atau membangun kegiatan-kegiatan sosial-budaya yang bisa berfungsi sebagai
pemeliharaan hubungan antara penduduk asli dengan pendatang dalam waktu sosial masingmasing, misalnya partisipasi penduduk asli dalam hari raya syukuran “petik laut” (budaya
nelayan – pendatang) dan sebaliknya, partisipasi masyarakat nelayan pada hari syukuran “bersih
desa” (budaya penduduk asli).

Selain itu, jika dilihat dari nilai penghasilannya, rata-rata bisa dianggap lebih dari cukup untuk
bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka (secara subyektif, mereka relatif sejahtera). Inilah yang
terjadi pada kehidupan sosial (bersama) masyarakat kawasan karst Malang Selatan. Selain itu,
ada “aturan” secara alamiah yang terwujud dalam interaksi mereka, yaitu semacam pengaturan
distribusi “sumberdaya” dan pembagian kerja, baik antar pendatang maupun antara pendatang
dan penduduk asli. Siapa mengerjakan apa, di mana dan bagaimana (misalnya, tukang reparasi
perahu dari sukubangsa Menado; yang membuat perahu/kapal orang Jember (jawa-madura);
pemilik kapal orang Madura dan bugis dst; dan di antara mereka (pendatang dan penduduk asli)
tidak ada yang menguasai jenis mata pencaharian tertentu atau sumberdaya – dari hulu hingga
hilir (monopoli).

Perbedaan Bukanlah Sumber Konflik
Banyak orang berpendapat bahwa konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut
ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar
dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Jika hal ini diyakini sebagai sebuah “hukum
absolut” (demikian adanya) maka dalam kehidupan sosial manusia tentunya tidak mungkin
terwujud kehidupan bersama berbagai entitas sosial di sebuah teritori geografis yang sama
maupun kerjasama antar entitas sosial dalam berbagai konteks kehidupan/teritori sosial
(termasuk dalam konteks kegiatan ekonomi/sumberdaya). Ekstrimnya, tidak mungkin dalam
sebuah company bisa merekrut para pegawai yang berasal dari berbagai latar belakang, atau
kegiatan ajar-mengajar di sekolah/kampus juga tidak mungkin akan berlangsung karena muridmurid atau mahasiswanya berasal dari berbagai latar belakang sosial-budaya, dan tidak mungkin
sebuah negara bisa mengelola atau menanam modal di negara-negara lain.
Melihat kenyataan di atas, terlihat bahwa perbedaan (identitas, latar belakang sukubangsa dan
budaya atau asal-usul) dalam kehidupan bersama di kawasan karst Malang Selatan, ternyata
tidak mengahalangi mereka untuk berinteraksi dalam rangka kerjasama; selain itu, hal ini juga
membuktikan bahwa perbedaan bukanlah sumber konflik seperti yang banyak orang dan para
ahli yakini. Dengan berbedanya sesuatu yang dianggap sumberdaya oleh masing-masing entitas
sosial (perbedaan sumberdaya) membuat masing-masing entitas sosial tidak harus berkompetisi
atau bersaing satu sama lain. Konflik umumnya berawal dari persaingan atau kompetisi
memperebutkan sesuatu atau karena terganggungnya pemenuhan kebutuhan salah satu pihak
sehingga mengganggu kelangsungan hidup ybs. Dalam hal ini, yang bisa kita petik dari kajian
masyarakat kawasan karst daerah Malang Selatan adalah:


Teritori sumberdaya masing-masing entitas sosial tidak saling bersinggungan sehingga
tidak mendorong mereka untuk saling bersaing satu sama lain; tetapi sebaliknya justru
tumbuh saling menghormati dan saling kerjasama satu sama lain;



Oleh karena teritori sumberdaya mereka tidak saling bersinggungan maka menjadi kecil
kemungkinan saling “bergesekan” sehingga semakin kecil pula kemungkinan
terganggunya keadilan subyektif dari masing-masing pihak yang terlibat dalam
kehidupan bersama maka keteraturan sosial cenderung relatif stabil; dan sebaliknya
ketika ada salah satu pihak merasa atau mengalami ketidak-adilan subyektif (merasa
dilanggar hak-haknya secara subyektif) akan menjadi cikal bakal menuju konflik.

Dalam konteks negara, dinamika dalam hubungan sosial antar manusia dan adaptasi-dinamis
antara manusia dengan lingkungan tempat tinggalnya serta teritori sumberdayanya, perlu
dipahami secara baik, khususnya oleh para pengelola pemerintahan setempat. Selain itu juga
perlu diperhatikan kondisi-kondisi kerjasama dan persaingan yang berpotensi konflik, al:


Ketimpangan daya saing masing-masing entitas sosial yang hidup bersama. Satuan
entitas yang memiliki daya saing relatif lebih rendah dari entitas yang lain perlu
ditingkatkan daya saingnya agar tidak terdominasi oleh entitas sosial yang lain sebab hal
ini menyebabkan terlanggar hak atau “keadilan subyektif” entitas sosial yang
terdominasi; selain itu diperlukan regulasi – “aturan-aturan” atau “kesepakatan” untuk
melindungi hak-hak mereka yang “lemah” akibat ketimpangan daya saing.



Ketidak-adilan distribusi sumberdaya dan penguasaan sumberdaya (termasuk distribusi
jabatan-jabatan strategis) masing-masing entitas sosial.



Tindakan represfif tanpa penyelesaian akar masalahnya. Selama ini, pemerintah/negara
seringkali melakukan tindakan represif guna menghentikan konflik yang terjadi agar
tidak meluas dan memakan “korban” yang lebih besar. Fungsi dari tindakan represif
adalah untuk menghentikan konflik (sementara) agar ada waktu untuk menyelesaikan
atau mencari solusi atas konflik yang terjadi. Artinya, dengan “dihentikannya konflik”
bukan berarti bahwa permasalahan akan selesai dengan sendirinya atau dianggap sudah
selesai. Akar permasalahan atau akar penyebab konflik tetap harus diselesaikan sebab
bisa menimbulkan “dendam” dan bisa menumbuhkan “konflik simbolik”.



Pemerintah atau negara harus menjadi wasit dan juri yang netral (adil) dalam
menjaga/memelihara dan menegakkan aturan yang berlaku dalam kehidupan bersama
(kerjasama dan persaingan). Tanpa disadari, seringkali pemerintah atau negara tidak
bersikap netral (berpihak), bahkan sering melakukan “peran” ganda, yaitu selain sebagai
“wasit dan juri” tetapi juga bertindak sebagai “pelaku” (politisasi kepentingan bangsa)
sehingga pemerintah/negara sendiri yang melanggar regulasi yang telah ditetapkan.

Kepustakaan
Agusyanto, Ruddy
1991
“The Javanese Santris In Minahasa”, sebuah book review, dalam INDONESIAN
QUARTERLY Vol.XIX, No.4 Fourth Quarter.

1994 “Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumberdaya: Kasus Arek-arek Suroboyo di
Jakarta”, dalam Analisis. Jakarta: CSIS. Hlm. 204 – 212.
2006

Pengantar Antropologi (Agusyanto dkk). Jakarta: Universitas Terbuka.

2007

Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta: Rajawali Presada.

2010
Fenomena Dunia Mengecil: Rahasia Jaringan Sosial. Jakarta: Institut Antropologi
Indonesia.
Bender, B.
1975
Farming in Prehistory from hunther-gatherer to food-producer. London: McGraw Hill
Book, Co.
Dahrendrof
1959

Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Standford University Press.

Haviland, William A.
1988

Antropologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Khatry, Prem K.
1984
“From Hunting-Gathering to Food Production: A Brief Look on Impact of Early Man’s
Shift to Farming”, dalam
Himalaya.sosanth.com.ac.uk/collection/journals/ancientnepal/pdf/ancient_nepal_84_02.pdf
Kroeber, Alfred L.
1931
“The Cultural Area and Age Area Concepts of Clark Wissler” In Rice, Stuart A. (ed.),
Methods in Social Science pp. 248-265. University of Chicago Press, Chicago
Smith, P E.
1976
Co.

Food Production and its Consequences. Menlo Park, California: Mummings Publishing

Suparlan, Parsudi.
2007

Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

Laporan penelitian Ekspedisi Geografi Indonesia, Jawa Timur 21-30 juni 2012.

[1] Lihat Agusyanto, 2007 dan 2010.
[2] Lihat Suparlan, 2007.
[3] Budaya “sasi” dikenal hampir di semua masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia.
[4] Puncak evolusi manusia adalah masyarakat Eropa, Agusyanto dkk, 2006.
[5] Haviland, 1988.
[6] Kroeber, 1931.
[7] In all the regions wherever they lives the significant features of their way of life and the
physical environment which they lived in is fundamentally the same. That is, there exist a close
relationship between man and surrounding; man always tries to maintain balance between his
need and the capacity of the resources (Khatry, 1984).
[8] Agusyanto: 2007 dan 2010.