PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA

(1)

ABSTRAK

PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA

(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) Oleh

KURNIAWAN SYARIF

Ketentuan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merumuskan hak-hak yang dimiliki oleh narapidana yang seharusnya dijamin dan dilindungi. Untuk menjamin dan melindungi hak-hak narapidana tersebut selain diadakan Unit Pelaksana Teknis yaitu Lembaga Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan juga Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan apakah faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang diolah berupa data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dengan melakukan wawancara kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara menelaah, membandingkan dan menghubungkan data yang selanjutnya dilakukan interprestasi untuk menjawab permasalahan dan menarik kesimpulan dengan cara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disimpulkan bahwa peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana meliputi peranan yang seharusnya (expected role) dan peranan yang sebenarnya dilakukukan (actual role). Peranan TPP yang seharusnya adalah sebagai tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis sedangkan peranan yang sebenarnya dilakukan TPP adalah sebagai tim yang sangat penting dan berperan dalam proses pemasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk kembali dan berintegrasi dengan masyarakat. Sehingga melalui peranan yang seharusnya dan peranan yang sebenarnya dilakukan, pihak TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung telah melaksanakan


(2)

Kurniawan Syarif pembinaan narapidana di setiap tahapan pembinaan. Faktor penghambat TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana (studi pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) adalah: faktor undang-undang yaitu susunan keanggotaan TPP yang hanya diatur dalam Keputusan Menteri kurang mengikat bagi anggota lain di luar petugas lembaga pemasyarakatan, faktor penegak hukum yaitu kurang optimalnya kerja sama dengan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan faktor masyarakat yaitu banyak narapidana yang tidak pernah dibesuk keluarganya, keluarga narapidana tidak mengakui lagi narapidana tersebut menjadi bagian keluarganya, serta tidak diketahui alamat yang pasti dari narapidana, sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi.

Saran yang dapat disampaikan oleh penulis adalah diharapkan demi terwujudnya susunan anggota TPP yang utuh maka pengaturannya dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang nantinya dapat mengikat dan mengharuskan semua pihak untuk ikut berperan aktif dalam pelaksanaan pembinaan narapidana, diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung meningkatkan koordinasi dengan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana, dan diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal keluarga narapidana dan memberi pengertian kepada keluarga narapidana agar mau menerima kembali narapidana sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan dapat terpenuhi.


(3)

PERANAN TIM PELA

Kurniawan Syarif

Seba

IM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TP AKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA

Oleh

Kurniawan Syarif

Skripsi

ebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015

TPP) DALAM NA

Kurniawan Syarif


(4)

PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

KURNIAWAN SYARIF

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori-Teori Peranan ... 14

B. Tinjauan Umum Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)... 16

1. Peraturan Pelaksana Pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ... 16

2. Susunan Keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Daerah. ... 19

3. Tata Kerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) ... 20

C. Sejarah dan Perkembangan Pidana Penjara di Indonesia... 22

1. Sistem Kepenjaraan... 22

2. Sistem Pemasyarakatan ... 23

D. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana ... 25

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 27

1. Faktor Undang-Undang... 27

2. Faktor Penegak Hukum ... 28

3. Faktor Sarana atau Fasilitas... 29

4. Faktor Masyarakat... 30


(6)

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 33

E. Analisis Data ... 35

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 36

B. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung 37 1. Sejarah Singkat... 37

2. Visi dan Misi ... 39

3. Struktur Organisasi... 39

4. Data Kepegawaian... 44

5. Data Penghuni ... 44

C. Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam Pelaksanaan PembinaanNarapidana... 44

D. Faktor-Faktor Penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana ... 71

V. PENUTUP A. Simpulan... 79

B. Saran... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

(8)

(9)

MOTO

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum

sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri.

(QS Ar-Ra ad : 11)

Berangkat dengan penuh keyakinan. Berjalan dengan penuh

keikhlasan. Istiqomah dalam menghadapi cobaan.


(10)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkah dan

hidayahnya jualah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan serta

kepada junjunganku

Baginda Besar Muhammad SAW yang telah membawaku dari alam

kegelapan menuju alam yang terang benderang ini, dengan

ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan sebuah karya kecil

ini kepada:

Bapak dan Ibu yang telah memberikan pengorbanan, ketulusan dan

kasih sayangnya yang kuyakini takkan mungkin pernah dapat aku

membalasnya, adik-adik kesayanganku serta seluruh keluarga yang

senantiasa memberikan bantuan moril dan materil sehingga penulis

selalu semangat dalam membuat skripsi.

Untuk Almamater


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 14 November 1989. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara yang merupakan buah cinta kasih dari pasangan Bapak Nusirwan Efendi dan Ibu Lailawati.

Penulis menyeselesaikan sekolah dasar di SDN 1 Pasar Krui padatahun 2002, kemudian melanjutkan studinya di SMPN 26 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan studinya di SMAN 2 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan untuk mematangkan ilmu hukum yang diperoleh, penulis mengkonsentrasikan diri pada bagian hukum pidana. Pada tahun 2011, penulis mengikuti KuliahKerjaNyata (KKN) di Kabupaten Way Kanan.


(12)

SANWACANA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul: “Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai Pembimbing I

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai Pembahas I.


(13)

4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak memberi masukan, bimbingan, dan membantu penulis sehingga terselesainya skripsi ini.

5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku Pembahas II dalam skripsi ini yang telah banyak memberi saran, masukan serta kritik yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini.

6. Ibu Aprilianti, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

8. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Keluarga tercinta yang amat kucintai dan kubanggakan, Ibu, Bapak dan Adik-adikku dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman Fakultas Hukum yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka yang telah banyak membantu serta memberikan ridho-Nya kepada kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 21 April 2015 Penulis,


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan-perubahan dalam hukum pidana di Perancis yang dipelopori oleh Beccaris (1738-1794) telah mempengaruhi perkembangan penghukuman dan penjara. Perubahan penting di lapangan hukum tersebut adalah, bahwa hukum di samping melindungi kepentingan masyarakat dan individu yang dirugikan, juga harus mampu melindungi si pelanggar hukum dari penggunaan hukum yang melampaui batas. Akibatnya di dalam perkembangan kepenjaraan timbul perubahan pula yaitu dari sikap yang bersifat punitif semata ke arah sikap yang bersifat rehabilitatif kepada narapidana. Perubahan dan perkembangan ini begitu menarik perhatian berbagai kalangan dan dengan cepat gelombang pembaruan ini meluas hingga ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tidak dipergunakannya lagi sistem kepenjaraan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia, membuka jalan perlakuan terhadap para pelanggar hukum tersebut dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara. Istilah Pemasyarakatan untuk pertama kalinya di Indonesia diperkenalkan oleh Sahardjo saat pemberian gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ilmu Hukum kepada dirinya oleh Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, yang pada


(15)

2

Pengayoman Hukum Pantjasila-Manipol/Usdek”,1 yang intinya adalah tujuan pidana penjara di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat sosialis yang berguna.

Istilah Pemasyarakatan pada waktu itu masih mengandung aspek-aspek yang banyak persamaannya dengan Resosialisasi, yang pada hakekatnya masih menitikberatkan perhatiannya kepada pelanggar hukum yang bersangkutan secara khusus. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian, dalam konferensi nasional yang diadakan di Lembang, tanggal 27 April 1964, istilah pemasyarakatan mengalami pembulatan dalam pengertiannya, sehingga sudah tidak sama lagi dengan Resosialisasi. Pemasyarakatan dalam konferensi itu dinyatakan sebagai suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi kehidupan dan penghidupan antar terpidana dan masyarakat, berdasarkan Pancasila. Sistem kehidupan gotong royong diterima sebagai suatu sistem perlakuan terhadap pelanggar hukum. Pelanggar hukum dianggap sebagai manusia biasa yang melakukan pelanggaran hukum karena ketidakmampuannya mengikuti derap kehidupan masyarakat yang semakin lama semakin kompleks. Prinsip Pemasyarakatan menekankan bahwa tidak saja masyarakat diayomi dari diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga terpidana diayomi dengan memberikan bekal hidup kepadanya.

1

R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita,Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1979, hlm. 12.


(16)

3

Berdasarkan beberapa prinsip dan tujuan di atas terlihat bahwa prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan digali dari kepribadian bangsa kita sendiri, yaitu:

1. Orang yang tersesat diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

bimbingan.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk penjara.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan azas Pancasila.

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa itu penjahat.

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan.

10. Saran fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.2

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan di atas adalah jelas bahwa Pemasyarakatan menolak secara tegas prinsip retributif dan sebaliknya menerima tujuan penghukuman yang bersifat rehabilitatif-reformatif.3 Dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan di atas diharapkan sistem pemasyarakatan dapat mencapai tujuan utama yaitu: mencegah pengulangan pelanggaran hukum, aktif produktif serta berguna bagi masyarakat, dan mampu hidup bahagia di dunia dan akhirat.4

2

Dwidja Priyatno,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 98.

3

Romli Atmasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 14.

4

Diah Gustiniati Maulani, Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia,


(17)

4

Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merumuskan bahwa:

Narapidana berhak:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapat pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit Pelaksanaan Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melakukan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan warga binaan pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, merupakan landasan hukum yang menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan. Bab IV Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa:


(18)

5

(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri.

(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan lainnya. (4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS,

BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas:

a. memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.

b. membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; dan

c. menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. (5) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat pentingnya pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang bertugas bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang bertugas memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis yang berhubungan dengan tahap-tahap pembinaan dan kepentingan lain, maka pada tanggal 3 Desember 1999 dikeluarkanlah Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Ketentuan Pasal 13, 14 dan 15 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi Tim Pengamat Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disingkat TPP). Tugas pokok TPP yaitu:


(19)

6

a. Memberikan saran mengenai bentuk, dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan

c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

Selanjutnya untuk melaksankan tugas tersebut TPP mempunyai fungsi yaitu: a. Merencanakan dan melakukan persidangan-persidangan;

b. Melakukan administrasi persidangan, inventarisasi dan dokumentasi; c. Membuat rekomendasi kepada:

1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi TPP Pusat; 2) Kepala Kantor Wilayah bagi TPP Wilayah; dan 3) Kepala UPT bagi TPP Daerah.

d. Melakukan pemantauan pelaksanaan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan.

Pembinaan narapidana adalah suatu sistem, sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai satu tujuan. Dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia terdapat 3 (tiga) unsur yang sangat berperanan dalam proses pembinaan narapidana. Ketiga unsur tersebut adalah petugas lembaga, narapidana, dan masyarakat yang mana ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain.5 Salah satu bentuk perwujudan kerja sama pada proses pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan yaitu dibentuknya tim pembuat rekomendasi yang disebut dengan TPP baik di tingkat Pusat, Wilayah maupun Daerah/Unit Pelaksana Teknis.

5


(20)

7

Memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk membuat penulisan penelitian dengan judul “Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bagaimanakah peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana?

b. Apakah faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana?

2. Ruang Lingkup

Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan atau ruang lingkup, maka ruang lingkup dalam penulisan ini adalah kajian substansi hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Lokasi penelitian pada skripsi ini adalah pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.


(21)

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian antara lain: a. Untuk mengetahui peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam

pelaksanaan pembinaan narapidana.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.

2. Kegunaan Penelitian

Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam tataran akademisi maupun dalam tataran praktisi, sehingga diharapkan penelitian ini bermanfaat baik dari sisi teoritis maupun dari sisi praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu hukum pelaksanaan pidana pada umumnya khususnya yang berkaitan dengan peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pidana dan faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pidana dan

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi petugas pemasyarakatan, hakim, dan masyarakat, sehingga dapat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.


(22)

9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Selama proses pemasyarakatan berjalan, narapidana menjalani berbagai pembinaan. Proses pembinaan dimulai sejak tahap penerimaan dan seterusnya sampai narapidana lepas dari lembaga baik karena mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, ataupun karena masa pidananya telah habis dijalani. Penanggung jawab dari proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan adalah sebuah tim yang disebut Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang menggantikan fungsi dan kedudukan Dewan Pembina Pemasyarakatan (DPP) berdasarkan surat edaran tanggal 5 Oktober 1989 Nomor W.10.PK.04.10.10.1369 tentang penyesuaian istilah dari Dewan Pembina Pemasyarakatan atau DPP menjadi Tim Pengamat Pemasyarakatan atau TPP.

Ketentuan Pasal 13, 14 dan 15 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi Tim Pengamat Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disingkat TPP). Tugas pokok TPP yaitu:

a. Memberikan saran mengenai bentuk, dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan


(23)

10

Selanjutnya untuk melaksanakan tugas tersebut TPP mempunyai fungsi yaitu: a. Merencanakan dan melakukan persidangan-persidangan;

b. Melakukan administrasi persidangan, inventarisasi dan dokumentasi; c. Membuat rekomendasi kepada:

1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi TPP Pusat; 2) Kepala Kantor Wilayah bagi TPP Wilayah; dan 3) Kepala UPT bagi TPP Daerah.

d. Melakukan pemantauan pelaksanaan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan.

Tugas TPP di Lembaga Pemasyarakatan adalah memberikan bahan pertimbangan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan proses pembinaan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan. TPP sebagai pemberi rekomendasi pelaksanaan pembinaan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu.

Hak-hak dan kewajiban tadi merupakan suatu peranan atau role dalam menjalankan tugas dan fungsinya bagi pembinaan narapidana dalam lembaga pemasyarakatan. Menurut Soerjono Soekanto bahwa peranan (role) merupakan hak-hak dan kewajiban tertentu dari kedudukan (status), yang mencakup:

1. Peranan yang ideal (ideal role).

2. Peranan yang seharusnya (expected role).

3. Peranan yang dianggap diri sendiri (perceived role). 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role).6

6

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 2011, hlm. 20.


(24)

11

Peranan ideal dan peranan seharusnya adalah peranan yang seharusnya dikehendaki dan diharapkan oleh hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan peranan yang dianggap diri sendiri atau peranan yang sebenarnya dilakukan adalah peranan yang telah dikembangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam hal ini penegak hukum harus menentukan dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang terjadi.

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.7

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.8 Adapun pengertian dasar dan guna mengetahui maksud yang terkandung dalam penulisan judul skripsi ini, perlulah disimak pengertian beberapa istilah-istilah konsep sebagai berikut:

7Ibid.

hlm. 8.

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 132.


(25)

12

a. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.9

b. Tim Pengamat Pemasyarakatan adalah Tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 1 angka (2) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan).

c. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatakan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan).

d. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

E. Sistematika Penulisan

Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka skripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

9


(26)

13

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan teori-teori peranan, tinjauan umum Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), sejarah dan perkembangan pidana penjara di Indonesia, tahap-tahap pembinaan narapidana serta faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan karakteristik responden, gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung, peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana serta faktor-faktor penghambat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.

V. PENUTUP


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori-Teori Peranan

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Menurut Soerjono Soekanto, suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut:

1. Peranan yang ideal(ideal role)

2. Peranan yang seharusnya(expected role)

3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri(perceived role) 4. Peranan yang sebenarnya dilakukan(actual role).10

Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat dan secara sosiologis, hak merupakan suatu peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan (ideal role; expected role). Suatu kewajiban merupakan beban atau tugas pada seseorang untuk melakukan sesuatu dan di dalam sosiologi kewajiban juga disebut peranan atau peranan yang diharapkan.

10


(28)

15

Peranan yang diharapkan merupakan apa yang disebut dengan norma atau kaidah. Kaidah tersebut, merupakan patokan atau pedoman mengenai sikap tindak yang pantas atau yang diharapkan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara sosiologis konsepnya adalah peranan yang diharapkan, sedangkan secara yuridis gejala tersebut dinamakan hak dan kewajiban. Setiap hak biasanya dilingkupi oleh suatu kewajiban, yakni kewajiban untuk tidak menyalahgunakan hak tersebut. Demikian pula halnya dengan setiap kewajiban, yang senantiasa dilingkupi oleh suatu hak, yakni hak untuk tidak diganggu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Hal ini merupakan suatu peranan yang diharapkan, oleh karena dalam kenyataan tidaklah selalu demikian adanya.

Selain itu, dalam sosiologi juga dikenal konsep peranan yang dianggap oleh pemegang peran itu sendiri (perceived role). Tidaklah mustahil peranan yang dianggap oleh pemegang peran berbeda dengan peranan yang ideal. Misalnya peranan yang diharapkan dari seorang petugas hukum, adalah melindungi warga masyarakat. Akan tetapi mungkin petugas itu sendiri beranggapan peranannya adalah senantiasa menindak atau menegakkan ketertiban (yang tidak selalu serasi dengan ketenteraman pribadi). Suatu hal lain yang memerlukan tinjauan adalah konsep peranan yang aktual (actual role). Peranan yang aktual merupakan peranan yang dilaksanakan dalam kenyataan, yang tidak mustahil adalah tidak serasi dengan peranan yang diharapkan ataupun dengan peranan yang dianggap oleh pemegang peran. Kalau hal tersebut terjadi, dapat dikatakan bahwa suatu kaidah hukum tertentu tidaklah efektif oleh karena tidak mencapai tujuannya dan tidak ditaati dalam kenyataannya.


(29)

16

B. Tinjauan Umum Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)

1. Peraturan Pelaksana Pembentukan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Bab IV Pasal 45 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa:

(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarkatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri.

(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yangmerupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan lainnya. (4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS,

BAPAS, atau pejabat terkait lainnya bertugas:

a. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.

b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; dan

c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. (5) Pembentukan, susunan, dan tata cara kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut maka lahirlah Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, Pasal 12 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan mengatur mengenai kedudukan, tugas dan fungsi TPP antara lain menentukan :


(30)

17

(1) TPP Pusat berada di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

(2) TPP Wilayah berada di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Perundang-Undangan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah.

(3) TPP Daerah berada di UPT Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada masing-masing UPT Pemasyarakatan.

Tugas pokok TPP diatur dalam Pasal 13 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang menentukan bahwa tugas pokok TPP adalah :

a. Memberikan saran mengenai bentuk, program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

b. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan

c. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

Selanjutnya untuk melaksankan tugas tersebut, TPP mempunyai fungsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yaitu:

a. Merencanakan dan melakukan persidangan-persidangan;

b. Melakukan administrasi persidangan, inventarisasi dan dokumentasi; c. Membuat rekomendasi kepada:

1) Direktur Jenderal Pemasyarakatan bagi TPP Pusat; 2) Kepala Kantor Wilayah bagi TPP Wilayah; dan 3) Kepala UPT bagi TPP Daerah.

d. Melakukan pemantauan pelaksanaan pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan.

Ketentuan Pasal 14 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan


(31)

18

menentukan bahwa saran dan pertimbangan pengamatan yang dibuat oleh TPP merupakan rekomendasi bagi kepala dalam menyelesaikan masalah-masalah dan usulan pembinaan dengan tingkatan sebagai berikut :

(1) TPP Pusat bertugas memberikan saran dan pertimbangan pengamatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamatan dan pembimbingan WBP yang diajukan oleh TPP Wilayah dalam hal:

a. Masalah-masalah penempatan dan pemindahan WBP;

b. Penyelesaian masalah-masalah usulan dari daerah tentang asimilasi, pembebasan bersyarat dan remisi;

c. Masalah-masalah lain yang dipandang perlu oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

(2) TPP Wilayah bertugas memberi saran dan atau pertimbangan pengamatan kepada Kepala Kantor Wilayah tentang masalah-masalah dan usulan pembinaan, pengamatan dan pembimbingan WBP yang diajukan oleh UPT Pemasyarakatan dalam hal :

a. Perkembangan pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan di semua UPT Pemasyarakatan di Wilayah;

b. Meneliti, menelaah, menilai usulan TPP Daerah sebagai bahan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah untuk ditolak atau diteruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan;

c. Masalah-masalah pembinaan lain yang dianggap perlu oleh Kepala KantorWilayah.

(3) TPP Daerah bertugas memberi saran dan atau pertimbangan pengamatan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan mengenai:

a. Bentuk dan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;

b. Penilaian terhadap pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan WBP atau perawatan tahanan;

c. Penerimaan keluhan dan pengaduan dari WBP untuk diteruskan kepada Kepala UPT;

d. Pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum oleh WBP untuk diambil tindakan cepat dan tepat guna serta lain yang timbul dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.


(32)

19

2. Susunan Keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) di Daerah

Susunan keanggotaan TPP di daerah diatur dalam Pasal 16 ayat (3) huruf (a) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang merumuskan bahwa :

TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I terdiri dari:

a. Ketua merangkap anggota adalah Kepala Bidang Pembinaan;

b. Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala Seksi Bimbingan pemasyarakatan;

c. Anggota adalah:

1) Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas;

2) Kepala Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; 3) Kepala Bidang Kegiatan Kerja;

4) Kepala Seksi Registrasi; 5) Kepala Seksi Perawatan; 6) Kepala Seksi Bimbingan Kerja; 7) Kepala Seksi Keamanan;

8) Dokter/Tenaga Paramedis Lapas;

9) Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan; 10) Hakim Pengawas dan Pengamat;

11) Wali WBP;

12) Instansi terkait dengan Pembimbing Klien Pemasyarakatan; 13) Badan dan atau perorangan yang berminat terhadap pembinaan.

Meskipun susunan TPP secara baku telah diatur dalam Pasal 16, namun berdasarkan Pasal 17 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan menentukan bahwa masing-masing TPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat dilengkapi dengan beberapa staf sekretariat dan bila diperhatikan Pasal 18 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat


(33)

20

Pemasyarakatan dimungkinkan terjadinya perubahan terhadap susunan anggota TPP sebagai berikut:

1) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Pusat ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan Menteri.

2) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Wilayah ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan masing-masing Kepala Kantor Wilayah.

3) Ketua, sekretaris dan anggota TPP Daerah ditunjuk dan diangkat berdasarkan Keputusan masing-masing Kepala UPT Pemasyarakatan.

3. Tata Kerja Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)

Tata kerja TPP haruslah sesuai dengan aturan yang telah ditentukan agar dapat dipertanggungjawabkan. TPP harus bekerja lebih giat dan lebih cermat guna mengantisipasi terjadinya kekeliruan terhadap hasil kerja. Masing-masing TPP mempunyai tugas dan wewenang sesuai dengan tingkatannya. Adapun pelaksanaan sidang TPP berdasarkan Pasal 20 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan terdiri dari:

1) Sidang TPP terdiri dari:

a. Sidang Rutin yaitu Sidang TPP yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan;

b. Sidang khusus yaitu Sidang TPP yang dilaksanakan dan berlangsung setiap waktu sesuai kebutuhan pembinaan dan membahas persoalan-persoalan yang menyangkut pelaksanaan teknis Pembinaan dan Pembimbingan WBP yang memerlukan penyelesaian cepat.

2) Sidang Rutin membahas perkembangan pelaksanaan teknis pembinaan dan pembimbingan WBP sesuai pentahapan proses pemasyarakatan.

3) Sidang khusus dapat diadakan apabila:

a. Diusulkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala UPT Pemasyarakatan;

b. Diusulkan oleh Ketua TPP; c. Diusulkan oleh anggota TPP.

4) Untuk pendayagunaan peranan TPP, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala UPT Pemasyarakatan sewaktu-waktu dapat mengikuti dan mengamati penyelenggaraan sidang TPP.


(34)

21

Tata kerja TPP telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 24 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, sehingga hal-hal baku dalam persidangan tidak lagi diabaikan antara lain menyangkut pengaturan tentang:

1) Sebelum sidang TPP dimulai, sekertaris berkewajiban menyiapkan segala sesuatu kelengkapan administrasi sidang dan mengesahkan acara sidang. 2) Sidang TPP dibuka oleh Ketua, dilanjutkan dengan pengantar ke acara

sidang.

3) Untuk sidang TPP Daerah, Wali WBP menyampaikan laporan hal ikhwal perwaliannya setelah mendapat persetujuan dari Ketua.

Mengenai pengambilan keputusan diatur dalam Pasal 25 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang menentukan bahwa:

1) Pembahasan dalam Sidang TPP Daerah dapat disertai dengan menghadirkan WBP bersangkutan dan atau pihak-pihak lain terkait, setelah mendapat persetujuan dari anggota.

2) Setiap persetujuan/keputusan Sidang TPP didasarkan atas musyawarah dan mufakat.

3) Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka dilakukan pemilihan dengan suara terbanyak dengan ketentuan bahwa keputusan diambil lebih dari setengah ditambah 1 (satu).

Penutupan sidang TPP dalam mengambil suatu keputusan diatur dalam Pasal 26 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yaitu:

1) Hasil Keputusan Sidang TPP sebelum ditandatangani oleh anggota yang hadir harus dibacakan kembali dihadapan anggota.

2) Sebelum sidang TPP ditutup oleh Ketua diberikan kesempatan kepada para anggota untuk memberikan saran-saran guna pendayagunaan pelaksanaan tentang hasil keputusan yang telah ditetapkan.


(35)

22

C. Sejarah dan Perkembangan Pidana Penjara di Indonesia

1. Sistem Kepenjaraan

Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan saat diberlakukannya Getischen Reglement(Peraturan Penjara) Stb. 1917 Nomor 708. Sistem kepenjara pada masa itu berdasarkan kepada pandangan individualisme yang beranggapan seseorang terpidana bukan lagi menjadi anggota masyarakat karena itu harus diisolir. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan falsafah Pancasila.

Sistem kepenjaraan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip balas dendam dari negara terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum karena di samping pada waktu itu politik kriminal yang diterapkan oleh negara memang

menghendaki “kejeraan” yang dijalankan dengan kejam oleh petugas penjara

dengan maksud agar mereka tidak lagi melakukan kejahatan, sehingga diharapkan agar kejahatan-kejahatan yang timbul di dalam masyarakat dapat diberantas secara keseluruhan.

Sistem kepenjaraan yang merupakan produk kolonial mempunyai pandangan individualisme yang memandang dan memperlakukan orang-orang hukuman (narapidana) tidak sebagai manusia (anggota masyarakat).11 Sistem kepenjaraan sangat bertentangan dengan hak asasi manusia, karena dalam sistem kepenjaraan ini para pelanggar hukum tidak dianggap sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan. Sistem kepenjaraan ini juga bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sistem kepenjaraan

11

A. Widiada Gunakaya,Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan,Armico, Bandung, 1988, hlm. 54.


(36)

23

dirasakan lebih mengutamakan pelaksanaan pencabutan kebebasan narapidana dan pemeliharaan serta ketertiban dalam lembaga dari pada membina narapidana menjadi warga masyarakat yang baik.

2. Sistem Pemasyarakatan

Sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan tersebut dicetuskan pertama kalinya pada tanggal 5 Juli 1963 oleh Sahardjo. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum di Istana Negara, selain mengungkapkan tentang hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin yang melambangkan pengayoman, beliau juga mengungkapkan pandangan tentang pohon beringin itu, sebagai penyuluh bagi para petugas dalam memperlakukan narapidana, sehingga tujuan dari pidana penjara oleh beliau dirumuskan sebagai: “... disamping menimbulkan rasa derita para narapidana karena dihilangkan kemerdekaan bergeraknya, membimbing narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”12

Beralihnya konsep kepenjaraan menjadi pemasyarakatan mengharuskan adanya Undang yang mengatur khusus tentang pemasyarakatan yaitu Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga ketentuan yang terdapat dalam Gestichtenreglement Stb 1917 Nomor: 708 dan peraturan-peraturan lainnya tentang kepenjaraan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan

12


(37)

24

Undang-Undang pemasyarakatan ini makin kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan.

Pengertian pemasyarakatan dalam Konferensi Direktur Penjara Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 dirumuskan sebagai “suatu sistem

pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial dan pulihnya kesatuan hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.”

Sistem pemasyarakatan itu sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Pemasyarakatan yang merumusakan:

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyaraka, untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Menurut penjelasan Undang-undang Pemasyarakatan yang dimaksud dengan

“agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya untuk memulihkan narapidana kepada fitrahnya dalam hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya. Sistem pemasyarakatan di Indonesia memiliki 3 (tiga) unsur yang sangat berperanan. Ketiga unsur tersebut adalah petugas lembaga, narapidana dan masyarakat yang mana ketiga unsur tersebut merupakan suatu hubungan kesatuan yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain.13


(38)

25

D. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana

Proses pembinaan terhadap narapidana dimulai sejak yang bersangkutan masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai lepas dari lembaga baik karena mendapatkan pelepasan bersyarat, cuti menjelang bebas, ataupun karena masa pidananya telah habis dijalani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 maka Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Awal; 2. Tahap Lanjutan; 3. Tahap Akhir.14

a. Pembinaan Tahap Awal:

Pembinaan tahap awal dimulai sejak seseorang berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) masa pidana (maximum security), dimana pembinaan tahap awal meliputi:

1. Masa Admisi dan Orientasi atau masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan yang dilaksanakan paling lama 1 bulan.

2. Pembinaan kepribadian yang meliputi: a. Pembinaan kesadaran beragama;

b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara; c. Pembinaan kemampuan intelektual;

d. Pembinaan kesadaran hukum.

3. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.

14

C. Djisman Samosir,Sekelumit tentang Penologi & Pemasyarakatan,Nuansa Aulia, Bandung, 2012, hlm. 170.


(39)

26

Pada tahap ini narapidana diperkenalkan dengan kondisi lembaga pemasyarakatan, proses pembinaan yang akan dijalankan, hak-hak yang diperoleh, kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan dan dapat dijalankan bila diinginkan. Pada akhir tahapan akan diadakan penilaian untuk memperoleh gambaran tentang hasil pembinaan yang ditunjukkan pada tahap ini, serta menentukan juga untuk penetapan tahap pembinaan selanjutnya.

b. Pembinaan Tahap Lanjutan:

Setelah menjalani masa tahap awal dan berdasarkan hasil sidang TPP lembaga pemasyarakatan, maka narapidana akan dialihkan pembinaannya ke tahap lanjutan. Dalam pembinaan tahap lanjutan ini, pembinaannya dibagi dalam dua tahap yang meliputi:

1. Tahap lanjutan pertama(medium security),yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal atau 1/3 sampai dengan 1/2 dari masa pidana yang meliputi:

a. Pembinaan kepribadian lanjutan.

b. Pembinaan kemandirian seperti keterampilan yang mendukung usaha-usaha mandiri, industri kecil, pengembangan sesuai bakat masing-masing, pertanian, dan industri dengan teknologi madya/tinggi.

2. Tahap lanjutan kedua (minimum security), dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidana (1/2 sampai 2/3 masa pidana). Pembinaan tahap lanjutan meliputi perencanaan program pembinaan lanjutan, pelaksanaan program pembinaan lanjutan, penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan, penilaian pelaksanaan


(40)

27

program pembinaan lanjutan, serta perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi, baik asimilasi dalam lembaga pemasyarakatan terbuka (open camp) maupun asimilasi dalam lembaga pemasyarakatan (half way house/work)seperti: melanjutkan sekolah, kerja mandiri, kerja pada pihak ketiga/pihak luar, menjalankan ibadah, olah raga serta Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK).

c. Pembinaan Tahap Akhir:

Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan (lebih dari 2/3 masa pidana) maka narapidana yang telah memenuhi syarat diberikan pembebasan (pengembalian ke tengah-tengah masyarakat) yang meliputi: program integrasi seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Dimana bimbingannya dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan dan pengawasannya dari Kejaksaan Negeri.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

1. Faktor Undang-Undang

Setiap masyarakat memiliki hukum sebagai penata normatif dalam hubungan antar warga masyarakat, hal ini bertujuan agar hubungan masyarakat berlangsung lestari dan mencapai tujuan bersama. Sedangkan hukum bersifat mengatur dan memaksa melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum antara lain berupa hukuman pidana. Penerapan hukum pidana atau undang-undang oleh penegak hukum pada kenyataannya tidak berjalan seperti fungsi dan tujuan


(41)

28

hukum pidana yang dimaksud, hal ini merupakan gangguan penegakan hukum yang berasal dari hukum pidana dan atau undang-undang yang mungkin disebabkan:

1. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

2. Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang,

3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.15

2. Faktor Penegak Hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian dari law enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan.

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik(status conflictdanconflict of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan(role distance).

15


(42)

29

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah:

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi,

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi,

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel,

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.16

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencangkup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto khususnya untuk sarana dan fasilitas tersebut, sebaiknya sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:

a. Yang tidak ada diadakan yang baru betul,

b. Yang rusak atau salah diperbaiki atau dibetulkan, c. Yang kurang ditambah,

d. Yang macet dilancarkan,

e. Yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan.17

16Ibid

. hlm. 34-35.

17Ibid


(43)

30

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi hukum tersebut. Masyarakat Indonesia pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum yang variasinya ialah:

1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan,

2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan, 3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku

pantas yang diharapkan,

4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis), 5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat,

6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa, 7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan,

8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik, 9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai,

10. Hukum diartikan sebagai seni.18

5. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, pasangan nilai yang berperan dalam hukum adalah sebagai berikut:

1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman,

2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan,

3. Nilai kelanggengan/konsevatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.19

18Ibid.

hlm. 45-46.

19Ibid.


(44)

31

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk mempelajari kaedah hukum dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik yang berupa penilaian, perilaku, pendapat dan sikap dengan mengadakan penelitian lapangan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris digunakan dalam penelitian ini untuk memahami persoalan mengenai Peranan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung).

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:


(45)

32

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan informasi dari responden secara langsung yang didapat melalui wawancara dan observasi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan dengan cara mengutip, menelaah dan mencatat bahan-bahan peraturan atau bahan-bahan lainnya yang berhubungan dan sesuai dengan pokok bahasan, yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder tersebut meliputi Rancangan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum, kamus ilmiah, hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum.


(46)

33

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama.20 Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota TPP pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dan Petugas Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar.

Sampel adalah sejumlah manusia atau unit yang menjadi bagian dari populasi.21 Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ketua TPP Lapas Kelas I Bandar Lampung = 1 orang 2. Sekretaris TPP Lapas Kelas I Bandar Lampung = 1 orang 3. Petugas Pemasyarakatan Lapas Kelas I Bandar Lampung = 2 orang +

Jumlah =4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

20

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, op.cit.hlm.172.

21Ibid


(47)

34

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, yaitu memeriksa data untuk mengetahui kelengkapan data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Kelasifikasi data, yaitu menempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada sub pokok pembahasan sehingga mempermudah interpretasi data.


(48)

35

E. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris yang dikaji dan dianalisis secara kualitatif. Data dan informasi yang diperoleh akan diukur dengan ketentuan hukum yang berlaku berkaitan dengan isi dari permasalahan. Data yang telah diukur tersebut akan dianalisis sesuai dengan kenyataan dan mengacu pada peraturan-peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku sehingga dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Setelah data dianalisis maka dapat ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu cara berpikir dalam pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju pada hal-hal yang khusus sehingga dapat ditarik kesimpulan yang benar-benar tepat sesuai dengan permasalahan yang diteliti.


(49)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Peranan TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana meliputi peranan yang seharusnya (expected role)dan peranan yang sebenarnya dilakukukan (actual role). Peranan TPP yang seharusnya adalah sebagai tim yang bertugas memberi pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap pelaksanaan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis sedangkan peranan TPP yang sebenarnya dilakukan adalah sebagai tim yang sangat penting dan berperan dalam proses pemasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk kembali dan berintegrasi dengan masyarakat.

2. Faktor penghambat TPP dalam pelaksanaan pembinaan narapidana (Studi pada Lemabaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) adalah sebagai berikut:

a. Faktor Undang-Undang yaitu susunan keanggotaan TPP yang hanya diatur dalam Keputusan Menteri kurang mengikat bagi anggota lain di luar petugas lembaga pemasyarakatan.


(50)

80

b. Faktor penegak hukum yaitu kurang optimalnya kerja sama dengan instansi terkait.

c. Faktor Masyarakat yaitu terdapat beberapa narapidana yang tidak pernah dibesuk keluarganya, banyak keluarga narapidana yang tidak mengakui lagi narapidana tersebut menjadi bagian keluarganya, dan tidak diketahui alamat yang pasti dari narapidana karena tempatnya jauh di perkampungan, sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan demi terwujudnya susunan anggota TPP yang utuh maka pengaturannya dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang nantinya dapat mengikat dan mengharuskan semua pihak untuk ikut aktif berperan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.

2. Diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung meningkatkan koordinasi dengan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Untuk mengatasi keterlambatan vonis dari Pengadilan dan keterlambatan surat keterangan dari Kejaksaan yang menyatakan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak tersangkut perkara lain, serta kurangnya pemahaman Aparat Kelurahan/Desa tentang pembuatan Surat Pernyataan dan Surat Jaminan dari Keluarga Narapidana yang diketahui oleh


(51)

81

Lurah/KepalaDesa setempat, maka dilakukan usaha untuk mengatasinya yaitu meningkatkan koordinasi secara langsung melalui pertemuan rutin antara Pengadilan dan Kejaksaan serta memberikan serta memberikan penjelasan kepada Lurah/Kepala Desa tentang penandatanganan Surat Jaminan dan Surat Pernyataan. Pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana dilaksanakan oleh petugas dari Balai Pemasyarakatan. Namun karena wilayah kerja Balai Pemasyarakatan terlalu luas, maka pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas tidak dapat dilakukan secara intensif, maka untuk mengatasi keadaan yang demikian terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas dalam pembimbingannya melibatkan secara optimal pamong desa yang menangani langsung masyarakat dan untuk menangani keamanannya meminta bantuan kepolisian setempat.

3. Diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal keluarga narapidana dan memberi pengertian kepada keluarga narapidana agar mau menerima kembali narapidana tersebut sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan dapat terpenuhi. Mengenai terdapat beberapa narapidana yang tidak pernah dibesuk keluarganya maka sebaiknya TPP memanggil narapidana ke sidang TPP untuk ditanyakan sebab ia tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya. Apabila narapidana tersebut mengatakan rumah orang tuanya jauh dari tempat atau wilayah Lembaga Pemasyarakatan, maka pihak TPP mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal narapidana tersebut atau TPP menanyakan apakah ada alamat keluarga yang terdekat yang dapat dihubungi. Mengenai banyak keluarga Narapidana yang tidak mengakui lagi


(52)

82

narapidana tersebut bukan bagian dari keluarganya. Terhadap hal ini sebaiknya pihak TPP mengutus seseorang untuk mendatangi keluarga dari narapidana tersebut untuk diberi pengertian agar mau menerima kembali Narapidana tersebut kembali. Sedangkan apabila pihak TPP sudah mendatangi keluarga dari narapidana tersebut dan tidak mau menerima maka terhadap narapidana tidak dapat diberikan cuti menjelang bebas, maka untuk itu sebaiknya TPP mengambil kebijaksanaan bahwa narapidana tersebut tetap dipekerjakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai menjelang habis masa hukumannya atau bebas. Selanjutnya mengenai tidak diketahui alamat yang pasti dari Narapidana karena tempat tinggalnya jauh diperkampungan. Terhadap hal ini biasanya narapidana tersebut tinggal bersama orang lain atau biasanya kost dan orangtuanya tinggal di daerah terpencil di perkampungan. Jika dimungkinkan dapat dikunjungi maka sebaiknya seorang anggota TPP diutus mencari tempat tinggalnya, akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti sedangkan tempatnya jauh, maka sebaiknya TPP mengambil kebijaksanaan bahwa Narapidana tersebut tetap dipekerjakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai habis masa hukumannya.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Atmasasmita, Romli. 1982. Strategi Pembinaan Pelangggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.

Maulani, Diah Gustiniati. 2011.Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Gunakaya, A. Widiada. 1988. Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico.

Panjaitan, Petrus Irwan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Harapan.

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Samosir, C. Djisman. 2012. Sekelumit tentang Penologi dan Pemasyarakatan. Bandung: Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Soema di Pradja, R. Achmad S. dan Romli Atmasasmita. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia.Bandung: Binacipta.


(54)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang. Nomor 12 Tahun 1995. tentangPemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999. tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.PK.05.06 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Keputusan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung Nomor W6.PAS.Ea.PK.05.03 Tahun 2012 tentang Susunan Keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

C. Website


(55)

(1)

80

b. Faktor penegak hukum yaitu kurang optimalnya kerja sama dengan instansi terkait.

c. Faktor Masyarakat yaitu terdapat beberapa narapidana yang tidak pernah dibesuk keluarganya, banyak keluarga narapidana yang tidak mengakui lagi narapidana tersebut menjadi bagian keluarganya, dan tidak diketahui alamat yang pasti dari narapidana karena tempatnya jauh di perkampungan, sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan tidak terpenuhi.

B. Saran

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan demi terwujudnya susunan anggota TPP yang utuh maka pengaturannya dimasukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang nantinya dapat mengikat dan mengharuskan semua pihak untuk ikut aktif berperan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana.

2. Diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung meningkatkan koordinasi dengan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Untuk mengatasi keterlambatan vonis dari Pengadilan dan keterlambatan surat keterangan dari Kejaksaan yang menyatakan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak tersangkut perkara lain, serta kurangnya pemahaman Aparat Kelurahan/Desa tentang pembuatan Surat Pernyataan dan Surat Jaminan dari Keluarga Narapidana yang diketahui oleh


(2)

81

Lurah/KepalaDesa setempat, maka dilakukan usaha untuk mengatasinya yaitu meningkatkan koordinasi secara langsung melalui pertemuan rutin antara Pengadilan dan Kejaksaan serta memberikan serta memberikan penjelasan kepada Lurah/Kepala Desa tentang penandatanganan Surat Jaminan dan Surat Pernyataan. Pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana dilaksanakan oleh petugas dari Balai Pemasyarakatan. Namun karena wilayah kerja Balai Pemasyarakatan terlalu luas, maka pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas tidak dapat dilakukan secara intensif, maka untuk mengatasi keadaan yang demikian terhadap narapidana yang menjalani Cuti Menjelang Bebas dalam pembimbingannya melibatkan secara optimal pamong desa yang menangani langsung masyarakat dan untuk menangani keamanannya meminta bantuan kepolisian setempat.

3. Diharapkan TPP Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal keluarga narapidana dan memberi pengertian kepada keluarga narapidana agar mau menerima kembali narapidana tersebut sehingga syarat administratif berupa surat pernyataan kesanggupan dapat terpenuhi. Mengenai terdapat beberapa narapidana yang tidak pernah dibesuk keluarganya maka sebaiknya TPP memanggil narapidana ke sidang TPP untuk ditanyakan sebab ia tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya. Apabila narapidana tersebut mengatakan rumah orang tuanya jauh dari tempat atau wilayah Lembaga Pemasyarakatan, maka pihak TPP mengambil inisiatif untuk mendatangi tempat tinggal narapidana tersebut atau TPP menanyakan apakah ada alamat keluarga yang terdekat yang dapat dihubungi. Mengenai banyak keluarga Narapidana yang tidak mengakui lagi


(3)

82

narapidana tersebut bukan bagian dari keluarganya. Terhadap hal ini sebaiknya pihak TPP mengutus seseorang untuk mendatangi keluarga dari narapidana tersebut untuk diberi pengertian agar mau menerima kembali Narapidana tersebut kembali. Sedangkan apabila pihak TPP sudah mendatangi keluarga dari narapidana tersebut dan tidak mau menerima maka terhadap narapidana tidak dapat diberikan cuti menjelang bebas, maka untuk itu sebaiknya TPP mengambil kebijaksanaan bahwa narapidana tersebut tetap dipekerjakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai menjelang habis masa hukumannya atau bebas. Selanjutnya mengenai tidak diketahui alamat yang pasti dari Narapidana karena tempat tinggalnya jauh diperkampungan. Terhadap hal ini biasanya narapidana tersebut tinggal bersama orang lain atau biasanya kost dan orangtuanya tinggal di daerah terpencil di perkampungan. Jika dimungkinkan dapat dikunjungi maka sebaiknya seorang anggota TPP diutus mencari tempat tinggalnya, akan tetapi jika tidak diketahui secara pasti sedangkan tempatnya jauh, maka sebaiknya TPP mengambil kebijaksanaan bahwa Narapidana tersebut tetap dipekerjakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan sampai habis masa hukumannya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Atmasasmita, Romli. 1982. Strategi Pembinaan Pelangggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.

Maulani, Diah Gustiniati. 2011.Hukum Penitensia dan Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Gunakaya, A. Widiada. 1988. Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico.

Panjaitan, Petrus Irwan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Harapan.

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Samosir, C. Djisman. 2012. Sekelumit tentang Penologi dan Pemasyarakatan. Bandung: Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Soema di Pradja, R. Achmad S. dan Romli Atmasasmita. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia.Bandung: Binacipta.


(5)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang. Nomor 12 Tahun 1995. tentangPemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999. tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH.01.PK.05.06 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI Nomor: M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Keputusan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung Nomor W6.PAS.Ea.PK.05.03 Tahun 2012 tentang Susunan Keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung.

C. Website


(6)

Dokumen yang terkait

Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pembinaan Narapidana Narkotika (Studi Pengadilan Negeri Sibolga dan Lembaga Pemasyarakatan Sibolga)

2 49 96

Akuntabilitas Tim Pengamat Pemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

2 75 143

Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Ketrampilan Bagi Narapidana (Kasus Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto)

0 6 102

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI DI Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen).

0 0 13

PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI DI Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Sragen).

0 1 19

EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

0 2 9

PENDAHULUAN EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

1 7 18

PENDAHULUAN EFEKTIVITAS HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA.

0 5 19

PERANAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN (TPP) DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung) Oleh: Kurniawan Syarif, Diah Gustiniati M., Dona Raisa M. Email : kurniawan.syarif89gmail.com ABSTRAK - PERANAN TIM

0 1 11

PERANAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA MATARAM Lalu Panca Tresna D DIA 113 152 ABSTRAK Peranan Hakim Pengawas dan Pengamat dalam pembinaan Narapidana di Lapas Klas

0 0 18