EKSISTENSI KEBERAGAMAAN; STUDI TERHADAP PEMIKIRAN EKSISTENSIALISME SOREN KIERKEGAARD.
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu diantaranya adalah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek, subjek artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek. Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia berkehendak bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan. Pada kondisi seperti itu, masalah besar muncul terutama bagi orang-orang beragama. Agama syarat dengan aturan-aturan yang selalu ‘terkesan’ mengekang manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama. Di sisi lain, agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat dikatakan terdiri dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap mental atas dasar kepastian bahwa ada kebenaran. Namun masalahnya adalah agama syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda Tanya besar terkait bagaimana eksistensi manusia dalam keberagamaan? Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard, penelitian ini berusaha untuk menemukan keberagamaan manusia. Manusia yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam beragama.
(6)
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Kajian Pustaka ... 5
F. Metode Penelitian ... 7
G. Sistematika Pembahasan ... 9
BAB II:
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EKSISTENSI SOREN
KIEKERGAARD
………
10(7)
B. Klasifikasi Eksistensi dalam Perspektif Soren Kierkegaard ... 13
1. Estetis ... 14
2. Etis ... 19
3. Religious ... 29
BAB III: PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME ... 35
A. Pengertian Eksistensialisme ... 35
B. Pra-Eksistensialisme ... 38
C. Perjalanan Eksistensialisme ... 40
D. Tingkat Eksistensi ... 42
E.Eksistensi dan Eksistensial ... 43
F.Tokoh-tokoh Eksistensialisme ... 43
1. Kierkegaard ... 43
2. Jean Paul Sartre ... 45
3. Albert Camus ... 49
BAB IV: ANALISIS EKSISTENSI BAGI ORANG BERAGAMA DARI PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD TENTANG EKSISTENSIALISME ... 53
A. Soren Kierkegaard dan 3 Tahap Eksistensi ... 53
1. Tahap estetis ... 53
(8)
3. Tahap Religious ... 68
BAB V: KESIMPULAN
A. Kesimpulan ... .76 a. Keterangan Tambahan ... .87 b. kritik ... .88
(9)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah kelam kehidupan manusia pernah dialami di dunia barat hingga mendapat sebuatan dark age1. Kebebasan di dunia barat pernah mendapat belenggu yang teramat berat ketika pihak otoritas gereja memaksakan kebenaran dalam versinya. Bahkan, pemaksaan itu semakin membrutal manakala terdapat kebenaran ilmiah datang. Di saat pihak gereja berkeyakinan bahwa bumi adalah pusat tata surya, datang pengetahuan lain dari para ilmuan yang sangat bertentangan. Pengetahuan itu mengatakan bahwa, “pusat tata surya adalah matahari”. Sehingga banyak Para ilmuan yang sepakat bahwa pusat tatasurya adalah matahari.
Sontak ilmu pengetahuan itu sangat mencibir pihak gereja kala itu. Maka tak segan pihak gereja memanggil sang ilmuan, saat itu Copernicus2, supaya mencabut pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan gereja itu. Singkat kata, manusia sangat terkekang pada saat itu.
Al hasil, peradaban barat tidak berkembang, hingga mendapat sebutan zaman kegelapan pada waktu itu. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
1
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 30
2
(10)
kebebasan atau eksistensi sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menemukan jatidirinya dan memaksimalkan potensi diri.
Hingga akhirnya, Galileo-galilei menemukan sebuah bukti yang tak terbantahkan lagi. Melalui teleskop, ilmuan tersebut mampu membuktikan secara empiris bahwa matahari memang pusat dari tatasurya.
Semenjak itu, pemikiran-pemikiran agama yang kerdil, mendapat kecaman keras bahkan muncul paham eksistensialis. Eksistensialisme merupakan paham yang sudah tidak asing lagi dalam dunia akademis, terlebih lagi bidang filsafat. Eksistensialisme yang menitikberatkan pada pemahaman kebebasan manusia ini nampaknya memiliki daya tarik tersendiri. Manusia yang pada hakikatnya ingin bebas menambah dukungan terhadap suksesnya gerakan ini.
Manusia adalah makhluk yang sedang dalam proses menjadi pribadi. Seorang yang berpribadi berarti mempunyai kemampuan untuk menentukan kemana arah dirinya sendiri, dan ini berarti kebebasan.3 Kebebasan dapat memunculkan eksistensi diri.
Hal tersebut senada dengan fitrah manusia. Manusia mempunyai ciri istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya.4 Kemampuan untuk berkehendak inilah yang menimbulkan hasrat untuk bebas. Manusia memiliki kesadaran aktif.
Maka tak heran jika pada abad modern, eksistensialisme mengudara dengan begitu cepat. Hingga muncul „quote‟ yang sangat familiar,”Tuhan telah
3
Franz Magnis Suseno, Sesudah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2006)
4
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Andi,2007), 5
(11)
Mati”. Manusia berusaha membunuh segala sesuatu yang ada indikasi untuk mengerucutkan kebebasan manusia.
Filsafat eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapid an pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu diantaranya adalah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa artinya semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek, subjek artinya menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut objek.5 Kesadaran sebagai subjek ini menjadikan manusia berkehendak bebas, tidak mau diikat dalam suatu aturan.
Pada kondisi seperti itu, masalah besar muncul terutama bagi orang-orang beragama. Agama syarat dengan aturan-aturan yang selalu „terkesan‟ mengekang manusia. Kebebasan manusia dapat terbelenggu dengan hadirnya agama.
Di sisi lain, agama adalah kebutuhan mutlak manusia. Agama dapat dikatakan terdiri dari seperangkat keyakinan. Sedangkan keyakinan adalah sikap mental atas dasar kepastian bahwa ada kebenaran.6 Namun masalahnya adalah agama syarat dengan aturan. Ketika manusia beragama, maka manusia akan diwajibkan untuk memamatuhi segala yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi larangan yang diperintahNya. Inilah yang memunculkan tanda Tanya besar terkait bagaimana bereksistensi bagi orang beragama.
5
A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
6
(12)
Melalui pendekatan filosofis terhadap pemikiran Soren Kierkeegard, penelitian ini berusaha untuk menemukan eksistensi manusia dalam agama. Manusia yang beragama namun tanpa kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang berkehendak bebas. Manusia yang masih memiliki kesadaran aktif dalam beragama.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Eksistensi secara umum? 2. Bagaimana pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard?
3. Bagaimana pemikiran Soren Kierkeergard dalam 3 Tahap beragaman dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan manusia?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pengertian Eksistensi secara umum 2. Menjelaskan pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard
4. Menganalisis pemikiran Eksistensi Soren Kierkeegard tentang 3 Tahap beragaman, yang dapat memberikan penjelasan tentang keberagamaan manusia?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis yang dapat menambah wawasan tentang eksistensialisme 2. Manfaat praktis adanya kesadaran dalam keberagamaan manusia dalam
(13)
E. Kajian Pustaka
Banyak akademisi yang membahas permasalahan eksistensi. Diantaranya adalah Muhammad Shofa. Ia menyimpulkan bahwa eksistensi terdiri dari beberapa tahap. Kesimpulan itu dicapai dari analisis pemikiran Soren Kierkegaard dan Ali Syariati.7
Menurut Soren Kierkegaard ada 3 tahapan manusia dalam bereksistensi. Pertama, tahap estetis. Tahap ini manusia hanya berorientasi pada kesenangan semata. Manusia mengarah pada kesenangan-kesenangan seksual, hedonis dan bersifat kontemporer. Kedua adalah tahap etis. Pada tahap ini manusia lebih mendalami nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Ketiga, tahap religious. Tahap ini merupakan tahap puncak. Manusia menjadi subjek,
Sedangkan, menurut Ali Syariati terdapat 4 pasung yang menghalangi manusia untuk menjadi makhluk yang otentik. Pertama adalah determinisme natural. Hal tersebut mengandung pengertian, hukum alam yang dipahami secara deterministic akan menghambat terjadinya evolusi manusia. Kedua, determinitas historisisme, yakni memandang manusia sebagai hasil sejarah. Ketiga, determinisme sosiologisme, yakni manusia dianggap mengambil semua identitasnya dari masyarakat, masyarakat menjadi penentu manusia. Keempat adalah ego manusia.
Auhaena juga membahas Eksistensi Jean Paul Sartre. Dikatakan sartre manusia itu kebebasan. Akan tetapi, kebebasan tanpa batas sungguh tak dapat dibayangkan. Manusia bebas namun justru akan berbenturan dengan kebebasan
7
Muhammad Shofa, Tahapan-tahapan Eksistensi Manusia (Surabaya, UIN Sunan Ampel,2012), 104
(14)
orang lain. Manusia juga harus mementingkan kepentingan orang lain. Sehingga, kebebasan harus dibarengi dengan tanggung jawab moral. Kewajiban moral itulah yang disebut humanism.
Humanisme merupakan pandangan hidup yang dipusatkan pada kepentingan nilai kemanusiaan. Humanisme dibutuhkan supaya tindakan manusia terkontrol. Dengan harapan, manusia tidak bersifat reaktif dan berimbas negatif. Dari ukuran humanism tersebut, muncul sebuah konsep dan ukuran baik dan buruk. Ini dilakukan karena perbuatan manusia (individu) memiliki pengaruh pada kemanusiaan dalam suatu lingkungan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa humanisme secara prinsip adalah sebagai pertimbangan manusia dalam melakukan kehendak.8 Sehingga keseimbangan masyarakat dalam suatu lingkungan dapat tercapai.
Selain itu, Wulan Kusumawardani juga membahas tentang eksistensi Jean Paul Sartre. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah identifikasi manifestasi pemikiran eksistensialisme Sartre terhadap tokoh Meursault yang didalamnya juga menganalisis: (1) konsep dua cara berada melalui l’être-en-soi dan l’être-pour-soi, (2) bentuk kebebasan Meursault menurut konsep Sartre, (3) konsep Ketiadaan yang berupa mauvaise foi yang terjadi dalam diri Meursault, (4) relasi antar manusia yang terwujud melalui; emosi, rasa benci, sikap acuh tak acuh, cinta, dan nafsu seksual.9
8
Auhaena, Humanisme Jean Paul Sartre (Telaah Filosofis) (Yogyakarta, UIN SUnan Kalijaga, 2012),
9
Wulan Kusumawardani, pokok-pokok pemikiran eksistensialisme Jean-Paul Sartre yang termanifestasikan pada tokoh meursault dalam roman l’étranger karya albert camus. (semarang:unnes, 2012), viii
(15)
Sedangkan, dalam penelitian ini, akan membahas pemikiran eksistensi Soren Kierkeegard dari sisi kebebasan dalam menentukan pilihan dan tanggung jawab. Manusia memiliki kebebasan penuh untuk memutuskan segala sesuatu. Eksistensi Soren ini memberikan keseimbangan antara kebebasan individu dengan kebebasan individu lain. Pembahasan ini diharapkan dapat menemukan titik di mana letak dan bagaimana bereksistensi dalam beragama.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menginterpretasikan pemikiran seseorang, dalam hal ini adalah pemikiran Soren Kierkiegard. Pemikiran Soren Kierkeegard akan dipelajari sedalam mungkin kemudian menganalisisnya dan memberikan kesimpulan terkait eksistensi bagi orang yang beragama.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian individual, penelitian yang dikerjakan oleh perseorangan.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah dengan menggunakan referensi. Dalam hal ini, peneliti membagi sumber referensi menjadi 2 yakni, referensi primer dan sekunder10. Referensi primer adalah dari buku-buku langsung karya Soren Kierkeegard. Sedangkan, referensi sekunder
10
Bagya Waluya, Sosiologi; Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat (Bandung:PT Setia Purna Inves,2006), 79
(16)
berasal dari buku-buku karangan orang lain yang membahas tentang Soren Kierkeegard.
Selain itu, data juga akan diperoleh dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Data yang berasal dari berbagai sumber ini diharapkan benar-benar dapat menghasilkan sebuah pengetahuan yang otentik.
3. Metode Analisis
Metode analisis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deduktif. Cara analisis deduktif ialah cara analisis yang berangkat dari hal yang umum (general) kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah teori (dalil/hukum), sedangkan yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah masalah yang diidentifikasi itu.11
Pemikiran Soren Kierkeegard akan dianalisis sehingga memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang eksistensi. Dari kesimpulan-kesimpulan itu akan ditarik sebuah pengetahuan baru tentang eksistensi manusia dalam agama.
Adapun untuk memperoleh pengetahuan yang otentik. Penelitian ini juga akan menelusuri jejak-rekam dari Soren Kierkeegard. Latar belakang Soren Kierkeegard yang akan sangat membantu dalam menganalisis pemikiran Soren Kierkeegard. Latar belakang tersebut akan meliputi pendidikan, sosial, budaya dan lain-lain.
11
(17)
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab. Kesemuanya adalah sebagai berikut.
Bab satu adalah pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Hal ini akan berguna sebagai kerangka awal berfikir.
Bab dua berisi penjelasan tentang biografi Soren Kierkeergard. Ini akan sangat berguna dalam membantu menganalisis pemikiran Soren Kierkeegard sehingga didapat pengetahuan yang otentik.
Bab tiga akan memuat sejarah kemunculan eksistensialisme yaitu penjelasan sejarah awal kemunculan pemikiran eksistensi. Dan akan membahas pengertian eksistensi dari beberapa pemikiran tokoh. Hal tersebut akan membantu dalam menentukan tipologi pemikiran eksistensi daripada Soren Kierkeegard.
Bab empat akan membahas analisis pemikiran Soren Kierkeegard tentang eksistensialisme. Dalam bab ini akan dibahas eksistensi bagi orang yang beragama dari analisis pemikiran Kierkeegard tersebut.
(18)
BAB II
RIWAYAT HIDUP dan PEMIKIRAN SOREN KIERKEGAARD
A. Biografi Soren Kierkegaard
Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, tanggal 05 Mei 1813. Ia merupakan anak ketujuh dari pasangan Michael Pedersen Kierkegaard dan Anne Sørendatter Lund.1 Pada saat itu, Ayah Soren, Michael Pedersen bekerja di pabrik pakaian di Kopenhagen.
Setelah itu, Michael Pederson menjadi seorang pedagang. Sampai pada akhirnya ia menjadi saudagar yang sukses. Akan tetapi, ia merubah pikiran untuk berhenti dari berdagang pada usia empat puluh tahun. Ia lebih ingin memfokuskan perhatiannya pada kegiatan spiritual dan pendidikan anak-anaknya. Pada saat itulah, kehidupan Michael Pedersen sangat berpengaruh pada Soren.
Kebersamaan Soren dengan ayahnya benar-benar membentuk karakter dan pola pemikiran Soren. Ini didukung dengan semakin seringnya sang ayah untuk mengundang tamu-tamu elit untuk makan malam. Di tengah pertemuan itu, mereka berdiskusi tentang filsafat juga. Soren sering mendengarkan mereka ketika mereka sedang berdikusi.
1
Anne Sørendatter Lund merupakan istri kedua dari Michael Pedersen. The Journals of Søren Kierkegaard (New York: Herpers Torch Books, 1959), 10; juga Alasdair Maclntyre,
“Kierkegaard, Soren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy, vol. IV, edited by Paul Edwards (New York: Macmillan Publishing Co.; Inc. and The Free Press, 1972).
(19)
Soren sangat kagum dan tertarik dengan kepiawaian pemikiran ayahnya dan sahabat-sahabat ayahnya. Karena kekaguman itu Soren telah memiliki pengetahuan dan pemikiran kuat sejak
masih muda. Pendidikan agama pun Soren dapatkan dari ayahnya sehingga Soren tergolong orang yang taat pada agama2. Soren tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Ayahnya pun menaruh perhatian lebih padanya.
Akan tetapi, disamping memiliki sisi kehidupan yang mapan, Soren Kierkegaard juga pernah mengalami masa kelam. Pada masa kelam itu Soren banyak cobaan yang menimpanya. Bahkan, ketika masih anak-anak ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kematian dua orang kakaknya.3
Selayaknya manusia, Kierkegaard juga memiliki hubungan spesial dengan seorang perempuan. Hingga pada akhirnya hubungan itu mempengaruhi pola pikir Kierkegaard. Gadis itu adalah Regina Olsen, puteri seorang pegawai di Denmark4. Keseriusan hubungan ini ditunjukan dengan Kierkegaard melamar Regina Olsen pada tanggal 10 September 1840. Nahasnya, setahun kemudian, ia memutuskan pertunangan itu dengan alasan dirinya yang terlalu melankolis. Selain itu, sebenarnya Kierkegaard juga terpengaruh akan panggilan religiusnya. Ia merasa itu akan mengahalangi perkawinan dalam hidup berkeluarga.5
2Bdk. Alasdair Maclntyre, “Kierkegaard, Søren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy
.
3
Bdk. Fuad Hasan, Berkenalan dengan Eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 1973), 14.
4
Bdk. Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (California: University of Redlands, 1951), hlm. 463. Ayah Regina Olsen bernama Etatsraad Olsen, seorang pegawai pemerintahan Denmark yang secara khusus bertugas sebagai konselor negara.
5 Mark Taylor, “Søren Kierkegaard,”
The Encyclopedia of Religion, vol. 7, edited by Mircea Eliade (New York: Macmillan Rublishing Company, 1987).
(20)
Pada kesempatan pertama kali menginjakan kaki di univeritas, sang ayah menyarankan supaya Soren masuk di Univeritas Kopenhagen, fakultas teologi. Pada tahun 1830, Soren mendaftar di tempat itu.6 Kehidupannya di kuliah telah membuatnya banyak mendapat ilmu baru. Ia juga mempelajari filasafat Hegel yang pada saat itu sangat populer. Semangat belajarnya dapat dilihat ketika ia tak hanya tertarik pada dunia filsafat, namun juga bidang seni, literatur dan teater.7 Dari waktu ke waktu, ia tumbuh jadi seorang cendekiawan yang sangat menonjol di universitas itu, sehingga semua orang banyak yang mengenalnya. Tahun 1883, Kierkegaard menulis Jurnal. Tulisan itu memberikan pengaruh yang luas.8
Adapun beberapa karya utama Soren Kierkegaard, sebagai berikut:
1. Concluding Unscientific Postcript 2. Either/Or
3. Fear and Trembling 4. The Sickness Unto Death 5. Stages On Life’s Way9
Kierkegaard telah dielu-elukan sebagai bapak “eksistensialisme” yang meraih ketenarannya pada abad kedua puluh. Para ahli filsafat dan teolog mengembangkan pemikirannya dengan berbagai cara, ada yang mungkin membuat Kierkegaard marah dan yang lain mungkin ia setujui.
6
James Collins, The Mind of Kierkegaard (Chicago: Henry Regnery Company, 1965), hlm. 6. juga Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche (New York: Image Books, 1965), 338.
7
Bdk. Mayer, A History of Modern Philosophy, hlm. 463.
8
Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 15.
9
Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal Terj;Ahmad Norma Permata
(21)
Kiekergaard berjasa bagi banyak unsur subjektivitas dalam pemikiran teologi modern, tetapi subjektivitas itu datang dari kerendahan hati. Ia berkesimpulan bahwa Allah bukanlah benda yang secara ilmiah dapat dibedah dan dianalisis. Ia adalah keberadaan (being) yang hidup dan bertindak, yang berhadapan dengan kita untuk menyelamatkan kita.
Bukan hanya kita sebagai manusia seperti kepingan-kepingan teka-teki, kita juga adalah keberadaan, seru kiekergaard, dengan kemauan, harapan dan kesedihan. Kiekergaard memerangi system abstrak, apakah itu filsafat ataupun agama yang mencari semacam kebenaran yang abstrak. Ia menegaskan bahwa agama mengajarkan bagaimana kita harus hidup.10
B. Klasifikai Eksistensi dalam Perspektif Soren Kiekegaard
Eksistensialisme merupakan paham yang sangat berpengaruh pada abad modern. Paham ini menyadarkan akan pentingnya kesadaran diri. Manusia disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Kierkegaard adalah salah satu tokoh yang berpengaruh di kala itu. Kiekergaard mengklasifikasi eksistensi menjadi 3 tahap, yaitu tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical stage) dan religius
(the religious stage).
10
Kenneth Curtis, Stephen Lang J. & randy Peter, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen Terj. A. Rajendran (Jakarta; Gunung Mulia, 2007), 135
(22)
1. Tahap Estetis (The Aesthetic Stage)
Situasi keputusasaan sebagai situasi batas dari eksistensi merupakan ciri khas dari tahap ini. Tahap ini berbeda dengan 2 tahap lainnya. Berikut akan dijelakan lebih detail terkait tahap estetis ini.
a. Pengalaman emosi dan Sensual memiliki ruang yang terbuka
Dalam pembahasan ini, Kierkegaard menerangkan adanya dua kapasitas dalam hidup ini. Dua kapasitas itu adalah sebagai manusia sensual dan makhluk rohani. Kapasitas sensual merujuk pada inderawi sedang makhluk rohani lebih menunjuk pada manusia yang sadar secara rasio. Dalam tahap ini, lebih cenderung pada wilayah inderawi. Jadi, kesenangan yang hendak dikejar berupa kesenangan inderawi.11Dengan penjelasan singkat, motivasi dalam hidupnya hanyalah “nikmati saja”. Yang paling berbahaya, pada tingkat ini manusia dapat diperbudak oleh kesenangan nafsu. Tahap ini juga senang dengan sesuatu yang instan yang paling penting dapat memberikan kesenangan inderawi.
Yang radikal dari tahap ini adalah adanya kecenderungan untuk menolak moral universal. Ini dilakukan karena kaidah moral dinilai dalam mengurangi kenikmatan-kenikmatan inderawi yang didapat. Sehingga tidak ada prinsip moral di sini. Ini juga berarti bahwa tidak ada pertimbangan baik (good) dan buruk
11
Enjoy life, and again express in thus: enjoy yourself; in enjoyment you should enjoy yourself
(Søren Kierkegaard, Either/Or, vol. I and II, translated by George L. Strengren [New York: Harper and Row Publisher, 1986] hlm. 185).
(23)
(bad). Yang ada adalah kepuasan (satisfaction) dan frustrasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa.12
Dengan kata lain, manusia estetis tidak mau dibatasi. Ia ingin bebas dengan keinginannya. Maka tak heran dengan tindakan mereka yang menolak nilai moral yang dianggap memberi batas pada yang menyenangkan. Manusia estetis senang mengejar yang tak terbatas.13 Akan tetapi, Kierkegaard menjelaskan pada tahap ini manusia sebenarnya terperangkap dalam “gudang” (celar) berbagai pengalaman inderawi. Ketaatan pada pengalaman inderawi ini membuat manusia estetis tidak berfikir apakah itu baik atau tidak. Eksistensi tahap estetis dapat digambarkan sebagai usaha untuk mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil).14
Kierkegaard memaparkan bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola hidup berdasarkan pada keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan perasaannya. Bisa disimpulkan bawha manusia estetis sangat egois, mementingkan diri sendiri.15
Don Juan, pahlawan atau mahkota (crown) opera Mozart16, dianggap sebagai representasi atau contoh dari manusia estetis. Kierkegaard menggunakan Don Juan untuk menerangkan tipe manusia estetis. Manusia ini dianggap sebagai seorang perayu (seducer). Don Juan merupakan orang yang senang memuaskan
12
Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Gramedia, 2004). 89
13
Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche, 342.
14
Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 88.
15
Kierkegaard, Either/Or, 182-183
16
(24)
hasrat sensualnya. Kehidupannya dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan inderawi sesaat, seperti kebutuhan seksual. Dan kesenangan yang didapat secara sensual ini diperuntukan untuk dirinya sendiri.17 Dengan bahasa kasarnya, seseorang yang hidup dalam tahap ini seperti seorang play boy, yang mana selalu mengejar kenikmatan sesaat, sebagai contoh konkretnya lewat perburuan terhadap gadis-gadis. Dalam Either/Or, Kierkegaard melukisskannya sebagai berikut:
Don Juan merupakan gambar yang terus tampak dalam pandangan, tetapi tidak mencapai bentuk dan konsistensi, seorang individu yang terus dibentuk tetapi tidak pernah selesai atau sempurna, dari sejarah kita dapat memperoleh sesuatu yang tidak lebih daripada yang kita peroleh lewat deru ombak yang terdengar.18
Jika dianalisis, pernyataan Kierkegaard di atas, sebenarnya hendak menunjukan bahwa manusia estetis pada dasarnya tak memiliki ketenangan. Ketika mereka mendapatkan satu akan berusaha mencapai yang lain untuk memenuhi kebutuhan inderawinya. Ia mengalami kekurangan serta kekosongan dalam hidup. Sebenarnya ia telah berusaha untuk mengisi kekosongan yang selama itu ia rasakan. Namun, manusia estetis tidak dapat menemukan apa yang diharapkannya. Dalam bahasa Kierkegaard ini disebut juga sebagai cinta romantis, cinta yang dilandaskan pada kebutuhan natural, dimunculkan dalam
17
Dalam bukunya Either/Or, Kierkegaard menulis: “… the concept „a seducer’ is essentially
modified with respect to Don Juan, since the obyek of his desire is sensuous, and that alone”
(Kierkegaard, Either/Or, 46).
18
Don Juan is a picture which constanly comes into view, but does not reach form and consistency, an individual constantly formed but never completed, whose story we can get no more than we get by listening to the sound of the waves (Kierkegaard, Either/Or, 42).
(25)
kenikmatan sensual.19Salah satu alasan kenapa pada tahap ini seseorang cenderung tidak dapat menemukan kepuasaan adalah karena nafsu. Sebagai contoh kecil, kenikmatan nafsu yang semakin dituruti maka akan semakin menginginkan yang lebih, tak pernah puas, hingga akhirnya menjadi hampa.
Manusia dapat keluar dari zona ini sebenarnya. Dalam istilahnya Kierkegaard, manusia dapat keluar dari tahap estetis ini jika telah mencapat titik keputus asaan. Ketika manusia estetis mencari kepuasan secara terus menerus dan tidak kunjung menemukannnya, maka diposisi seperti itulah manusia dapat berputus asa (despair).
Keadaan putus asa ini yang kemungkinan besar akan menimpa orang-orang estetis. Memang diakui bahwa kebutuhan akan kesenangan lahir secara natural pada dari manusia. Pada tahap ini manusia sangat terbuka pada pengalaman emosi dan sensual serta tidak adanya standar-standar moral maupun religius karena keduanya dianggap sebagai pembatas kesenangan inderawi. Untuk itu manusia cenderung mencari sesuatu yang mendatangkan rasa aman dan kepuasan diri.20
pada hakikatnya, manusia estetis hidup secara semu. Atau dalam bahasa Kierkegaard disebut sebagai “gudang” (cellar) dari pengalaman sensual.
19
Kierkegaard membedakan dua bentuk cinta dalam bahasa Denmark. Pertama, kjærligheden
sebagai cinta yang lebih umum (fisik). Kedua, elskoven adalah cinta spiritual. (Kierkegaard,
Either/Or, hlm. 223).
20Menurut Kierkegaard, rasa aman yang dimiliki oleh seorang individu estetis sebetulnya “tanpa roh” (Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 178).
(26)
Sayangnya, semua bentuk kesenangan yang dikejar oleh kaum estetis ini hanya bersifat sementara. Pada akhirnya kaum estetis mencari kesenangan-kesenangan lain untuk memenuhi hasratnya. Saat itulah, ketika semua telah dijelajah, sedikit demi sedikit akan tumbuh kebosanan atau mengalami titik kejenuhan. Ha Ini dikarenkan tumbuhnya rasa yang mendatangkan tidak ada ketenangan dalam hidup. Suatu ketika individu estetis ini menemukan sebuah kesadaran bahwa hidup yang dibangun selama ini adalah fana (transitory), aksidental (accidental)
dan tidak kekal (temporal). Kierkegaard berargumentasi bahwa, “seseorang yang tinggal dalam tahap estetis adalah manusia aksidental.”21
Mereka sadar bahwa hidupnya didasarkan pada keharusan (neccessity) dan bukan kepada kebebasan
(freedom). Inilah kesadaran yang akan didapat manusia estetis.
Manusia estetis membayangkan dirinya sebagai orang yang terhegemoni dalam keadaan yang bercorak sementara (temporal) dan tidak ada jalan lain yang dapat membawanya pada sesuatu yang lain selain keputusasaan22. Titik kesadaran yang menyadari bahwa hidup dalam tahap estetis selalu berakhir dalam keputusasaan. Pada akhirnya akan membawa individu pada suatu tempat usaha untuk mengambil sikap terhadap situasi konflik yang tengah dihadapinya23. Pada akhirnya, ia harus berani dan tegas untuk memutuskan apakah tetap dalam keputusasaan atau tidak, yakni dengan meloncat pada eksistensi yang lebih tinggi.
Kierkegaard mendeskripsikan hal ini sebagai either/or: atau-atau, suatu situasi pilihan pilihan untuk tetap bertahan dalam tahap estetis yang dikepung oleh
21
The one who lives aesthetically is the accidental man (Kierkegaard, Either/Or, 208).
22
Peter Vardy, Kierkegaard, terj. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 53.
23Ohoitimur, “
(27)
daya tarik sensual belaka, terjebak dalam belenggu dan yang diketahui keterbatasannya atau bergerak lintas batas estetis menuju eksistensi tahap berikut yang lebih tinggi. Kierkegaard mengatakan;
… setiap pendirian hidup estetis merupakan keputusasaan, dan bahwa tiap orang yang hidup secara estetis berada dalam keputusasaan, entah ia tahu atau tidak. Tetapi jika ia mengetahuinya, maka suatu bentuk eksistensi yang lebih tinggi menjadi tuntutan yang penting..24
Dari statement di atas, Kierkegaard hendak menyimpulkan bahwa kebebasan adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk memilih dan menetapkan keputusan. Hal tersebut bertujuan untuk menuju tahap berikutnya sebagai jawaban atas keputusasaan yang selama ini dialami.
2. Tahap Etis dalam Eksistensi Kierkegaard (The Ethical Stage)
Tahap ini merupakan tahap lanjut dari estetis. Tahap ini dinilai lebih tinggi daripada tahap sebelumnya yang hanya berakhir pada keputusasaan dan kekecewaan. Tahap etis ini dianggap lebih menjanjikan untuk memperoleh kehidupan yang lebih menenangkan.
24
every aesthetic attitude toward life is despair, and everyone who lives aesthetically is in despair, whether he knows it or not. But if one knows it, then a higher form of existence is an urgent requirement (Kierkegaard, Either/Or, hlm. 186).
(28)
a. Kaidah-kaidah Moral menjadi Hal yang Dipertimbangkan
Dalam tahap etis (the ethical stage), seorang individu mulai mempertimbangkan aturan-aturan univeral yang harus dipertahankan. Mereka merasa hidup dengan orang lain dan mempunyai aturan. Sehingga, tahap ini adalah kesadaran adanya aturan dalam bermasyarakat. Akhirnya, mereka akan mulai mempertimbangkan nilai baik dan buruk.25 Pada tahap ini manusia tidak lagi membiarkan dirinya terlena dengan kesenangan inderawi. Bagi Kierkegaard, “Orang yang hidup secara etis mengekspresikan yang universal dalam dirinya, ia membuat dirinya masuk dalam manusia universal.”26
Itu artinya, manusia secara sadar diri menerima dengan kemauannya sendiri pada suatu aturan tertentu.
Tidak seperti tahap estetis yang merasa berat untuk menerima norma-norma atau aturan-aturan, tahap etis tidak menganggap aturan adalah sebuah pembatasan. Hal tersebut terjadi karena mereka masuk ke dalamnya secara sadar atau tanpa dipaksa. Bahkan orang etis melihat norma adalah suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia. Ia benar-benar menginginkan adanya aturan karena aturan membimbing dan mengarahkannya, terutama ketika hidup dalam kebersamaan. Sehingga, dapat disimpulkan kewajiban dari makhluk etis adalah untuk menata dirinya ke dalam aturan universal itu.27 Artinya manusia memiliki kewajiban dalam dirinya untuk mematuhi pada aturan itu. Pada kondisi ini muncul kebebasan yang bertanggung jawab. Sederhananya ia sadar adanya kebebasan,
25
Søren Kierkegaard, The Present Age and of The Difference Between A Genius and Apostle, translated by Alexander Dru (New York: Harper Tochbooks, 1962), 43.
26 … the one who lives ethically expresses the universal in his life, he makes himself into the universal man (Kierkegaard, Either/Or, 183).
27
(29)
namun juga sadar akan adanya kebebasan dari orang lain. Aturan atau norma adalah wujud konkret untuk memberikan pencerahan pada problematika seperti ini. Manusia akan menjadi saling menghargai dan tidak arogan dengan manusia yang lain. Mereka pada akhirnya dapat hidup dalam tatanan masyarakat yang baik.
Untuk menerangkan situasi ini secara mudah, Kierkegaard memberikan kiasan bahwa pada tahap ini seperti pernikahan. Jadi pada tahap estetis ke eksistensi tahap etis ibarat seorang yang mulai meninggalkan dorongan kesenangan seksual yang memikat, dan masuk ke jenjang perkawinan. Dalam perkawinan itu berarti menerima segala kewajibannya karena perkawinan adalah institusi etis. Secara tidak langsung berarti masuk dalam hukum universal.28 Alasan mengapa kierkegaaard mengambil pernikahan sebagai bentuk dari implementasi tahap etis. Hal tersebut dikarenakan, ketika manusia telah berani menikah berarti ia telah berani untuk memberikan batas pada dirinya sendiri. Di sisi lain ia juga diketahui oleh orang banyak secara luas seahingga sangat minim ia akan terjun dalam melanggar aturan dari pernikahan ini. Contoh sederhana, si A menikah dengan si B. Maka, keduanya tidak akan secara bebas menjalin hubungan lain dengan orang lain, semisal si C. Ini karena konsep etis yang telah tertanam dalam diri makhluk etis itu sendiri. Timbullah kesadaran.
Perasaan manusia sangatlah labil, semua orang menyadarinya, bahkan dalam hal cinta. Seseorang dapat cinta pada satu orang saat ini, namun suatu
28
(30)
ketika ia kan tertarik pada yang lain. Jalan perkawinan adalah jalan yang harus ditempuh untuk menstabilkan jiwa manusia ini. Dalam perkawinan ada yang namanya komitmen. Kesadaran juga akan perasaan manusia yang selalu berubah-ubah. Akhirnya komitmenlah yang membedakan antara cinta sesaat dengan cinta perkawinan. Mau tidak mau manusia harus bisa mempertahankan perkawinan itu sekuat mungkin29. Pada posisi ini manusia harus konsisten terhadap pilihannya. Dalam Stages on Life’s Way, Kierkegaard menjelaskan betapa pentingnya perkawinan;
Perkawinan adalah perjalanan yang paling penting yang bisa dilakukan oleh manusia. Semua pengalaman lain yang pernah dialami bersifat tidak mendalam dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh seseorang yang telah menikah karena ia telah memahami dengan tepat kedalaman dari eksistensi manusia.30
Ketegasan Kierkegaard akan pentingnya perkawinan di atas amat dijunjung tinggi oleh kaum etis. Manusia bukanlah hewan yang semata hanya memenuhi kebutuhan seksual saja, namun ia mulai sadar adanya peran rasio yang dapat membedakan apakah tindakannya etis atau tidak.
Pada pembahasan tahap eksistensi kali ini, Kierkegaard memilih Sokrates sebagai makhluk yang merepresentasikan tahap etis ini. Sokrates (470-399 sM) merupakan seorang filsuf Yunani kuno yang memiliki daya nalar yang luar biasa. Tokoh ini dikenal sebagai orang yang cinta akan kebijaksanaan. Bahkan melalui
29
Søren Kierkegaard, Stages on Life’s Way, translated by Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1945, 95.
30
(31)
metode dialektikanya ia mampu membuat orang lain tercengang hingga sadar bahwa dirinya harus bersikap bijak dan tidak boleh arogan dengan apa yang dimilikinya.
Lebih-lebih, Sokrates adalah seorang penganut moral yang absolut. Sebagai seorang filsuf, Sokrates merasa wajib untuk menegakkan serta mengkampanyekan tentang moral. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh Sokrates itu tentu bukan tanpa metode yang bagus. Ia memiliki ide-ide rasional yang dapat membuat orang lain tercengang dengan apa yang dia katakan. Ia juga memiliki pengetahuan yang mendalam.31 Karena perannya itu, Kierkegaard menjuluki Sokrates sebagai “Pahlawan Tragis” (Tragic Hero), yang mana ia rela mempertaruhkan namanya demi membela kemurnia nilai dan norma universal.32Menurut Sokrates, penerapan nilai moral harus dimulai dalam diri sendiri semurni mungkin. Sampai akhirnya Sokrates membuktikan apa yang ia katakan ketika ia mendapat hukuman mati. Ia berkata pada dirinya tidak akan melanggar aturan Athena. Sehingga ketika ia dihukum mati untuk meminum racun ia laksanakan. Padahal ia dapat mengajukan hukuman yang lebih ringan. Sokrates menganggap bahwa waktu itula yang tepat untuk menyadarkan semua orang akan pentingnya moral sehingga ia dengan kesadarannya tanpa melawan ketika disuruh meminum racun. Nyawa Sokrates tidak lebih berharga dari kebenaran.33 Pengorbanan Sokrates ini menurut Kierkegaard adalah suatu bentuk kesetiaan dalam memperjuangkan sesuatu yang lebih tinggi. Maka dari itu,
31
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, cetakan ke-9 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 53.
32
Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 126
33
(32)
Sokrates dengan begitu tenang menenggak racun, yang tentunya akan membunuhnya. Baginya, membela suatu yang lebuh tinggi adalah segalanya. Kebenaran menjadi harga mutlak baginya.
Jika dianalisis mendalam, tokoh seperti Sokrates yang digunakan sebagai contoh manusia etis oleh Kierkegaard ini tampak sebagai manusia yang sangat idealis. Dengan bahasa yang agak puitis dapat dikatakan bahwa Sokrates ibarat sebuah lilin. Ia memang mampu untuk menerangi sekitarnya, namun ia akan sirna secara perlahan.
Seperti yang dibahas diawal, baginya kebenaran adalah harga mati. Orang etis selalu berpegang pada prinsip kebenaran yang telah diketahuinya. Ia sadar bahwa nilai moral ini lah yang sebagai kunci untuk menciptakan suatu keadaan bersama yang harmoni. Semua orang akan taat pada tuntutan nilai dan hukum.34 Dengan bahasa lain, nilai keobjektifan inilah yang mendorong kaum etis untuk memperjuangkannya. Sifat ego dalam diri makhluk etis juga tidak nampak dalam ini, sehingga ia sangat berbeda dengan tahap estetis yang cenderung sangat egois, mementingkan diri sendiri.
Akan tetapi, pada tahap ini pun juga memiliki sebuah kelemahan yang tidak bisa dianggap remeh. Ketika seseorang telah sangat ideal dan mematuhi aturan dan nilai yang berlaku maka masalah yang muncul adalah konteks aturan itu. Manusia boleh memiliki aturan, namun pada kondisi tertentu aturan itu bersifat universal dalam kelompoknya saja. Sebagai contoh aturan orang
34
(33)
indonesia, orang barat dan lain-lain memiliki kaidah tersendiri. Kelemahannya adalah aturan itu datang dalam ruang dan lingkup waktu yang tidak kekal sampai pada akhirnya mereka dapat saja bentrok dengan yang lain.
Pada kondisi seperti inilah, manusia menyadari bahwa ada kekurangan fundamental yang perlu diselesaikan bersama. Manusia tidak bisa seutuhnya terkungkung dalam satu aturan yang membuatnya fanatik. Sampai akhirnya mereka juga sadar bahwa hidup secara etis bukanlah hidup yang paling mulia. Dengan akata lain, kelemahan dari tahap ini adalah mereka mengahayati kehidupan berdasarkan kesesuaian norma universal yang berlaku dalam komunitas, bukan pada kesesuaian dengan Tuhan.35
Pada akhirnya, tahap etis juga akan terjerat dalam situasi keputusasaan. Ini dapat terjadi ketika seseorang yang begitu taat pada aturan atau norma namun norma itu hanya bersifat universal dalam sebuah komunitas. Hingga akhirnya ia merasa ada aturan yang seharusnya lebih universal lagi yang tidak bertabrakan dengan aturan yang lain. Dimana aturan itu sesuai dengan batin.36
Pada konteks tersebut, ketika manusia terjebak dalam universalitas sebuah komunitas, partikularitas individu benar-benar tenggelam dalam universalitas. Individu keluar dari dirinya sendiri dalam partikularitasnya. Mereka mendasarkan hidupnya pada universalitas, seperti masyarakat, komunitas atau kelompok, negara. Dalam pandangan Kierkegaard, hidup yang seperti ini akan melahirkan
35
Vardy, Kierkegaard, 62-63.
36
Kierkegaard menyatakan bahwa “inwardness is the relationship of the individual to himself
before God” (Carl Michalson [edit.], The Witness of Kierkegaard [New York: Association Press, 1960] 63
(34)
keputusasaan yang mendalam. Individu mengalami keputusasaan karena tidak ingin menjadi diri sendiri (despair at not willing to be oneself)37. Mereka tidak sanggup menjalnkan semua norma yang ada sehingga muncullah perasaan bersalah.
Perasaan bersalah ini tidak bisa dianggap sepele. Ini dapat menimbulkan keputusasaan juga. Pada akhirnya ia merasa bahwa hidup ini gersang, tidak bergairah dan bahkan tidak bermakna. Pertanyaan besar akan muncul adalah bagaimana sebenarnya dampak atas kesadaran atau tidak sadar akan keputusasaan dari manusia etis ini. Dengan tegas Kierkegaard menjawab bahwa disadari maupun tidak proses keputusasaan ini akan mencelakakan. Keputusasaan adalah langkah negatif yang berpengaruh buruk pada eksistensi manusia.38 Dengan kata lain, manusia tidak akan menjadi manusia yang seutuhnya jika tidak menyadari akan keputusasaannya dan tidak berusaha melampauinya.
Kierkegaard sendiri menyatakan bahwa keputusasaan akan menjadi suatu langkah yang positif jika pengalaman itu disadari sebagai suatu pengalaman keterbatasan manusiawi yang melahirkan suatu usaha baru dalam diri individu untuk mengatasi dan melampauinya. Jadi, apabila sadar saja tidak akan membuat manusia menjadi manusia yang sepenuhnya. Namun, sadar akan keputusasaannya dan berusaha melampauinya.
37
Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 182.
38
(35)
“Seorang yang benar-benar menyadari keputusasaannya mungkin mendapati rumah tempat tinggalnya sungguh menjijikkan atau memahami bahwa terlalu memperhatikan hal-hal duniawi yang merupakan kelemahan.”39
Dalam pernyataan itu terkandung makna bahwa keputusasaaan yang positif ialah yang disadari dan dihayati kemudian melampauinya. Manusia tidak cukup jika hanya sadar tanpa sebuah aksi. Teori dibangun untuk dijadikan sebuah aksi. Jadi teori yang bagus adalah yang dapat diaplikasikan, bukan semata untuk didiskusikan. Kierkegaard juga menuliskan sebagai berikut;
Keputusasaan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang negatif, ketidaksadaran terhadapnya merupakan suatu unsur negatif yang baru. Tetapi untuk meraih kebenaran orang harus menerobos segala yang negatif.40
Kierkegaard memiliki argumentasi tersendiri dengan menyatakan hal tersebut. Menurutnya keputusasaan bukanlah sesuatu hal yang final. Dalam arti keputusasaan di sini akan menjadi titik dasar kesadaran yang menuju kehidupan yang lebih cerah. Dengan adanya keputusasaan manusia akan berfikir kembali dan pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran yang tak pernah disadari sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa keputusasaan merupakan awal dari
39
Terkutip dalam: Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, 105-106.
40
Despair itself is a negativity, unconciousness of it is a new negativity. But to reach truth one must pierce through every negativity (Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 177).
(36)
kehidupan yang sebenarnya.41 Namun peryataan itu menimbulkan pertanyaan besar baru. Seperti apakah kehidupan yang lebih cerah itu?
Dalam menjawab tersebut, Kierkegaard mengembalikan pada hakikat dasar, yakni manusia kembali dalam relasi dengan Tuhan. Manusia menemukan ketidakpuasan dalam hidup dan terasa kering serta gersang karena jauh dari Tuhannya. Keterpisahan manusia dengan Tuhan ini akan membuat dirinya kehilangan pegangan, bagai mengarungi sebuah lautan yang luas, namun kehilangan arah, tidak tahu mau pergi ke mana. Dengan demikian yang dimaksud dengan kehidupan cerah dalam perspektif Kierkegaard adalah kebersatuan antara manusia dengan Tuhannya.
Untuk itu, jalan terbaik adalah dengan kerendahan hati menyerahkan diri kepada Tuhan. Ini karena ketika manusia berpaling dari Tuhan, akan memunculkan jiwa yang gerang dalam dirinya. Secara tidak langsung, sebenarnya Kierkegaard mengajak kepada setiap orang untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Karena hanya dengan cara itu manusia akan benar-benar mendapat kehidupan yang sebenarnya.
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya keputusasaan adalah pintu gerbang menuju kehidupan yang sejatinya. Karena dengan keputusasaan akan berfikir ulang dan tidak menutup kemungkinan, sesuai analisis Kierkegaard akan menemukan kesejatian hidup. Cara konkret yang ditawarkan oleh Kierkegaard adalah dengan mengakui akan keberadaan Tuhan
41
(37)
serta menyerahkan diri pada Tuhan. Namun, ketundukan di sini bukan karena keterpaksaan melainkan kesadaran. Individu yang demikian dapat diterka bahwa akan memilih untuk meloncat ke tahap berikut yang oleh Kierkegaard disebut sebagai tahap religius.
3. Eksistensi Tahap Religius (The Religious Stage)
Telah dibahas sebelumnya bahwa pada tahap estetis maupun etis memiliki kekurangan, yakni berakhir pada keputusasaan. Namun manusia tidak perlu bermuram karena adanya keputusasaan itu karena sebenanrnya ia hanya pintu gerbang untuk menuju eksistensi yang lebih tinggi lagi. Dimensi religius akan terbuka pada saat itu. Dengan demikian, akan ada yang namanya eksitensi religius, eksistensi yang paling tinggi dalam pandangan Kierkegaard. Ini tentu dengan beberapa alasan.42
a. Keputusasaan sebagai Cara Cepat Munuju Kepercayaan (The Leap of Faith)
Seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, keputusasaan bukanlah sebuah final dalam kehidupan, namun ia adalah sebuah jalan menuju permulaan yang sesungguhnya. Dapat juga dikatakan dengan bahasa lain bahwa keputusasaan adalah prakondisi manusia sebelum menuju tahap eksistensi religius yang sebenarnya.
42
Bdk. Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (California: University of Redlands, 1951), hlm. 463.
(38)
Memang pada dasarnya manusia menganggap bahwa keputusaaan adalah sebuah penderitaan yang mendalam yang dialami individu. Memang pernyataan itu juga tak sepenuhnya dapat disalahkan karena jika keputusasaan itu dibawa tanpa kesadaran atau sadar namun tidak ada respon positif atau kehendak dan aksi untuk berbenah, maka itu akan benar-benar menyudutkan manusia pada jurang kehancuran. Kesadaran untuk berbenah ini dimaksudkan adalah kemauan dari dalam diri untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada Tuhan. Ia mengakui bahwa ada realitas Tuhan yang sebagai topangan. Dengan demikian, manusia ketika mendapat problematika besar dalam hidupnya tidak mudah tergoyah. Ketika tergoyah pun ia akan berpegangan dengan tali yang sangat kuat, yakni keyakinan.43 Jadi manusia dalam menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa adanya syarat apapun. Ia dengan kesadaran primanya menuju dan menyadari realitas yang sebenarnya. Sehingga ia tidak merasa dalam kekangan atau dalam belenggu tertentu.44
Tahap religius ini merupakan hasil dari kristalisasi perjalanan hidup. Pada tahap ini tentu akan melahirkan sikap bijaksana juga. Seseorang yang mendapat konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Pun dengan penyerahan, manusia akan menyimpulkan bahwa jalan terakhir memperoleh ketenangan hidup hanyalah dengan menyatu dengan Tuhan. Dalam pernyataan Kierkegaard disebutkan;
43
P. A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 138.
44
(39)
“diri dalam keadaan sehat dan terbebas dari keputusasaan hanya ketika, tepatnya dalam keputusasaan, diri itu bertumpu secara transparan pada Tuhan.”45
Dalam pernyataan Kierkegaard tersebut di atas sejatinya ia hendak mempertegas bahwa manusia harus menyerahkan diri pada Tuhan tanpa kesombongan apapun. Bukan hanya itu, manusia juga dituntut untuk menyerahkan diri secara terbuka tanpa ada rasa setengah hati. Individu pada tahap ini benar-benar yakin bahwa Tuhan dapat menghapuskan penderitaan dan keputusasaan manusia. Harapan besar pada tahap ini adalah Tuhan.46
Maka dari itu, Kierkegaard memberi istilah pada situasi seperti ini sebagai loncatan kepercayaan (the leap of faith). Kierkegaard menjelaskan bahwa satu-satunya cara atau jalan untuk sampai kepada Tuhan adalah kepercayaan atau iman
(faith). Dengan demikian, dalam menuju Tuhan manusia tidak mempunyai formula yang objektif dan rasional. Semua berjalan berdasarkan subjektifitas individu yang diperoleh hanya dengan iman. Jadi eksisteni tahap ini dicapai manakala manusia berhenti berfikir.47 Kierkegaard juga menegaskan tidak ada satu konsep rasional pun yang dapat menjelaskan tentang Tuhan karena Ia ada dalam keyakinan.
45
The self is in sound health and freedom from despair only when, precisely by having been in despair, it is grounded transparently in God (Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, 163).
46
Søren Kierkegaard, Crisis in The Life of an Actrees, translated by Stephen D. Crites (New York: Harper Torchbooks, 1967), 55.
47
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, translated by David F. Swenson and Walter Lowrie, second printing (Princeton: Princeton University Press, 1971), 412.
(40)
Untuk lebih memperdalam dan mengetahui secara jelas konsep tahap ini, Kierkegaard menganalisisnya dalam dua bagian, yakni Religiositas A
(Religiousness A) dan Religiositas B (Religiousness B). Pertama, Kierkegaard, Religiositas A atau lebih dikenal dengan nama Religius Immanen (Immanent Religion).
Dengan “immanen”, yang dimaksudkan oleh Climacus adalah
ketidakbergantungan pada yang “transenden”, pada pewahyuan historis tetapi muncul dari pengalaman yang dialami secara umum bahwa seorang pribadi religius mendasarkan kebahagiaan abadinya pada Tuhan.48
Makna dalam pernyataan di atas adalah pada tahap ini, religiositas A, manusia akan hanya percaya pada kekuasaan Tuhan dan mengabaikan segala yang bukan Tuhan. Ia mengabaikan sisi transendensi Tuhan atau pewahyuan Tuhan (dalam diri Kristus) untuk menyelamatkan manusia. Individu dalam Religiositas A tercermin dalam ungkapan bahwa semua yang ada di bumi ini bersifat temporal. Jadi ia melihat agama sebagai contoh manusia yang sempurna, bukan penyelamat.49
48 By “immanent”, Climacus means that is not dependent upon any “transcendent”, historical
revelation, but is generated from a universally available experience, the religious person’s attempt
to stake her eternal life happiness on God (Climacus adalah nama samaran Kierkegaard. Terkutip dalam: David J. Gouwens, Kierkegaard as Religious Thinker [New York: Cambridge University Press, 1996], 110).
49
(41)
Kierkegaard memberikan pendapat bahwa pada tahap ini cenderung pada corak panteistik.50 Individu secara langsung tanpa sebuah pertobatan menuju kebahagiaan. Pada konteks ini, kebahagiaan tergambar sebagai hal yang sederhana.51 Namun, Kierkegaard menyatakan bahwa religiositas yang sejatinya bukanlah seperti itu. Sehingga manusia masih perlu melakukan perjalanan lagi menuju religiositas B.
Religiositas B berbeda dengan Religiositas A. Kebalikan dari Religiositas A, religiositas B berifat transenden. Ini disadari bahwa sebenarnya manusia mencari kebahagiaan dari being diluar dirinya, yang transenden.52 Paradoks Absolut Manusia-Tuhan (sebagai contoh, Kristus yang merupakan Paradoks besar yang mempersatukan Yang Abadi dan yang mewaktu, Yang Ilahi dan yang manusiawi) menjadi topik pembahan dalam tahap ini.
Pada tipe ini manusia tidak hanya menerima dan percaya akan adanya Tuhan, namun juga yakin bahwa Tujhan adalah kekal.53 Yang terpenting pula dalam pemahaman tipe ini, manusia adalah sesuai apa yang dipercayainya. Ketika manusia percaya bahwa dirinya kekal, maka ia akan kekal juga. Sehingga, percaya menurut Kierkegaard adalah menjadi. Dalam pernyataannya menyebutkan;
50
Panteistik: kata sifat dari Panteisme. Panteisme (Inggris: panteism) dari bahasa Yunani pan
(semua) theos (Allah). Panteisme adalah ajaran filosofis yang mengemukakan bahwa Allah merupakan prinsip impersonal, yang berada di luar alam tetapi identik dengan-Nya. Panteisme meleburkan Allah ke dalam alam seraya menolak unsur adikodrati-Nya. ( Lorens Bagus,
“Panteisme,” Kamus Filsafat [Jakarta: Gramedia, 1996], 774 dan 325
51
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 497
52
In his quest for happiness, man seeks an entity that is transcendent, a being which is outside man (Lescoe, Existentialism: With or Without God, 41). Kierkegaard juga menyatakan bahwa “In
Religiousness B, the edifying is a something outside the individual, the individual does not find edification by finding the relationship within himself, but relates himself to something outside himself to find edification (Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, 498).
53
(42)
“sebagaimana engkau percaya, demikianlah jadinya sebagaimana engkau percaya, demikianlah engkau adanya; percaya adalah menjadi.”54
Menurut Kierkegaard, individu beriman kepada Tuhan tanpa dibuktikan secara obyektif-rasional. Tuhan dapat ditemukan dalam keyakinan dan juga pengalaman pribadi yang subjektif. Di lain sisi, Religiositas B, diindikasikan dengan adanya kesadaran akan dosa dan penerimaan pengampunan. Tahap ini menganggap Agama sebagai juru selamat. Inilah yang dianggap oleh Kierkegaard sebagai puncak pengembaraan manusia.
Kierkegaard memberikan prototipe terkait tahap ini dengan menunjuk Abraham sebagai aktornya yang menjadi gambaran. Abraham dinilai sebagai orang yang bertindak sesuai dengan iman. Ini dapat dilihat ketika Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, anak yang disayanginya, ia lakukan.
54
As thou believest, so it comes to pass; or As thou believest, so art thou; to believe is to be
(43)
BAB III
PENGERTIAN EKSISTENSIALISME dan
SEJARAH KEMUNCULAN EKSISTENSIALISME
A.
Pengertian Eksistensialisme
Pengertian eksistensialisme memang tidak mudah dirumuskan. Ini karena ketika ada definisi berarti adanya pembatasan. Kaum eksistensialis sendiri belum menemukan kesepakatan mengenai apa makna dari eksistensi itu sendiri. Namun, setidaknya dalam kesempatan ini ada beberapa referensi tentang definisi eksistensi1. Istilah Eksistensialisme berasal dari kata latin “ eksistere” yakni “ex” yang berarti “keluar” dan “sitere” yang berarti membuat, berdiri. Sehingga eksistensi berarti ”apa yang ada”, “apa saja yang dialami”, “apa yang memiliki kualitas”. Secara singkatnya, eksistensi menekankan akan keberadaan.
Definisi lain menyatakan bahwa, Eksistensi berasal dari eks artinya keluar, sintesi artinya berdiri. Tidak jauh berbeda dengan definisi awal, eksistnsi di sini berarti berdiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard “Das wesen des daseins
liegh in seiner Existenz” , da-sein adalah tersusun dari dad an sein. “da” disana.
Sein berarti berada. Dengan demikian manusia sadar dengan tempat atau keberadaannya. Ini definisi dari eksistensi2.
1
Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 8
2
(44)
Senada dengan definisi di atas, dengan redaksi yang sedikit berbeda. Istilah Eksistensialisme dari kata “eks” yang artinya “keluar” dan sintensi yang diturunkan dari kata kerja “sisto” yang artinya “berdiri ,menempatkan” oleh karena itu kata eksistensi diartikan sebagai ” manusia yang berdiri sendiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya" sadar bahwa dirinya ada, yaitu yang disebut Aku”.3
Jika mau jujur, definisi tersebut belum mewakili secara penuh tentang arti dari eksistnsialisme. Ini karena masih banyaknya perbedaan dikalangan parah ahli eksistensialis sendiri. Namun jika kita mau menarik benang merahnya, akan terlihat titik persamaan dari mereka. Eksistensialisme pada dasarnya menekankan pada manusia yang konkrit atau seutuhnya. Manusia sebagai makhluk yang bereksistensi, sadar akan keberadaan dirinya.4
Kemudian kesempurnaan eksistensi terletak di dalam “segala sesuatu” konsep eksistensi sebagai suatu yang paling komperehensif dan paling universal yang mempunyai landasan objektif, karena ia bukan sekedar kata kosong atau hayalan pengertian kita belaka tetapi konsep ini memiliki keluasan yang paling luas melampaui semua bidang dari segi isi, dan konsep ini hanya menyangkut satu patokan yaitu eksistensi. Bila Hegel mengatakan eksistensi itu berkonsidasi dengan ketiadaan, sebaliknya gerakan eksistensialisme mengatakan konsep
3
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), 191.
4
Loekisno choiril warsito, paham ketuhanan modern sejarah dan pokok-pokok ajaran nya,(Surabaya, Elkaf,2003.)97-98
(45)
eksistensi itu tidak memperhatikan diterminasi-isi partikular dari eksisten itu tetapi konsep ini adalah konsep yang seluruhnya tidak ditentukan.5
Secara primordial, eksistensi adalah kesempurnaan fundamental dari setiap eksisten. Konsekuensinya ada yang berperan sebagai partisipasi dari eksistensi itu. Eksistensi akan memberikan pengendali sebagai pusat. Ia menjadi pusat dari pengendalian itu sendiri. Kalau menurut pengrtian yang lebih luas, eksistensi mencakup “ada yang mungkin” dan sesuatu apakah “memiliki” eksistensi. Pembahasan tentang Tuhan masuk dalam pengrtian ini. Eksistensi dapat ditelusuri dari sifat-sifat dasarnya.6
Sedangkan, menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2 sub besar, yaitu; bersifat theistic dan atheistic. Theistic adalah aliran eksistensi yang masih menganggap keberadaan Tuhan, mengakuinya. Sedang Athistic adalah aliran yang melepas diri dari Tuhan. Ia sudah tidak menganggap lagi adanya Tuhan. Bahkan mereka tidak segan-segan mengungkapkan kata-kata yang sangat sensitive bagi orang yang beragama, seperti kata “Tuhan telah Mati”.
Jika mau ditelusuri, pendidikan memiliki hubungan erat dengan Eksistensialisme. Ini terjadi karena hanya manusialah yang mendapat pendidikan. Diketahui juga bahwa eksistensi mendasarkan pembahasannya pada manusia.
Eksistensi sudah barang tentu merujuk pada sesuatu yang ada. Keberadaannya pun harus dialami oleh banyak orang. Ini salah satu bentuk
5
Save M. Dagun, filsafat eksistensialisme, (jakarta, rineka cipta, 1990.)19-20
6
(46)
pembuktian adanya eksistensi7. Diketahui bahwa ada dua metode pembenaran atau pembuktian dalam filsafat, yakni verifikasi dan falsifikasi. Dalamverifikasi berarti kita mengambil objek yang sama untuk mendukung. Bertentangan dengan falsifikasi yang berarti bahwa kita mencari tentang objek yang berlawanan. Jadi, dalam verifikasi, semakin banyak objek pendukung kian kuat, sedang dalam falsifikasi semakin banyak objek yang berlawanan ditemukan, maka semakin lemah.
B.
Pra-Eksistensialisme
Masa abad pertengahan, yang juga dikenal dengan masa kegelapan8, nampaknya benar-benar memukul telak para ilmuan. Kebebasan dalam berfikir dikekang. Semua kalangan diharuskan berfikir sesuai dengan arah pemikiran gereja. Jika mereka tak mampu melaksanakan hal tersebut, maka pemikiran akan dicekal. Sebuah gagasan yang tidak senada dengan gereja yang disebarkan, dan dikonsumsi masyarakat luas, maka pemilik ide itu akan segera berhadapan dan diadili di gereja.
Contoh konkrit, Copernicus9, penemu teori “Matahari Sentris” sangat ditentang kala itu, khususnya oleh kalangan gereja yang mengakui “Bumi Sentris”. Pada tahun 1609, Galileo, sang penemu teleskop mendukung teori Copernicus. Melalui teleskopnya dia bisa melihat Saturnus yang dilingkari
7
Louis O.Katsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004)
8
Linda Smith and William Raeper. Ide-ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang, Terj. P Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 121
9
(47)
gelang-gelang, dan tahulah ia bahwa ada empat buah planet yang berputar-putar mengelilingi bumi ini. Selanjutnya, penelitian itu beralih ke planet Venus. Ini merupakan bagian dari bukti penting yang mengukuhkan teori Copernicus bahwa bumi dan semua planet lainnya berputar mengelilingi matahari. Sementara, dukungannya terhadap Copernicus menyebabkan Galileo berhadapan dengan kalangan gereja yang menentangnya habis-habisan.
Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya pada tahun 1616. Dia diperintahkan menahan diri dari menyebarkan hipotesa Copernicus. Galileo merasa terjepit selama bertahun-tahun. Baru sesudah Paus meninggal dunia pada tahun 1623, dia (Paus) digantikan oleh orang yang mengagumi Galileo. Paus baru ini, Urban VII, memberi pertanda walau samar bahwa larangan terhadap Galileo tidak lagi diteruskan.
Enam tahun kemudian, Galileo membuat gebrakan baru dengan menyusun karya ilmiahnya berjudul "Dialog tentang dua sistem penting dunia". Meskipun begitu, penguasa-penguasa Gereja menanggapi dengan sikap berang, tatkala buku itu terbit dan Galileo langsung diseret ke muka pengadilan Agama di Roma. Galileo diminta untuk mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
(48)
Ilmuan berusia 69 tahun ini terpaksa menuruti keinginan penguasa Gereja. Tetapi, dia menunduk ke bumi dan berbisik pelan, "Tengok, dia (bumi ini) masih terus bergerak (berevolusi)10. Mereka tetap berprinsip pada kebenaran.
Otoritas gereja pada saat itu, justru sebenarya membuat manusia berfikir ulang11. Kalangan penentang gereja lambat laun mulai menampakkan tajinya dalam mengusung kebenaran mereka. Mereka ingin medapat sebuah kebebasan, mereka hendak menunjukkan bahwa dalam diri manusia ada sebuah potensi yang sangat besar.
Salah satu pemikiran aliran yang berusaha sadar pada diri manusia itu sendiri adalah aliran eksistensialisme. Mereka mencoba mengkampanyekan bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang sangat hebat. Manusia hanya perlu percaya pada dirinya sendiri. Dengan begitu, segala potensi akan terasah.
C.
Perjalanan Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme merupakan aliran yang sempat menggemparkan dunia keilmuan waktu itu. Manusia beramai-ramai mempelajari aliran ini. Kendati pada masa mendatang, aliran ini cukup rapuh pula, tidak tahan terhadap kritik12.
10
Ary Gynanjar Agustian, ESQ (Jakarta: Arga, 2001), 124-125
11
TIM Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia,2007), 132
12
(49)
Pada masa awalnya, istilah eksistensialisme dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Sedangkan, akar metodologi pngetahuan ini berasal dari tokoh fenomenologi, yakni Edmund husserl (1859-1938)13. Epos sebagai salah satu cara fenomenologi dalam mencapai kebenaran nampaknya cukup berpengaruh dalam perenungan eksistensialisme.
Pada dasarnya istilah eksistensialisme merupakan reaksi kecendrungan terhadap semangat jaman modern, terutama terhadap pemutlakan akal manusia, oleh karena itu eksistensialisme secara khusus dikatakan sebagai lawan dari aliran rasionalisme.
Semua itu tidak mengherankan dalam filsafat. Memang itu adanya, dari kritik antar kritik, tesis dan anti tesis akan terbentuk pengtahuan baru (thesis). Sehingga, Filsafat terlahir dari suatu kritik. Bila terjadi krisik, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Itulah mengapa ada yang mengatakan bahwa filsafat anti kemapanan14.
Kemudian Pada awal abad ke-19, Kerkegaard telah menyaksikan kecendrungan rasionalisme yang meletakkan akal manusia sebagai satu-satunya ukuran bagi segala realitas apapun didunia ini. Serta kemajuan intelektual dan ilmu pengetahuan menyebabkan terjadinya dehumanisasi dalam kebudayaan Eropa. Akal dianggap sebagai sumber utama tentang kebaikan bagi semua pengetahuan manusia dan diluar itu tidak ada pengetahuan yang dianggap benar.
13
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat II, (Yogyakarta: Kanisius, 1980)
14
(50)
Akibatnya kebenaran agama mulai dikritik dan diragukan, sehingga tidak berlebihan sekiranya jika abad ke-19 dianggap sebagai abad pemberontakan terhadap agama. Dan pada masa ini banyak orang yang memiliki kecendrungan mempertahankan kepercayaan agamanya.
D.
Tingkat Eksisten
Konsep eksistensi mempunyai beberapa tingkatan mulai dari tingkatan yang sederhana sampai tingkat yang paling tinggi. Tingkatan-tingkatan ini terbuka kepada kita dan nampak jelas dalam pandangan tentang manusia. ,Manusia sebagai pusat, semua hal itu bertemu pada diri manusia atas dasar ini manusia disebut “mikro kosmos”. Artinya sebagai mikro kosmos alam semesta yang dalam bentuk mini. Dalam kehidupan rohani manusia mampu mengungkapkan realitas yang lebih kaya dalam kepenuhan eksistensinya
Bila kita perhatikan tingkat-tingkat dalam diri manusia kita sampai kepada suatu pengertian akan realitas sub-human sepertia apa yang diuraikan dalam teori evolusi Darwin, yang berkaitan pula berbagai pandangan tentang manusia dari segi matrealisme antropologis dan matrealisme biologis. Apabila kita hanya bertolak dari dua sudut pandang ini dan kita menghilangkan kehidupan rohani dari manusia, maka yang tinggal hanyalah kehidupan hewani saja yang berarti sekedar mempunyai kesadaran indrawi yang terbatas pada kebutuhan biologis.15
15
(51)
E.
Eksistensi dan Eksistential
Dalam gerakan eksistensialisme, istilah eksistensi dan eksistensial merupakan pengembangan istilah eksistensi dalam bahasa kita, ke dua istilah ini sama saja. Tetapi dalam bahasa inggris, istilah ini dibedakan “existential” dan “eksistensiell” kedua istilah ini berasal dari filsafat eksistensialisme Jerman. Kata eksistensial menunjuk pada pengalaman akan realitas dan berbagai dimensi kehidupan. Kemudian menunjuk bahwa kesadaran seseorang, yang dalam bertindak dan memilih dapat menciptakan dan mengekspresikan identitas dirinya sendiri dalam proses bertindak dan memilih yang bertanggung jawab.
Sedangkan istilah “eksistensiil” adalah apa yang mempengaruhi hidup kongrit seseorang pada saat ini dan ditempat ini. Istilah ini difikirkan sebagai akibat pilihan bebas, jadi bahwasannya sekarang sebagai pribadi adalah akibat dari keputusan saya sebelumnya, entah itu keputusan yang baik atau yang jahat.
Dua istilah diatas dapat kita terjemahkan istilah eksistensial sebagai “kodrat” dan eksistensiil adalah “pribadi”.
F.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme
1. Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Saat itu, ayahnya sedang berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Awal ia belajar
(52)
tentang teologi adalah ketika ia masuk universitas Kopenhagen. Ia membuat gebrakan dengan menentang keras pemikiran Hegel, yang kala itu sedang mendominasi universitasnya. Ia juga sempat merasa absurd dengan agama. Ia ingin bebas dari aturan agama. Itulah masa krisisnya. Namun, akhirnya ia kembali ke lingkungan aturan agama. Bahkan, ia menjadi Pastor Lutheran16.
Kierkegaard adalah seorang tokoh eksistensialisme yang membuat semua tulisannya memperhatikan satu persoalan yaitu: bagaimana menjadi orang kritis dan ia orang pertama yang menjadikan istilah eksistensialisme sebagai penolakan terhadap pemikiran yang abstrak yang logis atau filsafat ilmu pengetahuan. Dan mengatakan bahwa akal tidak akan pernah mampu memahami seluruh realitas (eksistensi ) manusia. Realitas yang bersifat eksistensi sepert :nilai-nilai hidup , moralitas, agama, karena seluruh realitas eksistensi ini hanya dapat dialami secara subjektif oleh manusia.
Kemudian ungkapan Kierkegaard dijadikan pegangan bagi para eksistensialis lainnya yang dikenal sebagai metode “subjektif”. Dengan demikian akal bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan bagi manusia, karena pengalaman personal lebih memberikan pemahaman yang lebih jelas terhadap masalah yang berkaitan dengan eksistensi manusia.
Pemikiran Kierkegaard berbeda dengan para filsuf lainnya yang hendak merasionalkan segala sesuatu. Menurutnya agama tidak perlu dibuktikan secara
16
(53)
rasional supaya dapat diterima setiap orang17. Bahkan dia membuat klasifikasi eksistensi menjadi 3 tahap.
Kierkgaard juga aktif sebagai Penulis. Buku prtamanya, Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony) dipublikasikan pada tahun 1841. Buku merepresentasikan pemikirannya yang sangat orisinal dan memperlihatkan kecerdasannya. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846. Karya ini mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan
Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948)18.
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris dari seorang keluarga cendekiawan. Namun, sewaktu masih kecil, Sartre ditinggal mati oleh Ayahnya. Hingga ia dibesarkan oleh ibu dan kakeknya. Hasil didikan dari kakeknya lah yang paling mempengaruhi pemikiran Sartre kedepannya. Sartre benar-benar dipaksa untuk belajar ilmu pengetahuan serta mengembangkan bakatnya semaksimal mungkin19.
17
Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
18
Ibid, 48-49
19
(54)
Diluar Denmark tulisan Kierkegaard tidak berpengaruh banyak kecuali setelah abad ke 20. Pada masa itu terjemahan bahasa jerman selesai dibuat. Setelah perang dunia 1. Sehingga, peminat untuk mempelajari pemikiran Kierkegaard mulai bermunculan seperti Karl Jesper dan Martin Heidegger yang amat berpengaruh kepada gagasan-gagasan pokoknya.
Berawal dari Jerman, pemikiran-pemikiran ini menyebar ke Prancis dimana para penulis dan pemikir tertentu langsung dikenal sebagai orang-orang eksistensialis, mislanya Marcel dan Beryaev. Namun, sering kita jumpai dalam referensi bahwa eksistensialisme Prancis selalu dihubungkan dengan Prancis Jean Paul Sarte.
Sarte memang memiliki pemikiran yang unik. Ia adalah sosok sosok yang langka tentang filosof yang sekaligus juga seorang dermawan. Di sisi lain ia juga seorang novelis yang sukses dan seorang kritikus satra yang produktif. Kita dapat melihat dalam filsafatnya yang menunjukan bahwa manusia modern harus menghadapi fakta bahwa Tuhan tidak ada20. Konsekuensi logisnya adalah benda-benda yang ada di bumi ini adalah ada tanpa maksud, sekadar ada tanpa alas an apapun.
Dengan pernyataan yang menyatakan bahwa dunia ada tanpa maksud, Sartre menamai semua itu dengan kata absurd. Bukan hanya itu, ternyata absurd yang berkepanjangan juga akan membangkitkan rasa muak dalam diri manusia. Muak adalah sesuatu yang menjijikkan karena kurangnya makna dalam
20
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers-100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 sampai 21 (Yogyakarta: ANDI, 2010), 294
(55)
keberadaannya. Manusia dianggap hidup di dunia ini adalah tidak jelas, tidak ada tujuan.
Sartre juga membahas tentang pertanyaan-pertanyaan dasar dalam filsafat, seperti, apakah manusia itu ? di samping itu, ia juga membuat dikotomisasi antara makhluk yang lain dengan manusia. Manusia memiliki kebebasan sedang yang lain tidak memilikinya. Dunia di bawah manusia hanya sekedar ada, hanya disesuaikan, diberikan, sedang manusia menciptakan dirinya sendiri dalam pengertian bahwa ia menciptakan hakikat keberadaannya sendiri. Manusia ada pertama kali sebagai benda tetapi kemudian menjadi manusia sejati ketika ia secara bebas memilih moralitas yang diinginkannya. Dengan kebebasan memilih bagi dirinya sendiri benda-benda maupun nilai untuk dirinya sendiri, ia akan membentuk hahikat dirinya ; ia menciptakan dirinya sendiri. Karena manusia benar-benar menjadi manusia hanya pada tingkat dimana ia menciptakan diriny a sendiri dengan tindakan bebasnya sebagaimana Sartre mengekpresikan , “Manusia bukanlah suatu yang lain kecuali bahwa ia menciptakn dirinya sendiri.”
Lebih ektrem lagi, Sartre menyatakan bahwa manusia berkehendak bebas-sebebas-bebasnya. Menciptakan dirinya sendiri pada pilihan moralitasnya, kemudian timbul ukuran apa yang harus diikuti ? karena Tuhan tidak ada, kata Sartre maka tidak ada hukum mengenai moralitas, tidak ada norma-norma yang objektif. Setiap orang sepenuhnya milik dirinya sendiri, maka ia harus memutuskan untuk dirinya sendiri pula dan harus memilih sendiri.
(56)
Jika dianalisis, maka Sartre akan mendapatkan sebuah masalah besar. Pertanyaan besar untuknya adalah, bagaimana manusia mengatur kehidupan sosialnya jika hanya terfokus pada kehendak bebas. Manusia akan sangat kesulitan untuk mengontrol keadaan, dinamika masyarakat.
Sartre kemudian meneruskan alasannya, dalam memilih dirinya sendiri, setiap manusia mengalami sesuatu perasaan bebas yang memuakkan karena tidak ada ukuran yang diikuti, tidak ada petunjuk yang membantu. Setiap orang adalah miliknya sendiri, ia bebas sekaligus sedih21.
Kebebasan, tanggung jawab, kesedihan yang mendalam dan absurditas adalah tema Sartre yang muncul secara tersirat dalam semua karyanya. Puncak dari semua ini adalah pemikiran tentang kegagalan karena semua usaha manusia pasti akan mengalami kegagalan. Mengapa ? dengan kebebasannya, dengan rencana-rencana dan proyek yang ia buat untuk masa depannya, dengan sasaran-sasaran yang ia siapkan untuk dirinya sendiri, manusia mencoba menjadi makhluk yang lengkap dan sempurna; ia ingin menjadi sebab bagi keberadaannya, menjadi dasar yang sadar atas hidupnya, menjadi makhluk yang secara sadar, sengaja dan dengan bebas membuat dirinya sendiri. Tetapi hal ini tidaklah mungkin. Ia bisa menjadi penyebab dan yang disebabkan, pembentuk dan yang dibentuk, seniman dan tanah lait. Oleh karenanya kehidupan manusia adalah frustasi atau dalam bahasa Sartre ; “ Manusia adalah sebuah hasrat yang sia-sia22.”
21
Vincent Martin, O.P, Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 32-32.
22
(1)
tak hingga. Jika ia baik, ia bisa membayangkan sesuatu yang maha baik.
Jika ia jahat pun, ia bisa membayangkan sesuatu yang maha jahat.
Masalahnya, menurut Feuerbach adalah, bahwa ia lupa bahwa itu adalah
proyeksi, cermin, dari dirinya sendiri. Ia malah seperti kagum, bahkan
takut, pada bayangannya sendiri.
Feuerbach dengan ateismenya ini sebenarnya mengkritik praktek
beragama yang kerdil. Ia melihat bahwa Tuhan yang disembah manusia,
banyak di antaranya adalah bayangan yang diciptakan manusia sendiri.
Ini bisa dilihat dengan jelas dari ciri-ciri Tuhan yang mirip dengan
manusia: bertahta, mendengar, melihat, mendengar, mencinta, cemburu,
membalas, dll. Apakah ini memang Tuhan yang sebenarnya, atau Tuhan
ciptaan manusia.
Pada mulanya bisa jadi Tuhan digambarkan secara manusiawi
supaya bisa lebih dijangkau oleh awam, berbeda dengan Tuhan filosofis
dan mistik yang biasa diperbincangkan para filsuf dan mistikus yang jauh
dari pemahaman biasa. Di satu pihak bisa mendekatkan orang biasa
kepada Tuhan, tetapi di pihak lain beresiko menggambarkan Tuhan
secara kurang tepat.
(2)
Pada posisi tersebut, tahap yang dilalui dalam pemikiran
Kierkegaard sebelum mencapai titik atau tahap religious adalah
keputusasaan. Ini tentu sangat berbahaya jika beragama dilakukan
dengan cara “pelarian”. Perasaan tidak ada pilihan inilah yang justru akan
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Gynanjar. ESQ. Jakarta: Arga, 2001.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, cetakan ke-9. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Auhaena, Humanisme Jean Paul Sartre (Telaah Filosofis). Yogyakarta, UIN SUnan Kalijaga, 2012.
Collins, James. The Mind of Kierkegaard. Chicago: Henry Regnery Company, 1965. Copleston, A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche.
Copleston, Federick. A History of Philosophy, vol. VII Fichte to Nietzsche. New York: Image Books, 1965.
Dagun, Save M. filsafat eksistensialisme.. jakarta, rineka cipta, 1990.
Gouwens, David J. Kierkegaard as Religious Thinker. New York: Cambridge University Press, 1996.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat II. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hasan, Bdk. Fuad. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya, 1973. Hasan, Fuad. Kita dan Kami. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Husaini, Adiani. Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Ihsan, A. Ihsan. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
J. Lescoe, Francis. Existentialism: With or Without God. New York: Alba House, 1974. Katsof, Louis O. Pengantar Filsafat,. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Kenneth Curtis, Stephen Lang J. & randy Peter, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen Terj. A. Rajendran. Jakarta; Gunung Mulia, 2007.
(4)
Kierkegaard, Soren Aabye. “inwardness is the relationship of the individual to himself before God” (Carl Michalson [edit.], The Witness of Kierkegaard. New York: Association Press, 1960.
Kierkegaard, Soren Aabye. Fear and Trembling and The Sickness unto Death. Jakarta: Mizan, 2011.
Kierkegaard, Soren Aabye,” The Encyclopedia of Philosophy, vol. IV, edited by Paul Edwards. New York: Macmillan Publishing Co.; Inc. and The Free Press, 1972. Kierkegaard, Soren Aabye. Concluding Unscientific Postscript, translated by David F.
Swenson and Lowrie, Walter. second printing. Princeton: Princeton University Press, 1971.
Kierkegaard, Soren Aabye. Crisis in The Life of an Actrees, translated by Stephen D. Crites. New York: Harper Torchbooks, 1967.
Kierkegaard, Soren Aabye. Either/Or, vol. I and II, translated by George L. Strengren. New York: Harper and Row Publisher, 1986.
Kierkegaard, Soren Aabye. Stages on Life’s Way, translated by Walter Lowrie. Princeton: Princeton University Press, 1945.
Kierkegaard, Soren Aabye. The Present Age and of The Difference Between A Genius and Apostle, translated by Alexander Dru. New York: Harper Tochbooks, 1962.
Laksono, Eko. Imperium III; Zaman Kebangkitan Besar. Jakarta: Mizan, 2010
Lescoe, Francis J. Existentialism: With or Without God. New York: Alba House, 1974. M. Dagun, Save. Filsafat Eksistensialisme. Jakarta:Rineka Cipta. 1990.
Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal Terj;Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Martin, Vincent O.P, Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Mayer, Bdk. Frederick. A History of Modern Philosophy. California: University of Redlands, 1951.
(5)
R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin. Djakarta:Balai Pustaka.1966.
Sagi, Abraham. Albert Camus and The Philosophy of the Absurd. New York: Amsterdam, 2002.
Shofa, Muhammad. Tahapan-tahapan Eksistensi Manusia. Surabaya, UIN Sunan Ampel, 2012.
Smith, Linda and William Raeper. Ide-ide Filsafat dan Agama, dulu dan sekarang, Terj. P Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi,2007.
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu, 11
Soren, Kierkegaard Aabye. Either/Or, vol. I and II, translated by George L. Strengren. New York: Harper and Row Publisher, 1986.
Sorendatter Lund, Anne. merupakan istri kedua dari Michael Pedersen. The Journals of Søren Kierkegaard. New York: Herpers Torch Books, 1959.
Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Sokrates, Terj. Frans Kowa. Jakarta;Erlangga,2001. Suseno, Franz. Magnis. Sesudah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992.
Tafsir, Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, cetakan ke-9. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Taylor, Mark. “Søren Kierkegaard,” The Encyclopedia of Religion, vol. 7, edited by Mircea Eliade. New York: Macmillan Rublishing Company, 1987.
TIM Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. Jakarta: PT PBK Gunung Mulia,2007.
Titus, Smith dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi. Jakarta:Bulan Bintang. 1984.
(6)
Tjaya, Hidya. Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Gramedia, 2004. Vardy, Peter. Kierkegaard, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Waluya, Bagya. Sosiologi; Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, Bandung: PT Setia Purna Inves,2006.
Warsito, Loekisno choiril. paham ketuhanan modern sejarah dan pokok-pokok ajaran nya.
Surabaya, Elkaf, 2003.
Weij, P. A. van der. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Yong Ohoitimur, “Dari Don Juan ke Abraham,” Manado Post. 4 Oktober 2003.
Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philosophers-100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 sampai 21. Yogyakarta: ANDI, 2010.