13 8 induksi deduksi web p4tk2
BENARKAH GURU MATEMATIKA SEBAIKNYA MENGAJAR SECARA
INDUKTIF DAN BUKAN SECARA DEDUKTIF?
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
Widyaiswara PPPPTK Matematika
([email protected] & www.fadjarp3g.wordpress.com)
Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa teori IPA banyak
disimpulkan menggunakan penalaran induktif (induksi). Sebagai contoh, dari
beberapa kasus khusus seperti besi, aluminium, seng dan tembaga yang jika
dipanasi akan selalu memuai maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
umum (general) yang dikenal dengan suatu teorema, yaitu semua logam jika
dipanasi akan memuai. Di samping itu, berbeda dengan IPA, matematika sudah
dikenal sejak zaman Euclides bersifat deduktif aksiomatis. Bangunan
matematika disusun oleh suatu dasar atau pondasi yang kokoh berupa
kumpulan sifat pangkal (aksioma). Jadi, aksioma adalah semacam dalil atau
teorema yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun akan dijadikan dasar
untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya secara deduktif.
Hal seperti ini tidak dikenal di IPA.
Berkait dengan induksi dan deduksi ini, pada suatu pertemuan, penulis pernah
menyatakan tentang adanya suatu kecenderungan baru (the newest trend)
bahwa proses pembelajaran matematika di kelas sudah dan akan lebih
mengarah ke induktif dari hanya murni deduktif. Beberapa teman sepertinya ada
yang tidak menyetujui peryataan tersebut meskipun tidak dilontarkan secara
jelas, namun hanya berupa gumanan saja. Mungkin saja penulis dianggap salah
ngomong. Karenanya artikel ini disusun dengan maksud untuk menjelaskan
secara umum bahwa pernyataan penulis tadi tidak salah. Meskipun demikian,
penulis akan tetap menghargai setiap pendapat yang berbeda dengannya.
Harapannya, pendapat yang berbeda tersebut dapat dipublikasikan juga di
Limas sehingga akan terjadi saling pengertian dan saling melengkapi di antara
kedua pendapat tersebut. Itupun jika memang benar ada perbedaan. Namun,
mudahmudahan saja tidak ada perbedaan di antara kita. Berikut ini akan
dijelaskan secara lebih terinci beberapa alasan yang mendasari pernyataan
tersebut, dimulai dari alasan tentang pengertian matematika, diikuti pendapat
Polya dan Lakatos yang samasama akan menunjukkan pentingnya para siswa
belajar secara induktif dan tidak hanya belajar secara deduktif.
Pengertian Matematika
Courant & Courant pada 1981 menulis buku teks matematika yang sangat
terkenal untuk mahasiswanya dengan judul: “What is Mathematics”. Buku
1
tersebut tidak membahas secara khusus tentang apa itu matematika. Ternyata,
jawaban untuk pertanyaan ‘Apa sih Matematika itu?’ tidaklah semudah yang
dibayangkan. Jika Anda yang mendapat pertanyaan seperti itu, lalu apa jawaban
Anda? De Lange (2005:8) seorang pakar pendidikan matematika dari Freudenthal
Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang sangat terkenal dengan
Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan: “‘What is mathematics?’ is
not a simple question to answer.”
Faktanya, materi (content) yang dibahas matematika pada tahun 1900 jelasjelas
akan berbeda dengan materi matematika pada tahun 2008. De Lange (2005:8)
mencatat ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak
hanya itu, kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900
akan sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada
saat sekarang. Pada tahun 1900an komputer dan kalkulator belum ada. Yang
ada waktu itu hanyalah mistar hitung. Hal inilah yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan
pembelajaran matematika di kelas. Jadi, tujuan dan proses pembelajaran
matematika di kelas akan selalu berubah karena harus menyesuaikan dengan
perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap
matematika.
Belasan tahun lalu, NRC (National Research Council, 1989:1) dari Amerika Serikat
telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan berikut: “
Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke arah
peluangpeluang. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa keberhasilan
mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Bagi para
warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang tepat.
Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk bersaing dan
berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Meskipun demikian, ada
pengakuan tulus juga dari para pakar pendidikan matematika (NRC, 1989:3)
bahwa sesungguhnya kemampuan membaca akan jauh lebih penting dan lebih
mendasar dari matematika.
Kecenderungan pada saat ini menunjukkan bahwa definisi matematika lebih
dikaitkan dengan kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan.
Karena itulah, NRC (1989:31) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics
is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang
membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). De Lange
(2005:8) menyatakan hal yang sama: “Mathematics could be seen as the language
that describes patterns – both patterns in nature and patterns invented by the
human mind.” Jelaslah sekarang bahwa matematika dapat dilihat sebagai bahasa
yang menjelaskan tentang pola; baik pola di alam dan maupun pola yang
ditemukan melalu pikiran.
Masih menurut De Lange (2005:8); polapola pada matematika tersebut bisa
berbentuk real (nyata) maupun berbentuk imajinasi, dapat dilihat atau hanya
dalam bentuk mental, statis atau dinamis, kualitatif atau kuantitatif, asli dan
nyata yang berkait dengan kehidupan nyata seharihari atau tidak lebih dari
hanya sekedar untuk keperluan rekreasi. Halhal tersebut dapat muncul dari
lingkungan sekitar, dari kedalaman ruang dan waktu, atau dari hasil pekerjaan
2
pikiran insani. Formulasi definisi seperti yang dinyatakan NRC maupun De
Lange menunjukkan bahwa langkah paling tepat mempelajari pola atau
keteraturan adalah dengan menggunakan penalaran induktif; di mana
pembelajarannya dimulai dengan contohcontoh khusus, diikuti dengan
keteraturan keteraturan yang ada. Agar lebih jelas, berikut ini akan dipaparkan
pendapat Polya maupun Lakatos yang akan menunjukkan pentingnya
memfasilitasi siswa untuk belajar secara induktif.
Pendapat Polya
George Polya (1973: VII) di dalam bukunya yang sangat terkenal dan menjadi
buku acuan tentang pemecahan masalah, yaitu ‘How to Solve It’ menyatakan:
“Yes, mathematics has two faces; it is the rigorous science of Euclid but it is also
something else. Mathematics presented in the Euclidean way appears as a
systematic, deductive science; but mathematics in the making appears as an
experimental, inductive science.” Pendapat Polya ini telah menunjukkan bahwa
matematika memiliki dua sisi. Pada satu sisinya matematika sebagai hasil karya
Euclides merupakan ilmu yang eksak, namun pada sisi yang lain, sesungguhnya
matematika memiliki hal lain. Matematika yang disajikan dalam bentuk seperti
hasil kerja Euclides muncul sebagai ilmu yang sistematis dan deduktif. Akan
tetapi, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkan; matematika muncul
sebagai ilmu yang mengunakan sifat eksperimen dan induktif. Hal ini
menunjukkan pengakuan Polya tentang pentingnya penalaran induktif (induksi)
dalam pengembangan matematika dan secara tersirat pada proses
pembelajarannya. Berikut ini adalah penjelasannya secara lebih rinci,
berdasarkan pengalaman penulis.
Ketika penulis sedang mengikuti kuliah dan untuk pertama kalinya mempelajari
turunan (differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah langsung secara
deduktif menyatakan definisi turunan adalah:
f ' ( x ) lim
x 0
f ( x x ) f ( x )
x
Hal yang sama terjadi ketika proses pembelajaran teorema limit yang langsung
dimulai dengan definisi. Meskipun Anda seorang guru, jika Anda mempelajari
limit langsung dengan definisi, apakah Anda langsung memahaminya? Hal yang
sama akan terjadi ketika proses pembelajaran Aljabar, di mana prosesnya
langsung dimulai dari beberapa sifat penjumlahan dan perkalian seperti sifat
tertutup, komutatif, asosiatif, adanya unsur identitas, invers dan sifat distributif
perkalian terhadap penjumlahan dan diikuti dengan membuktikan beberapa
rumus atau teorema seperti a.(b) = (ab). Pada proses pembelajaran seperti itu
teorema matematika telah dibahas sebagai ilmu yang eksak, sistematis dan
deduktif. Mahasiswa tidak mengetahui darimana dan bagaimana rumus itu
didapat.
Padahalnya, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkannya teorema
turunan adalah tidak seperti itu, telah terjadi perjuangan yang sangat menarik
untuk mendapatkannya. Teorema peluang misalnya ditemukan secara tidak
sengaja dari arena judi. Menurut buku yang penulis pernah baca namun lupa
3
judulnya, penemuan teorema awal differensial ditemukan ketika seseorang
mencatat jarak yang ditempuh suatu benda (partikel) yang dilepaskan dari
puncak menara miring Pisa. Ternyata, hubungan yang didapat antara waktu t
(dalam detik) dengan jarak yang ditempuh s (dalam meter) adalah mendekati:
s(t) = 5t2
Dengan demikian, dalam waktu 6 detik, jarak yang ditempuh benda tersebut
adalah 5×62 = 5×36 = 180m. Sedangkan dalam waktu 4 detik, jarak yang
ditempuh benda adalah 5×42 = 5×16 = 80m. Jika ditanyakan kecepatan benda
untuk selang t = 4 sampai t = 6, maka kecepatan ratarata benda pada selang
tersebut adalah (180 80)/(6 4) = 100/2 = 50m/detik. Secara matematis
perhitungan itu dapat dinyatakan dengan:
Selang Jarak
180 80 s(6) s( 4)
Selang Waktu
2
6 4
Sekarang, pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana caranya
menentukan kecepatan ratarata benda pada:
1. selang antara t = 4 sampai t = 4,2?
2. selang waktu antara t = 4 sampai t = 4,0000002?
3. tepat pada waktu t = 4?
Jawaban pertanyaan 1 dan 2 adalah seperti di atas. Namun pertanyaan terakhir
dapat juga dinyatakan dengan cara di atas, yaitu untuk selang antara t = 4
sampai t = 4,000...0001. Sehingga kecepatannya menjadi:
v( 4) lim
s( 4 0,000...0001) s( 4)
atau
0,000...0001
Perhatikan bahwa 0,000...0001 merupakan bilangan yang sangat kecil
sedemikian sehingga mendekati 0 namun tidak sama dengan 0 dan diberi notasi
0,000...00010 atau dapat juga dilambangkan dengan h0 atau x0,
sehingga didapat:
s( 4 h) s(h)
atau
h 0
h
f ( x x ) f ( x )
f ' ( x ) lim
x 0
x
v( 4) lim
Jelaslah bahwa pada proses penemuan yang berkait dengan definisi differensial
ini telah terjadi penalaran induktif dan bukan penalaran deduktif, sebagaimana
dinyatakan Polya. Dimulai dari kasuskasus khusus, akan didapat pola atau
keteraturan yang selanjutnya mengarah ke definisinya. Pertanyaan selanjutnya
adalah: Manakah yang lebih penting, kemampuan penalaran secara induktif
atau deduktif? Kedua penalaran tersebut sama penting. Namun, sebagaimana
dinyatakan Polya, pada satu sisinya matematika merupakan ilmu yang eksak,
sistematis dan deduktif. Akan tetapi, pada waktu proses ditemukan atau
dikembangkan matematika muncul sebagai ilmu yang mengunakan sifat
eksperimen dan induktif. Namun, jika kemampuan menemukan juga
dibutuhkan siswa dan bangsa ini, maka jelas bahwa siswa harus difasilitasi
untuk belajar secara induktif dan tidak hanya melulu deduktif. Artinya, dari
induktif baru ke deduktif.
4
Pendapat Lakatos
Di samping Polya yang dikenal sebagai pakar pemecahan masalah, Lakatos yang
dikenal sebagai filusuf, sebagaimana dikutip Burton (1992:2) membuat
pernyataan yang lebih keras: “Deductivist style hides the struggle, hides the
adventure. The whole story vanishes, the successive tentative formulations of the
theorem in the course of the proofprocedure are doomed to oblivion while the end
result is exalted into sacred infallibility” Artinya, cara deduktif telah
menyembunyikan perjuangan dan petualangan (penemunya). Semua ceritera
sudah usai, uruturutan yang bersifat tentatif atau nisbi dari formulasi teorema
teorema, dalam pelajaran yang mengutamakan prosedur pembuktian telah
dimatikan ke arah yang tidak berarti, sedangkan hasilnya telah diagung
agungkan sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan dan dikeramatkan.
Kembali ke waktu di mana penulis sedang mengikuti kuliah tentang turunan
(differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah sesuatu yang sudah jadi,
yaitu suatu definisi turunan adalah:
f ( x x ) f ( x )
x 0
x
f ' ( x ) lim
Namun proses pembelajarannya sama sekali tidak membahas atau tidak
menceriterakan bahkan telah menyembunyikan perjuangan dan petualangan
yang dilakukan si penemu teorema tersebut. Semua ceritera mengenai
kehebatan si penemu sama sekali tidak nampak. Padahalnya, dari ceritera tadi,
nampak jelas kehebatan si penemu ketika ia mulai berpikir dari kasuskasus
khusus tersebut, lalu muncul pertanyaan berikut: “Bagaimana caranya
menentukan kecepatan benda pada waktu t = 4?” Pertanyaan inilah yang
memunculkan teori tentang turunan. Kadangkadang muncul di benak penulis,
bagaimana dan mengapa tibatiba muncul pertanyaan yang sangat hebat seperti
itu pada diri si penemu? Lalu, mengapa bukan salah seorang warga bangsa kita
yang memunculkan pertanyaan seperti itu untuk pertama kalinya?
Dari contoh tentang pembelajaran differensial di saat kuliah tadi, di mana
pembelajarannya lebih mengacu pada pembelajaran deduktif, halhal yang harus
dilakukan dan diketahui siswa sudah tertentu, sudah jelas dan sudah terarah.
Namun proses pembelajaran yang diinginkan para pakar pendidikan matematika
sekarang adalah dengan memulai pembelajarannya dengan menayangkan
‘masalah kontektual’ atau ‘masalah realistik’ sehingga para siswa difasilitasi
untuk melakukan eksplorasi, investigasi, inkuari dan berkomunikasi dengan
temantemannya. Selanjutnya, berkait dengan investigasi, Bastow, dkk (1986)
menyatakan, “Investigating is not just getting the right answers but asking the
right questions”. Artinya, pada proses investigasi (atau proses eksplorasi maupun
proses penemuan) intinya adalah bukan hanya pada jawaban yang benar saja,
namun juga untuk belajar mengajukan pertanyaan yang benar. Fasilitasi bagi
para siswa untuk belajar mengajukan pertanyaan akan lebih banyak pada
pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif daripada hanya
murni deduktif. Investigasi, eksplorasi, ataupun penemuan merupakan aktivitas
yang dapat memfasilitasi siswa untuk mempelajari induksi dan deduksi.
5
Selanjutnya, pendekatan terbaru seperti pembelajaran matematika realistik,
kontekstual, kooperatif, PAKEM, ataupun pemecahan masalah adalah sangat
cocok dengan pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif.
Penutup
Istilah pola dan generalisasi jelas menunjukkan bahwa pelajaran matematika ini
mengacu pada pembelajaran yang berkait dengan penalaran induktif.
Selanjutnya, perhatikan pendapat Giere (1984: 45) berikut: ”The general
characteristic of inductive arguments is that they are kowledge expanding; that is,
their conclusions contain more information than all they are premises combined”.
Pada penalaran induktif, dari beberapa kasus khusus, dapat disusun suatu
kesimpulan yang bersifat umum (general). Proses penalaran induktif ini menjadi
sangat penting, karena ilmu pengetahuan, termasuk matematika, tidak akan
pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan
pernyataan baru yang bersifat umum yang melebihi kasuskasus khususnya.
Contohnya, differensial tidak akan ada tanpa eksperimen dan induksi.
Hal inilah yang telah menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif
dibandingkan dengan penalaran deduktif. Mengingat begitu hebat dan besarnya
kelebihan dari penalaran induktif ini, maka pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran matematika sudah seharusnya dimulai secara induktif dan
dilanjutkan dengan deduktif. Tidak hanya di bangku SD dan SMP saja langkah
pembelajaran seperti itu dilaksanakan, namun juga di SMA dan SMK harus
dilakukan seperti ditunjukkan dengan contoh tentang differensial yang sangat
jelas dan gamblang pada penemuan dan implikasinya pada pembelajarannya.
Terakhir, terhadap pertanyaan pada judul artikel ini, yaitu: “Benarkah guru
matematika sebaiknya mengajar secara induktif dan bukan secara deduktif?”
Lalu bagaimana jawaban Anda? Yakinkah Anda dengan jawaban Anda tersebut?
Jawaban penulis sebagaimana disampaikan di depan adalah keduanya sangat
dibutuhkan. Kedua penalaran itu memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri
sendiri. Pada intinya, untuk lebih memahamkan siswa dapat digunakan
penalaran induktif lalu pembuktiannya menggunakan penalaran deduktif. Jadi
tidak benar juga hanya menggunakan penalaran induktif saja.
Daftar Pustaka
Bastow, B.; Hughes, J.; Kissane, B.; & Randall, R.; (1986). Another 20
Investigational Work. Perth: Mawa.
Burton, L. (1992). Implications of constructivism for achievement in
mathematics. Pada buku: 7th International Congress on Mathematical
Education (ICME7). Topic Group 10; Constructivist Interpretations of
Teaching and Learning Mathematics. Perth: Curtin University of Technology.
De Lange, J. (2005). Mathematical Literacy for Living from OECDPISA Perspective.
Paris: OECDPISA.
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas
6
Giere, R. N. (1984). Understanding Scientific Reasoning (2ndEdition). New York:
Holt, Rinehart and Winston.
NRC (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of
Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.
Polya, G. (1973). How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.
7
INDUKTIF DAN BUKAN SECARA DEDUKTIF?
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
Widyaiswara PPPPTK Matematika
([email protected] & www.fadjarp3g.wordpress.com)
Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa teori IPA banyak
disimpulkan menggunakan penalaran induktif (induksi). Sebagai contoh, dari
beberapa kasus khusus seperti besi, aluminium, seng dan tembaga yang jika
dipanasi akan selalu memuai maka dapat ditarik suatu kesimpulan yang bersifat
umum (general) yang dikenal dengan suatu teorema, yaitu semua logam jika
dipanasi akan memuai. Di samping itu, berbeda dengan IPA, matematika sudah
dikenal sejak zaman Euclides bersifat deduktif aksiomatis. Bangunan
matematika disusun oleh suatu dasar atau pondasi yang kokoh berupa
kumpulan sifat pangkal (aksioma). Jadi, aksioma adalah semacam dalil atau
teorema yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan namun akan dijadikan dasar
untuk membuktikan dalil atau teorema matematika selanjutnya secara deduktif.
Hal seperti ini tidak dikenal di IPA.
Berkait dengan induksi dan deduksi ini, pada suatu pertemuan, penulis pernah
menyatakan tentang adanya suatu kecenderungan baru (the newest trend)
bahwa proses pembelajaran matematika di kelas sudah dan akan lebih
mengarah ke induktif dari hanya murni deduktif. Beberapa teman sepertinya ada
yang tidak menyetujui peryataan tersebut meskipun tidak dilontarkan secara
jelas, namun hanya berupa gumanan saja. Mungkin saja penulis dianggap salah
ngomong. Karenanya artikel ini disusun dengan maksud untuk menjelaskan
secara umum bahwa pernyataan penulis tadi tidak salah. Meskipun demikian,
penulis akan tetap menghargai setiap pendapat yang berbeda dengannya.
Harapannya, pendapat yang berbeda tersebut dapat dipublikasikan juga di
Limas sehingga akan terjadi saling pengertian dan saling melengkapi di antara
kedua pendapat tersebut. Itupun jika memang benar ada perbedaan. Namun,
mudahmudahan saja tidak ada perbedaan di antara kita. Berikut ini akan
dijelaskan secara lebih terinci beberapa alasan yang mendasari pernyataan
tersebut, dimulai dari alasan tentang pengertian matematika, diikuti pendapat
Polya dan Lakatos yang samasama akan menunjukkan pentingnya para siswa
belajar secara induktif dan tidak hanya belajar secara deduktif.
Pengertian Matematika
Courant & Courant pada 1981 menulis buku teks matematika yang sangat
terkenal untuk mahasiswanya dengan judul: “What is Mathematics”. Buku
1
tersebut tidak membahas secara khusus tentang apa itu matematika. Ternyata,
jawaban untuk pertanyaan ‘Apa sih Matematika itu?’ tidaklah semudah yang
dibayangkan. Jika Anda yang mendapat pertanyaan seperti itu, lalu apa jawaban
Anda? De Lange (2005:8) seorang pakar pendidikan matematika dari Freudenthal
Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang sangat terkenal dengan
Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan: “‘What is mathematics?’ is
not a simple question to answer.”
Faktanya, materi (content) yang dibahas matematika pada tahun 1900 jelasjelas
akan berbeda dengan materi matematika pada tahun 2008. De Lange (2005:8)
mencatat ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak
hanya itu, kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900
akan sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada
saat sekarang. Pada tahun 1900an komputer dan kalkulator belum ada. Yang
ada waktu itu hanyalah mistar hitung. Hal inilah yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan
pembelajaran matematika di kelas. Jadi, tujuan dan proses pembelajaran
matematika di kelas akan selalu berubah karena harus menyesuaikan dengan
perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap
matematika.
Belasan tahun lalu, NRC (National Research Council, 1989:1) dari Amerika Serikat
telah menyatakan pentingnya Matematika dengan pernyataan berikut: “
Mathematics is the key to opportunity.” Matematika adalah kunci ke arah
peluangpeluang. Masih menurut NRC, bagi seorang siswa keberhasilan
mempelajarinya akan membuka pintu karir yang cemerlang. Bagi para
warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang tepat.
Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk bersaing dan
berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Meskipun demikian, ada
pengakuan tulus juga dari para pakar pendidikan matematika (NRC, 1989:3)
bahwa sesungguhnya kemampuan membaca akan jauh lebih penting dan lebih
mendasar dari matematika.
Kecenderungan pada saat ini menunjukkan bahwa definisi matematika lebih
dikaitkan dengan kemampuan berpikir yang digunakan para matematikawan.
Karena itulah, NRC (1989:31) menyatakan dengan singkat bahwa: “Mathematics
is a science of patterns and order.” Artinya, matematika adalah ilmu yang
membahas pola atau keteraturan (pattern) dan tingkatan (order). De Lange
(2005:8) menyatakan hal yang sama: “Mathematics could be seen as the language
that describes patterns – both patterns in nature and patterns invented by the
human mind.” Jelaslah sekarang bahwa matematika dapat dilihat sebagai bahasa
yang menjelaskan tentang pola; baik pola di alam dan maupun pola yang
ditemukan melalu pikiran.
Masih menurut De Lange (2005:8); polapola pada matematika tersebut bisa
berbentuk real (nyata) maupun berbentuk imajinasi, dapat dilihat atau hanya
dalam bentuk mental, statis atau dinamis, kualitatif atau kuantitatif, asli dan
nyata yang berkait dengan kehidupan nyata seharihari atau tidak lebih dari
hanya sekedar untuk keperluan rekreasi. Halhal tersebut dapat muncul dari
lingkungan sekitar, dari kedalaman ruang dan waktu, atau dari hasil pekerjaan
2
pikiran insani. Formulasi definisi seperti yang dinyatakan NRC maupun De
Lange menunjukkan bahwa langkah paling tepat mempelajari pola atau
keteraturan adalah dengan menggunakan penalaran induktif; di mana
pembelajarannya dimulai dengan contohcontoh khusus, diikuti dengan
keteraturan keteraturan yang ada. Agar lebih jelas, berikut ini akan dipaparkan
pendapat Polya maupun Lakatos yang akan menunjukkan pentingnya
memfasilitasi siswa untuk belajar secara induktif.
Pendapat Polya
George Polya (1973: VII) di dalam bukunya yang sangat terkenal dan menjadi
buku acuan tentang pemecahan masalah, yaitu ‘How to Solve It’ menyatakan:
“Yes, mathematics has two faces; it is the rigorous science of Euclid but it is also
something else. Mathematics presented in the Euclidean way appears as a
systematic, deductive science; but mathematics in the making appears as an
experimental, inductive science.” Pendapat Polya ini telah menunjukkan bahwa
matematika memiliki dua sisi. Pada satu sisinya matematika sebagai hasil karya
Euclides merupakan ilmu yang eksak, namun pada sisi yang lain, sesungguhnya
matematika memiliki hal lain. Matematika yang disajikan dalam bentuk seperti
hasil kerja Euclides muncul sebagai ilmu yang sistematis dan deduktif. Akan
tetapi, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkan; matematika muncul
sebagai ilmu yang mengunakan sifat eksperimen dan induktif. Hal ini
menunjukkan pengakuan Polya tentang pentingnya penalaran induktif (induksi)
dalam pengembangan matematika dan secara tersirat pada proses
pembelajarannya. Berikut ini adalah penjelasannya secara lebih rinci,
berdasarkan pengalaman penulis.
Ketika penulis sedang mengikuti kuliah dan untuk pertama kalinya mempelajari
turunan (differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah langsung secara
deduktif menyatakan definisi turunan adalah:
f ' ( x ) lim
x 0
f ( x x ) f ( x )
x
Hal yang sama terjadi ketika proses pembelajaran teorema limit yang langsung
dimulai dengan definisi. Meskipun Anda seorang guru, jika Anda mempelajari
limit langsung dengan definisi, apakah Anda langsung memahaminya? Hal yang
sama akan terjadi ketika proses pembelajaran Aljabar, di mana prosesnya
langsung dimulai dari beberapa sifat penjumlahan dan perkalian seperti sifat
tertutup, komutatif, asosiatif, adanya unsur identitas, invers dan sifat distributif
perkalian terhadap penjumlahan dan diikuti dengan membuktikan beberapa
rumus atau teorema seperti a.(b) = (ab). Pada proses pembelajaran seperti itu
teorema matematika telah dibahas sebagai ilmu yang eksak, sistematis dan
deduktif. Mahasiswa tidak mengetahui darimana dan bagaimana rumus itu
didapat.
Padahalnya, pada waktu proses ditemukan atau dikembangkannya teorema
turunan adalah tidak seperti itu, telah terjadi perjuangan yang sangat menarik
untuk mendapatkannya. Teorema peluang misalnya ditemukan secara tidak
sengaja dari arena judi. Menurut buku yang penulis pernah baca namun lupa
3
judulnya, penemuan teorema awal differensial ditemukan ketika seseorang
mencatat jarak yang ditempuh suatu benda (partikel) yang dilepaskan dari
puncak menara miring Pisa. Ternyata, hubungan yang didapat antara waktu t
(dalam detik) dengan jarak yang ditempuh s (dalam meter) adalah mendekati:
s(t) = 5t2
Dengan demikian, dalam waktu 6 detik, jarak yang ditempuh benda tersebut
adalah 5×62 = 5×36 = 180m. Sedangkan dalam waktu 4 detik, jarak yang
ditempuh benda adalah 5×42 = 5×16 = 80m. Jika ditanyakan kecepatan benda
untuk selang t = 4 sampai t = 6, maka kecepatan ratarata benda pada selang
tersebut adalah (180 80)/(6 4) = 100/2 = 50m/detik. Secara matematis
perhitungan itu dapat dinyatakan dengan:
Selang Jarak
180 80 s(6) s( 4)
Selang Waktu
2
6 4
Sekarang, pertanyaan yang dapat diajukan adalah bagaimana caranya
menentukan kecepatan ratarata benda pada:
1. selang antara t = 4 sampai t = 4,2?
2. selang waktu antara t = 4 sampai t = 4,0000002?
3. tepat pada waktu t = 4?
Jawaban pertanyaan 1 dan 2 adalah seperti di atas. Namun pertanyaan terakhir
dapat juga dinyatakan dengan cara di atas, yaitu untuk selang antara t = 4
sampai t = 4,000...0001. Sehingga kecepatannya menjadi:
v( 4) lim
s( 4 0,000...0001) s( 4)
atau
0,000...0001
Perhatikan bahwa 0,000...0001 merupakan bilangan yang sangat kecil
sedemikian sehingga mendekati 0 namun tidak sama dengan 0 dan diberi notasi
0,000...00010 atau dapat juga dilambangkan dengan h0 atau x0,
sehingga didapat:
s( 4 h) s(h)
atau
h 0
h
f ( x x ) f ( x )
f ' ( x ) lim
x 0
x
v( 4) lim
Jelaslah bahwa pada proses penemuan yang berkait dengan definisi differensial
ini telah terjadi penalaran induktif dan bukan penalaran deduktif, sebagaimana
dinyatakan Polya. Dimulai dari kasuskasus khusus, akan didapat pola atau
keteraturan yang selanjutnya mengarah ke definisinya. Pertanyaan selanjutnya
adalah: Manakah yang lebih penting, kemampuan penalaran secara induktif
atau deduktif? Kedua penalaran tersebut sama penting. Namun, sebagaimana
dinyatakan Polya, pada satu sisinya matematika merupakan ilmu yang eksak,
sistematis dan deduktif. Akan tetapi, pada waktu proses ditemukan atau
dikembangkan matematika muncul sebagai ilmu yang mengunakan sifat
eksperimen dan induktif. Namun, jika kemampuan menemukan juga
dibutuhkan siswa dan bangsa ini, maka jelas bahwa siswa harus difasilitasi
untuk belajar secara induktif dan tidak hanya melulu deduktif. Artinya, dari
induktif baru ke deduktif.
4
Pendapat Lakatos
Di samping Polya yang dikenal sebagai pakar pemecahan masalah, Lakatos yang
dikenal sebagai filusuf, sebagaimana dikutip Burton (1992:2) membuat
pernyataan yang lebih keras: “Deductivist style hides the struggle, hides the
adventure. The whole story vanishes, the successive tentative formulations of the
theorem in the course of the proofprocedure are doomed to oblivion while the end
result is exalted into sacred infallibility” Artinya, cara deduktif telah
menyembunyikan perjuangan dan petualangan (penemunya). Semua ceritera
sudah usai, uruturutan yang bersifat tentatif atau nisbi dari formulasi teorema
teorema, dalam pelajaran yang mengutamakan prosedur pembuktian telah
dimatikan ke arah yang tidak berarti, sedangkan hasilnya telah diagung
agungkan sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan dan dikeramatkan.
Kembali ke waktu di mana penulis sedang mengikuti kuliah tentang turunan
(differensial), maka yang dilakukan sang dosen adalah sesuatu yang sudah jadi,
yaitu suatu definisi turunan adalah:
f ( x x ) f ( x )
x 0
x
f ' ( x ) lim
Namun proses pembelajarannya sama sekali tidak membahas atau tidak
menceriterakan bahkan telah menyembunyikan perjuangan dan petualangan
yang dilakukan si penemu teorema tersebut. Semua ceritera mengenai
kehebatan si penemu sama sekali tidak nampak. Padahalnya, dari ceritera tadi,
nampak jelas kehebatan si penemu ketika ia mulai berpikir dari kasuskasus
khusus tersebut, lalu muncul pertanyaan berikut: “Bagaimana caranya
menentukan kecepatan benda pada waktu t = 4?” Pertanyaan inilah yang
memunculkan teori tentang turunan. Kadangkadang muncul di benak penulis,
bagaimana dan mengapa tibatiba muncul pertanyaan yang sangat hebat seperti
itu pada diri si penemu? Lalu, mengapa bukan salah seorang warga bangsa kita
yang memunculkan pertanyaan seperti itu untuk pertama kalinya?
Dari contoh tentang pembelajaran differensial di saat kuliah tadi, di mana
pembelajarannya lebih mengacu pada pembelajaran deduktif, halhal yang harus
dilakukan dan diketahui siswa sudah tertentu, sudah jelas dan sudah terarah.
Namun proses pembelajaran yang diinginkan para pakar pendidikan matematika
sekarang adalah dengan memulai pembelajarannya dengan menayangkan
‘masalah kontektual’ atau ‘masalah realistik’ sehingga para siswa difasilitasi
untuk melakukan eksplorasi, investigasi, inkuari dan berkomunikasi dengan
temantemannya. Selanjutnya, berkait dengan investigasi, Bastow, dkk (1986)
menyatakan, “Investigating is not just getting the right answers but asking the
right questions”. Artinya, pada proses investigasi (atau proses eksplorasi maupun
proses penemuan) intinya adalah bukan hanya pada jawaban yang benar saja,
namun juga untuk belajar mengajukan pertanyaan yang benar. Fasilitasi bagi
para siswa untuk belajar mengajukan pertanyaan akan lebih banyak pada
pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif daripada hanya
murni deduktif. Investigasi, eksplorasi, ataupun penemuan merupakan aktivitas
yang dapat memfasilitasi siswa untuk mempelajari induksi dan deduksi.
5
Selanjutnya, pendekatan terbaru seperti pembelajaran matematika realistik,
kontekstual, kooperatif, PAKEM, ataupun pemecahan masalah adalah sangat
cocok dengan pembelajaran yang lebih mengacu pada pembelajaran induktif.
Penutup
Istilah pola dan generalisasi jelas menunjukkan bahwa pelajaran matematika ini
mengacu pada pembelajaran yang berkait dengan penalaran induktif.
Selanjutnya, perhatikan pendapat Giere (1984: 45) berikut: ”The general
characteristic of inductive arguments is that they are kowledge expanding; that is,
their conclusions contain more information than all they are premises combined”.
Pada penalaran induktif, dari beberapa kasus khusus, dapat disusun suatu
kesimpulan yang bersifat umum (general). Proses penalaran induktif ini menjadi
sangat penting, karena ilmu pengetahuan, termasuk matematika, tidak akan
pernah berkembang tanpa adanya penarikan kesimpulan ataupun pembuatan
pernyataan baru yang bersifat umum yang melebihi kasuskasus khususnya.
Contohnya, differensial tidak akan ada tanpa eksperimen dan induksi.
Hal inilah yang telah menjadi suatu kelebihan dari penalaran induktif
dibandingkan dengan penalaran deduktif. Mengingat begitu hebat dan besarnya
kelebihan dari penalaran induktif ini, maka pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran matematika sudah seharusnya dimulai secara induktif dan
dilanjutkan dengan deduktif. Tidak hanya di bangku SD dan SMP saja langkah
pembelajaran seperti itu dilaksanakan, namun juga di SMA dan SMK harus
dilakukan seperti ditunjukkan dengan contoh tentang differensial yang sangat
jelas dan gamblang pada penemuan dan implikasinya pada pembelajarannya.
Terakhir, terhadap pertanyaan pada judul artikel ini, yaitu: “Benarkah guru
matematika sebaiknya mengajar secara induktif dan bukan secara deduktif?”
Lalu bagaimana jawaban Anda? Yakinkah Anda dengan jawaban Anda tersebut?
Jawaban penulis sebagaimana disampaikan di depan adalah keduanya sangat
dibutuhkan. Kedua penalaran itu memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri
sendiri. Pada intinya, untuk lebih memahamkan siswa dapat digunakan
penalaran induktif lalu pembuktiannya menggunakan penalaran deduktif. Jadi
tidak benar juga hanya menggunakan penalaran induktif saja.
Daftar Pustaka
Bastow, B.; Hughes, J.; Kissane, B.; & Randall, R.; (1986). Another 20
Investigational Work. Perth: Mawa.
Burton, L. (1992). Implications of constructivism for achievement in
mathematics. Pada buku: 7th International Congress on Mathematical
Education (ICME7). Topic Group 10; Constructivist Interpretations of
Teaching and Learning Mathematics. Perth: Curtin University of Technology.
De Lange, J. (2005). Mathematical Literacy for Living from OECDPISA Perspective.
Paris: OECDPISA.
Depdiknas (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas
6
Giere, R. N. (1984). Understanding Scientific Reasoning (2ndEdition). New York:
Holt, Rinehart and Winston.
NRC (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of
Mathematics Education. Washington DC: National Academy Press.
Polya, G. (1973). How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.
7