PROSES OSMOREGULASI PADA IKAN

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 20:13:02 2017 / +0000 GMT

PROSES OSMOREGULASI PADA IKAN
Secara umum proses osmoregulasi adalah upaya atau kemampuan hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara di
dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan tekanan osmose. Proses osmoregulasi diperlukan karena adanya
perbedaan konsentrasi cairan tubuh dengan lingkungan disekitarnya. Jika sebuah sel menerima terlalu banyak air maka ia akan
meletus, begitu pula sebaliknya, jika terlalu sedikit air, maka sel akan mengerut dan mati. Osmoregulasi juga berfungsi ganda
sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.
Kebanyakan invertebrata yang
berhabitat di laut tidak secara aktif mengatur sistem osmosis mereka, dan dikenal sebagai osmoconformer. Osmoconformer memiliki
osmolaritas internal yang sama dengan lingkungannya sehingga tidak ada tendensi untuk memperoleh atau kehilangan air. Karena
kebanyakan osmoconformer hidup di lingkungan yang memiliki komposisi kimia yang sangat stabil (di laut) maka osmoconformer
memiliki osmolaritas yang cendrung konstan. Sedangkan osmoregulator adalah organisme yang menjaga osmolaritasnya tanpa
tergantung lingkungan sekitar. Oleh karena kemampuan meregulasi ini maka osmoregulator dapat hidup di lingkungan air tawar,
daratan, serta lautan. Di lingkungan dengan konsentrasi cairan yang rendah, osmoregulator akan melepaskan cairan berlebihan dan
sebaliknya.Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara
substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeabel. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan
osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk mmelakukan osmoregulasi
sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting
dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas. Hal ini karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi

melalui konsentrasi ion dan air di dalam tubuh dengan kondisi dalam lingkungan hidupnya.Regulasi ion dan air pada ikan terjadi
hipertonik, hipotonik atau isotonik tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan tubuh dengan
konsentrasi media1,2. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi dalam menangani komposisi cairan ekstraselular dalam
tubuh ikan2. Untuk ikan-ikan potadrom yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkungannya dalam proses osmoregulasi, air bergerak
ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara
meminum sedikit air atau bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi dengan membuangnya
dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari
dalam tubuhnya melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi1,2.
Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya
dengan media (isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses ormoregulasi seperti halnya
ikan potadrom dan oseanodrom tetap terjadi.Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu kilogram
air laut, dalam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan
bahan organik yang telah dioksidasi. Secara langsung, salinitas media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan.
Pengetahuan tentang metabolisme dapat juga dikaitkan dengan beberapa cabang ilmu lain, misalnya genetika, toksikologi dan
keilmuan lain sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas yang lebih unggul dari sebelumnya. Hal ini karena ikan
menginvestasikan sebesar 25-50% dari total output metabolik dalam mengontrol komposisi cairan intra- dan ekstraselularnya.
Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan, sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan
kerja osmotik internalnya agar proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila salinitas semakin
tinggi, ikan berupaya terus agar kondisi homeostasi dalam tubuhnya tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya. Kerja
osmotik tersebut memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Hal tersebut juga berpengaruh kepada waktu kenyang (satiation time)

dari ikan tersebut.
Rainbow trout seringkali digunakan sebagai model system untuk mempelajari rute dan mekanisme ekskresi
dan osmoregulasi. Proses osmoregulasi juga menghasilkan produk buangan seperti feses dan amoniak, sehingga media pemeliharaan
akan berwana keruh sebagai akibat banyaknya feses yang dikeluarkan ikan. Dampak dari ekskresi nitrogen tersebut juga akan
mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya. Pada embrio rainbow trout, eksresi nitrogen dalam bentuk urea juga dapat dikaitkan
dengan kandungan nitrogen di dalam yolk, karena rendahnya permeabilitas membrane sel telur terhadap ammonia. Dampak buangan
hasil metabolisme terhadap kelangsungan hidup benih ikan berdasarkan perubahan kualitas air secara fisik, dapat diduga bahwa
perubahan tersebut juga berpengaruh terhadap kondisi ambient ikan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pertahanan tubuhnya.
Setelah melewati batas toleransi, maka ikan tersebut mengalami kematian. Mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka
dapat dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam akuarium berbeda beda. Hal ini diduga karena perbedaan kondisi
tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media praktik termasuk intensitas parasit, tingkat stres dan lain-lain. Toksisitas nitrat dalam
perairan tawar tergolong sangat rendah (96 h LC50s >1000 mg/L as N). Hal ini dapat dikaitkan dengan potensi munculnya masalah
dalam proses osmoregulasi. Dalam system dengan konsentrasi nitrat tinggi, reduksi nitrat terjadi secara anaerobic. Konsentrasi nitrat

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 1/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 20:13:02 2017 / +0000 GMT


di perairan laut kurang dari 500 mg/L untuk sebagian besar ikan air laut, tetapi untuk ikan laut tropis seperti anemone (Amphiprion
ocellaris) lebih sensitif, yakni hanya 20 mg/L.Tingkat stress juga berbeda-beda yang dialami oleh benih tambakan dalam akuarium,
sebagai akibat dari perbedaan perlakuan. Kajian yang lebih mendalam, dapat ditelusuri dengan kandungan kortisol. Banyak hal
berkenaan dengan kortisol selama proses metabolisme, misalnya saat starvasi (puasa), osmoregulation, pengerahan simpanan energi
untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan dan selama stress yang dialami oleh ikan itu sendiri.Mekanisme ormoregulasi
dapat pula ditelusuri di level sel. Sel-sel tersebut terlebih dahulu dihasilkan melalui mekanisme kultur sel. Penelitian terhadap sel
Epitelioma papulosum cyprinid (EPC), turunan dari sel epidermis ikan mas dapat digunakan untuk mengetahui kelangsungan hidup
dan pertumbuhan sel dalam media hiper- dan hipoosmotik. Dengan menggunakan sel kultur, dapat diamati pula ekspresi gen yang
bias dihubungkan dengan kemampuan adaptasi dan stress osmotik. Aktivitas osmoregulasi juga dipengaruhi oleh stadia ikan atau
krustase dalam hubungannya dengan salinitas. Penelitian pada stadia juvenil dan dewasa krustase, regulasi ion Na/K-ATP
menunjukkan hal yang berbeda-beda jika diamati dengan aktivitas enzim Na/K-ATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana
aktivitas enzim tersebut meningkat sejalan dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap mulai berenang bebas.
Pada udang galah, hal tersebut juga berlangsung demikian. Namun pada stadia dewasa, aktivitas Na/K-ATPase pada udang galah
tidak berbeda nyata setelah diperlakukan pada salinitas yang berbeda8. Penelitian tentang osmoregulasi pada tahap awal
perkembangan ikan telah diamati pada level extrabranchial chloride cells. Sejumlah chloride cells yang terkandung dalam membran
kantong kuning telur ikan mujair stadia embrio dan larva diadaptasikan dalam lingkungan air tawar (FW) dan air asin (SW). Sel
klorid dalam SW seringkali berada dalam bentuk multicellular complexes bersama dengan sel adjacent accessory. Sedangkan dalam
FW, chloride cells berada dalam kondisi individual. Tes klorid dan mikroanalisis X-ray menunjukkan bahwa klorid sel dalam SW
dalam bentuknya yang kompleks, merupakan fungsi definitive dalam sekresi klorid. Namun demikian setelah sel tersebut

dipindahkan ke lingkungan SW, bentuk sel tunggal tersebut juga mengalami perubahan menjadi kompleks sebagai respon terhadap
lingkungan baru yang SW. Umumnya, sel klorid extrabranchial memerankan peranan penting dalam mengontrol osmoregulasi
sampai tahap sel klorid insang bekerja secara fungsional.
Penemuan baru-baru ini adalah tentang morfologi fungsional dari
sel-sel klorid pada killing fish, Fundulus heteroclitus, ikan euryhaline dengan air laut (SW). Deteksi Immunocytochemical dilakukan
pada sel klorid dengan anti-Na +/K + -ATPase dalam proses transisi distribusi sel klorid selama tahap awal kehidupannya. Sel klorid
nampak dalam membran kantung kuning telur fase awal embrio dan kemudian di kulit pada saat fase akhir embrio. Perbedaan secara
morphologi antara tipe sel klorid SW- dan FW diidentifikasi pada killifish dewasa yang diadaptasikan pada SW dan FW. Kedua tipe
sel klorid, aktif pada kedua lingkungan, tetapi berbeda dalam fungsi transpor ion. Pemindahan secara langsung killifish dari SW ke
FW, sel klorid tipe SW ditransformasi menjadi sel tipe FW, diikuti dengan penggantian promosi sel klorid sebagai responnya.
Kemampuan adaptasi ikan, juga dapat diketahui melalui penelitian pada juvenile fugu Takifugu rubripes terhadap lingkungan
bersalinitas rendah. Ikan dipindahkan dari lingkungan air laut (100% SW) ke media air tawar (FW), 25, 50, 75 dan 100% SW dan
kemudian didata mortalitasnya selama 3 hari. Tidak ada kematian ikan dalam media baru bersalinitas 25?100% SW dan semua ikan
mati dalam media 100% FW. Nampaknya, pada ikan yang dipindahkan ke media 25?100% SW, osmolalitas darahnya tetap dijaga
pada kisaran fisiologis yang normal. Penelitian dilanjutkan dengan memindahkan ikan dari lingkungan 100% SW ke media FW, 1,
5, 10, 15 dan 25% SW. Semua ikan hidup dalam media 5?25% SW, tetapi mati dalam media FW dan 1% SW. Ikan yang hidup pada
media 25% SW kemudian dipindahkan kembali ke media FW, 1 dan 5% SW dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya
menurun hingga mendekati level sublethal, yakni sekitar 300 mOsm/kg·H2O. Nampaknya preacclimatisasi dalam 25% SW selama 7
hari tidak terlalu berpengaruh terhadap selang kemampuan survivalnya. Meskipun kelangsungan hidup dan osmolalitas darahnya
sedikit meningkat dengan cara preacclimatisasi dalam 25% SW, osmolalitas darahnya mengalami penurunan setelah dipindahkan ke

dalam media bersalinitas kurang dari 10% SW. Penemuan ini mengindikasikan bahwa fugu dapat beradaptasi pada lingkungan
hypoosmotik karena adanya kemampuan hyperosmoregulatori, namun sel-sel klorid yang dimilikinya berkurang dalam mengabsorb
ion-ion pada lingkungan hipoosmotik.Aktivitas osmoregulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang diberikan pada
organisme akuatik. Dengan pemberian kortisol, ovine growth hormone (oGH), recombinant bovine insulin-like growth factor I
(rbIGF-I) dan 3,3',5-triiodo-L-thyronine (T3) dapat meningkatkan kapasitas hypoosmoregulasi pada ikan euryhaline, Fundulus
heteroclitus. Ikan diadaptasikan dalam lingkungan air payau (BW, salinitas 10 ppt) kemudian disuntik dengan satu dosis hormone
dan 10 hari kemudian dipindahkan ke lingkungan air asin (SW, salinitas 35 ppt. Setelah dipindahkan dari BW ke SW menunjukkan
adanya peningkatan osmolitas plasma yang nyata, tetapi tidak untuk Na+ insang dan aktifitas K+-ATPase. Pemberian kortisol (50
µg/g bobot tubuh) juga dapat meningkat ketersediaannya dalam mempertahankan osmolitas plasma; meningkatkan Na+ insang dan
aktivitas K+-ATPase. oGH (5 µg/g bobot tubuh) juga dapat meningkatkan kemampuan hypoosmoregulatory dan Na+ insang dan
aktifitas K+-ATPase. Gabungan antara oGH dan kortisol dapat meningkatkan kemampuan hypoosmoregulatori tetapi tidak
meningkatkan Na+ insang, aktifitas K+-ATPase. rbIGF-I (0.5 µg/g bobot tubuh) tidak memiliki efek dalam peningkatan toleransi

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 2/3 |

This page was exported from - Karya Tulis Ilmiah
Export date: Sat Sep 2 20:13:02 2017 / +0000 GMT


terhadap salinitas atau Na+insang, aktifitas K+-ATPase. rbIGF-I dan oGH menunjukkan interaksi yang positif dalam meningkatkan
toleransi terhadap salinitas, tetapi tidak untuk Na+ insang dan aktifitas K+-ATPase. Perlakuan dengan T3 (5 µg/g bobot tubuh) tidak
berdampak terhadap peningkatan toleransi terhadap salinitas, Na+ insang, aktifitas K+-ATPase dan pengaruhnya tidak konsisten
nyata jika digunakan bersamaan dengan kortisol dan T3 atau antara GH dan T3.Untuk ikan air tawar, organ yang terlibat dalam
osmoregulasi antara lain insang, usus dan ginjal. Sel-sel yang berperan dalam organ insang untuk proses tersebut adalah
mitokondria-rich (MR) dan role of pavement2. Struktur insang memiliki hubungan dengan kemampuan toleransi terhadap kisaran
salinitas. Bhal ini ditunjukkan dengan histologi dari struktur insang Caprella (Amphipoda: Caprellidea) (yaitu C. danilevskii, C.
subinermis, C. penantis R-type dan C. verrucosa ) yang dikumpulkan dari komunitas Sargassum di timur-daya Jepang dan diamati
di bawah mikroskop elekron. Epitel se linsang C. danilevskii , C. subinermis , dan C. verrucosa terdiri-dari perkembangan apical
infolding system (AIS) dan basolateral infolding system (BIS) yang dihubungkan dengan mitokondria. Percobaan tentang toleransi
terhadap salinitas dari empat spesies Caprella mengindikasikanbahwa konsentrasi median letalnya (LC 50) pada 20 oC berkisar
antara 12.97 - 18.84 practical salinity unit (p.s.u.) dengan kelangsungan hidup lebih dari 80% pada kondisi salinitas di atas 25.37
p.s.u. bahkan selama 5 hari. Karakteristik insang dan lebarnya rentang toleransi salinitas pada Caprella spp. menunjukkan bahwa
Caprella spp. yang menghuni komunitas Sargassum merupakan organisme yang eurihalin.

Output as PDF file has been powered by [ Universal Post Manager ] plugin from www.ProfProjects.com

| Page 3/3 |