201210 ASASI Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia

daftar isi
editorial.............................................................................04
Internet Sebagai Hak Asasi Manusia:
Segenggam Harapan dengan Segudang
Tantangan

Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di
Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat

Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam) Terdakwa sangat
ringan, dan tidak memberikan efek jera terhadap para terdakwa
yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat
menjadi contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut
menambah rentetan kasus penyiksaan yang melibatkan aparat
kepolisian yang dihukum secara tidak maksimal, sehingga
mengakibatkan perilaku penyiksaan dan merendahkan martabat
kerap terjadi di institusi Kepolisian.

Kolom
nasional ................................ 21-23
Minggu Pagi di Jejalen Jaya

Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan
ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi
ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus
dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan.

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam
Perspektif HAM
Pada 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori
oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi
Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan
outsourcing. Menurut salah seorang pimpinan Federasi Serikat
Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang tergabung dalam MPBI,
sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional,
ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah
statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.

RESENSI ......................................... 23
Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat
dan Pentingnya Statuta Roma
Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum]

mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan
pidana internasional permanen. Dari Prof. Soetandyo, bisa
disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang
melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus
warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara.

profil elsam .................................24

Seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi
kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait
dengan internet. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan
berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap
untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi
yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses
terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik
dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional
maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi.

laporan utama ................................................. 05-13

Hak atas Akses Internet dan Tantangan atas
Penikmatan Kebebasan Berekspresi dan
Berpendapat
Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi
harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi
manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan,
pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan
oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas
atau ambigu.

Internet dan Kebebasan Berekspresi di
Indonesia
Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut
menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah
tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang.
Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal
dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun
terakhir menjadi sorotan banyak pihak.

Divonis Setelah Atheis

Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung.
Dia disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11
tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

monitoring sidang ...................14-15
Menghukum Rendah, Mewajarkan Penyiksaan
Tahanan: Monitoring Persidangan Aparat
Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik
Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi,
Sumatera Barat
Erik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal
akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta
Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian kesimpulan Laporan
Pemantauan Komnas HAM perwakilan Sumbar dan LBH Padang.
Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam kematian
Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM.

dari redaksi
DEKLARASI KEBEBASAN INTERNET


Redaksional
Penanggung Jawab:
Indriaswati Dyah Saptaningrum
Pemimpin Redaksi:
Otto Adi Yulianto

Kami berikrar untuk Internet yang bebas dan terbuka. Kami
mendukung berbagai proses yang transparan dan partisipatif guna
mewujudkan kebijakan tata kelola Internet (Internet Governance),
secara global pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya,
berdasarkan penegakan 5 (lima) prinsip dasar berikut ini:

* Ekspresi: Jangan sensor Internet yang bertujuan dan/atau
dapat membatasi hak asasi manusia.

Redaktur Pelaksana:
Widiyanto

* Akses: Tingkatkan pemerataan akses universal untuk jaringan


Dewan Redaksi:
Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum,
Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

* Keterbukaan: Biarkan Internet menjadi sebuah jaringan

Redaktur:
Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana
Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi
Muttaqien

* Inovasi: Lindungi kebebasan berinovasi dan berkarya di

Sekretaris Redaksi:
Triana Dyah
Sirkulasi/Distribusi:
Khumaedy
Desain & Tata Letak:
alang-alang

Penerbit:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM)
Penerbitan didukung oleh:

Internet yang cepat dan terjangkau.
terbuka dimana semua orang secara bebas dan bertanggungjawab dapat berkomunikasi, belajar, berkarya, dan berinovasi.
Internet, jangan menghambat teknologi baru dan menghukum
sang inovator karena hal-hal yang dilakukan oleh penggunanya.

* Privasi: Lindungi privasi di Internet dan pertahankan hak
setiap orang untuk mengontrol bagaimana ia menggunakan
data dan piranti miliknya.
14 (empat belas) organisasi masyarakat sipil Indonesia yang
pertama kali sepakat untuk mendukung dan/atau mendeklarasikan
kebebasan Internet ini pada tanggal 2 Oktober 2012 adalah: ICT
Watch, Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK),
Center for Innovation, Policy and Governance (CIPG), Yayasan Air
Putih, Indonesian Center for Deradicalisation and Wisdom (ICDW),
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Lembaga Studi & Advokasi

Masyarakat (ELSAM), Arus Pelangi, Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), Combine Resource Institution (CRI), Indonesia
Online Advocacy (IDOLA), Satu Dunia, Common Room Networks
Foundation dan Suara Komunitas.
Untuk memberikan dukungan atas deklarasi ini, silakan akses di
http://suarablogger.org/

Alamat Redaksi:
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar
Minggu, Jakarta 12510,
Telepon: (021) 7972662, 79192564
Faximile: (021) 79192519

salam,
Redaksi

E-mail:
office@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id
Website:
www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik
dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI
bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama
dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga
menerima pengganti biaya cetak dan distribusi
berapapun nilainya. Transfer ke rekening

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman
dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu
No. 127.00.0412864-9

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012

3


editorial
Internet Sebagai Hak Asasi Manusia:
Segenggam Harapan dengan Segudang Tantangan

S

elama
sepuluh
tahun
belakangan,
perkembangan
teknologi
komunikasi,
khususnya melalui internet telah secara
substansial mengubah lanskap dinamika
sosial masyarakat. Tak hanya mampu meretas
batas
ruang dan waktu, kemajuan teknologi
komunikasi diakui telah memberikan perubahan

besar dalam mobilisasi gerakan sosial seperti
dalam fenomena Arab Spring, mulai dari ‘jasminerevolution’ di Tunisia, Mesir, dan Yordania. Tak
hanya mempercepat persebaran informasi,
perkembangan teknologi informasi memungkinkan
penggunaan sosial media seperti facebook dan
twitter memungkinkan mobilisasi semakin banyak
orang untuk mendukung aksi-aksi protest langsung.
Dalam konteks Indonesia, hal ini berulang kali
terbukti memberi dampak positif, seperti kampanye
‘cicak-buaya’ atau dukungan terhadap KPK
atas penyelidikan kasus simulator di Kepolisian
beberapa saat lalu.
Perkembangan ini segera memperoleh
penguatan di badan PBB melalui pengadopsian
resolusi Dewan Ham yang mengakui akses
terhadap internet sebagai bagian dari Hak
Asasi Manusia (A/HRC/20/L.13). Resolusi ini
memberikan penegasan pada laporan Pelapor
khusus promosi dan perlindungan atas hak
atas kebebasan berekspresi dan berpendapat
(A/66/290) yang mencoba mengangkat isu yang
sama. Resolusi badan ham ini, meski tak secara
hukum mengikat jelas menunjukkan arah yang
tepat dalam perlindungan terhadap ha katas akses
terhadap internet sebagai bagian utuh dari hak atas
kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Meskipun demikian, seperti dua sisi mata
uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan
negara menghadapi perkembangan yang terkait
dengan internet ini. Dalam soal ini, dikotomi negara
maju dan berkembang sepertinya tak berlaku,
semuanya seperti gagap untuk mengambil arah
yang tepat dalam pengembangan regulasi yang
tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas
akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga
melindungi baik dari kecenderungan pembatasan
atas nama keamanan nasional maupun ancaman
pihak ketiga seperti korporasi. Perkembangan di
dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan
antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama
yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak
atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di
dunia nyata.
Perkembangan terkait kebebasan atas akses
terhadap internet membawa sejumlah tantangan
baru seperti perlindungan data pribadi, privasi. Hal
ini muncul terkait dengan semakin banyaknya aksi-

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

4

ASASIEDISI
EDISISEPTEMBER-OKTOBER
MEI-JUNI 2012
ASASI
2012

aksi pengintaian baik yang dilakukan perangkat
negara atas nama keamanan nasional dan
perang melawan terorisme, maupun oleh entitas
swasta untuk mendeteksi perilaku netizen untuk
kepentingan pemasaran. Sebagian bentuk control
negara atas akses terhadap internet ini juga muncul
dalam uraian mengenai mekanisme filtering,
dan bloking ( seperti dilakukan beberapa negara
seperti Cina). Persoalannya, sampai saat ini belum
terbentuk suatu regulasi yang jelas mengenai hal
ini, dan bahkan mungkin para netizen masih sangat
sedikit juga yang menyadari berlangsungnya
praktek seperti ini. Kesemuanya ini memunculkan
tantangan baru dalam menggagas model tata
kelola internet yang sesuai, proses yang sampai
saat ini masih terus berlangsung dan membutuhkan
keterlibatan penuh dari masyarakat.
Selain
itu,
perkembangan
ini
pun
memunculkan pertanyaan mengenai kesetaraan
akses yang disebabkan oleh ketimpangan
infrastruktur yang mendukung adanya kualitas
akses terhadap internet. Sebab, perbedaan kualitas
akses berpengaruh terhadap adanya keterasingan
suatu kelompok secara digital dibandingkan dengan
satu kelompok masyarakat yang lain, fenomena
yang sering dirujuk dengan istilah ‘digital-divide’.
Dalam fase yang masih sangat dini inilah
justru keterlibatan dan pemantauan terus menerus
atas perkembangan kebijakan yang ada sangat
diperlukan, agar perkembangan teknologi informasi,
khususnya terkait dengan akses terhadap internet,
bukan jadi pedang yang membunuh kebebasan
itu sendiri. Secara khusus, sejumlah tantangan
tersebut akan menjadi perbincangan penting dalam
perhelatan forum internasional Internet Governance
Forum di tahun 2013, di mana Indonesia akan
menjadi tuan rumahnya. Oleh karenanya, mari
bersiap dan terus mengkonsolidasikan gagasan
masyarakat sipil atas berbagai tantangan ini.

.

Indriaswati Dyah Saptaningrum
Direktur Elsam

laporan utama
Hak atas Akses Internet
dan Tantangan atas Penikmatan
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Oleh Triana Dyah
(Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi ELSAM)

“The Internet has become a key means
by which individuals can exercise their right
to freedom of opinion and expression.”
-UN Special Rapporteur Frank La Rue-

I

nternet telah menjadi alat untuk mewujudkan
sejumlah hak manusia, memerangi ketidaksetaraan dan mempercepat pembangunan dan
kemajuan manusia. Internet dikenal sebagai
teknologi multiguna dan broadband (jaringan ‘pita
lebar’) sebagai infrastrukturnya telah dianggap seperti
listrik, air, dan jalan, sehingga akses internet telah
ditetapkan menjadi hal mendasar bagi warga negara
di banyak negara.
Berdasarkan white paper1 yang dikeluarkan
oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Keminfo), Indonesia menargetkan 100% desa akan
mendapatkan akses telekomunikasi dan 80%-nya
akan terlayani akses internet pada tahun 2014. Target
ini sejalan dengan tujuan ke-8 Millenium Development
Goals (MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000,
yaitu mengembangkan kemitraan global untuk
pembangunan dengan target kerjasama dengan

Internet telah menjadi sarana seseorang untuk dapat menggunakan
hak mereka sebagai kebebasan berpendapat dan berekspresi.

sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru,
terutama teknologi informasi dan komunikasi.
Perkembangan
teknologi
informasi
telah
membentuk suatu tatanan warga negara yang
semakin melek terhadap informasi (well-informed
society), menciptakan dunia sendiri dan memunculkan
terminologi baru yaitu ‘demokrasi digital’. Perbedaan
persepsi kemudian muncul di antara pemangku
kepentingan dalam pengelolaan internet, yaitu
Pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat sipil.
Sehingga tata kelola internet2 menjadi sesuatu yang
krusial dalam era di mana internet menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
modern saat ini. Semakin masyarakat modern
bergantung pada internet, semakin relevan pula tata
kelola internet bagi kehidupan sehari-hari.
Merujuk
pada
data
ITU
(International
Telecommunication Unions), di akhir 2011 ada 65 juta
pengguna internet di seluruh Indonesia, atau 26% dari
total populasi. Data ICTWatch mengatakan pengguna
facebook 40,6 juta dan pengguna twitter sebanyak
29,4 juta. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai the
most active twitter city di dunia. Selain itu ada 3,3 juta
blogger dan 33 komunitas blogger lokal.
Dari sisi infrastruktur Internet, Indonesia memiliki
150 Internet Service Provider (ISP), 35 Network
Access Provider (NAP), dan 5 operator selular
3G. Untuk melakukan interkoneksi data di dalam
Indonesia, terdapat sekitar 5 node Indonesian Internet
eXchange (IIX) yang dikelola Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII).3
Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat tersebut,
pembuat kebijakan membuat peraturan yang mengatur
internet. Satu aturan yang dibuat adalah UU No. 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
UU ini mengesahkan sensor terhadap internet (Pasal
40 ayat (2)), berpotensi mengkriminalisasi kebebasan
berekspresi dan mengancam perlindungan privasi
dalam konteks penyadapan. Di luar UU tersebut,
pasal-pasal pembatasan kebebasan bereskpresi
di Indonesia sebenarnya tersebar di berbagai
perundang-undangan.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012

5

Kebijakan yang menghambat kebebasan
berekspresi di Indonesia:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang
KUHP
2. Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang
Penodaan agama
3. Undang-undang No. 27 Tahun 1999 tentang
Kejahatan terhadap keamanan negara
4. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah
6. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan umum
7. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Transaksi dan informasi elektronik
8. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan presiden
9. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi
10. Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, bahasa resmi, lambang negara dan
lagu kebangsaan
11. Undang-undang No. 17 Tahun 2011
Tentang Intelijen
12. RUU Rahasia negara
13. RUU Ormas
Potensi dan banyaknya keuntungan dari internet
berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya
dalam penyebaran informasi, daya jangkaunya yang bisa
meliputi seluruh dunia dan kemungkinan kerahasiaan
untuk penggunanya (anonymous).
Pada sisi lain karakter tersebut menciptakan
ketakutan
bagi
pemerintah
dan
penguasa.
Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan
penggunaan internet melalui penggunaan teknologi
canggih untuk memblokir isi, memonitor dan
mengidentifikasi para aktivis dan kritikus. Dalam
hal pembatasan, penekanan adanya standar hak
asasi manusia internasional khususnya pasal 19,
paragraf 3 dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan
Politik bisa digunakan dalam menentukan jenisjenis pembatasan-pembatasan yang merupakan
pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak
kemerdekaan berekspresi.
Seperti yang dijelaskan pada pasal 19, paragraf 3
dari Kovenan tersebut, ada beberapa jenis ekspresi
tertentu yang bisa secara sah dibatasi di bawah
hukum hak asasi manusia internasional, yang secara
mendasar berperan sebagai pelindung hak asasi dari
pihak lainnya.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

6

ASASIEDISI
EDISISEPTEMBER-OKTOBER
MEI-JUNI 2012
ASASI
2012

Jenis-jenis informasi yang dilarang meliputi
pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak), ujaran
kebencian (hate speech), fitnah (untuk menjaga
hak dan reputasi orang lain dari serangan pihakpihak yang tidak bertanggungjawab) hasutan publik,
ajakan langsung untuk melakukan genosida, dan
ujaran kebencian pada agama atau ras tertentu yang
menimbulkan hasutan diskriminasi, serta kekerasan
atau perwujudan permusuhan (untuk menjaga hakhak orang lain, seperti hak untuk hidup).
Pembatasan apapun terhadap hak akan
kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria
yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia
internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan,
pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang
dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau
dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu; tidak ada
pembenaran tujuan dari tindakan yang dilakukan; atau
dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan atau tidak
seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan.
Tindakan-tindakan tertentu benar-benar tidak sesuai
dengan kewajiban negara di bawah hukum hak
asasi international, dan sering hanya menimbulkan
“chilling effect” (efek menakut-nakuti) pada hak akan
kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pembatasan melalui internet bisa dilakukan dalam
berbagai bentuk. Dari tindakan teknis untuk mencegah
akses ke konten tertentu, seperti pemblokiran dan
penyaringan (filtering), kurangnya jaminan akan hak
atas privasi dan perlindungan terhadap data pribadi,
sampai yang menghambat penyebaran pendapat dan
informasi.
Pelapor khusus PBB mengenai promosi dan
perlindungan kebebasan berekspresi, Frank La
Rue berpendapat, penggunaan hukum pidana
secara semena-mena pada pengungkapan ekspresi
menimbulkan salah satu bentuk pembatasan yang
paling keras pada hak ini, karena tidak hanya
menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect), tapi
juga menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia
yang lain seperti penahanan dan penyiksaan yang
semena-mena serta bentuk-bentuk kejahatan yang
lain.
Intimidasi, penahanan, dan penyiksaan saat
ini banyak menimpa blogger, web master, jurnalis
online yang menyuarakan kondisi sosial politik
dan pemerintahan. Di Vietnam, terhitung hingga
September 2012, terdapat 19 kasus pemenjaraan
terhadap netizen/blogger karena menyuarakan kritik
terhadap pemerintahannya.
Terdapat tiga syarat yang ditetapkan Pasal 18 dan
19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang harus terpenuhi
sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan
berekspresi dilakukan, yaitu: (1) harus diatur menurut
hukum; (2) harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki
legitimasi; (3) harus dianggap perlu untuk dilakukan
(proporsional).
Terkait dengan syarat kedua, pembatasan hanya
dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak

laporan utama
dan kebebasan dasar orang lain” (Pasal 18) atau untuk
“menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk
melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum,
atau kesehatan atau moral masyarakat” (Pasal 19).
Selain itu, peraturan yang membatasi hak akan
kebebasan berekspresi harus diaplikasikan oleh
sebuah badan yang bebas dari pengaruh politik,
komersil, atau pihak lain yang tidak diskriminatif dan
semena-mena, dan dilakukan dengan perlindungan
yang cukup terhadap kemungkinan penyalahgunaan
dari pembatasan itu.
Pemahaman yang kurang mendalam dan kegagapan
dalam menyikapi perkembangan internet akan
berujung pada problematika di ranah dunia maya, baik
antara Pemerintah dan masyarakat maupun di antara
masyarakat itu sendiri. Perkembangan yang terjadi saat
ini di Indonesia telah menunjukkan indikasi timbulnya
gesekan-gesekan karena kurangnya pemahaman
tentang hal ini.
Masih segar dalam ingatan Indonesia, pada tahun
2009 Prita Mulyasari, seorang ibu, dipidana karena
menuliskan keluhan tentang pelayanan rumah sakit
swasta di email pribadi. Seorang selebritas ibukota
terjerat pasal penyebaran pornografi melalui internet
pada pertengahan 2010. Peristiwa terakhir ini
menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan
pemblokiran situs yang ditengarai mengandung konten
pornografi.
Gesekan sosial yang disebabkan aktivitas di
dunia maya juga mulai banyak terjadi, seperti kasus
pemecatan seorang pegawai negeri sipil di Padang
yang terang-terangan mengaku atheis di akun jaring
sosial facebook; kasus pencemaran nama baik yang
melibatkan seorang guru yang menulis tentang
dugaan korupsi di blog-nya; dan masih banyak lagi.
Data terbaru didapat dari Polda Metro Jaya, sejak
Januari hingga Oktober 2012 kasus ‘cyber-crime’
yang masuk ke Polda mencapai 489 laporan,4 belum
termasuk laporan dari polsek dan polres. Kejahatan
di dunia maya tersebut berupa kasus penipuan,
penghinaan dan pencemaran nama baik.
Hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi
merupakan sebuah hak dasar di wilayahnya karena
hak tersebut menjadi hak yang bisa mewujudkan
hak-hak lainnya (“enabler”) meliputi hak ekonomi,
sosial, dan budaya, seperti hak akan pendidikan dan
hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya
dan menikmati keuntungan perkembangan ilmu
pengetahuan dan penerapannya, seperti juga halnya
dengan hak sipil dan politik contohnya hak akan
kebebasan dalam berorganisasi dan berkumpul.
Sehingga, dengan berperan sebagai katalisator
untuk para individu dalam menggunakan hak akan
kebebasan berpendapat dan berekspresi, internet
juga memfasilitasi perwujudan sejumlah hak-hak
asasi manusia.

Supriyadi W. Eddyono (ed.). 2000-2010 kebebasan
internet Indonesia: perjuangan meretas batas. Jakarta:
Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute
for Criminal Justice Reform, 2011
Jovan Kurbalija. Tata Kelola Internet: sebuah
pengantar. Jakarta: APJII, 2012
Konsultasi publik: white paper penggunaan pita
frekuensi 2300-2360 MHz untuk layanan pita lebar
nirkabel (wireless broadband). Jakarta: Direktorat
Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan
Informatika, Januari 2012.
http://www.freedomhouse.org/report/freedomnet/2012/indonesia akses tanggal 15 Oktober 2012
United Nations Special Rapporteur Frank La Rue.
Special Rapporteur on the promotion and Protection
of the Right to Freedom of Opinion and Expression.
ELSAM. Hak atas kebebasan berekspresi di
Indonesia serta tantangan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik: pengantar singkat. Jakarta: ELSAM, 2012.
www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus
‘cyber crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November
2012.
http://suarablogger.org/category/petisi/akses 27
September 2012

Keterangan
1

Dokumen ini merupakan draft kebijakan pemerintah yang
disusun dalam rangka memberikan deskripsi potensi
layanan wireless broadband.

2

Tata kelola internet diperkenalkan dalam Pertemuan Tingkat
Tinggi Dunia Masyarakat Informasi (World Summit of
Information Society/WSIS) yang diselenggarakan di Jenewa
pada 2003. Pertemuan tersebut menghasilkan Kelompok
Kerja tentang Tata Kelola Internet (Working Group on
Internet Governance/WGIG) yang bertugas menyiapkan
laporan yang digunakan sebagai landasan perundingan
WSIS Kedua di Tunisia (November 2005). Agenda WSIS
di Tunisia adalah mengadopsi batasan, menyusun daftar
isu dan membentuk Forum Tata Kelola Internet (Internet
Governance Forum/IGF). IGF terdiri dari sejumlah
pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pertemuanpertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB. Pemangku
kepentingan IGF adalah pemerintah, sektor bisnis/korporasi
dan masyarakat sipil.

3

Catatan kecil pertemuan dengan APJII, Agustus 2012

4

www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus ‘cyber
crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November 2012.

Daftar Bacaan
Donny BU. Catatan kecil pertemuan APJII, blogger
dan civil society. Jakarta: Agustus 2012. (sirkulasi terbatas)
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012

7

Internet dan Kebebasan
Berekspresi di Indonesia
Oleh Teguh Arifiyadi
(Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC)
Kebijakan Internet Censorship di Indonesia
enetrasi
pertumbuhan
internet
di
Indonesia dapat dikatakan luar biasa.
Data dari www.internetwroldstats.com
menunjukkan pada awal tahun 2000-an
hanya dua juta pengguna dan pada akhir tahun
2011 mengalami kenaikan signifikan menjadi lebih
dari 55 juta pengguna atau users. Angka tersebut
menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar
keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet
terbanyak di bawah China, India, dan Jepang.
(Lihat Grafik 1.0)

P

Grafik 1.0
Lima Besar Negara Pengguna Internet di Asia
per 31 Desember 2011

per juta pengguna, sumber: www.internetworldstats.com

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di
Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan
baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan
pengendalian konten internet yang dilarang.
Pemblokiran konten internet atau secara global
lebih dikenal dengan internet censorship di
Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi
sorotan banyak pihak. Sensor terhadap internet
merupakan isu sensitif di negara manapun di dunia
karena berkaitan dengan pembatasan hak atas
informasi warga negara.
Secara normatif belum ada ketentuan
spesifik yang mengamanatkan Pemerintah untuk
melakukan pembatasan hak atas informasi dalam
bentuk sensor terhadap konten internet. Kebijakan
eksplisit sensor internet tertuang dalam Pasal 40
ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan
bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

8

ASASIEDISI
EDISISEPTEMBER-OKTOBER
MEI-JUNI 2012
ASASI
2012

Elektronik yang mengganggu ketertiban umum,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.”
Pasal 27 UU ITE lebih kongkret lagi mengatur
larangan atas seseorang untuk mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran
nama baik, dan pemerasan/pengancaman (Illegal
Content). Pasal tersebut merupakan cermin
kebijakan yang merujuk pada Convention on Cyber
Crime1 yang digagas oleh Council of Europe sejak
tahun 2001 di Budapest.
Khusus terkait sensor konten pornografi,
Pemerintah berlandaskan pada pasal 17 UU No. 44
tahun 2009 tentang Pornografi yang memberi porsi
tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Selain itu, Pemerintah juga berpegang pada
Pasal 7 UU Pornografi yang melarang setiap orang
untuk memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor,
menawarkan,
memperjualbelikan,
menyewakan
atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit
memuat, persenggamaan, kekerasan seksual,
mastrubasi, ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau
pornografi anak.
Secara kelembagaan, pemblokiran konten
internet di Indonesia tidak pernah ditetapkan
di bawah pengawasan suatu institusi tertentu.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
tidak memiliki kewenangan struktural yang
diamanatkan undang-undang untuk melakukan
pembatasan atas akses informasi/konten internet
di Indonesia. Alhasil, kebijakan sensor internet
di Indonesia secara sistematis tidak pernah
diberlakukan. Praktik sensor internet di Indonesia
terbatas pada isu-isu berskala nasional seperti
SARA maupun kesusilaan karena dianggap dapat
mengganggu ketertiban umum dan keamanan
nasional.
Hal ini berkaitan dengan Prinsip-prinsip Siracusa
(Siracusa Principles) yang menyebutkan bahwa

laporan utama
pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi
hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan
secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hakhak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara
jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang
terkait.
Sebagai contoh, selain kebijakan pemblokiran
konten pornografi, Kementerian Kominfo juga
telah melakukan pemblokiran atas konten yang
berisi “kartun nabi Fitna” pada tahun 2010, video
penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang Banten pada tahun 2011, dan yang
terbaru adalah pemblokiran konten video “Innocents
of Moslems”. Alasan pemblokiran adalah karena
konten-konten tersebut dianggap berpotensi
menimbulkan gangguan sosial dan keamanan.
Indikator lain suatu negara dikatakan telah
cukup memberikan kebebasan internet terhadap
warganya adalah dengan tidak termasuknya
Indonesia sebagai bagian dari musuh internet
(enemies of internet) yang dirilis oleh Reporters
Without Borders (RWB).2 RWB merilis 12 negara di
dunia yang menurut kriteria mereka sebagai musuh
atas kebebasan berekspresi di Internet,3 seperti
China, Bahrain, Kuba, Belarusia, dan beberapa
negara otoriter lainnya.
Kebijakan internet censorship di Indonesia
sebagaimana negara-negara lain bergantung pada
rezim kekuasaan yang berlaku saat ini. Reformasi
di Indonesia yang melahirkan demokrasi dan
kebebasan pers turut mempengaruhi arah kebijakan
internet censorship di Indonesia. Fakta di atas
menunjukan bahwa iklim kebebasan berkespresi
dan memperoleh akses informasi melalui media
internet di Indonesia masih cukup moderat.
Pembatasan Akses Informasi/Konten yang
Dilarang
Secara teknis, banyak metode yang bisa digunakan
Pemerintah sebuah negara termasuk di Indonesia
untuk melakukan pembatasan/sensor terhadap
konten yang dilarang. Namun, permasalahannya
di Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan
dengan melihat kembali bagaimana sejarah
hadirnya internet di Indonesia.
Internet di Indonesia lahir dari masyarakat
melalui komunitas telekomunikasi dan teknologi
informasi, awal tahun 1990-an. Pemerintah
memfasilitasinya dengan memberi dukungan dalam
bentuk regulasi. Pada periode berikutnya sampai
saat ini swasta tampil lebih dominan membangun
infrastruktur internet di Indonesia. Sementara
pemerintah melanjutkan dengan terus menyiapkan
regulasi pendukung.
Hal ini berbeda dengan negara-negara penganut
sensor ketat terhadap konten internet seperi Arab
Saudi, Iran, Tunisia maupun negara lainnya yang

secara institusional menempatkan negara sebagai
institusi dominan yang membidani ‘lahir’nya
internet. Negara-negara tersebut membangun
hampir sebagian besar infrastrukur internet yang
disediakan untuk kebutuhan warga negaranya.
Dengan
mengintegrasikan
pembangunan
infrastruktur internet, negara tersebut dapat
mengendalikan internet melalui model single
gateway. Artinya, seluruh saluran internet bersumber
pada satu pipa utama yang memungkinkan negara
mengendalikan internet secara leluasa.
Melihat sejarah lahirnya internet di Indonesia,
dapat dikatakan bahwa infrastruktur internet di
indonesia menganut model multiple gateway,
karena masing-masing internet gateway secara
mandiri dibangun oleh sektor privat melalui Internet
Service Provider (ISP). Jumlah ISP tercatat di
Indonesia menurut data Kementerian Kominfo saat
ini lebih dari 180-an.
ISP secara otomatis berfungsi sebagai
gateway atas seluruh konten yang ada di Internet.
Konsekuensinya adalah tidak mudah menerapkan
kebijakan internet censorship dengan model
mulitiple gateway seperti di Indonesia.
Pornografi sebagai Informasi/Konten yang
Dilarang
Kebijakan internet censorship di Indonesia yang
bersifat sangat spesifik adalah terkait konten
pornografi yang merupakan wujud perlindungan
negara terhadap warga negara dari bahaya
pornografi. Kebijakan serupa juga diterapkan
dibanyak negara di dunia dan bukan merupakan
sebuah kebijakan yang dianggap membatasi
kebebasan berekspresi di internet.
Memang sampai sejauh ini tidak ada protes
masyarakat atas upaya pemerintah untuk
melakukan pemblokiran terhadap konten pornografi
di Indonesia. Namun permasalahan tentang
pemblokiran konten pornografi internet di Indonesia
justru adalah tentang bagaimana mendefinisikan
batasan pornografi yang menurut banyak ahli
bahasa masih bersifat relatif. Pemerintah tidak
pernah memiliki keberanian untuk mendefinisikan
pornografi internet secara kongret dalam regulasi
termasuk pengecualian atas batasan akses konten
tersebut. Alhasil semua konten yang menurut
pendapat
subyektif
pemerintah
bermuatan
pornografi dilarang!
Untuk memerangi pornografi, Pemerintah
melalui Kementerian Kominfo secara tegas
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 1598/SE/
DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tanggal 21 Juli 2010
tentang Kepatuhan Terhadap Peraturan PerundangUndangan yang Terkait dengan Pornografi. Inti dari
surat edaran tersebut adalah agar penyelenggara
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012

9

Jasa Akses Internet (Internet Service Provider) dan
penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet (Network
Access Point/NAP) untuk turut memerangi
pornografi sesuai ketentuan perundang-undangan.
Surat edaran ini merupakan bentuk nyata
perlawanan pemerintah terhadap pornografi yang
sesuai dengan Pasal 18 UU Pornografi dimana
pemerintah berwenang melakukan pemutusan
jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk
pemblokiran pornografi melalui internet.
Di periode yang sama, Pemerintah juga merilis
aplikasi “Trust Positif” yang merupakan aplikasi
filtering konten pornografi di Indonesia. Metode
yang digunakan adalah dengan penyaringan daftar
hitam (black list filtering) dan penyaringan daftar
putih (white list filtering). Blacklist filtering mengacu
pada nama URL dan domain yang masuk kategori
negatif yang ditengarai memuat konten pornografi,
sedangkan white list filtering berisi URL atau nama
domain yang dapat dipastikan aman (terpercaya)
dari konten pornografi untuk dapat diakses oleh
pengguna internet.
Menurut data Kementerian Kominfo, sampai
dengan semester pertama tahun 2012, jumlah URL
maupun domain bermuatan pornografi yang sudah
diblokir adalah sebanyak 835.494 dengan rincian
sebagai berikut:4

Periode

Pengaduan
Masyarakat

Kajian Tim
Kominfo

31 Desember 2011

444

30 Juni 2012

2302

Total

Keterangan

181

833.107

1.

729

835.494

Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama
pada kejahatan yang dilakukan lewat internet dan jaringan
komputer lainnya.

2.

RWB merupakan LSM internasional yang bergerak dalam
bidang kebebasan pers dan informasi yang berbasis di
Perancis

3.

Internet Enemies, Reporters Without Borders (Paris),
12 March 2012

4.

Siaran Pers No. 63/PIH/KOMINFO/7/2012 tentang Evaluasi
Pemblokiran Konten Pornografi tanggal 18 Juli 2012

Jika diamati dengan baik, maka kita dapat mengambil
kesimpulan
sementara
bahwa
kesadaran
masyarakat di Indonesia untuk mengadukan URL
atau domain yang bermuatan pornografi semakin
baik. Terjadi lonjakan pengaduan lebih dari 500%
hanya dalam tempo enam bulan terakhir. Angka
tersebut dapat mengindikasikan bahwa masyarakat
di Indonesia sepakat menjadikan pornografi internet
sebagai musuh bersama.
Kebebasan Berkeyakinan di Dunia Siber
Selain isu tentang pornografi, dampak kebebasan
berekspresi di internet memunculkan fenomena
baru tentang cara berekspresi dan berpendapat.
Hadirnya jejaring sosial, pemanfaatan blog, maupun
media komunikasi online interaktif (chatting) telah
mengubah gaya komunikasi masyarakat, dari yang
bersifat individu dan terbatas menjadi bersifat
publik. Ekspresi berkeyakinan pun menjadi salah
satu topik paling sering diungkapkan oleh pengguna
internet.

ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

10

ASASIEDISI
EDISISEPTEMBER-OKTOBER
MEI-JUNI 2012
ASASI
2012

Keyakinan individu bisa diekspresikan secara
lebih luas dengan maksud sengaja atau tidak
sengaja mempengaruhi keyakinan pengguna lain.
Meskipun demikian, banyak juga pengguna internet
yang mengekspresikan keyakinan sebagai bentuk
euforia kebebasan berbicara di dunia siber.
Pemerintah saat ini tidak pernah melarang
masyarakat untuk mengekspresikan keyakinan
apapun di internet sesuai dengan norma yang ada.
Ekspresi atas pemikiran maupun keyakinan bukan
merupakan sebuah tindak pidana berdasarkan
UU ITE, terkecuali jika ekspresi tersebut berisi
fitnah, atau hasutan untuk berbuat kriminal, serta
menyinggung SARA.
Sayangnya ketentuan normatif tersebut tidak
sepenuhnya diikuti oleh faktanya. Kasus Alexander,
seorang PNS penganut atheis di Padang yang
dipecat akibat menuliskan keyakinannya melalui
jejaring sosial menunjukan bahwa masih banyak
masyarakat yang belum bisa menerima ekspresi
sebuah keyakinan sebagai bagian dari hak asasi
manusia dengan dalih hal tersebut dianggap
mengganggu keyakinan orang lain.
Jika
kasus-kasus
serupa
bermunculan,
maka tidak ada lagi persamaan hak untuk
mengekspresikan keyakinan di dunia siber.
Pada akhirnya hukum dikuasai dan menjadi milik
golongan tertentu.

laporan utama
Divonis Setelah Atheis
Oleh Harry Kurniawan
(Staf Perkumpulan Q-Bar Padang)

A

lexander Aan panggilan Aan adalah
seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS)
yang bekerja di Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Dharmasraya. Dia lahir dari pasangan
Armas, seorang guru SD, dan ibunya bernama
Nuraini, ibu rumah tangga. Alexander Aan dikenal
sebagai anak yang cerdas. Dia menamatkan studi
Strata-1 di Jurusan Statistik Universitas Padjajaran,
Bandung. Menurut data LBH Padang, berkat
kecerdasannya itu, Aan berhasil lolos menjadi
CPNS di Dharmasraya.
Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di
Pengadilan Negeri Sijunjung. Kasus yang menimpa
Alexander Aan bermula dari kedatangan warga
Pulau Punjung ke kantor Bappeda Kabupaten
Dharmasraya pada 18 Januari 2012. Mereka
mencari Alexander Aan.
Aan dituduh melakukan penghinaan terhadap
Agama Islam karena tulisan di halaman Facebooknya yang berjudul “Nabi Muhammad tertarik kepada
menantunya sendiri” dan sebuah komik yang
diambilnya dari grup Facebook “Atheis Minang”
dan di-posting di dinding “Alex Aan” dengan judul
“Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu
istrinya”.
Dengan alasan keamanan, Aan kemudian
dibawa ke kantor Polsek Sijunjung. Di kantor
Polsek Sijunjung Aan mengaku bahwa dia seorang
atheis sejak tahun 2008. Dia sempat diminta
bertobat, namun Aan menolak karena menurutnya
itu merupakan bagian dari hak kebebasannya.
Alexander Aan kemudian ditahan oleh Polres
Dharmasraya. Dia ditetapkan sebagai tersangka
pelaku penodaan agama.
Alexander Aan disangka dan didakwa dengan
Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, antargolongan
(SARA)” dengan ancaman hukuman paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Selain itu, Alexander Aan juga didakwa dengan
Pasal 156 huruf a KUHP yang berbunyi “Dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut
di Indonesia” dan Pasal 156 a huruf b KUHP
yang berbunyi “dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
dengan maksud agar supaya orang tidak menganut
agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan
yang maha esa”. Dalam hal ini diancam dengan
hukuman selama-lamanya 5 (lima) tahun.
Pada waktu di Polres Dharmasraya Alexander
Aan secara sadar dan tanpa paksaan juga
menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam,
keluarga, dan pihak Pemerintahan Dharmasraya.
Karena posting-an dengan judul “Nabi Muhammad
tertarik kepada menantunya sendiri” yang ada
dalam Facebook “Aan Aan” bukan bertujuan
untuk menyudutkan dan atau menghina Agama
Islam, dan gambar yang bertuliskan kisah “Nabi
Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya”
bukan merupakan karya/tulisannya, melainkan
diambil dari tautan Facebook “Atheis Minang” yang
diduga dikelola oleh Jusfiq Hadjar.
Jusfiq Hadjar adalah pria yang berumur 70
Tahun yang berasal dari Cingkariang, Banuhampu,
Agam, Sumatera Barat, yang sekarang menetap
di Leiden, Belanda. Sebelum berada di Belanda
yang bersangkutan tinggal di Prancis sejak tahun
1960 dan menjadi dosen di salah satu universitas di
Prancis. Sejak tinggal di Belanda, Jusfiq Hadjar aktif
menulis di berbagai milis dan sering menyerang
ajaran Islam dan menonjolkan sisi-sisi buruk dari
Islam dan Nabi Muhammad.
Jusfiq Hadjar mengaku sebagai penganut Islam
Mu’tazillah, yang bertujuan memanusiawikan
ajaran Islam.1 Aan sendiri tidak pernah bertemu
dan berbicara langsung dengan Jusfiq Hadjar. Aan
diundang sebagai pengelola akun “Atheis Minang”.
Alexander Aan kemudian dituntut 3 tahun 6
bulan penjara dengan Pasal 28 UU ITE. Hakim
memvonis Aan bersalah dengan hukuman 2 tahun
6 bulan penjara. Putusan ini sangat disayangkan
karena pada dasarnya unsur pasal yang
didakwakan terhadap Alexander Aan tidak terbukti
di persidangan.
Permusuhan dan kebencian yang timbul di
masyarakat bukanlah akibat perbuatan Alexander
Aan mem-posting komentar-komentarnya di
Facebook akan tetapi akibat perbuatan rekan
sekantornya yang meng-capture dinding Facebook
grup Atheis Minang dan Facebook Alexander Aan
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

ASASI EDISI SEPTEMBER-OKTOBER 2012

11

untuk kemudian dicetak dan dibagi-bagikan kepada
masyarakat. Atas putusan majelis hakim baik jaksa
penuntut umum maupun penasihat hukum samasama mengajukan banding.
Bermula dari posting tersebut kemudian Aan
mendapat perhatian dari berbagai pihak yang
sejalan dengan pemahaman Aan, baik dari nasional
maupun internasional. Semakin gencarnya Aan
berdinamika di jejaring sosial sehingga kemudian
Aan dipercaya untuk menjadi administrator grup
“Atheis Minang” yang dimotori oleh Jusfiq Hadjar.
Aktivitas ini sudah Aan lakukan semenjak tahun
2011, dengan grup “Atheis Minang” ini kemudian
Aan berhasil menggaet kurang lebih 1.200 orang
anggota yang memiliki pemahaman yang sama.
Dengan adanya pernyataannya di dunia maya
itu, sekelompok pemuda Sungai Kambuik Pulau
Punjung yang dipimpin Ketua Pemudanya Os,
mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya untuk
mendesak
bupati
Dharmasraya/Pemerintah
Kabupaten
Dharmasraya
menindak
tegas
Aan yang merupakan CPNS di lingkungan
Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya. Setelah
ditemui, Alexander Aan bersikeras bahwa apa yang
ia sampaikan itu benar menurutnya dan karena itu
merupakan pendapat pribadinya.
“Hal itu sudah saya pikirkan semenjak SD dulu.
Saya juga sudah mempelajari berbagai agama dan
saya menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika
ada Tuhan, mengapa masih banyak orang yang
menderita dan kejahatan-kejahatan. Jika Tuhan itu
ada, maka tidak akan ada kesenjangan terjadi di
dunia ini,” kata Alexander beralasan mengapa ia
atheis.2
Dampak dari Group “Atheis Minang” ini
mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,
termasuk tokoh-tokoh Islam di Sumatera Barat.
Sebelumnya tidak diketahui siapa yang menjadi
motor dari grup tersebut. Secara tidak sengaja,
akun jejaring sosial Facebook milik Aan diketahui
oleh salah seorang CPNS yang juga bekerja di
BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya dan kemudian
membongkar siapa yang selama ini menjadi admin
grup “Atheis Minang”.
Dengan telah terungkapnya Alexander Aan
sebagai penganut paham Atheis serta “berkicau”
di jejaring sosial Facebook sebagai Atheis Minang,
maka hal ini menyulut kemarahan kelompok
pemuda di Kabupaten Dharmasraya yang
ingin menghakimi Aan karena dianggap telah
menyebarkan ajaran sesat di Sumatera Barat
umumnya dan Dharmasraya khususnya.
Proses hukum terhadap Alexander Aan terus
berlanjut sampai ke meja hijau. Para penentang
Aan mendesak supaya Aan diberhentikan sebagai
CPNS di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya,
walaupun sampai saat ini status Aan sebagai
CPNS BAPPEDA Dharmasraya belum dicabut
karena menunggu putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

12

ASASIEDISI
EDISISEPTEMBER-OKTOBER
MEI-JUNI 2012
ASASI
2012

tidak menutup kemungkinan nantinya Aan dapat
diberhentikan secara tidak hormat.
Kebebasan beragama memang dilindungi
dalam Konstitusi, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan (2)
yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk
memeluk
agamanya
masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya serta
kepercayaannya itu, namun tetap berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai3 dengan butir
pertama Pancasila. Kasus yang terjadi terhadap
Alexander Aan ini memperlihatkan terjadinya
pertentangan antara Kebebasan beragama dan
berpendapat dengan nilai-nilai agama di tengahtengah masyarakat, sehingga perlu didudukkan
bagaimana sikap atau langkah yang dapat
menyelesaikan problem ini tanpa harus ada yang
dilanggar hak asasinya.
DAFTAR BACAAN:
Anwar, Chairul. Hukum Adat Minangkabau. Jakarta:
Segara, 1967.
Little, David. Kebebasan beragama dan Hak Asasi
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti
Pers, 1966.
Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum suatu
Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Jakarta: Kencana, 2004.
Perundang-undangan dan Lain-lain
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156a
Huruf (a) dan (b).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang,
sebagai Kuasa Hukum Alexander Aan.

Keterangan
1

Lihat:www.opensubscriber.com//message//zamanku@
yahoogroups.com//10229086.html

2

Harian Haluan Padang, Jum’at/15 Juni 2012

3

Baca Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

monitoring sidang
Menghukum Rendah, Mewajarkan
Penyiksaan Tahanan1
Monitoring Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah
di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat

Oleh Andi Muttaqien
(Staf Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum ELSAM)

Erik Alamsyah, Tahanan Yang Alami Kekejian
Aparat

E

rik Alamsyah, warga Sumatera Barat
dinyatakan meninggal akibat penyiksaan
yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta
Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian
kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM
perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu,
Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam
kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM,
yakni pelanggaran terhadap hak hidup, hak bebas
dari penyiksaan dan hak atas perlakuan hukum yang
adil, yang diduga dilakukan oleh anggota Polri Polsek
Bukittinggi.2 Erik bersama 2 (dua) rekannya, Nasution
Setiawan dan Marjoni ditangkap Kepolisian karena
dituduh mencuri sepeda motor. Dalam tahanan
Polsekta Bukittinggi itulah ketiganya mengalami
penyiksaan ketika interogasi, dan berakibat pada
kematian Erik.
Diawali tatkala Polisi menangkap Marjoni pada
22 Maret 2012 di Madina, Sumatera Utara. Polisi
kemudian membawa Marjoni ke Polsek Bukittinggi
pada 23 Maret 2012. Marjoni diinterogasi di Polsekta
Bukittinggi dan dipaksa berbicara terkait kasusnya.
Dalam interogasi tersebut, sebagaimana laporan
Komnas HAM, Marjoni kerap mengalami kekerasan.
Dari Marjoni, Kepolisian akhirnya tahu keberadaan
Erik dan Nasution Setiawan.
Akhirnya, siang hari tanggal 30 Maret 2012, Erik
dan Nasution Setiawan ditangkap di sekitar rumah
kontrakannya. Mereka disergap 6 anggota Polsekta
Bukittinggi. Awalnya, keduanya hendak melarikan
diri dengan sepeda motor, namun karena Polisi
lebih banyak, keduanya tertangkap bahkan sempat
terjatuh motornya. Keduanya pun dibawa ke Polsekta
Bukittinggi, dan diperiksa di ruang Subnit Opsnal
Reskrim.3 Di ruang itu mereka berkali-kali mendapat
kekerasan, dipukul dengan gitar kecil (ukulele), balok
besar + 4 Cm X 6 Cm, sapu, sabuk/ikat pinggang,
potongan bambu besar, dijepit dengan pena, bahkan
Nasution sempat dipukul dengan martil pada bagian
lututnya. Keduanya berada di ruang itu sekitar
10 menit sampai akhirnya dipisahkan. Nasution
mengaku, dari ruangan terpisah dirinya berkali-kali
mendengar Erik berteriak.
Sekitar pukul 16.00 WIB, Nasution dan Marjoni
dipertemukan dengan Erik Alamsyah di Ruang
Subnit Opsnal Reskrim. Mereka melihat banyak luka

di tubuh Erik yang saat itu tertelungkup, di lantai pun
terdapat ceceran darah. Erik juga mengeluh sakit
perut. Akhirnya, Erik tak sadarkan diri dan dibawa
ke RS. Ahmad Muchtar. Setiba di Rumah Sakit, Erik
dinyatakan sudah meninggal dunia.
Kematian Erik Alamsyah baru terungkap ke publik
pada 1 April 2012, saat dilakukan otopsi jenazah di
RS. M. Jamil, Padang.4 Awalnya, pihak Kepolisian
menyatakan kepada keluarga bahwa Erik meninggal
akibat kecelakaan saat penangkapan, sehingga
keluarga awalnya menerima kematian Erik dan
tak bersedia jenazah Erik diotopsi. Namun Polres
Bukittinggi tetap otopsi korban. Karena itulah jenazah
Erik akhirnya diotopsi di RS. M. Jamil, Padang. Pada
jenazah Erik akhirnya ditemukan5: 2 luka robek di
kepala bagian belakang sebelah atas; luka memar di
bagian pelipis mata, hidung, dahi, bibir,