Naturalisme dan Positivisme dalam Filsaf
Berkenalan dengan Naturalisme dan Positivisme dalam Filsafat Hukum
Yesaya Sandang
Naturalisme dan Positivisme merupakan dua kontributor penting dalam blantika
pemikiran filsafat hukum. Sejak berabad-abad lamanya kedua gagasan ini telah mengalami
banyak modifikasi dan perdebatan. Pada jantung perdebatan keduanya dapat kita temui
bahwa telaah problematiknya adalah; mengenai hakikat dan sumber hukum. Masingmasing berhadapan dengan pertanyaan apa itu hukum dan jawabannya berpangkal dari
darimana sumber hukum itu sendiri.
Naturalisme.1
Bagi naturalisme basis dari hukum adalah sesuatu yang melampaui daya kontrol manusia.
Sesuatu tersebut mengikat secara imparsial atas apa yang setiap individu atau kelompok
harapkan dan putuskan. Kekuatan yang suka atau tidak suka harus kita terima impresinya.
Jadi disini hukum bukanlah hasil (outcome) dari kesepakatan manusia, namun merupakan
prinsip pertama atau fondasi natural. Dalam kosakata filsafat aliran ini juga biasa disebut
menganut pandangan fondasionalistik2 atas hukum.
Sehingga dengan kata lain hukum pertama-tama ditemukan, baru kemudian dibuat. Hal ini
berimplikasi bahwa pembuatan hukum positif terikat pada konsiderasi objektif terkait
dengan nilai-nilai intrinsik hukum alamiah, yakni suatu konsiderasi atas keadilan yang
terdapat diluar kehendak legislator. Manakala hal tersebut dilanggar, mereka (legislator)
sebenarnya tidaklah membuat hukum dalam artinya yang sejati.
Bagi Cicero misalnya, hukum dapat dikenali dan terpahami dari dalam rasio manusia yang
menyatu dengan semesta. Dalam kata-kata Cicero sendiri:
“lex ratio summa insita in natura, quae jubet ea, quae facienda sund, prohibetque
contraria “ Artinya, Hukum adalah pertimbangan akal (reason) tertinggi yang terkandung
didalam semesta, yang memerintahkan akan apa yang seharusnya kita lakukan (yang
selaras) dan melarang yang sebaliknya.3
Terdapat beberapa terjemahan dari kata naturalisme dalam filsafat hukum, seperti hukum alam, hukum
kodrat, hukum natural. Namun sebagai titik pijaknya kata tersebut diambil dari kata latin ius naturale.
2 The theory that knowledge of the world rests on a foundation of indubitable beliefs from which further
propositions can be inferred to produce a superstructure of known truths. Traditionally, it is beliefs about our
sense experience that have formed the foundation, with beliefs about the external world forming the
superstructure. However, the assumption that beliefs about sense experience are infallible has come in for
heavy criticism, witness Sellars’s attack on the ‘myth of the given’. Lihat, The Oxford Companion to Philosophy
2nd Edition, edited by Ted Honderich, Oxford University Press, 2005, hal 331
3 De legibus i, 6, dikutip dari CJ Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Prespective 2nd edtion, The
University of Chicago Press, hal 29
1
1
Namun kemudian pertanyaan adalah bagaimana kita dapat memahami relasi antara hukum
yang merupakan pertimbangan nalar tertinggi dalam semesta dengan komunitas manusia
yang ada. Karena tentunya hingga titik tertentu persoalaan yang sungguh dihadapi ada
pada komunitas masyarakat. Cicero menjawabnya dengan dua kata kunci penting: recta
ratio (right reasoning).
Disisi yang lain, Thomas Aquinas yang juga merupakan eksponen aliran ini mendefinisikan
hakekat hukum sebagai :
“Quadeam rationis ordination ad bonnum commune, ab eo qui cura communitatis
habet promulgate”. Artinya, Hukum adalah perintah akal budi (ordering of reason) demi
kebaikan umum dan dipromulgasikan (made public) oleh ia yang memiliki wewenang
membina masyarakat.4
Dengan definisi semacam ini hukum kemudian dapat dikenali karakterisitiknya sebagai
berikut : 1. Rasional karena hukum merupakan perintah akal budi. Artinya: jika seseorang
menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang
seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Teleologis atau berorientasi pada
tujuan tertentu, yaitu demi kebaikan umum. Dalam definisi tersebut, hukum dibuat
berdasarkan atas kepentingan masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum. 3. Untuk
kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk
mewakili masyarakat. Lebih lanjut Aquinas menentukan posisi hukum dalam struktur hirarkis
sebagai berikut:5
•
•
•
Puncak dari hirarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala
sesuatu dimana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.
Dibawah hukum abadi adalah hukum kodrat, yang tidak lain adalah partisipasi
mahluk rasional di dalah hukum abadi.
Dibawah hukum kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.
Positivisme Hukum
Bagi kalangan legal positivis, basis dari hukum adalah kesepakatan antar manusia. Yakni
sesuatu yang diputuskan atau dipilih untuk tujuan-tujuan tertentu dengan serangkaian
fungsi-fungsi yang spesifik sejauh yang dipikirkan pada rentang determinasi waktu
tertentu. Ini berarti bahwa hukum dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari manusia itu
sendiri dan bukan dari luar dirinya.
4
Summa Theologiae Ia, IIae, 90, a.4, diambil dari CJ Friedrich , ibid, hal 46 dan lihat juga E.Sumaryono, Etika &
Hukum, Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisus, 2002, hal 3
5 Lihat, E.Sumaryono, ibid.
2
Pertanyaannya kemudian, siapa yang membuat hukum? Kaum positivis akan menjawab :
orang-orang yang dalam posisi atau kekuasaan yang memadai untuk “impose their will on
the whole community” sehingga sanksi serta aturan-aturan dapat berdampak dan
diimplementasikan tanpa atau dengan konsultasi atau persetujuan.
Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan
pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali
menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte
merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai
perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Comte membagi
perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga taraf/fase, yang menurutnya hal tersebut
merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan. Tiga tahap tersebut
adalah : 1. tahap teologis 2. tahap metafisis 3. tahap positif/ilmiah.6
Bagi Comte yang penting sekarang adalah tahap ilmiah, sebagai tahap terakhir dan
tertinggi pemikiran manusia, dimana pada tahap ini pemikiran manusia sampai pada suatu
pengetahuan yang ultim. Dasar dari pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat
diobservasi. Pemikiran Ilmiah berikhtiar untuk mencari dan menelusuri hubunganhubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta melalui cara yang dapat
diawasi, artinya melalui metode eksperimental. Dengan kata lain kemudian, hukum disini
didekati melalui pendekatan ilmiah (saintifik). Hal ini secara tegas diakui oleh salah satu
ekpsonen dari aliran ini yaitu Hans Kelsen. Ia menulis:
“When this doctrine is called the “pure theory of law” it is meant that it is being kept free from
all elements foreign to the specific method of a science whose only purpose is the cognition of
law, not its formation. A science has to describe its object as it actually is, not to prescribe how
it should be or should not be from the point of view of some specific value judgement”7
Penjelasan Kelsen ini dengan tegas hendak memisahkan segala anasir asing yang hendak
mencampuri hukum dan cara untuk menuju kesana dicapai melalui metode saintifik, yang
memiliki kemampuan “objektif” terhadap objek kajiannya, dalam hal ini hukum. Secara
terang-terangan Kelsen juga mengkritik pandangan naturalisme, yang dalam sudut
pandangnya tidak lebih daripada usaha sia-sia. Sia-sia karena apa yang diupayakan oleh
naturalisme tidak akan mungkin tercapai, ide-ide transcendental yang ada dalam alam
6
Dalam tahap metafisis, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir dibalik peristiwa-peristiwa alam dan
menemukannya dalam kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, memilik banyak sebutan, semisal
dewa atau Tuhan yang dibayangkan memiliki kehendka atau rasio yang melampaui manusia. Pada tahap
metafisis manusia mulai mengubah kekuatan adimanusiawi pada tahap sebelumnya menjadi abstraksiabstraksi metafisis. Sedangkan pada tahap positif kedua hal tersebut sudah ditinggalkan. Manusia tidak lagi
mencari penjelasan diluar fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang factual yang
sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum. Pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, namun juga bersifat pasti dan berguna. Lihat,
FB.Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, GPU, 2004, hal 206-207
7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State translated by Anders Wedberg, Russell & Russell, New York,
1945, hal xiv
3
semesta, dalam “divine order”, pada akhirnya tidak dapat tercapai dan diciptakan
dikehidupan kita disini. Dengan kata lain pandangan positivisme hukum Kelsen menolak
untuk me-metafisika-kan hukum, ia menolak memandang hukum sebagai manifestasi
kekuatan supraadikodrati yang berada diluar manusia. Dan secara konsekuen berbalikan
dari gagasan naturalisme, positivisme Kelsen hendak mengejar dan mencari penjelasan
akal budi terbaik tentang validitas hukum.
Disisi yang lain, John Austin (1790-1859) yang juga pembela positivisme hukum
berpandangan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri
menurutnya terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu
sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin menyatakan “a law is a command which
obliges a person or persons… Laws and other commands are said to proceed from superior,
and to bind or oblige inferiors”8.
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :9
1. hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan
2. hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian :
a. hukum yang sebenarnya
b. hukum yang tidak sebenarnya
Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang
dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah
hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai
hukum.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip
hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus
selalu dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal
tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini
nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh
penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat
menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi
Pertanyaan untuk didiskusikan:
1. Identifikasikan perbedaan utama kedua pandangan tersebut (buat dalam bentuk
tabel/matirks).
2. Apa kelemahan dan kekuatan dari masing-masing pandangan. Apa yang menjadi
titik penekanan dari masing-masing pandangan.
8
John Austin, The Province Of Jurisprudence, dikutip dari Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta, 2004, hal 114
9 ibid
4
3. Apakah keduanya dapat dipertemukan? Jelas alasannya!!!!
4. Dapatkah anda berikan contoh problematika debat ini dalam dunia hukum
keseharian.
Bahan Bacaan Lanjutan.
CJ Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Prespective 2nd edition, The University of
Chicago Press, chapter IV and VI
Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, bab III
E.Sumaryono, Etika & Hukum, Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisus, 2002,
Mark Tebbit, Philosophy of Law, Routledge, London, 2002, chapter I
Hans Kelsen, General Theory of Law and State translated by Anders Wedberg, Russell &
Russell, New York, 1945, halaman 391 – 417.
5
Yesaya Sandang
Naturalisme dan Positivisme merupakan dua kontributor penting dalam blantika
pemikiran filsafat hukum. Sejak berabad-abad lamanya kedua gagasan ini telah mengalami
banyak modifikasi dan perdebatan. Pada jantung perdebatan keduanya dapat kita temui
bahwa telaah problematiknya adalah; mengenai hakikat dan sumber hukum. Masingmasing berhadapan dengan pertanyaan apa itu hukum dan jawabannya berpangkal dari
darimana sumber hukum itu sendiri.
Naturalisme.1
Bagi naturalisme basis dari hukum adalah sesuatu yang melampaui daya kontrol manusia.
Sesuatu tersebut mengikat secara imparsial atas apa yang setiap individu atau kelompok
harapkan dan putuskan. Kekuatan yang suka atau tidak suka harus kita terima impresinya.
Jadi disini hukum bukanlah hasil (outcome) dari kesepakatan manusia, namun merupakan
prinsip pertama atau fondasi natural. Dalam kosakata filsafat aliran ini juga biasa disebut
menganut pandangan fondasionalistik2 atas hukum.
Sehingga dengan kata lain hukum pertama-tama ditemukan, baru kemudian dibuat. Hal ini
berimplikasi bahwa pembuatan hukum positif terikat pada konsiderasi objektif terkait
dengan nilai-nilai intrinsik hukum alamiah, yakni suatu konsiderasi atas keadilan yang
terdapat diluar kehendak legislator. Manakala hal tersebut dilanggar, mereka (legislator)
sebenarnya tidaklah membuat hukum dalam artinya yang sejati.
Bagi Cicero misalnya, hukum dapat dikenali dan terpahami dari dalam rasio manusia yang
menyatu dengan semesta. Dalam kata-kata Cicero sendiri:
“lex ratio summa insita in natura, quae jubet ea, quae facienda sund, prohibetque
contraria “ Artinya, Hukum adalah pertimbangan akal (reason) tertinggi yang terkandung
didalam semesta, yang memerintahkan akan apa yang seharusnya kita lakukan (yang
selaras) dan melarang yang sebaliknya.3
Terdapat beberapa terjemahan dari kata naturalisme dalam filsafat hukum, seperti hukum alam, hukum
kodrat, hukum natural. Namun sebagai titik pijaknya kata tersebut diambil dari kata latin ius naturale.
2 The theory that knowledge of the world rests on a foundation of indubitable beliefs from which further
propositions can be inferred to produce a superstructure of known truths. Traditionally, it is beliefs about our
sense experience that have formed the foundation, with beliefs about the external world forming the
superstructure. However, the assumption that beliefs about sense experience are infallible has come in for
heavy criticism, witness Sellars’s attack on the ‘myth of the given’. Lihat, The Oxford Companion to Philosophy
2nd Edition, edited by Ted Honderich, Oxford University Press, 2005, hal 331
3 De legibus i, 6, dikutip dari CJ Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Prespective 2nd edtion, The
University of Chicago Press, hal 29
1
1
Namun kemudian pertanyaan adalah bagaimana kita dapat memahami relasi antara hukum
yang merupakan pertimbangan nalar tertinggi dalam semesta dengan komunitas manusia
yang ada. Karena tentunya hingga titik tertentu persoalaan yang sungguh dihadapi ada
pada komunitas masyarakat. Cicero menjawabnya dengan dua kata kunci penting: recta
ratio (right reasoning).
Disisi yang lain, Thomas Aquinas yang juga merupakan eksponen aliran ini mendefinisikan
hakekat hukum sebagai :
“Quadeam rationis ordination ad bonnum commune, ab eo qui cura communitatis
habet promulgate”. Artinya, Hukum adalah perintah akal budi (ordering of reason) demi
kebaikan umum dan dipromulgasikan (made public) oleh ia yang memiliki wewenang
membina masyarakat.4
Dengan definisi semacam ini hukum kemudian dapat dikenali karakterisitiknya sebagai
berikut : 1. Rasional karena hukum merupakan perintah akal budi. Artinya: jika seseorang
menghendaki suatu tujuan tertentu, akal budinya memerintahkan tentang apa yang
seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Teleologis atau berorientasi pada
tujuan tertentu, yaitu demi kebaikan umum. Dalam definisi tersebut, hukum dibuat
berdasarkan atas kepentingan masyarakat, yaitu disusun demi kebaikan umum. 3. Untuk
kepentingan tersebut, maka pembuatan hukum menjadi wewenang seseorang yang ditunjuk
mewakili masyarakat. Lebih lanjut Aquinas menentukan posisi hukum dalam struktur hirarkis
sebagai berikut:5
•
•
•
Puncak dari hirarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala
sesuatu dimana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.
Dibawah hukum abadi adalah hukum kodrat, yang tidak lain adalah partisipasi
mahluk rasional di dalah hukum abadi.
Dibawah hukum kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.
Positivisme Hukum
Bagi kalangan legal positivis, basis dari hukum adalah kesepakatan antar manusia. Yakni
sesuatu yang diputuskan atau dipilih untuk tujuan-tujuan tertentu dengan serangkaian
fungsi-fungsi yang spesifik sejauh yang dipikirkan pada rentang determinasi waktu
tertentu. Ini berarti bahwa hukum dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari manusia itu
sendiri dan bukan dari luar dirinya.
4
Summa Theologiae Ia, IIae, 90, a.4, diambil dari CJ Friedrich , ibid, hal 46 dan lihat juga E.Sumaryono, Etika &
Hukum, Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisus, 2002, hal 3
5 Lihat, E.Sumaryono, ibid.
2
Pertanyaannya kemudian, siapa yang membuat hukum? Kaum positivis akan menjawab :
orang-orang yang dalam posisi atau kekuasaan yang memadai untuk “impose their will on
the whole community” sehingga sanksi serta aturan-aturan dapat berdampak dan
diimplementasikan tanpa atau dengan konsultasi atau persetujuan.
Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan
pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali
menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte
merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai
perkembangan pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Comte membagi
perkembangan pemikiran manusia kedalam tiga taraf/fase, yang menurutnya hal tersebut
merupakan sebuah rentetan ketentuan umum yang sudah ditetapkan. Tiga tahap tersebut
adalah : 1. tahap teologis 2. tahap metafisis 3. tahap positif/ilmiah.6
Bagi Comte yang penting sekarang adalah tahap ilmiah, sebagai tahap terakhir dan
tertinggi pemikiran manusia, dimana pada tahap ini pemikiran manusia sampai pada suatu
pengetahuan yang ultim. Dasar dari pengetahuan adalah fakta-fakta yang dapat
diobservasi. Pemikiran Ilmiah berikhtiar untuk mencari dan menelusuri hubunganhubungan dan ketentuan-ketentuan umum antara fakta-fakta melalui cara yang dapat
diawasi, artinya melalui metode eksperimental. Dengan kata lain kemudian, hukum disini
didekati melalui pendekatan ilmiah (saintifik). Hal ini secara tegas diakui oleh salah satu
ekpsonen dari aliran ini yaitu Hans Kelsen. Ia menulis:
“When this doctrine is called the “pure theory of law” it is meant that it is being kept free from
all elements foreign to the specific method of a science whose only purpose is the cognition of
law, not its formation. A science has to describe its object as it actually is, not to prescribe how
it should be or should not be from the point of view of some specific value judgement”7
Penjelasan Kelsen ini dengan tegas hendak memisahkan segala anasir asing yang hendak
mencampuri hukum dan cara untuk menuju kesana dicapai melalui metode saintifik, yang
memiliki kemampuan “objektif” terhadap objek kajiannya, dalam hal ini hukum. Secara
terang-terangan Kelsen juga mengkritik pandangan naturalisme, yang dalam sudut
pandangnya tidak lebih daripada usaha sia-sia. Sia-sia karena apa yang diupayakan oleh
naturalisme tidak akan mungkin tercapai, ide-ide transcendental yang ada dalam alam
6
Dalam tahap metafisis, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir dibalik peristiwa-peristiwa alam dan
menemukannya dalam kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, memilik banyak sebutan, semisal
dewa atau Tuhan yang dibayangkan memiliki kehendka atau rasio yang melampaui manusia. Pada tahap
metafisis manusia mulai mengubah kekuatan adimanusiawi pada tahap sebelumnya menjadi abstraksiabstraksi metafisis. Sedangkan pada tahap positif kedua hal tersebut sudah ditinggalkan. Manusia tidak lagi
mencari penjelasan diluar fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang factual yang
sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum. Pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, namun juga bersifat pasti dan berguna. Lihat,
FB.Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, GPU, 2004, hal 206-207
7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State translated by Anders Wedberg, Russell & Russell, New York,
1945, hal xiv
3
semesta, dalam “divine order”, pada akhirnya tidak dapat tercapai dan diciptakan
dikehidupan kita disini. Dengan kata lain pandangan positivisme hukum Kelsen menolak
untuk me-metafisika-kan hukum, ia menolak memandang hukum sebagai manifestasi
kekuatan supraadikodrati yang berada diluar manusia. Dan secara konsekuen berbalikan
dari gagasan naturalisme, positivisme Kelsen hendak mengejar dan mencari penjelasan
akal budi terbaik tentang validitas hukum.
Disisi yang lain, John Austin (1790-1859) yang juga pembela positivisme hukum
berpandangan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri
menurutnya terletak pada unsur “perintah” (command). Hukum dipandang sebagai suatu
sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin menyatakan “a law is a command which
obliges a person or persons… Laws and other commands are said to proceed from superior,
and to bind or oblige inferiors”8.
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :9
1. hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan
2. hukum yang dibuat oleh manusia, yang dibagi lagi kedalam dua bagian :
a. hukum yang sebenarnya
b. hukum yang tidak sebenarnya
Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum positif) meliputi hukum yang
dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah
hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai
hukum.
Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip
hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus
selalu dijunjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal
tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini
nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh
penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat
menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi
Pertanyaan untuk didiskusikan:
1. Identifikasikan perbedaan utama kedua pandangan tersebut (buat dalam bentuk
tabel/matirks).
2. Apa kelemahan dan kekuatan dari masing-masing pandangan. Apa yang menjadi
titik penekanan dari masing-masing pandangan.
8
John Austin, The Province Of Jurisprudence, dikutip dari Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta, 2004, hal 114
9 ibid
4
3. Apakah keduanya dapat dipertemukan? Jelas alasannya!!!!
4. Dapatkah anda berikan contoh problematika debat ini dalam dunia hukum
keseharian.
Bahan Bacaan Lanjutan.
CJ Friedrich, The Philosophy of Law in Historical Prespective 2nd edition, The University of
Chicago Press, chapter IV and VI
Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, bab III
E.Sumaryono, Etika & Hukum, Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisus, 2002,
Mark Tebbit, Philosophy of Law, Routledge, London, 2002, chapter I
Hans Kelsen, General Theory of Law and State translated by Anders Wedberg, Russell &
Russell, New York, 1945, halaman 391 – 417.
5