Hukum dan Kearifan Lokal docx
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai
budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum
yang berbeda pula. Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia
mengadopsi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system
hukum yang berlaku di Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu
hukum adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut
dipandang representative dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalanpersoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dari ketiga hukum tersebut Saya akan membicarakan masalah hukum adat, karena
bentuk dari hukum adat itu tidak tertulis dan berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja. Yang
menjadi ikatan hukum tersebut adalah berupa sangsi moral atau malu apabila
seseorang tidak mengikuti hukum yang berlaku di suatu tempat tersebut untuk itu
saya akan membahas lebih khusus lagi pada bagian perkawinan hukum
adat.Menurut Prof. Hilman Hadikusuma, S.H., dalam buku Intisari Hukum Adat
Indonesia, Styady,S.H.,M.Pd.,M.H., (225): Hukum adat perkawinan adalah
aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan,
cara-cara pelamaran, upacara perkawinan di Indonesia, sedangkan menurut Prof.
Dr. Barend Ter Haar, B.Zn, perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum
yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan
merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang
meneruskan
golongan
itu
tersebut..Menurut
masyarakat
adat
Mentawai,masyarakat kebapaan merupakan suatu masyarakat yang terbagi dalam
klen-klen kebapaan,yang anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen
dan berdasarkan pandangan yang bersifat relio-magis,melalui garis ayah atau lakilaki.Sebagai konsekuensinya,diadakanlah suatu system perkawinan yang cocok
untuk mempertahankan garis bapak itu,yaitu kawin jujur (Ala Toga).Ini berarti
2
suatu keharusan bagi pria dan wanita itu mencari pasangan di luar klenya dengan
pemeberian barang yang bersifat religio magis,wanita dilepaskann dari ikatan
klennya
dan
dimasukan
ke
dalam
klen
suaminya
dan
selanjutnya
berhak,berkewajiban dan bertugas dilingkungan keluarga suami.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kaitan antara hukum adat dengan hukum positif terutama tentang
perkawinan?
Apakah wujud Kearifan local dalam perkawinan Mentawai?
1.3 Tujuan
Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat,
perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun
khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman,
tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajensesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan
mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun
pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan
yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.Serta untuk melihat hukum
perkawinan adat yang terjadi di dalam masyarakat adat Mentawai
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan adat Masyarakat Mentawai
TRADISI PERNIKAHAN
Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak lelaki. Lelaki
dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan hidup calon
istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi. Hubungan
muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam
“hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua
muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah secara sederhana,
sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih baik dan kesiapan materi
yang lebih memadai.
Jika pihak laki-laki dipandang telah cukup mampu bertanggung-jawab secara
materi dengan kepemilikan atas ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan
babi, maka perkawinan bisa langsung diresmikan secara adat. Sejak itu mereka
diakui sebagai pasangan yang “dewasa” secara sosial. Ini adalah tanda bahwa
pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, masuk ke dalam kebersamaan
adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si
suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah
lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia telah tinggal di
rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat.
Tujuan pernikahan di Mentawai yaitu untuk melanjutkan keturunan guna
menghasilkan anak yang dapat membantu mereka untuk menyambung hidup
seperti di lading bagi ayah, dan menangkap ikan bagi sang ibu. Perkawinan suku
Mentawai pada umumnya adalah monogami dengan system patrilial, sedangkan
perceraian sangat dilarang di suku Mentawai.
4
Mentawai lebih dikenal kental sistem adat istiadatnnya dari Siberut yang
kemudian berkembang hingga ke Sipora dan pulau Pagai Utara dan Selatan.
Sistem perkawinan di Mentawai adalah menganut sistem patrilinial atau garis
turunan ayah (bapak) dan perkawinan menganut sistem eksogami, yaitu seseorang
diharuskan kawin di luar suku keluarganya (keluarga clan). Proses perkawinan di
Mentawai, terutama di Siberut sangat kuat adat istiadat dan terkesan banyak
sanksi. Proses pacaran dan sanksi seseorang pria yang ketahuan mengirim surat
kepada kekasihnya perempuan, maka laki-laki tersebut mendapatkan sanksi denda
yang rata-rata setiap daerah adalah 1 buah parang (untuk peralatan ke ladang) dan
atau seekor ayam, sedangkan ketahuan mendatangi rumah perempuan secara
diam-diam (niat pacaran) baik pacar gadis maupun janda dan memacari istri orang
(zinah) maka akan dapat sanksi denda atau dikenal istilah tulou yang nilainya
bervariasi sesuai dengan tempo dan locus delicty. Selain dikenakan denda karena
mendatangi rumah pacar/ selingkuhan, bila akibat ketahuan mendatangi rumah
perempuan tersebut dalam tempo waktu dekat kehilangan ternak pihak
perempuan, maka si laki-laki juga dikenakan sanksi denda /tulou mengganti
kehilangan ternak tersebut karena dianggap menodai rumah pihak keluarga si
perempuan.
Upacara pernikahan masyarakat Mentawai tidak dilaksanakan di Mesjid atau
Gereja, tapi mereka melakukan pernikahan di Uma (rumah adat suku Mentawai)
dan yang bertindak sebagai wali adalah Kepala Suku. Acara dilakukan selama 5
hari 5 malam. Untuk acara pinang meminang, yang datang ke rumah si perempuan
bukan calon suaminya melainkan kakak perempuan dari calon suaminya tersebut.
Misalnya, jika kakak perempuan si laki-laki datang ke rumah perempuan
membawa kain sebagai tanda meminang dan si perempuan telah menerima kain
tersebut maka baik perempuan atau laki-laki tidak boleh lagi “main-main”,
maksudnya keduanya tidak boleh selingkuh. Jika melanggar maka akan dikenai
sanksi, misalnya denda sebuah ladang.
PROSES PERNIKAHAN
5
Sedangkan proses pelamaran dan sanksi, untuk dimulainya pertunangan kepada
pihak keluarga perempuan, pria tidak boleh mendatangi rumah si perempuan akan
tetapi pihak orang tualah yang berunding untuk menetapkan jadwal pelamaran
untuk memutuskan pertunangan. Selama proses pertunangan, pasangan kekasih
(laki-laki dan perempuan) tidak boleh dibolehkan bertemu berduaan baik itu untuk
ngobrol maupun mengantar cucian, rantangan/masakan makanan maupun yang
lain-lain kecuali ada salah satu pihak keluarga. Dan bila ternyata keduanya
terbukti oleh warga melakukan pertemuan berdua walaupun tidak melakukan
hubungan di luar kewajaran, maka mendapatkan sanksi sosial yaitu tidak
dinikahkan/ dikawinkan secara agama di gereja / mesjid akan tetapi dinikahkan
secara agama di rumah mempelai. Hal ini dianggap telah menodai sosial
masyarakat dalam lingkungan perkampungan
Seminggu setelah acara meminang mereka akan melangsungkan pernikahan di
gereja atau mesjid. Beberapa hari setelah itu diadakanlah punen (acara), setelah itu
barulah pasangan tersebut boleh sekamar. Satu atau dua bulan setelah itu ada lagi
acara yang dinamakan acara pembelian. Pihak perempuan akan mendatangi pihak
laki-laki untuk membicarakan pembelian. Demi menjaga keamanan, ditunjuklah
satu wali dari pihak perempuan karena kedua belah pihak tidak boleh saling
berhadapan. Setelah disepakati, pihak perempuan datang mengambil barang dan
kemudian oleh orang tua diberi nasehat-nasehat. Kemudian diadakanlah acara
Pangurei yaitu acara adat dimana kedua suami istri memakai pakaian adat atau
disebut juga pesta pernikahan dan pihak perempuan yang menyiapkan pesta.
Setelah 2-3 hari pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengantarkan
pakaian yang dipakai saat Pangurei. Kegiatan ini disebut Parurut mungu.
Beberapa hari setelah itu mereka pulang ke rumah laki-laki.
Jika terjadi perceraian, misalnya karena timbul pertengkaran dan si istri mengadu
kepada kedua orang tuanya. Kemudian orang tuanya akan mendatangi si suami
maka si suami akan dikenai denda dan si istri akan pulang ke rumah orang tuanya.
Jika mereka mempunyai anak, maka anak laki-laki ikut ayahnya dan anak
perempuan akan ikut ibunya. Jika sudah terjadi perceraian tidak ada lagi kata
6
rujuk dan masing-masing dari mereka boleh menikah lagi. Laki-laki boleh miliki
istri lebih dari satu orang tergantung kesanggupannya.
Setelah dilakukannya akad nikah baik di gereja / mesjid dan atau di rumah bagi
yang mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat akibat ketahuan berduaan /
pertemuan berdua, maka beberapa waktu kemudian sepersukuan (marga) keluarga
perempuan melakukan rembuk di dalam internal persukuannya untuk hitunghitungan ternak masing-masing untuk persiapan mempestakan anak perempuan
dan suaminya. Lama waktu setelah perkawinan tidak ditentukan secara pasti akan
tetapi menjadi motivasi dan harga diri, lebih cepat lebih baik agar tidak dianggap
pihak keluarga perempuan tidak punya apa-apa (ternak). Soal nilainya perawan di
Mentawai terutama di Pulau Siberut, sangat penting dan akan menjadi persoalan
adat secara serius bila nanti ternyata pada saat malam pertama, istri tidak lagi
perawan (kecuali saat mau nikah/kawin keduanya berterus terang dan saling
menerima). Bila keperawanan ternyata sudah tidak ada, atau sudah berzinah
dengan lelaki lain sebelumnya, maka dianggap telah melakukan kebohongan dan
oleh karena itu pihak laki-laki dapat meminta kembali mas kawin (barang yang
dijadikan sebagai alat bayar) dari pihak perempuan
Di dalam masyarakat adat Mentawai,dalam perkawinannya menggunakan
perkawinan jujur.Istilah perkawinan jujur dalam masyarakat adat Mentawai
adalah Ala Toga.Ala toga merupakan bentuk mas kawin di masyarakat adat
Mentawai.Dengan
membayar
Ala
toga
bukan
berarti
anak
tersebut
terjual,sehingga orangtua atau kerabatnya kehilangan dan tidak punya hubungan
lagi dengan anak tersebut,melainkan sebagai bukti betapa berharganya anak
wanita dimata mereka.Ala Toga adalah bentuk persyaratan yang dibebankan
kepada pihak pria untuk menghormati jerih payah orangtua dari calon istrinya
yang telah bersusah payah membersarkan,membina
dan mendidik dari kecil
hingga dewasa.Setelah ala toga tersebut diterima oleh pihak wanita ,ada
kewajiban dari pihak keluarga atau pihak wanita untuk membalas pemberian ala
toga tersebut yang nilainya sama atau bahkan lebih besa dari nilai ala toga.Balasan
tersebut akan dikembalikan kepada pihak pria atas pembayaran ala toga disebut
7
punu alaket.Dengan demikian dapat dipahami bahwa fungsi pertukaran harta
benda dalam perkawinan adalah untuk memperkuat hubungan baik antara kedua
kelompok kerabat,karena sebagaimana diketahui perkawinan antara dua orang
individu bukanlah semata mata urusan kedua individu.
Penetapan jumlah dan bentuk ala toga biasanya dilakukan selang beberapa
saat setelah peminangan diterima.Ada juga sebagian anggota masyarakat yang
membuat kesepakatan bahwa pembicaraan mengenai ala toga baru akan dilakukan
pada hari lain( misalnya dua hari,tiga hari,atau seminngu) setelah acara
lamaran.Pembicaraan(patiboat) mengenai ala toga biasanya akan berlangsung
lama,karena masing masing pihak dalam pertemuan itu akan mendapata giliran
untuk mengemukakan pendapatnya.Pihak penerima ala toga (pihak pemberi gadis)
akan mengajukan perminataan berupa sejumlah harta,baik barang bergerak
maupun barang tetap.Bila jumlah ala toga yang diminta dianggap besar dan
memberatkan,maka pihak pria akan mengajukan penawaran sesuai kondisi dan
kemampuan ekonominya.
Bentuk Ala toga yang dimaksud antara lain:
1.
Babi sebanyak 5 ekor ( 3 ekor induk dan 2 ekor anak)
2.
Durian,4-7 batang,2 batang di lokasi/lading dekat kampung dan sisanya
boleh di lading lain yang jauh dari kampung.bagaimana bentuk atau kualitas
batang durian juga ditentukan oleh penerima ala toga.
3.
Sagu 1 rumpun
4.
Kelapa 1 batang
2.2 Hukum Perkawinan Adat
Pengertian perkawinan adat adalah Ikatan hidup bersama antara seorang
pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi
8
penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang
didahului dengan rangkaian upacara adat.
Di dalam perkawinan hukum adat terdapat 3 sistem yaitu:
1.
Sistem Endogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang
melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.
2.
Sistem Eksogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan
perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.
3.
Sistem Eleutherpgami
Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan
seperti halnya dalam sistim endogami ataupun eksogami.
Di dalam hukum adat juga terdapat asas -asas yang mengatur
perkawinan,asas – asas yang dimaksud adalah:
1.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.
Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota
kerabat
3.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan
anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau
istri yang tidak diakui masyarakat adat
4.
Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa
wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
9
5.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah
tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
Bentuk Bentuk dari perkawinan hukum adat:
1.
Perkawinan Pinang
Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan
dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada
umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
2.
Perkawinan Lari Bersama
Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan
sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk
melangsungkan perkawinan.
3.
Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang
wanita secara paksa.
Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu :
1.
Bentuk Perkawinan Patrilineal
Perkawinan jujur
Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan
jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang
diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan
persekutuannya.
Perkawinan Mengabdi
10
Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat
memenuhi syarat -syarat dari pihak wanita
Perkawinan Mengganti
Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki laki
almarhum suaminya
Perkawinan Meneruskan
Yaitu bentuk perkawinan seorang duda dengan saudara perempuan
almarhum istrinya.
2.
Bentuk Perkawinan Matrilineal
Yaitu Sistem perkawinan dimana diatur menurut tertib garis ibu,sehingga
setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannya
matrilineal
3.
Bentuk Perkawinan Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang mengkiatkan bahwa pihak suami maupun
pihak istri,masing masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah
pihak.Demikian juga anak anak yang lahir kelak dan seterusnya
2.3 Hubungan Dengan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Eksistensi hukum perkawinan adat di Mentawai masih kuat setelah
berlakunya
Undang
Undang
Nomor
1
Tahun
1974
Tentang
Perkawinan,sebagaimana kita ketahui bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut mengatur secara nasional mengenai perkawinan -perkawinan bagi
setiap warga negara Indonesia da menurut sistematisnya Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 terdari 14 Bab dan 67 Pasal yang mengatur mengenai:dasar dasar
perkawinan,syarat
syarat
perkawinan,pencegahan
perkawinan,batalnya
11
perkawinan,perjanjian perkawinan,hak dan kewajiban suami isteri,harta benda
dalam
perkawinan,putusnya
perkawinan
serta
akibatnya,kedudukan
anak,perwalian,Ketentuan lain dan Ketentuan Penutup.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam hukum adat perkawinan yang dilakukan oleh kedua pihak
mempelai biasanya atas dasar perjodohan yang ditentukan oleh orang tua dari
masing-masing anak. Perkawinan semacam ini sudah dilakukan oleh para
pendahulu turun temurun sampai sekarang (dibeberapa tempat yang masih kuat
hukum
adatnya).
Filosofinya
adalah
perkawinan
tersebut
tidak
hanya
menghubungkan dua manusia saja, akan tetapi persatuan dua keluarga dan
mengeratkan hubungan.
Namun, fakta membuktikan adanya benturan-benturan hukum yang terjadi antara
masalah perkawinan adat yang memperbolehkan melakukan perkawinan di usia
baligh walaupun si laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan si wanita usia 16
tahun, dengan hukum positif yang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang
12
menentukan batasan umur minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Sehingga dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hukum positif tidak
memperbolehkan perkawinan di bawah umur minimal. Hukum positif mengatur
hal tersebut mengharapkan agar orang yang akan menikah sudah memiliki
kematangan dalam menghadapi kehidupan, sehingga tidak terjadi penyesalan di
akhir kemudian seperti perceraian.
Akan tetapi, perkawinan adat tetap bisa dijalankan meskipun terpaksa karena UU
No. 1 Tahun 1974 masih memungkinkan akan terjadi penyimpangan. Melihat
pada saat ini cara pikir masyarakat Indonesia yang melakukan penyimpanganpenyimpangan karena salah mengadopsi pemikiran-pemikiran yang glamour.
Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, bagi yang ingin
melakukan perkawinan (adat) dibawah umur pengadilan memberikan dispensasi.
Adat seperti ini akan banyak kita temui saat ini di daerah pedalaman-pedalaman
yang masih belum tersentuh modernisasi. Dan dapat dilihat hasilnya, minim
pengetahuan namun memiliki kekuatan budaya yang kuat sehingga kehidupan
yang dijalani tidak seperti orang modern yang cerai-cerai semakin marak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada sebenarnya adalah demi
kemaslahatan langgengnya sebuah perkawinan, artinya pengkondisian yang ada di
hukum adat merupakan dasar-dasar yang meminimkan masalah yang akan timbul
di kemudian hari.
3.2
Saran
1. Diharapkan pemerintah dalam memrumuskan ketentuan mengenai perkawinan
juga memperhatikan perkembangan kerafan local setiap wilayah.
2. Diharapkan pemerintah daerah memiliki peran aktif dalama menunjanag
menjamin serta memberikan pengayoman kepada masyarakat adat terkhusus
pentingnya masalah pendaftaran perkawinan di kantor catatan sipil untuk
menjamin hak-hak penduduk terkhusus untuk anak yang nantinya dilahirkan.
13
3. diharapkan adanya upaya pemerintah dalam memenuhi ketentuan UUD 1945
yaitu pasal 18 b yang mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat.
DAFTAR PUSTAKA
http://retpository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1615/3/07000691.tpdf.txt
http://bloghukumumum.blogstpot.sg/2010/04/tpeggeriag-tperkaiigag-megurutugdagg.html
http://iii.tpuailiggoubat.com/arikel/478/sistem-tperkaiigag-adat-di-mayoritasketpulauag-megtaiai.html
http://serlagia.blogstpot.sg/2012/01/hukum-tperkaiigag-adat.html
http://kabugvillage.blogstpot.sg/2011/12/hukum-tperkaiigag-adat.html
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sangat multi etnis, berbagai
budaya dan suku didalamnya sehingga menimbulkan suatu aturan atau hukum
yang berbeda pula. Pluralisme demikian yang menyebabkan negara Indonesia
mengadopsi berbagai produk hukum sebagaimana kita ketahui bahwa system
hukum yang berlaku di Indonesia adalah system hukum yang majemuk yaitu
hukum adat, Islam dan Barat (kontinental). Mungkin dari ketiga hukum tersebut
dipandang representative dalam menegakkan keadilan dan menjawab persoalanpersoalan yang sangat kompleks untuk konteks sekarang dan yang akan datang.
Dari ketiga hukum tersebut Saya akan membicarakan masalah hukum adat, karena
bentuk dari hukum adat itu tidak tertulis dan berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja. Yang
menjadi ikatan hukum tersebut adalah berupa sangsi moral atau malu apabila
seseorang tidak mengikuti hukum yang berlaku di suatu tempat tersebut untuk itu
saya akan membahas lebih khusus lagi pada bagian perkawinan hukum
adat.Menurut Prof. Hilman Hadikusuma, S.H., dalam buku Intisari Hukum Adat
Indonesia, Styady,S.H.,M.Pd.,M.H., (225): Hukum adat perkawinan adalah
aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan,
cara-cara pelamaran, upacara perkawinan di Indonesia, sedangkan menurut Prof.
Dr. Barend Ter Haar, B.Zn, perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum
yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan
merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang
meneruskan
golongan
itu
tersebut..Menurut
masyarakat
adat
Mentawai,masyarakat kebapaan merupakan suatu masyarakat yang terbagi dalam
klen-klen kebapaan,yang anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuen
dan berdasarkan pandangan yang bersifat relio-magis,melalui garis ayah atau lakilaki.Sebagai konsekuensinya,diadakanlah suatu system perkawinan yang cocok
untuk mempertahankan garis bapak itu,yaitu kawin jujur (Ala Toga).Ini berarti
2
suatu keharusan bagi pria dan wanita itu mencari pasangan di luar klenya dengan
pemeberian barang yang bersifat religio magis,wanita dilepaskann dari ikatan
klennya
dan
dimasukan
ke
dalam
klen
suaminya
dan
selanjutnya
berhak,berkewajiban dan bertugas dilingkungan keluarga suami.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kaitan antara hukum adat dengan hukum positif terutama tentang
perkawinan?
Apakah wujud Kearifan local dalam perkawinan Mentawai?
1.3 Tujuan
Seperti apa yang disinggung dalam pengertian bahwa dalam masyarakat adat,
perkawinan tersebut mempunyai tujuan tersendiri baik secara umum maupun
khusus. Secara umum mempunyai tujuan mewujudkan masyarakat yang aman,
tentram dan sejahtera, secara khusus dengan berbagai ritual-ritualnya dan sesajensesajen atau persyaratan-persyaratan yang melengkapi upacara tersebut akan
mendukung lancarnya proses upacara baik jangka pendek maupun panjang namun
pada akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin mendapatkan kehidupan
yang bahagia dan sejahtera dan keluarga yang utuh.Serta untuk melihat hukum
perkawinan adat yang terjadi di dalam masyarakat adat Mentawai
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan adat Masyarakat Mentawai
TRADISI PERNIKAHAN
Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak lelaki. Lelaki
dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan hidup calon
istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi. Hubungan
muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam
“hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat. Kedua
muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah secara sederhana,
sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih baik dan kesiapan materi
yang lebih memadai.
Jika pihak laki-laki dipandang telah cukup mampu bertanggung-jawab secara
materi dengan kepemilikan atas ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan
babi, maka perkawinan bisa langsung diresmikan secara adat. Sejak itu mereka
diakui sebagai pasangan yang “dewasa” secara sosial. Ini adalah tanda bahwa
pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, masuk ke dalam kebersamaan
adat. Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si
suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah
lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia telah tinggal di
rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat.
Tujuan pernikahan di Mentawai yaitu untuk melanjutkan keturunan guna
menghasilkan anak yang dapat membantu mereka untuk menyambung hidup
seperti di lading bagi ayah, dan menangkap ikan bagi sang ibu. Perkawinan suku
Mentawai pada umumnya adalah monogami dengan system patrilial, sedangkan
perceraian sangat dilarang di suku Mentawai.
4
Mentawai lebih dikenal kental sistem adat istiadatnnya dari Siberut yang
kemudian berkembang hingga ke Sipora dan pulau Pagai Utara dan Selatan.
Sistem perkawinan di Mentawai adalah menganut sistem patrilinial atau garis
turunan ayah (bapak) dan perkawinan menganut sistem eksogami, yaitu seseorang
diharuskan kawin di luar suku keluarganya (keluarga clan). Proses perkawinan di
Mentawai, terutama di Siberut sangat kuat adat istiadat dan terkesan banyak
sanksi. Proses pacaran dan sanksi seseorang pria yang ketahuan mengirim surat
kepada kekasihnya perempuan, maka laki-laki tersebut mendapatkan sanksi denda
yang rata-rata setiap daerah adalah 1 buah parang (untuk peralatan ke ladang) dan
atau seekor ayam, sedangkan ketahuan mendatangi rumah perempuan secara
diam-diam (niat pacaran) baik pacar gadis maupun janda dan memacari istri orang
(zinah) maka akan dapat sanksi denda atau dikenal istilah tulou yang nilainya
bervariasi sesuai dengan tempo dan locus delicty. Selain dikenakan denda karena
mendatangi rumah pacar/ selingkuhan, bila akibat ketahuan mendatangi rumah
perempuan tersebut dalam tempo waktu dekat kehilangan ternak pihak
perempuan, maka si laki-laki juga dikenakan sanksi denda /tulou mengganti
kehilangan ternak tersebut karena dianggap menodai rumah pihak keluarga si
perempuan.
Upacara pernikahan masyarakat Mentawai tidak dilaksanakan di Mesjid atau
Gereja, tapi mereka melakukan pernikahan di Uma (rumah adat suku Mentawai)
dan yang bertindak sebagai wali adalah Kepala Suku. Acara dilakukan selama 5
hari 5 malam. Untuk acara pinang meminang, yang datang ke rumah si perempuan
bukan calon suaminya melainkan kakak perempuan dari calon suaminya tersebut.
Misalnya, jika kakak perempuan si laki-laki datang ke rumah perempuan
membawa kain sebagai tanda meminang dan si perempuan telah menerima kain
tersebut maka baik perempuan atau laki-laki tidak boleh lagi “main-main”,
maksudnya keduanya tidak boleh selingkuh. Jika melanggar maka akan dikenai
sanksi, misalnya denda sebuah ladang.
PROSES PERNIKAHAN
5
Sedangkan proses pelamaran dan sanksi, untuk dimulainya pertunangan kepada
pihak keluarga perempuan, pria tidak boleh mendatangi rumah si perempuan akan
tetapi pihak orang tualah yang berunding untuk menetapkan jadwal pelamaran
untuk memutuskan pertunangan. Selama proses pertunangan, pasangan kekasih
(laki-laki dan perempuan) tidak boleh dibolehkan bertemu berduaan baik itu untuk
ngobrol maupun mengantar cucian, rantangan/masakan makanan maupun yang
lain-lain kecuali ada salah satu pihak keluarga. Dan bila ternyata keduanya
terbukti oleh warga melakukan pertemuan berdua walaupun tidak melakukan
hubungan di luar kewajaran, maka mendapatkan sanksi sosial yaitu tidak
dinikahkan/ dikawinkan secara agama di gereja / mesjid akan tetapi dinikahkan
secara agama di rumah mempelai. Hal ini dianggap telah menodai sosial
masyarakat dalam lingkungan perkampungan
Seminggu setelah acara meminang mereka akan melangsungkan pernikahan di
gereja atau mesjid. Beberapa hari setelah itu diadakanlah punen (acara), setelah itu
barulah pasangan tersebut boleh sekamar. Satu atau dua bulan setelah itu ada lagi
acara yang dinamakan acara pembelian. Pihak perempuan akan mendatangi pihak
laki-laki untuk membicarakan pembelian. Demi menjaga keamanan, ditunjuklah
satu wali dari pihak perempuan karena kedua belah pihak tidak boleh saling
berhadapan. Setelah disepakati, pihak perempuan datang mengambil barang dan
kemudian oleh orang tua diberi nasehat-nasehat. Kemudian diadakanlah acara
Pangurei yaitu acara adat dimana kedua suami istri memakai pakaian adat atau
disebut juga pesta pernikahan dan pihak perempuan yang menyiapkan pesta.
Setelah 2-3 hari pihak laki-laki datang ke rumah perempuan untuk mengantarkan
pakaian yang dipakai saat Pangurei. Kegiatan ini disebut Parurut mungu.
Beberapa hari setelah itu mereka pulang ke rumah laki-laki.
Jika terjadi perceraian, misalnya karena timbul pertengkaran dan si istri mengadu
kepada kedua orang tuanya. Kemudian orang tuanya akan mendatangi si suami
maka si suami akan dikenai denda dan si istri akan pulang ke rumah orang tuanya.
Jika mereka mempunyai anak, maka anak laki-laki ikut ayahnya dan anak
perempuan akan ikut ibunya. Jika sudah terjadi perceraian tidak ada lagi kata
6
rujuk dan masing-masing dari mereka boleh menikah lagi. Laki-laki boleh miliki
istri lebih dari satu orang tergantung kesanggupannya.
Setelah dilakukannya akad nikah baik di gereja / mesjid dan atau di rumah bagi
yang mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat akibat ketahuan berduaan /
pertemuan berdua, maka beberapa waktu kemudian sepersukuan (marga) keluarga
perempuan melakukan rembuk di dalam internal persukuannya untuk hitunghitungan ternak masing-masing untuk persiapan mempestakan anak perempuan
dan suaminya. Lama waktu setelah perkawinan tidak ditentukan secara pasti akan
tetapi menjadi motivasi dan harga diri, lebih cepat lebih baik agar tidak dianggap
pihak keluarga perempuan tidak punya apa-apa (ternak). Soal nilainya perawan di
Mentawai terutama di Pulau Siberut, sangat penting dan akan menjadi persoalan
adat secara serius bila nanti ternyata pada saat malam pertama, istri tidak lagi
perawan (kecuali saat mau nikah/kawin keduanya berterus terang dan saling
menerima). Bila keperawanan ternyata sudah tidak ada, atau sudah berzinah
dengan lelaki lain sebelumnya, maka dianggap telah melakukan kebohongan dan
oleh karena itu pihak laki-laki dapat meminta kembali mas kawin (barang yang
dijadikan sebagai alat bayar) dari pihak perempuan
Di dalam masyarakat adat Mentawai,dalam perkawinannya menggunakan
perkawinan jujur.Istilah perkawinan jujur dalam masyarakat adat Mentawai
adalah Ala Toga.Ala toga merupakan bentuk mas kawin di masyarakat adat
Mentawai.Dengan
membayar
Ala
toga
bukan
berarti
anak
tersebut
terjual,sehingga orangtua atau kerabatnya kehilangan dan tidak punya hubungan
lagi dengan anak tersebut,melainkan sebagai bukti betapa berharganya anak
wanita dimata mereka.Ala Toga adalah bentuk persyaratan yang dibebankan
kepada pihak pria untuk menghormati jerih payah orangtua dari calon istrinya
yang telah bersusah payah membersarkan,membina
dan mendidik dari kecil
hingga dewasa.Setelah ala toga tersebut diterima oleh pihak wanita ,ada
kewajiban dari pihak keluarga atau pihak wanita untuk membalas pemberian ala
toga tersebut yang nilainya sama atau bahkan lebih besa dari nilai ala toga.Balasan
tersebut akan dikembalikan kepada pihak pria atas pembayaran ala toga disebut
7
punu alaket.Dengan demikian dapat dipahami bahwa fungsi pertukaran harta
benda dalam perkawinan adalah untuk memperkuat hubungan baik antara kedua
kelompok kerabat,karena sebagaimana diketahui perkawinan antara dua orang
individu bukanlah semata mata urusan kedua individu.
Penetapan jumlah dan bentuk ala toga biasanya dilakukan selang beberapa
saat setelah peminangan diterima.Ada juga sebagian anggota masyarakat yang
membuat kesepakatan bahwa pembicaraan mengenai ala toga baru akan dilakukan
pada hari lain( misalnya dua hari,tiga hari,atau seminngu) setelah acara
lamaran.Pembicaraan(patiboat) mengenai ala toga biasanya akan berlangsung
lama,karena masing masing pihak dalam pertemuan itu akan mendapata giliran
untuk mengemukakan pendapatnya.Pihak penerima ala toga (pihak pemberi gadis)
akan mengajukan perminataan berupa sejumlah harta,baik barang bergerak
maupun barang tetap.Bila jumlah ala toga yang diminta dianggap besar dan
memberatkan,maka pihak pria akan mengajukan penawaran sesuai kondisi dan
kemampuan ekonominya.
Bentuk Ala toga yang dimaksud antara lain:
1.
Babi sebanyak 5 ekor ( 3 ekor induk dan 2 ekor anak)
2.
Durian,4-7 batang,2 batang di lokasi/lading dekat kampung dan sisanya
boleh di lading lain yang jauh dari kampung.bagaimana bentuk atau kualitas
batang durian juga ditentukan oleh penerima ala toga.
3.
Sagu 1 rumpun
4.
Kelapa 1 batang
2.2 Hukum Perkawinan Adat
Pengertian perkawinan adat adalah Ikatan hidup bersama antara seorang
pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi
8
penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang
didahului dengan rangkaian upacara adat.
Di dalam perkawinan hukum adat terdapat 3 sistem yaitu:
1.
Sistem Endogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang
melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.
2.
Sistem Eksogami
Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan
perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.
3.
Sistem Eleutherpgami
Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan
seperti halnya dalam sistim endogami ataupun eksogami.
Di dalam hukum adat juga terdapat asas -asas yang mengatur
perkawinan,asas – asas yang dimaksud adalah:
1.
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.
Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota
kerabat
3.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan
anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau
istri yang tidak diakui masyarakat adat
4.
Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa
wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
9
5.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah
tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
Bentuk Bentuk dari perkawinan hukum adat:
1.
Perkawinan Pinang
Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan
dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada
umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
2.
Perkawinan Lari Bersama
Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan
sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk
melangsungkan perkawinan.
3.
Kawin Bawa Lari
Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang
wanita secara paksa.
Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu :
1.
Bentuk Perkawinan Patrilineal
Perkawinan jujur
Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan
jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang
diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan
persekutuannya.
Perkawinan Mengabdi
10
Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat
memenuhi syarat -syarat dari pihak wanita
Perkawinan Mengganti
Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki laki
almarhum suaminya
Perkawinan Meneruskan
Yaitu bentuk perkawinan seorang duda dengan saudara perempuan
almarhum istrinya.
2.
Bentuk Perkawinan Matrilineal
Yaitu Sistem perkawinan dimana diatur menurut tertib garis ibu,sehingga
setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannya
matrilineal
3.
Bentuk Perkawinan Parental
Yaitu bentuk perkawinan yang mengkiatkan bahwa pihak suami maupun
pihak istri,masing masing menjadi anggota kerabat dari kedua belah
pihak.Demikian juga anak anak yang lahir kelak dan seterusnya
2.3 Hubungan Dengan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Eksistensi hukum perkawinan adat di Mentawai masih kuat setelah
berlakunya
Undang
Undang
Nomor
1
Tahun
1974
Tentang
Perkawinan,sebagaimana kita ketahui bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut mengatur secara nasional mengenai perkawinan -perkawinan bagi
setiap warga negara Indonesia da menurut sistematisnya Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 terdari 14 Bab dan 67 Pasal yang mengatur mengenai:dasar dasar
perkawinan,syarat
syarat
perkawinan,pencegahan
perkawinan,batalnya
11
perkawinan,perjanjian perkawinan,hak dan kewajiban suami isteri,harta benda
dalam
perkawinan,putusnya
perkawinan
serta
akibatnya,kedudukan
anak,perwalian,Ketentuan lain dan Ketentuan Penutup.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam hukum adat perkawinan yang dilakukan oleh kedua pihak
mempelai biasanya atas dasar perjodohan yang ditentukan oleh orang tua dari
masing-masing anak. Perkawinan semacam ini sudah dilakukan oleh para
pendahulu turun temurun sampai sekarang (dibeberapa tempat yang masih kuat
hukum
adatnya).
Filosofinya
adalah
perkawinan
tersebut
tidak
hanya
menghubungkan dua manusia saja, akan tetapi persatuan dua keluarga dan
mengeratkan hubungan.
Namun, fakta membuktikan adanya benturan-benturan hukum yang terjadi antara
masalah perkawinan adat yang memperbolehkan melakukan perkawinan di usia
baligh walaupun si laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan si wanita usia 16
tahun, dengan hukum positif yang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang
12
menentukan batasan umur minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Sehingga dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hukum positif tidak
memperbolehkan perkawinan di bawah umur minimal. Hukum positif mengatur
hal tersebut mengharapkan agar orang yang akan menikah sudah memiliki
kematangan dalam menghadapi kehidupan, sehingga tidak terjadi penyesalan di
akhir kemudian seperti perceraian.
Akan tetapi, perkawinan adat tetap bisa dijalankan meskipun terpaksa karena UU
No. 1 Tahun 1974 masih memungkinkan akan terjadi penyimpangan. Melihat
pada saat ini cara pikir masyarakat Indonesia yang melakukan penyimpanganpenyimpangan karena salah mengadopsi pemikiran-pemikiran yang glamour.
Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, bagi yang ingin
melakukan perkawinan (adat) dibawah umur pengadilan memberikan dispensasi.
Adat seperti ini akan banyak kita temui saat ini di daerah pedalaman-pedalaman
yang masih belum tersentuh modernisasi. Dan dapat dilihat hasilnya, minim
pengetahuan namun memiliki kekuatan budaya yang kuat sehingga kehidupan
yang dijalani tidak seperti orang modern yang cerai-cerai semakin marak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada sebenarnya adalah demi
kemaslahatan langgengnya sebuah perkawinan, artinya pengkondisian yang ada di
hukum adat merupakan dasar-dasar yang meminimkan masalah yang akan timbul
di kemudian hari.
3.2
Saran
1. Diharapkan pemerintah dalam memrumuskan ketentuan mengenai perkawinan
juga memperhatikan perkembangan kerafan local setiap wilayah.
2. Diharapkan pemerintah daerah memiliki peran aktif dalama menunjanag
menjamin serta memberikan pengayoman kepada masyarakat adat terkhusus
pentingnya masalah pendaftaran perkawinan di kantor catatan sipil untuk
menjamin hak-hak penduduk terkhusus untuk anak yang nantinya dilahirkan.
13
3. diharapkan adanya upaya pemerintah dalam memenuhi ketentuan UUD 1945
yaitu pasal 18 b yang mengatur tentang hak-hak masyarakat hukum adat.
DAFTAR PUSTAKA
http://retpository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1615/3/07000691.tpdf.txt
http://bloghukumumum.blogstpot.sg/2010/04/tpeggeriag-tperkaiigag-megurutugdagg.html
http://iii.tpuailiggoubat.com/arikel/478/sistem-tperkaiigag-adat-di-mayoritasketpulauag-megtaiai.html
http://serlagia.blogstpot.sg/2012/01/hukum-tperkaiigag-adat.html
http://kabugvillage.blogstpot.sg/2011/12/hukum-tperkaiigag-adat.html