Kebijakan Subsidi dan Monopoli Distribus

Kebijakan Subsidi dan Monopoli Distribusi Pada
Industri Pupuk
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang bernilai penting dalam budidaya
pertanian. Berbagai kebijakan dalam pendistribusian pupuk telah dikeluarkan pemerintah
selama ini. Kebijakan tersebut mempengaruhi kinerja ekonomi pupuk yang meliputi
produksi,ketersediaan, tingkat harga dan tingkat penggunaan oleh petani. Kebijakan yang
terkait dengan industri pupuk yaitu: penghapusan perbedaan harga pupuk untuk subsektor
tanaman pangan dan untuk subsektor perkebunan, penghapusan subsidi pupuk secara
bertahap setidak-tidaknya dalam 3 tahun, menghilangkan monopoli distribusi dan membuka
peluang bagi distributor pendatang baru, menghapus sistem holding company dan
membiarkan terjadinya kompetisi yang sehat antar produsen pupuk, dan penghapusan kuota
ekspor dan pengontrolan terhadap impor pupuk.
Secara makro kebijakan penghapusan subsidi pupuk, merupakan upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana pembangunan. Sementara, kenaikan
harga pupuk sebagai akibat penghapusan subsidi tersebut diharapkan dapat menjadi dorongan
pada petani agar dapat menggunakan pupuk secara lebih efisien (Darmawan etal., 1995).
Penggunaan pupuk yang semakin efisien merupakan inovasi baru yang menjanjikan
keuntungan, karena mendorong petani untuk berupaya membiayai input usahataninya sendiri
(Dillon dan Hardaker, 1980). Motivasi ini merupakan aspek yang penting dalam upaya
meningkatkan daya saing komoditas-komoditas pertanian pada kondisi pasar produkyang
juga semakin efisien (Hadi et al., 1997).


Kebijakan distribusi pupuk
Sebelum tahun 1998, seluruh pupuk terutama pupuk Urea masih mendapatkan subsidi
dari pemerintah. Pemberian subsidi ini bertujuan untuk mensukseskan program pengadaan
pangan serta menciptakan stabilitas politik nasional. Bagi petani yang lemah dalam
permodalan, subsidi ini merupakan bantuan yang sangat dibutuhkan. Untuk
pendistribusiannya dilibatkan berbagai pihak yaitu PT. Pusri, KUD, Perusahaan swasta dan
PT.Pertani. PT. Pusri menangani pendistribusian dari Lini I sampai Lini III, selanjutnya dari
Lini III ke Lini IV penyaluran pupuk untuk tanaman pangan menjadi tanggung jawab KUD,
sedangkan pendistribusian pupuk untuk pertanian non pangan menjadi tanggung jawab
beberapa penyalur swasta dan PT. Pertani. Menurut kapasitas terpasang, dari seluruh pabrik
pupuk dalam negeri mampu diproduksi pupuk Urea lebih dari 6,8 juta ton per tahun, padahal
konsumsi dalam negeri hanya berkisar 4,4 – 4,5 juta ton per tahun. Namun demikian,
ironisnya hampir setiap tahun dalam bulan-bulan tertentu masih terjadi kelangkaan pupuk
pada saat petani membutuhkan. Berikut ini diuraikan seri kebijakan distribusi pupuk oleh
pemerintah dari waktu ke waktu.

Era Program Bimas (semi regulated period)1960-1979
Pada masa ini semua kebutuhan pupuk masih diimpor. Program pendistribusian awalnya
diatur dengan Program Padi Sentra. Namun, ternyata program ini mnegalami kegagalan

karena ketidakmampuan para petani membayar kredit. Kemudian, pemerintah menyerahkan
pendistribusian kepada PN Pertani dengan dibantu oleh PT Panca Niaga, PT Cipta Niaga, PT
Intradata, PT Lamtoro Agung dan PT Jaya Niaga.

Era Pupuk Disubsidi dan Ditataniagakan (fully regulated)1979-1998
Era ini dapat dibagi atas 2 periode, yaitu periode 1979-1993 dan 1993-1998. Periode 19791993 disebut sebagai era regulasi penuh, dimana semua hal yang menyangkut pupuk untuk
sektor pertanian diatur secara penuh oleh pemerintah. Selama periode ini, pupuk disubsidi
dan ditataniagakan secara menyeluruh, pengadaan dan penyaluran pupuk ke sektor pertanian
relatif aman.
Periode ke-2 tahun 1993-1998, pertimbangan anggaran subsidi pupuk semakin besar. Maka,
diambil beberapa kebijakan. Pada periode ini, pemerintah melakukan pencabutan subsidi
dengan mengeluarkan berbagai kebijakan.
Era Pasar Bebas (free market and semiregulated) 1998-2001
Kebijakan pasar bebas mulai diberlakukan sejak 1 Desember 1998. Dengan kebijakan ini,
pengadaan dan penyaluran pupuk tidak lagi berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan menjamin kesediaan pupuk yang dibutuhkan petani. Akan tetapi, kebijakan
pasar bebas ini pada kenyataanya tidak bisa memperbaiki metode penyaluran pupuk di dalam
negeri. Akhirnya, terjadi kelangkaan di beberapa daerah yang menyebabkan ketidakstabilan
di insdustri pupuk.


Pola Distribusi Pupuk
Sebelum diterapkan kebijakan pasar bebas dalam tataniaga dan penghapusan subsidi pupuk,
hak monopoli telah diberikan pemerintah kepada PT. Pusri sebagai distributor tunggal
pupuk. Pupuk hanya disalurkan hingga tingkat KUD penyalur pupuk. Sedangkan pupuk yang
akan digunakan selain untuk kebutuhan pangan disalurkan oleh PT Petani dan penyalur
swasta yang di tentukan PT. Pusri. Ini bertujuan untuk mengontrol penyaluran sehingga
kendala-kendala dalam pendistribusian dapat di kontrol.
Setelah dicabutnya hak monopoli PT. Pusri semakain terbuka kesempatan pihak swasta dan
LSM dalam tata niaga pupuk, namun kebijakan ini akan menyebabkan harga yang bersaing.
Sehingga untuk mengontrolnya PT. Pusri masih berperan dominan, akan tetapi LSM sudah
berpartisipasi walau sedikit.

Kriteria Pendistribusian
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun tataniaga pupuk yang
berkeadilan adalah sebagai berikut: (1) Harus dapat menjamin ketersediaan pupuk di tingkat
petani agar Program Peningkatan Ketahanan Pangan tidak terganggu; (2) Industri pupuk
nasional harus tumbuh dengan baik dan menikmati keuntungan yang wajar sehingga secara
berkesinambungan dapat memasok kebutuhan pupuk dalam negeri; dan (3) Para distributor
dan pengecer pupuk juga dapat menikmati keuntungan yang wajar dari tataniaga ini.
Sesuai ketentuan dalam SK. Menperindag No. 93/MPP/Kep./3/2001 tentang pengadaan dan

penyaluran pupuk urea untuk sektor pertanian, perlu diatur mekanisme distribusi untuk
menjamin ketersediaannya seperti berikut:
1. Rayonisasi Wilayah pemasaran
Bertujuan untuk meningkatkan efisiensi distribusi pupuk, juga untuk pengamanan pengadaan
pupuk agar tidak dimonopoli oleh PT. Pusri Atas dasar ini, pembagian wilayah dan tanggung
jawab adalah sebagai berikut: Pusri (Aceh, Sumbar, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalteng,
Kaltim, Sulut, Sultra, Sulteng, Sulsel, Maluku dan Irja), Kujang (Jabar), Petrokimia Gresik
(Jatim), Pupuk Kaltim (Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Sulsel) dan Iskandar Muda (Aceh,
Sumut dan Riau).
2. Penjualan pupuk mulai di tingkat kabupaten
Pemberlakuan penjualan pupuk mulai dari Kabupaten, selain dimaksudkan untuk
mendekatkan dengan konsumen, juga untuk membatasi gerak distributor yang selama ini
tidak terkendali. Dengan adanya pengaturan tersebut, baik unit niaga PT Pusri maupun
distributor yang ditunjuk oleh produsen diharuskan menjual pupuk Urea pada pengecer atau
konsumen mulai di Lini III. Khusus untuk PTPN dan Perkebunan Besar Swasta, pengadaan
pupuk dapat dilakukan langsung dari produsen maupun unit niaga PT Pusri melalui
mekanisme yang berlaku.
3. Penetapan persyaratan distribusi dan penyaluran secara ketat
Dalam konteks ini ditetapkan dua pola yaitu Pola umum & Pola distribusi. Dalam Pola umum

produsen Urea (Pusri, PetrokimiaGresik, Kujang, Kaltim dan PIM) harus menjual melalui
distributor kabupaten. Unit niaga PT Pusri dan distributor yang ditunjuk produsen
menyediakan pupuk sampai pada Lini III dan menjual melalui pengecer yang terdiri dari
koperasi swasta dan, Usaha Kecil dan Menengah.
Dalam ketentuan rayonisasi distribusi, setiap produsen ditugaskan melakukan pemerataan dan
percepatan distribusi dan bertanggung jawab atas setiap daerah kewajibannya. Kebutuhan
Urea untuk subsektor tanaman pangan utamanya dijual oleh/melalui unit niaga PT Pusri.
Kebutuhan Urea untuk sub sektor tanaman pangan di sekitar pabrik dan sub sektor
perkebunan dijual sendiri oleh masing-masing produsen melalui distributornya. Produsen
yang menjual Urea untuk sektor perta- nian mewajibkan distributornya menjual pupukSP 36
dan ZA produksi PT Petrokimia Gresik, sebagai upaya untuk mengaplikasikan pemupukan
berimbang.

Dampak Ekonomi

Kurva Subsidi
Harga pupuk sebelum disubsidi oleh pemerintah berada pada E2 dan Q2, setelah di subsidi
harga pupuk turun dan kuantitasnya meningkat menjadi Q1. Keduanya bertemu pada harga
equilibrium pada E1. Artinya dengan subsidi dari pemerintah, harga dari pupuk akan
menurun dan kuantitas pupuk akan meningkat.

Ketika subsidi terhadap pupuk dicabut maka harga pupuk akan meningkat, hal ini
mengakibatkan jumlah penawaran pupuk bertambah dan jumlah permintaannya berkurang.
Seperti yang telah diketahui, pemerintah melakukan hal ini agar petani dapat melakukan
efesiensi dalam penggunaan pupuknya.
Pada kenyataannya ketika pendistribusian pupuk dimonopoli, terjadi kelangkaan pupuk di
berbagai tempat. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah permintaan pupuk di
suatu daerah dengan daerah lainnya. Akhirnya, industri pupuk cenderung tidak stabil. Dengan
dicabutnya monopoli pendistribusian pupuk, pemerintah berharap agar pupuk dapat
terdistribusikan secara merata, menghilangkan kelangkaan pupuk dan industri pupuk menjadi
stabil.
Perekonomian pupuk saat ini
Saat ini penggunaan pupuk bersubsidi di dalam negeri masih rendah dan jauh dari
target,tetapi tidak berarti produsen pupuk merugi. Itu dikarenakan pasar ekspor pupuk yang
masih terbuka sehingga produsen dapat mengalihkan penjualannya kepada pasar ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume ekspor pupuk pada September 2011 mencapai
280.106 ton atau melonjak 1.670,5% dibandingkan volume bulan sebelumnya yang 15.820
ton. Maka, volume ekspor pupuk Januari September 2011 tercatat mencapai 412.747 ton,
naik 243,12% dari volume ekspor pada periode yang sama tahun 2010 yang hanya 120.292
ton.
Musim panas yang cukup panjang menyebabkan penyerapan pupuk di dalam negeri

lambat,sehingga cadangan pupuk cukup banyak dan permintaan untuk pasar dalam negeri
sudah terpenuhi sehingga pupuk yang masih tersisa dapat di ekspor. Namun pada saat
memesuki musim hujan permintaan pun akan meningkat karena sudah masuk musim tanam.

Sesuai dengan kenaikan volume, nilai ekspor pupuk pada September 2011 juga naik
2.057,6% dari US$ 6,49 juta pada Agustus 2011 menjadi US$ 140,14 juta. Kenaikan tersebut
juga terdongkrak oleh kenaikan harga pupuk di pasar ekspor. Pada Agustus rata-rata harga
pupuk US$ 410 per ton sementara pada September mencapai US$ 500 per ton karena
tingginya permintaan memasuki musim tanam. Harga pupuk memang terbilang fluktuatif itu
dikarenakan tergan tung pada musim tanam. Harga pupuk sekarang tinggal sekitar US$ 480
per ton. Mungkin karena musim tanam di India, Vietnam, dan Thailand sudah hampir selesai
jadi permintaan dan harga turun.
selain faktor permintaan, peraturan China mengenai ekspor pupuk, seperti larangan ekspor
dan pengenaan bea keluar, juga mempengaruhi harga pupuk di pasar internasional. BPS
mencatat, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk mencapai US$
351.48 juta, naik 192,19% dari nilai ekspor periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 120,29
juta. (dat16/wol/kontan)