Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Beras

MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN BERAS SEJAHTERA
KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2015

Diusulkan Oleh:
Erzha Akbar Sanjaya
Galuh Anjasmara
Rido Argo Mukti

20140520117
20140520100
20140520098

ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
terus mensiasati berbagai program yang mampu secara ideal mengangkat
keberlangsungan hidup masyarakat miskin. Dengan adanya hal ini pemerintah
Indonesia berinisiatif untuk membantu masyarakat yang miskin, hal ini bertujuan
untuk memberantas kemiskinan yang ada di negara Indonesia. Salah satu strategi
yang dilakukan oleh pemerintah adalah menggulirkan kebijakan beras miskin.
Menurut Darlaini R. Nasution (2009) dalam Jurnalnya yang
berjudul Kebijakan Program Pendistribusian Beras Miskin Dalam
Upaya Menanggulangi Kemiskinan Dan Meningkatkan Ketahanan
Pangan. Dijelaskan bahwa Raskin merupakan program yang diluncurkan
pemerintah yang merupakan wujud komitmen pemerintahan dalam
pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat miskin yang bertujuan
untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin.
Program subsidi beras bagi masyarakat berpendapatan rendah (Program
Raskin) adalah program nasional lintas sektoral baik horizontal maupun vertikal,
untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan beras masyarakat yang
berpendapatan rendah. Secara horizontal semua Kementerian/ Lembaga (K/L)
yang terkait memberikan kontribusi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pemerintah Pusat berperan dalam membuat kebijakan program, sedangkan
pelaksanaannya sangat tergantung kepada Pemerintah Daerah.

Menurut Rumador, Lengkong & Palar (Tanpa Tahun), 95% dari jumlah
penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan utama, dengan ratarata konsumsi beras sebesar 102 kg/jiwa/tahun. Tingkat konsumsi tersebut jauh
di atas rata-rata konsumsi dunia yang hanya sebesar 60 kg/kapita/tahun.
Dengan demikian indonesia menjadi negara konsumen beras terbesar di dunia.
Beras menjadi komoditas nasional yang sangat strategis. Peranan komoditi
makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan dengan
komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Program raskin pada bulan september 2015 telah di ganti nama menjadi
program beras sejahtera oleh menteri sosial yang pada dasarnya untuk mengubah
paradigma masyarakat bukan untuk membantu masyarakat miskin, melainkan
program ini disubsidi pemerintah untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi
lebih sejahtera.
Dengan adanya program rastra pemerintah berharap untuk dapat
memenuhi sebagian kebutuhan pangan (beras) keluarga miskin dan sekaligus
mengharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin, selain itu
juga untuk meningkatkan/membuka akses pangan keluarga miskin dalam rangka
meningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga melalui penjualan beras
kepada keluarga penerima manfaat pada tingkat harga bersubsidi dengan jumlah
yang telah ditentukan.

Rastra

atau

Raskin

merupakan

salah

satu

strategi

penanganan

permasalahan kemiskinan di kota Yogyakarta disalurkan kepada rumah tangga
miskin dengan harga jauh di bawah harga pasaran, yaitu Rp. 1.600,00 (seribu
enam ratus rupiah) per kilogram serta penguatan kelembagaan Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat Kelurahan untuk percepatan

penanganan kemiskinan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses monitoring dan evalusi program rastra Pemerintah Kota
Yogyakarta?
2. Apa sajakah indikator keberhasilan program Beras Sejahtera Pemerintah
Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui monitoring dan evaluasi terhadap program Beras
Sejahtera Pemerintah Kota Yogyakarta
2. Untuk mengetahui indikator dan faktor keberhasilan program Beras
Sejahtera Pemerintah Kota Yogyakarta

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat luas sebagai acuan guna mengukur keberhasilan program
dan memastikan bahwa program rastra sesuai peruntukkan dan sasaran.
2. Bagi akademisi sebagai pendorong peningkatan kualitas akademik dalam
melakukan studi lapangan dan penelitian kebijakan.
3. Bagi pemerintah sebagai masukkan untuk meningkatkan program rastra
untuk tahun berikutnya.


KERANGKA TEORI

A. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (selanjutnya disebut monev) telah banyak konsep
yang diperbincangkan oleh para ahli. Menurut Nabiu dan Sukiono (2004),
monitoring dapat dikatakan juga sebagai “pemantauan”
dalam kata lain monitoring disefinisikan “sebagai aktifitas
internal dari suatu program managemen yang ditujukan untuk
menentukan program tersebut telah diimplementasikan sesuai
dengan rencana. Dengan kata lain, aktifitas monitoring
dilakukakan untuk mengetahui apakah segala semberdaya telah
dimobilisasi sesuai rencana dan atau layanan produk telah
diberikan sesuai jadwal. Konsep fase monitoring pertama sering
disebut dengan Monitoring Input dan yang kedua sebagai
Monitoring Output.”
Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa monitoring
merupakan suatu pengamatan rutin terhadap jalannya program kebijakan untuk
mengetahui seberapa jauh implementasi yang terlaksanan yang sesuai dengan
rencanan awal. Jika dari pengamatan tersebut ditemukan ketidaksesuaian maka

pemonev akan mengintruksikan dan membuat manuver-manuver kebijakan guna
mengembalikan jalannya program tersebut agar sesuai rencana. Terkadang proses
dan laporan monitoring harus dinilai dari segi obyektif dan subyektif karena
pemonev harus membuktikan sendiri bagaiman realita dilapangan tidak hanya
sekedar percaya terhadap laporan internal.
1. Nilai – Nilai Monev
Nilai merupakan realita abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masingmasing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman
dalam hidup (http://digilib.unila.ac.id). Sedangkan monitoring melihat berjalan
nya suatu kebijakan yang di implementasikan dengan mencari sebuah
data/informasi yang berupa sebab dan akibat dari kebijakan tersebut dan evaluasi
penilaian terhadap suatu kebijakan atau program yang telah berjalan dalam cukup
waktu/telah habis waktu untuk menilai kebutuhan perbaikan dan kelanjutan

sebuah program maupun kebijakan. Jadi nilai monitoring dan evalusi merupakam
pendorong dan prinsip yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan
pemantauan, pengamatan dan evaluasi program tertentu.
2. Prinsip – Prinsip Monev
Menurut Petunjuk Teknis Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program
Pasimas (Penyedia Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) pelaksanaan
pemantauan dan evaluasi setidaknya memiliki prinsip-prinsip berikut: Pertama,

partisipatif, semua pelaku program terutama masyarakat, fasilitator, dan konsultan
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Kedua,
transparan pemantauan evaluasi, dan pelaporan harus dilakukan secara terbuka
dan mudah diakses oleh semua pihak. Ketiga, akurat informasi yang disampaikan
harus menggunakan data yang benar, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan menurut standar pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan
evaluasi Unit Pengelolaan Kegiatan PNPM bahwa monev perlu didasarkan pada
kejujuran, motivasi dan keinginan yang kuat dari para pelaku. Kegiatan ini harus
dianggap sebagai alat yang penting untuk memperbaiki program. Prinsip-prinsip
dalam pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan evaluasi sebagai berikut:
a. Obyektif dan profesional
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan evaluasi dilakukan secara
profesional berdasarkan analisis data yang lengkap dan akurat agar
menghasilkan penilaian secara obyektif dan masukan yang tepat terhadap
pelaksanaan kebijakan. Pelaku program wajib melaporkan informasi seakurat
mungkin. Informasi harus diuji silang dengan sumber lain untuk menjamin
keakurasiannya. Informasi yang akurat dan berdasarkan fakta dari sumber
terpercaya yang dapat membantu untuk memperbaiki program.
b. Transparan
Pemantauan, pengawasan dan evaluasi harus dilakukan di suatu

lingkungan yang mendorong kebebasan berbicara yang bertanggung jawab.
Hasil pemantauan dan evaluasi harus diketahui oleh banyak orang terutama
pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini.

c. Partisipatif
Semua pelaku program, terutama masyarakat, fasilitator dan konsultan
harus bebas untuk berpartisipasi dan melaporkan berbagai masalah yang
dihadapi serta memberikan kontribusinya untuk perbaikan program.
d. Akuntabel
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan evaluasi harus dapat
dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal.
e. Berorientasi Solusi
Pelaksanaan

pemantauan,

pengawasan

dan


evaluasi

serta

pembahasanan hasil-hasilnya diorientasikan untuk menemukan solusi atas
masalah yang terjadi dan karena itu dapat dimanfaatkan sebagai pijakan untuk
peningkatan kinerja.
f. Terintegrasi
Kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang dilakukan
Konsultan maupun fasilitator harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan
saling melengkapi. Selain itu, kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi
oleh konsultan maupun fasilitator juga harus terintegrasi dengan kegiatan
pemantauan dan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Konsultan
maupun

fasilitator

tidak

mungkin


melakukan

pengawasan

dan

pemantauan kegiatan di lapangan setiap saat sehingga peran masyarakat
untuk

memantau

dan

mengawasi

program

menjadi


penting.

Tim

pemantau/pengawas dari masyarakat adalah mitra dan kepanjangan tangan
konsultan dan fasilitator dalam melakukan monitoring dan evaluasi program
di tingkatan desa maupun kecamatan.
g. Berbasis indikator kinerja
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan

dan evaluasi

dilakukan

berdasarkan kriteria atau indikator kinerja, baik indikator masukan, proses,
keluaran, manfaat maupun dampak program.
Sedangkan Slameto (Sucipto, 2011) mendefinisikan evalusi sebagai alat
untuk membuat pertimbangan atas kekurangan dan kelebihan berdasarkan diatara

standar dan kinerja. Evalusi selayaknya untuk membangun affirmatif bukan untuk
menghakimi. Model ini merupakan suatu prosedur problem-solving guna
mengidentifikasikan kelemahan dan disusul dengan langkah korektif.
Dari sisi yang berbeda evalusi oleh Nabiu dan Sukiono
(2004) didefinikan sebagai “aktifitas internal dan eksternal
managemen untuk menilai kepatutan dari rancangan program dan
metode implementasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan,
menilai hasil yang diinginkan maupun tidak dari suatu program,
serta menilai faktor yang mempengaruhi tingkat dan distribusi
manfaat yang dihasilkan.”
Penjelasan diatas menunjukan evalusi peropakan serangkaian aktifitas
berkala dan priodik untuk mencari permasalahan diakhir program. Evaluasi dapat
dialakukan jika serangkaian program telah terlaksana. Dari evalusi itu maka
terlahir kebijakan yang akan dipakai untuk merumuskan program selanjutnya.
B. Logic Model
Logic Models merupakan cara logis untuk membuat perencanaan yang
mudah dievaluasi dan logis. Logic Models memberikan gambaran atas suatu
program, yang berbentuk grafik dan tulisan yang menunjukan hubungan antara
berbagai aktivitas dalam suatu program dengan hasil dan outcome yang akan
dicapai. Logic Models dapat didefinisikan sebagai alat atau rerangka konsep yang
membantu mengidentifikasi suatu program melalui perencanaan dengan analisis
atas sumber daya (resources), proses dan aktivitas yang akan dilakukan
(activities), Outputs yang ingin dicapai, orang yang menjadi sasaran program
(Customers), dan Outcomes.

Input

Output

Outcome

Logic Models dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil dari suatu
program. Tahap pertama dalam mengimplementasi Logic Models terhadap suatu
program adalah analisis mengenai How to do the Program. Suatu program akan
menggunakan sumber daya tersentu, untuk melakukan suatu proses, yang
menghasilkan output tertentu, sehingga customer dapat melakukan perubahan

sesuai outcome yang ingin dituju. Dengan demikian, hasil dari suatu progam
sesuai target.
Pada bagian Resources (Input) harus dilakukan analisis terlebih dahulu
mengenai sumber daya yang dimiliki sehingga dapat mendukung berjalannya
suatu program. Pada bagian Activities, dilakukan analisis mengenai berbagai
proses

yang

dilakukan

dalam

suatu

program.

Kemudian,

pada

bagian Output merupakan hasil keluaran dari suatu program, yang dapat berupa
jasa atau produk yang dihasilkan dimana mengilustrasikan implementasi target
yang sesuai tujuan dalam perencanaan. Pada bagian Customer, dilakukan analisis
mengenai sasaran dari suatu program, pengguna jasa atau produk dari suatu
program, dan juga perlu dilakukan analisis untuk meraih audiens sesuai target dari
suatu program yang akan dilakukan.
C. Teori Implementasi Kebijakan
Mas Roro Lilik Ekowati (2005:25) dalam bukunya Perencanaan,
implementasi, dan evaluasi kebijakan atau program, menyebutkan bahwa pada
umumnya tugas implementasi adalah mengkaitkan realisasi tujuan kebijakan
publik dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi meliputi kreasi
tentang sistem pengiriman kebijakan, didesain dengan cara khusus dan
diupayakan dengan harapan mencapai tujuan khusus tersebut. Jadi kebijakan
publik merupakan suatu pernyataan yang luas meliputi cita-cita, tujuan, dan cara
yang diwujudkan dalam program aksi, yaitu mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam kebijakan.
Grindle (1980:7) menyatakan, implementasi merupakan proses umum
tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Grindle
(1980:7) menambahkan bahwa proses implementasi baru akan dimulai apabila
tujuan dan sasaran kebijakan telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun
dan dana telah siap, serta telah disalurkan untuk mencapai sasaran. Grindle
(1980:6-10) memperkenalkan model implementasi sebagai proses politik dan
administrasi.
Model tersebut menggambarkan proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh beragam aktor, dimana keluaran atau hasil keputusan baik berupa

materi program yang telah dicapai melalui interaksi-interaksi antar aktor tersebut
akhirnya ditentukan oleh para pembuat keputusan dalam konteks politik
administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan
yang melibatkan berbagai aktor kebijakan, sedangkan proses administrasi terlihat
melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu. Perbedaan antara kebijakan dan program dinyatakan secara
tidak langsung bahwa implementasi kebijakan adalah suatu fungsi dari
implementasi program dan tergantung pada hasilnya. Konsekuensi dari studi
tentang proses implementasi kebijakan ialah melibatkan penelitian dan analisis
konkrit program aksi yang telah didesain sedemikian rupa sebagai suatu cara
mencapai tujuan kebijakan yang lebih luas.
Adapun keberhasilan dan kegagalan implementasi dilihat dari hasil
implementasi program khusus, berdasarkan ukuran bersifat parsial dari
keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan secara menyeluruh.
Perbedaan yang nyata antara kebijakan dan program sulit ditemukan dalam
praktik, meskipun ada. Dalam beberapa tingkat penggunaan istilah kebijakan,
seringkali perbedaannya tidak begitu jelas. Sebagai contoh, suatu kebijakan
merupakan tahapan berturut-turut dari pendefinisian tujuan secara lebih tepat.
Dapat

dikatakan

bahwa

implementasi

kebijakan tergantung atas

implementasi program dengan asumsi bahwa program-program kenyataannya
mencari tujuan kebijakan secara tepat. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak
semua program dapat dicapai dalam praktiknya. Proses umum dari implementasi
dapat dimulai ketika tujuan umum dan tujuan khusus telah terspesifikasi, ketika
program aksi telah didesain, dan ketika dana telah dialokasikan untuk mengejar
tujuan. Kondisi dasar ini perlu dipersiapkan bagi para pelaksana kebijakan publik
secara eksplisit. Secara teoritis, pada poin ini proses perumusan kebijakan
dilanjutkan dengan mengaktifkan proses implementasi kebijakan dan program
(Mas Roro Lilik Ekowati, 2005:26-27).
Menurut Theodorus Lowi (Ekowati, 2005:29-30) menegaskan bahwa
bermacam-macam

kebijakan

dibuat

dengan

mempertimbangkan

dampak

bermacammacam kegiatan politik yang menstimulir proses pembuatan kebijakan.
Pengamatan menunjukkan validitas dapat dilakukan pada saat aplikasi proses

implementasi dari bermacam-macam program. Sebagai contoh, dukungan aksi
publik meluas dalam hubungannya dengan sosial, ekonomi, dan politik. Pada
umumnya, dukungan aksi publik didorong oleh pertimbangan kepentingan yang
berlawanan dan mengancam dirinya.
D. Pelayanan Publik
Menurut Fred Luthants (1995:38) Pelayanan adalah sebagai sebuah proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang menyangkut segala usaha
yang dilakukan orang lain dalam mencapai tujuannya. Zeitaml (1996 : 41)
Pelayanan adalah penyampaian secara excellent atau superior dibandingkan
dengan harapan konsumen. Menurut Anton Adiwiyato (1997:74) Pelayanan
adalah suatu yang sangat subjektif dan suli didefinisikan. Ini karena pelayanan
sebagai subjek yang melakukan suatu transaksi dapat bereaksi secara terhadap
sesuatu yang kelihatannya seperti pelayanan yang sama.
E. Kebijakan Publik
Menurut Heclo (1972:61) Kebijakan adalah sebagai rangkaian tindakan
pemerintahan atau tidak bertindaknya pemerintah atas sesuatu masalah. Definisi
ini dapat diklasifikasikan sebagai decision making yaitu apa yang dipilih oleh
pemerintah untuk mengatasi suatu masalah publik, baik dengan cara melakukan
suatu tindakan maupun untuk tidak suatu tindakan. Menurut Syafie (1992:39)
Kebijakan adalah tugas intelektual pembuatan keputusan meliputi penjelasan
tujuan,

penguraian

kecenderungan,

penganalisaan

keadaan,

proyeksi

pengembangan masa depan dan penelitian, penilaian dan penelitian, serta
penilaian dan pemilihan kemungkinan.
F. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah permasalahan yang sifatnya multidimensional.
Pendekatan dengan satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk mengurai
makna dan fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim
dipakai dalam perhitungan dan kajian-kajian akademik adalah pengertian
kemiskinan yang diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu sebagai ketidakmampuan
mencapai standar hidup minimum. Friedman (dalam Usman, 2006:43)
mendefinisikan

kemiskinan

sebagai

ketidaksamaan

kesempatan

untuk

mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak terbatas
hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial politik yang
dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, partai politik, sindikasi,
koperasi dan lain-lain), tetapi juga pada (2) net work atau jaringan sosial untuk
memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lainlain; (3) pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk memajukan
kehidupan mereka.
Scott dalam (Usman, 2006:43) menerangkan bahwa kemiskinan
setidaknya memiliki kondisi- kondisi yang pada umumnya didekati (1) dari segi
pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non
material yang diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi
kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk atau
kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; (2) kadang-kadang
didefinisikan dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang,
emas, kredit dan lain-lain; (3) kemiskinan non-materi meliputi berbagai macam
kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga
dan kehidupan yang layak.
Menurut Suparlan (1995:53) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi
pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan
yang

umum

berlaku

dalam

masyarakat

yang

bersangkutan.

Menurut

Djojohadikusumo (1994) kemiskinan muncul sebagai akibat kesenjangan yang
mengandung dimensi ekonomis sosiologis dan berdimensi ekonomi regional.
Kemiskinan ini terjadi sebagai akibat adanya ketimpangan kekuatan yang sangat
mencolok diantara golongan-golongan pelaku ekonomi, dimana pengusaha besar
cenderung mengandalkan kekuatan sumberdayanya untuk merebut suatu
kedudukan di pasar barang dan jasa. Selain dari dimensi ekonomi dan non
ekonomi, kemiskinan juga dapat disebabkan oleh dimensi geografis, sebuah
rumah tangga miskin diwilayah yang mendukung dapat memiliki kesempatan
yang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan, sementara rumah tangga miskin
yang berada pada wilayah yang tidak mendukung, cenderung menjadi stagnan dan
bahkan menjadi sangat miskin.

Menurut para ahli seperti Andre Bayo Ala (1981:51), kemiskinan sangat
multidimensional, artinya kemiskinan mempunyai banyak aspek sebab kebutuhan
setiap manusia sangat beragam. Kemiskinan ditinjau dari sisi kebijakan umum
terdiri dari dua aspek, yaitu primer dan sekunder. Aspek primer merupakan miskin
akan aset, organisasi sosial politik, serta pengetahuan dan keterampilan. Aspek
sekunder merupakan miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, dan
informasi. Manifestasi dari dimensi kemiskinan ini dalam bentuk kekurangan gizi,
air bersih, perumahan yang tidak sehat, pelayanan kesehatan yang kurang
memadai dan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Dimensi-dimensi kemiskinan ini saling berkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung, yang berarti bahwa kemajuan atau kemunduran pada
salah satu aspek akan menyebabkan kemunduran atau kemajuan aspek lainnya.
Sebenarnya inti dari kemiskinan adalah manusianya, baik secara individual
maupun secara kolektif. Seperti istilah kemiskinan pedesaan atau kemiskinan
perkotaan yang miskin bukan daerah perkotaan atau desanya, tetapi yang
mengalami kemiskinan adalah penduduk wilayah tersebut.
G. Aspek-Aspek Kemiskinan
Masalah kemiskinan meliputi tiga aspek, yaitu penyebab pokok
kemiskinan, ukuran kemiskinan, dan indikator kemiskinan yang akan dibahas
berikut ini :
1. Penyebab Pokok Kemiskinan ; Sebenarnya para pembuat kebijakan
pembangunan di negara sedang berkembang mengharapkan bahwa sumber
daya yang ada di negara tersebut dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat. Namun, karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah,
ditambah lagi dengan ciri dan kondisi masyarakat yang sangat beragam maka
kebijaksanaan nasional umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan
jangka pendek dan masih kurang dapat mengatasi permasalahan kelompok
ekonomi tingkat bawah (Mukhopadhay, 1985:28). Selain itu kebijakan
pembangunan di negara sedang berkembang secara tidak langsung sangat
bergantung pada kondisi luar negeri, sebab modal pembangunan masih berasal
dari negara lain (Frederick,1985:48).

2. Ukuran Kemiskinan ; Dimensi kemiskinan sangat luas sehingga sangat sulit
untuk mengukurnya. Namun pada umumnya para pakar menggunakan ukuran
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah konsep
yang dikaitkan dengan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang
memungkinkan orang dapat hidup layak. Atau dapat dikatakan bahwa tingkat
hidup seseorang tidak memungkinkan untuk bisa memenuhi keperluankeperluannya yang mendasar sehingga kesehatannya baik fisik maupun mental
terganggu.
3. Indikator Kemiskinan ; Ada bermacam-macam indikator kemiskinan yang
digunakan di Indonesia seperti konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat
pendapatan, dan tingkat kesejahteraan.
4. Tingkat Konsumsi Beras Sayogyo (1977) menggunakan indikator ini dengan
melihat tingkat konsumsi beras per kapita per tahun. Secara lebih rinci
Sayogyo membagi indikator kemiskinan tersebut menjadi tiga kelompok .
5. Tingkat Pendapatan Indikator ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
yang melihat besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk
memenuhi kebutuhan minimumnya.
6. Tingkat Kesejahteraan. Menurut publikasi United Nation (1961) indikator
kesejahteraan ini dilihat dari 9 komponen, yaitu kesehatan, konsumsi makanan
dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang,
rekreasi, dan kebebasan. Namun, yang sering digunakan hanya empat
komponen, yaitu kesehatan, konsumsi gizi, perumahan dan pendidikan,
sedangkan indikator yang lainnya sulit diukur dan sulit dibandingkan antar
daerah atau antar waktu.
H. Mekanisme Pelaksanaan Raskin
Didalam pedoman umum Raskin 2014 ada berberapa kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan Raskin yang meliputi pelaksanaan penyaluran
Raskin dari titik distribusi (TD) ke titik bagi (TB), penyaluran beras miskin dari
titik bagi ke rumah tangga sasaran-penerima manfaat (RTS-PM), pembayaran
harga tebus beras Raskin (HTR) berdasarkan kesepakatan hasil musyawarah
desa/kelurahan dan rencana pendistribusian Raskin.
a. Pelaksanaan penyaluran Raskin dari titik distribusi ke titik bagi

b. Penyaluran beras Raskin dari titik beras ke rumah tangga sasaran-penerima
manfaat
c. Pembayaran harga tebus beras Raskin (HTR)
I. Kebijakan Publik
Menurut William N. Dunn (Harbani Pasolong, 2007:39) mengatakan
bahwa kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling
berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada
bidangbidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti pertahanan keamanan,
energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas dan
perekonomian.
J. Implementasi Kebijakan
Menurut Ripley dan Franklin (Budi Winarno, 2012:148) berpendapat
bahwa implementasi kebijakan adalah apa yang terjadi setelah undang-undang di
tetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit) atau
suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).
K. Ketahanan Pangan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2002
bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka
pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas,
mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata diseluruh wilayah
Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
L. Definisi Konsepsional
Penulis memberikan definisi konsepsional dari pelaksanaan program beras
miskin (raskin) bagi keluarga miskin adalah salah satu program penanggulangan
kemiskinan dan perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
dan Kota Yogyakarta berupa bantuan beras bersubsidi kepada rumah tangga
berpendapatan rendah (rumah tangga mskin dan rentan miskin). Sehingga
mengurangi sebagian beban pengeluaran rumah tangga sasaran dalam memenuhi
kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras.

DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.unila.ac.id/9401/14/BAB%20II.pdf Diakses pada tanggal 23 Februari
2017
Mahdiati, A. 2013. Implementasi Logic Models dalam Program Pengentasan
Kemiskinan Studi Kasus terhadap Program Pemerintah Indonesia: Kredit
Usaha Rakyat. Diakses pada tanggal 23 Februari 2017 dari
http://arfianamahdiati.blogspot.co.id/2013/10/implementasi-logic-modelsdalam-program.html
Program Nasional Pemberdayan Masyarakat. Prinsip-prinsip Pemantauan,
Pengawasan Dan Evalusi. Diakses pada tanggal 23 Februari 2017 dari
http://upk-pnpmsurade.org/profile/37-penjelasan-07-pemant-pengawasneval-a-pelap/320-prinsip-prinsip-pemantauan-pengawasan-danevaluasi.html
Pasimas. Juknis Program Penyedia Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat.
Diakses
pada
tanggal
23
Februari
2017
dari
http://www.ampl.or.id/pdf/pedoman/pamsimas/PT-29%20Final%20Juknis%20Pemantauan,%20Evaluasi%20dan%20Pelapora
n%202013%20Final%20(koreksi)_C.pdf
Nasution, D. 2009. Kebijakan Program Perindustrian Beras Miskin Dalam Upaya
Menanggulangi Kemiskinan Dan Meningkatkan Ketahanan Pangan,
Fakultas Ekonomi-Universitas Sultan Agung Tirtayasa. Vol.14, No.1.
Rumador, Lengkong & Palar (Tanpa Tahun). Efektivitas Program Beras Sejahtera
dalam Meningkatkan Kesejahteraan masyarakat Pra Sejahtera di
Kecamatan Ranoyapo Kabupaten Minahasa Selatan. Diakses pada tanggal
25 Februari 2017.
Slameto. 2012. Monitoring Dan Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah
Di Kota Salatiga Dengan Menggunakan Analisis Kesenjangan Tahun
2011/2012. Jurnal Satya Widya 28 (1), hlm 1-12.
Nabiu, M. & Sukiono, K. 2004. Metode Monitoring dan Evalusi: Diskusi. Jurnal
Agrisep Vol II (I). hlm 157-183
Astuti, Rina Puji, 2014. Studi tentang Pelaksanaan Program Beras Miskin
(Raskin) Bagi Keluarga Miskin di Desa Gunung Makmur Kecamatan
Babulu Kabupaten Penajam Paser Utara. Diakses dari ejournal.an.fisipunmul.ac.id
Tri tana, Rino, 2015. Pelaksanaan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan
Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. Diakses dari
ejournal.an.fisip-unmul.ac.id