Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakterisasi dan Identifikasi Komponen Kimiawi Minyak Tempe Selama Proses Pembusukan = Characterization and Chemical Compounds Identification of Tempe Oil During Decaying Process

TEMPE OIL DURING DECAYING PROCESS

Oleh: Sylvia Yuniarini Setiawan 652013003 TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Sylvia Yuniarini Setiawan*, Hartati Soetjipto**, A. Ign. Kristijanto**

*Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika **Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Jl. Diponegoro no 52-60 Salatiga 50711 Jawa Tengah – Indonesia 652013003@student.uksw.edu

ABSTRACT

The objectives of this study are: Firstly, to determine the optimum yield of tempe oil during decaying process. Secondly, to determine the physico-chemical properties of tempe oil. Thirdly, to identify chemical compound of tempe oil by GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry). The extraction has been done by soxhlet apparatus in period of 6 hours, using n-hexane. Further on, the physico-chemical properties of tempe oil were carried out based on SNI 01-3555-1998, and the identification of tempe oil chemical compound was done using GC-MS. Data of oil yield were analyzed using Randomized Completely Block Design (RBCD), 8 treatments and

4 replications. As the treatment is the decaying period of tempe which are 2-9 days, while the time of analysis as the block. To test the difference between the treatment means, the Honestly Significant Difference (HSD) at 5% significance level were used. The results of this study showed that the optimum oil yield 13.18% is obtained from 7 th day decaying period (H-7). The physico-chemical properties of 7 th day decaying (H-7) tempe oil are as follows: oil has brown

color with the scent of rotten tempe; water content 0.81%; density 0.9002 g/cm 3 ; viscosity 139.71 cP; acid value 168.3 mg KOH / g ; saponification value 10.51 mg KOH / g ; and peroxide value 4.80 mgek / kg , respectively. The results of GC-MS analysis showed that the main component of H-7 tempe oil is methyl linoleate in amount of 79.74%. While, the other components are methyl palmitate = 12.32%; methyl stearate = 7.08%; methyl arachidate = 0.44%; and methyl behenate = 0.42%, respectively.

Keywords: oil chemical compound, oil extraction, oil physico-chemical properties, decaying tempe, decaying process

PENDAHULUAN

Tempe merupakan bahan pangan fermentasi dari olahan kedelai yang menjadi salah satu makanan khas tradisional Indonesia, salah satunya di kota Salatiga. Menurut Triwibowo (2011), tempe mengandung banyak nilai gizi, kandungan gizinya yaitu air 64%, protein 18,3%, lemak 4%, dan karbohidrat 12,7%.

linolenat. Tempe merupakan produk fermentasi yang memiliki masa simpan singkat. Pada umumnya proses fermentasi berlangsung selama 1-2 hari, namun sering kali diperoleh hasil sampingan dari proses pembuatan tempe berupa tempe semangit (bahasa Jawa) dan tempe busuk yang kenampakannya cokelat kehitaman dan berbau busuk. Tempe busuk yang dapat dikatakan sebagai limbah dari pembuatan tempe sebenarnya bukanlah tempe yang busuk karena gagal dalam proses pembuatannya, melainkan tempe segar yang mengalami pembusukan karena pemeraman berlebihan selama 1-3 hari dari proses fermentasi pada umumnya (Pradipta, 2012) atau 2-5 hari lebih lama dari pemeraman tempe normal (Hassanein et al., 2015). Tempe busuk ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyedap dalam masakan seperti lodeh, sambal goreng, gudeg, dan tumpang (Wijaya and Gunawan-Puteri, 2015).

Menurut Triwibowo (2011) dan Deliani (2008), selama proses fermentasi tempe kedelai terjadi degradasi lemak oleh kapang, sehingga kandungan asam lemak bebas tempe akan berubah. Sampai sejauh ini, tempe segar (padat) mendapat perhatian lebih banyak dari masyarakat dibanding tempe busuk dan khususnya mengenai minyak tempe dan perubahan asam lemak bebas tempe belum banyak diteliti. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian untuk menganalisa rendemen, sifat fisiko-kimiawi, dan komponen kimiawi penyusun minyak tempe selama proses pembusukan tempe. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan menjadi sumber informasi dasar terkait minyak tempe. Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menentukan rendemen minyak tempe yang optimal selama proses pembusukan.

2. Menentukan sifat fisiko-kimiawi minyak tempe yang optimal.

3. Mengidentifikasi komponen kimiawi penyusun minyak tempe dengan KG-SM (Kromatografi Gas-Spektrometri Massa).

METODE PENELITIAN Bahan dan Piranti

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel tempe yang diperoleh dari pabrik tempe kedelai “X” di Bugel, Salatiga, Jawa Tengah. Sedangkan bahan kimiawi yang

PA214), neraca analitis dengan ketelitian 0,01 g (OHAUS TAJ602), Moisture Analyzer (OHAUS MB 25), soxhlet, penangas air (Memmert WNB 14, Jerman), Rotary Evaporator (BUCHI R-114, Swiss), grinder, drying cabinet, buret, viskometer Ostwald, peralatan gelas, dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GCMS-QP2010 SE - Shimadzu).

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan September sampai Oktober 2016 bertempat di laboratorium kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana.

Pembuatan Tempe (Wawancara dengan pengrajin)

Kedelai yang digunakan merupakan kedelai impor. Proses pembuatan tempe diawali dengan perendaman kedelai selama 1 malam, lalu direbus, ditiriskan dan didinginkan. Selanjutnya dilakukan peragian dengan ragi merk “RAPRIMA” produk dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemudian dibungkus dengan plastik.

Preparasi Sampel Serbuk Tempe

Sampel tempe yang digunakan diambil dari waktu pemeraman pada hari ke-2, 3, 4, 5,

6, 7, 8, dan 9. Sampel dipotong tipis-tipis lalu dikeringkan dalam drying cabinet pada suhu 50 ºC selama 2 hari. Sampel yang sudah kering dihaluskan dengan grinder, disimpan dalam wadah kering yang diberi silica gel dan serbuk tempe siap digunakan untuk analisa lebih lanjut.

Ekstraksi Minyak Tempe (Albertina dkk. (2015) yang dimodifikasi)

Sebanyak 100 gram serbuk tempe dari berbagai waktu peram diekstraksi dengan 450 mL pelarut n-Heksana pada suhu 80 ºC selama 6 jam. Hasil ekstraksi kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 50-60 ºC sehingga diperoleh minyak tempe yang pekat. Minyak hasil ekstraksi dipindahkan ke dalam botol sampel yang telah ditimbang, kemudian dikukus untuk menghilangkan sisa pelarut yang masih terperangkap di dalamnya. Selanjutnya hasil minyak disimpan dalam kulkas pada suhu 15 ºC sampai siap untuk analisa lebih lanjut. Rendemen minyak dihitung dengan rumus :

massa minyak

% rendemen minyak kasar =

x 100%

massa sampel

Kadar air

Sebanyak 1 g minyak tempe ditimbang dan diukur persen kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer.

Massa Jenis

Sebanyak 1 mL minyak diukur seksama lalu ditimbang dengan neraca analitis ketelitian 0,0001 g. Massa jenis dinyatakan dalam g/mL.

Viskositas

Sebanyak 3 mL minyak tempe dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald, dihitung waktu yang dibutuhkan minyak untuk bergerak dari batas atas sampai batas bawah garis tera.

Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998)

Sebanyak 2 g minyak ditambah 50 mL etanol 95% dan ditambah 3-5 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga warna merah muda (tidak berubah selama 15 detik). Perhitungan :

V x T x 56,1 g/mol

Bilangan Asam =

Keterangan : V = Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi (mL) T

= Normalitas larutan standar KOH m

= bobot contoh (g)

Bilangan Penyabunan (SNI 01- 3555-1998)

Ditimbang 2 g minyak lalu ditambah dengan 25 mL KOH 0,5 M, kemudian direfluks selama 1 jam. Setelah itu ditambah 0,5 mL indikator fenolftalein dan dititrasi dengan HCl 0,5 M sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Perhitungan :

mg KOH

56,1 x T x (V 0 -V 1 )

Bilangan Penyabunan (

/ g lemak )=

Bilangan Peroksida (SNI 01-3555-1998)

Ditimbang 0,3 g minyak ditambah 30 mL campuran 55 mL kloroform, 20 mL asam asetat glasial, dan 25 mL etanol 95%. Sebanyak 1 gram KI ditambahkan ke dalam campuran tersebut dan disimpan di tempat yang gelap selama 30 menit, kemudian ditambah 50 mL air

suling bebas CO 2 . Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan mengukur jumlah KI yang teroksidasi melalui titrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0,02 N dengan larutan kanji sebagai indikator.

Perhitungan :

(V 1 -V 0 ) x T x 1000

Bilangan Peroksida (mgek/kg) =

Keterangan : V 0 = Volume dari larutan natrium tiosulfat untuk

T = Normalitas larutan standar natrium tiosulfat blanko (mL)

m = bobot contoh (g)

V 1 =Volume larutan natrium tiosulfat untuk contoh (mL)

Analisa Komposisi Kimiawi Minyak Tempe

Analisis komposisi kimiawi minyak tempe dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography –Mass Spectrometry (GCMS-QP2010 SE - Shimadzu) di UII, Yogyakarta. Jenis kolom yaitu AGILENT%W DB-1 dengan panjang 30 meter dan suhu oven kolom 80 ºC. Suhu injeksi 300 ºC pada tekanan 16,5 kPa dengan total aliran 80,1 mL/ menit, aliran kolom 0,50 mL/ menit dan kecepatan linier 26,1 cm/detik. Purge flow 3,0 mL/ menit dengan split ratio 153 ID 0,25 mm dengan gas pembawa Helium dan pengionan EI 70 Ev.

Analisa Data

Data rendemen minyak dianalisis menggunakan rancangan dasar Rancangan Acak Kelompok (RAK), 8 perlakuan dan 4 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah lama waktu pemeraman yaitu hari ke-2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9, sedangkan sebagai kelompok adalah waktu analisis. Pengujian purata antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1995).

merupakan hasil dari pemeraman selama 2-9 hari berkisar antara 10,64 ± 0,24% - 14,35 ± 0,80%. Hasil rendemen minyak disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Rendemen Minyak Tempe (% ± SE) Selama Proses

Pembusukan Tempe

Lama Pemeraman Tempe (hari) Rendemen

(c) (ab)

Keterangan : SE = Simpangan Baku Taksiran; W = BNJ 5 % *Angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda nyata sebaliknya angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata.

Rendemen minyak tempe tertinggi dihasilkan pada hasil pemeraman 2 hari yaitu 14,35%. Hal ini disebabkan hasil pemeraman 2 hari merupakan tempe segar dan diduga lemak kedelai belum seluruhnya terfermentasi oleh kapang tempe. Berdasarkan BSN (2012),

kandungan lemak dalam tempe yaitu 8,8 g / 100 g tempe lebih rendah jika dibandingkan dengan lemak kedelai yaitu 16,7 g /

100 g kedelai . Dimungkinkan sisa lemak kedelai masih cukup tinggi, sehingga minyak yang terekstrak lebih banyak dari pada tempe hasil pemeraman 3-9 hari, yaitu tempe mengalami pemeraman lebih lama dan mengalami pembusukan. Berdasarkan Kilo dkk. (2012), dengan metode sokletasi dari 200 g tempe hasil pemeraman 2 hari diperoleh 37,67% (b/b) minyak tempe. Hasil tersebut lebih besar dari pada rendemen minyak tempe hari ke-2 hasil penelitian ini.

Selanjutnya pada pemeraman 3 hari, rendemen mengalami penurunan yang cukup bermakna. Rendemen minyak menurun secara drastis pada hari ke-4, dan merupakan rendemen terendah. Rendemen mulai meningkat pada hari ke-5 dan presentasenya cenderung menurun pada hari ke-6, kemudian rendemen tertinggi dicapai pada hari ke-7, selanjutnya rendemen mengalami penurunan pada hari ke-8 dan ke-9. Grafik rendemen minyak tempe selama proses pembusukan ditampilkan pada Gambar 1. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa rendemen minyak yang optimal yaitu pada hari ke-7.

Lama Pemeraman Tempe (hari)

Gambar 1. Grafik Rendemen Minyak Tempe Selama Proses Pembusukan

Penurunan rendemen sampai dengan hari ke-4, nampaknya terkait dengan adanya aktivitas kapang. Menurut Deliani (2008), terjadinya penurunan kadar lemak dengan semakin lamanya pemeraman disebabkan karena aktivitas lipolitik kapang R. oligosporus dalam menghidrolisis lemak, selain itu lemak substrat digunakan sebagai sumber energinya. Mulai meningkatnya rendemen minyak pada 5 hari pemeraman, dapat terkait dengan pertumbuhan bakteri-bakteri selama proses pembusukan yang menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat berkontribusi dalam pembentukan asam lemak bebas (Moreno et al., 2002 dalam Nout dan Kiers, 2005).

Rendemen minyak tempe yang optimal selama proses pembusukan diperoleh pada hari ke-7 yaitu sebesar 13,18%. Hasil ini diduga karena aktivitas bakteri dalam menghasilkan asam lemak bebas paling kuat pada lama waktu ini. Sedangkan pada hari 8 dan 9 terjadi penurunan rendemen minyak tempe. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi jenis dan aktivitas bakteri yang berkontribusi selama proses pembusukan tempe.

Pada ekstraksi minyak dengan metode sokletasi menggunakan pelarut n-heksan (pelarut non polar), ekstrak yang diperoleh tidak seluruhnya tersusun dari senyawa trigliserida atau triasilgliserol. Berdasarkan kaidah like dissolve like, yaitu senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar (Montes et al., 2003), maka terdapat senyawa-senyawa non polar lain yang turut terekstrak bersama triasilgliserol yang merupakan komponen utama minyak Menurut Hammond et al. (2005), penyusun utama dalam minyak kasar kedelai yaitu triasilgliserol (94,4%), namun terdapat pula senyawa lain yaitu fosfolipid (3,7%), senyawa tidak tersabunkan (1,3 – 1,6%) yang tersusun atas sterol (0,236%), tokoferol (0,123%), dan senyawa hidrokarbon (0,38%). Minyak tempe dengan bahan baku yang merupakan olahan dari kedelai dimungkinkan juga mengandung senyawa-senyawa tersebut namun dalam jumlah yang belum diketahui karena belum banyak penelitian mengenai minyak tempe. Diperlukan proses pemurnian minyak untuk menghilangkan senyawa-senyawa pengotor tersebut agar diperoleh minyak tempe murni.

Tabel 2. Sifat Fisiko-Kimiawi Minyak Tempe

Sifat Minyak Tempe

Kuning-kecoklatan Coklat Aroma

Kuning

Tempe semangit Tempe busuk Kadar air

Massa jenis 3 g/cm 0,9069

139,71 Bilangan asam

168,29 Bilangan penyabunan

10,51 Bilangan peroksida

mgek / kg

Keterangan : H-2 (hasil pemeraman 2 hari); H-5 (hasil pemeraman 5 hari); H-7 (hasil pemeraman 7 hari)

Warna dan Aroma Minyak Tempe

Selama proses pembusukan tempe terjadi degradasi pigmen karotenoid dari kedelai, sehingga warna minyak yang dihasilkan semakin tua (Hammond et al., 2005). Minyak tempe H-2, H-5, dan H-7 disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Warna Minyak Tempe H-2, H-5, dan H-7

Aroma minyak tempe H-2 berbau seperti tempe, namun seiring dengan waktu pemeraman, tempe mengalami pembusukan sehingga aroma minyak menjadi semakin busuk. Proses pemeraman lanjut menyebabkan pembusukan dan mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri dan pertumbuhan kapang menurun atau terhenti. Selain itu terjadi degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia yang menimbulkan bau busuk (Pradipta, 2012).

Kadar Air Minyak Tempe

Kadar air minyak tempe yang dihasilkan berkisar antara 0,81-0,82% sedangkan kriteria minyak yang baik memiliki kandungan air kurang dari 0,2% (Ketaren, 2008), maka kadar air Kadar air minyak tempe yang dihasilkan berkisar antara 0,81-0,82% sedangkan kriteria minyak yang baik memiliki kandungan air kurang dari 0,2% (Ketaren, 2008), maka kadar air

Massa Jenis

Massa jenis minyak kedelai yaitu 0,9165 3 – 0,9261 g/cm (Hammond et al., 2005), sedang dari hasil penelitian diperoleh nilai massa jenis minyak tempe berkisar antara 0,8982 –

0,9069 g/cm 3 . Setiap jenis minyak memiliki nilai massa jenis yang khas tergantung dari jenis asam lemak bebas penyusun minyak tersebut (Nichols and Sanderson, 2003).

Viskositas

Dari hasil penelitian diperoleh nilai viskositas berkisar antara 127,08 – 175,65 cP, nilai ini lebih tinggi dari pada viskositas minyak kedelai yang berkisar antara 58,5 – 62,2 cP (Hammond et al., 2005). Sehingga viskositas minyak tempe hasil penelitian ini lebih tinggi (lebih kental).

Bilangan Asam

Besarnya bilangan asam merupakan parameter penentu kualitas metil ester, semakin besar nilai bilangan asam maka akan semakin buruk kualitas metil ester karena minyak akan mudah rusak (Wijayanti, 2008). Menurut Deliani (2008), bilangan asam kacang kedelai rebus adalah 1,7 dan pada akhir dari 69 jam fermentasi nilainya meningkat menjadi 78,3. Dari Tabel

2 dapat dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak tempe berkisar antara 142,82 – 168,29 mg

KOH

g minyak . Nilai ini lebih besar dari standar mutu minyak kedelai yaitu maksimum 3 / g minyak (Ketaren, 2008). Besarnya bilangan asam minyak tempe hasi penelitian diduga karena terjadinya reaksi hidrolisis yang dipengaruhi oleh cukup besarnya kadar air minyak tempe (Toscano and Maldini, 2007). Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor bahan baku yang merupakan hasil olahan bahan alam, yaitu mengalami proses pemeraman dan pembusukan.

/ mg KOH / mg KOH

Bilangan penyabunan minyak tempe hasil penelitian ini berkisar antara 10,51 mg KOH – 69,39 /

g minyak . Menurut Hammond et al. (2005), nilai bilangan penyabunan untuk minyak kedelai yaitu 190,4 mg KOH / g minyak . Hasil penelitian tidak memenuhi standar mutu.

Adanya perbedaan nilai bilangan penyabunan yang tinggi diduga terkait faktor bahan baku (tempe) yang bukan merupakan bahan alam asli (kedelai), tetapi telah mengalami pengolahan (pemeraman dan pembusukan).

Nilai bilangan penyabunan minyak tempe H-7 yaitu 10,51 mg KOH / g minyak , nilai tersebut sangat rendah dibandingkan bilangan penyabunan minyak tempe H-2 dan H-5. Bilangan penyabunan yang kecil menunjukkan bahwa minyak tempe tersusun atas asam lemak bebas rantai panjang lebih banyak.

Bilangan Peroksida

Besar kecilnya nilai bilangan peroksida menjadi parameter kualitas suatu minyak karena menunjukkan derajat kerusakan metil ester akibat reaksi autooksidasi. Semakin besar nilai bilangan peroksida maka semakin besar pula derajat kerusakan metil ester (Wijayanti, 2008).

Asam lemak bebas tidak jenuh dapat berikatan dengan oksigen pada ikatan rangkapnya dan membentuk peroksida. Peroksida merupakan produk awal dari reaksi oksidasi yang bersifat labil dan reaksi ini dapat berlangsung apabila terjadi kontak antara oksigen dengan minyak (Ketaren, 2008). Lebih lanjut menurut Fauziah (2013), pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya, suasana asam, kelembaban udara dan katalis.

Nilai bilangan peroksida minyak tempe H-2 32 mgek/ kg minyak, tertinggi dibandingkan H-5 dan H-7. Tingginya bilangan peroksida ini diduga terkait dengan faktor pemanasan ketika proses penghilangan sisa uap pelarut n-heksana serta oksigen dari lingkungan sekitar.

minyak tempe H-2 (minyak tempe segar). Hasil analisa kromatografi gas dari minyak tempe H-

2 disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Spektrum Kromatografi Minyak Tempe H-2

Dari Gambar 3 tampak terdapat 3 senyawa berbeda yang terkandung dalam minyak tempe H-2. Identifikasi senyawa dari ketiga puncak (peak) tersebut dilakukan dengan mencocokkan spektrum massa tiap puncak dengan data base Wiley dan hasilnya disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. (4a) Spektrum Puncak No 1 Minyak Tempe H-2 (4b) Spektrum Metil Linoleat sesuai Data Base Wiley (4c) Struktur Molekul Metil Linoleat Gambar 4. (4a) Spektrum Puncak No 1 Minyak Tempe H-2 (4b) Spektrum Metil Linoleat sesuai Data Base Wiley (4c) Struktur Molekul Metil Linoleat

senyawa H 2 O yang ditunjukkan pada puncak [M-18] + (m/z 294) yang merupakan puncak massa ion molekul senyawa metil linoleat pada spektrum referensi data base Wiley. Namun pada spektrum 4a puncak pada m/z 294 tidak ada, melainkan muncul pada m/z 292, karena terjadi pelepasan hidrogen. Spektra pola fragmentasi senyawa asam Metil Linoleat merujuk Christie (2016), disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5. Spektra Pola Fragmentasi Asam Metil Linoleat

Pada spektra, puncak ion molekul muncul pada m/z 294, kemudian terjadi pelepasan ion metoksi (OCH 3

) yang ditunjukkan dengan puncak [M-31] + (m/z 263). Puncak [M-74] dengan m/z 220 menunjukkan adanya pelepasan ion Mc. Laferty. Ion Mc. Laferty hasil

penyusunan ulang yang kompleks ditunjukkan pada puncak m/z 74, walaupun dalam jumlah kecil. Ion-ion hidrokarbon dengan rumus [C + n H 2n-3 ] mendominasi spektra dalam rentang massa

yang rendah (m/z 67, 81, 95, 109, 123, dan lain-lain) (Christie, 2016). Menurut Ismiyarto dkk. (2006), puncak dengan m/z 74 merupakan puncak khas suatu metil ester rantai panjang tak bercabang, hal ini akibat adanya penataan ulang Mc. Laferty yang menghasilkan radikal kation

[H 3 CCOOHCH 2 ] + • , seperti yang disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6. Mekanisme fragmentasi homolitik gugusan metil ester asam lemak bebas menurut Mc. Laferty (Ismiyarto dkk., 2006)

Dengan langkah yang serupa, seluruh senyawa dalam minyak tempe H-2 dapat diidentifikasi, dan hasilnya disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komponen Kimiawi Penyusun Minyak Tempe H-2

NP W R(det) Kandungan

Komponen Kimia

Bobot Rumus

(%)

Molekul Molekul

1 17,873

82,19

Metil linoleat

Metil palmitat

Metil stearat

278

C 19 H 38 O 2

Keterangan : NP = Nomor Puncak, W R = waktu retensi (detik). Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 4.

Dari Tabel 3 terlihat bahwa senyawa utama penyusun minyak tempe H-2 adalah metil linoleat. Hasil identifikasi ini sama dengan penelitian Kilo dkk. (2012), dalam penentuan kadar asam lemak bebas minyak tempe segar menggunakan KG-SM, diperoleh bahwa puncak tertinggi dengan luas area 27,08% merupakan senyawa yang memliki BM pada m/z 294, dan

diidentifikasi sebagai senyawa metil linoleat (C 19 H 34 O 2 ).

Telaah lebih lanjut, hasil analisa kromatografi gas ekstrak minyak tempe H-7 disajikan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Spektrum Kromatografi Minyak Tempe H-7

Dari spektrum pada Gambar 7 terlihat bahwa terdapat 5 senyawa berbeda dalam minyak tempe H-7. Identifikasi senyawa dari puncak-puncak tersebut dilakukan dengan mencocokkan spektrum massa tiap puncak dengan data base Wiley dan hasilnya disajikan dalam Gambar 8.

Gambar 8. (8a) Spektrum Puncak No 2 Minyak Tempe H-7 (8b) Spektrum Metil Palmitat Data Base Wiley (8c) Struktur Molekul Metil Palmitat

Dari Gambar 7 terlihat spektrum puncak no 2 merupakan puncak tertinggi kedua dalam kromatogram KG minyak tempe H-7, sedangkan spektrum referensi data base Wiley dengan BM pada m/z 270 ditampilkan pada Gambar 8b adalah metil palmitat. Senyawa hasil analisa memiliki BM pada m/z 337, karena Gambar 8a memiliki spektrum serupa dengan Gambar 8b, maka dapat disimpulkan bahwa puncak no 2 adalah metil palmitat. Perbedaan nilai m/z hasil analisa dengan referensi dimungkinkan karena minyak tempe belum dimurnikan sehingga masih terdapat pengotor-pengotor seperti fosfolipid atau pigmen yang berpengaruh terhadap hasil massa ion molekul.

Dengan langkah yang serupa, seluruh senyawa dalam minyak tempe H-7 berhasil diidentifikasi, dan hasilnya disajikan dalam Tabel 4.

Metil stearat

Metil arakidat

Metil behenat

C 23 H 46 O 2

Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4 terlihat bahwa senyawa dominan penyusun minyak tempe H-2 dan H-7 adalah metil linoleat. Kadar asam lemak bebas ini mengalami penurunan sedikit yaitu 82,19% (H-2) menjadi 79,74% (H-7). Sebaliknya metil palmitat mengalami kenaikan dari 12,08% (H-2) menjadi 12,38% (H-7). Begitu pula dengan asam metil stearat dari 5,73% (H-2) meningkat menjadi 7,08% (H-7). Selain itu dapat dilihat bahwa jenis asam lemak bebas bertambah selama proses pembusukan. Dibandingkan dengan minyak tempe H-2, pada minyak tempe H-7 terdapat asam metil arakidat dan metil behenat dalam jumlah yang relatif kecil. Perubahan kadar dan bertambahnya jenis asam lemak bebas dapat disebabkan karena aktivitas bakteri selama proses pembusukan.

Senyawa metil linoleat (C 19 H 34 O 2 ) dengan BM 294 merupakan PUFA (Polyunsaturated Fatty Acid), asam lemak bebas tak jenuh ganda dengan dua ikatan rangkap pada rantai karbon nomor 9 dan 12. Asam lemak bebas ini memiliki karateristik yaitu titik didih pada suhu 393,52 - 394,88 ̊C (760 mmHg), titik leleh pada suhu -35 ̊C (760 mmHg) dan densitas sebesar 0,888 g/cm 3 (ChemSpider, 2015). Metil linoleat termasuk ke dalam golongan Omega-6 yang

merupakan asam lemak bebas esensial bagi kesehatan karena asam lemak bebas ini tidak dapat diproduksi oleh tubuh melainkan dapat diperoleh melalui asupan makanan. Asam lemak bebas ini juga penting bagi kesehatan organ otak dan hati, serta dapat mengurangi risiko penyakit hati, diabetes, jantung (NebGuide, 2010). Selain itu asam metil linoleat juga dapat digunakan sebagai alternatif biodesel (Knothe et al., 2006), dan sebagai emolien dalam sediaan kosmetik (INCI, 2014).

KESIMPULAN

1. Rendemen minyak tempe optimal diperoleh pada lama pemeraman 7 hari sebesar 13,18%.

2. Sifat fisiko-kimiawi minyak tempe H-7 adalah sebagai berikut : warna minyak coklat dengan aroma tempe busuk; kadar air 0,81%; massa jenis 0,9002 g/cm 3 ; viskositas

= 7,08%; metil arakidat = 0,44%; dan metil behenat = 0,42%. SARAN

1. Perlu dilakukan pemurnian agar diperoleh kualitas minyak yang lebih baik, karena

kandungan fosfolipid yang cukup tinggi dan senyawa pengotor lain dalam minyak

2. Perlu dilakukan penelitian identifikasi bakteri yang berkontribusi terhadap perubahan dan peningkatan jenis asam lemak bebas serta aktivitasnya selama proses pembusukkan tempe.

3. Pengaturan kondisi pemeraman, jenis bahan, dan kapang yang digunakan agar diperoleh rendemen minyak tempe yang lebih stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Albertina, H., H. Soetjipto, dan S. Andini. 2015. Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi Minyak Biji Mangga (Mangifera indica L. Var Arumanis) Terhadap Sifat Fisiko Kimianya. Prosiding Seminar Nasional Kimia Dan Pendidikan Kimia VII, “Penguatan Profesi Bidang Kimia dan Pendidikan Kimia Melalui Riset dan Evaluasi”. 18 April. Universitas Sebelas Maret.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2012. Tempe : Persembahan Indonesia untuk Dunia. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. SNI 01-3555-1998 : Cara Uji Minyak dan Lemak. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta. ChemSpider.

http://www.chemspider.com/Chemical- Structure.4447491.html . 1 Desember 2016 (16:21). Christie, W. W. 2016. Mass Spectrometry of Methyl Esters-Dienoic Fatty Acids. http://www.lipidhome.co.uk/ms/methesters/me-2db/index.htm . 1 Desember 2016 (17:43).

Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. Tesis. Program Studi Ilmu Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Dwinaningsih, E. A., 2010. Karakterisitk Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/ Beras dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Fauziah, A. W. 2013. Karakterisasi Dan Penentuan Komposisi Asam Lemak Dari Pemurnian Limbah Pengalengan Ikan Dengan Variasi Waktu Simpan Limbah Dan Suhu Paada Degumming. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Kimia, Universitas Jember. Jember.

Material. International Journal of Engineering Science 8(2): 131-134. INCI (International Nomenclature of Cosmetics Ingredients). Making Cosmetics. Diunduh di : http://www.makingcosmetics.com/articles/INCI-list.pdf pada tanggal 1 Desember 2016.

Ismiyarto, S. A. Halim, P. J. Wibawa. 2006. Identification of fatty acid composition in turi seed oil (Sesbania grandiflora (L) Pers). JSKA 9(1) : 1-3. Ketaren, S. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. Kilo, A.K., I. Isa, dan W. J. A. Musa. 2012. Analisis Kadar Asam Linoleat dan Asam Linolenat

pada Tahu dan Tempe yang Dijual di Pasar Telaga secara GC-MS. Saintek 6(6): 1-13. Program Studi Kimia Universitas Gorontalo. Gorontalo.

Knothe, G., C. A. Sharp, and T. W. Ryan. 2006. Exhaust Emissions of Biodiesel, Petrodiesel, Neat Methyl Esters, and Alkanes in a New Technology Engine. Energy and Fuels 20 (1) : 403 – 408.

Montes, I., C. Lai, and D. Sanabria. 2003. Like Dissolves Like : A Classroom Demonstration and a Guided-Inquiry Experiment for Organic Chemistry. Journal of Chemical Education 80(4) : 447 – 449.

NebGuide. 2010. Omega-3 and Omega-6 Fatty Acids. University of Nebraska-Lincoln Extension, Institute of Agriculture and Natural Resources. Nichols, D.S. and K. Sanderson. 2003. The Nomenclature, Structure, and Properties of Food Lipids . In: Sikorski, Z.E and A. Kolakowska, Ed. Chemical and Functional Properties of Food Lipids. CRC Press Washington : 29-59.

Nout, M. J. R., and Kiers, J. L. 2005. Tempe fermentation, innovation and functionality: update into the third millennium. Journal of Applied Microbiology, 98: 794.

Pradipta, L. A. 2012. Kajian Karakteristik Fisikokimia dan Sensori Tepung Tempe “Bosok” Sebagai Bumbu Masak pada Variasi Suhu Pengeringan. Skripsi. Program Studi

Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Steel, R. G. D. dan Torrie, J. H. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penterjemah Bambang Sumantri . Gramedia Pustaka. Jakarta. Sutiah, K. S. Firdausi, dan W. S. Budi. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng dengan Parameter Viskositas dan Indeks Bias. Berkala Fisika 11(2) : 53 – 58. Toscano, G., and E. Maldini. 2007. Analysis of the Pyhsical and Chemical Characteristics of Vegetable Oils as Fuel. Journal of Agricultural Engineering 3: 39-47. Triwibowo, R. 2011. Kajian Perubahan Biokimiawi Stakhiosa dan Asam Lemak Essensial Pada Tempe Kedelai (Glycine max) Selama Proses Fermentasi. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Wijaya, C. H., and M. D. P. T. Gunawan- Puteri. 2015. “Tempe Semangit”, the Overripe Tempeh with Natural Umami Taste. Umami Indonesia 3(3): 1-5. Wijayanti, F. E. 2008. Pemanfaatan Minyak Jelantah Sebagai Sumber Bahan Baku Produksi Metil Ester. Skripsi. Program Studi Farmasi Universitas Indonesia. Jakarta. Winarno, F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta.

Manuskrip Alchemy Jurnal Penelitian Kimia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta “OPTIMASI RENDEMEN DAN KARAKTERISASI MINYAK TEMPE SELAMA PROSES FERMENTASI LANJUT”

2 Dr. rer. nat. A. Ign. Kristijanto, M. S.

2 Dr. rer. nat. A. Ign. Kristijanto, M. S.

2 Dr. rer. nat. A. Ign. Kristijanto, M. S.

Keywords: over fermentation process, over fermentation tempe, oil extraction, oil physico- chemical properties

PENDAHULUAN

Tempe merupakan bahan pangan fermentasi dari olahan kedelai yang menjadi salah satu makanan khas tradisional Indonesia. Tempe merupakan produk fermentasi yang memiliki masa simpan singkat. Pada umumnya proses fermentasi berlangsung selama 1-2 hari, namun sering kali diperoleh hasil sampingan dari proses pembuatan tempe berupa tempe semangit (bahasa Jawa) dan tempe busuk yang kenampakannya cokelat kehitaman dan berbau busuk.

Tempe busuk yang dapat dikatakan sebagai limbah dari pembuatan tempe sebenarnya bukanlah tempe yang busuk karena gagal dalam proses pembuatannya, melainkan tempe segar yang mengalami fermentasi lanjut karena mengalami pemeraman berlebihan selama 1-3 hari dari proses fermentasi pada umumnya (Pradipta, 2012) atau 2-5 hari lebih lama dari pemeraman tempe normal (Hassanein et al.,2015). Tempe busuk ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyedap dalam masakan seperti lodeh, sambal goreng, gudeg, dan tumpang (Wijaya dan Gunawan-Puteri, 2015).

Menurut Cahyadi (2006, dalam Dwinaningsih, 2010), tempe mengandung minyak kasar sebesar 22,2% (db). Hasil penelitian Kilo dkk. (2012) diperoleh hasil minyak tempe sebesar 37,67% (b/b) dari 200 g tempe segar yang diekstraksi dengan metode sokletasi. Minyak tempe ini tersusun atas berbagai asam lemak bebas seperti asam palmitat, stearat, oleat, linoleat, dan linolenat, dengan kandungan terbesar yaitu asam linoleat. Asam linoleat merupakan asam esensial yang beperan penting bagi tubuh. Menurut Deliani (2008) dan Triwibowo (2011), selama proses fermentasi tempe kedelai terjadi degradasi lemak oleh kapang, sehingga kandungan asam lemak bebas tempe akan berubah.

Sampai sejauh ini, tempe segar (padat) mendapat perhatian lebih banyak dari masyarakat dibanding tempe busuk, lagi pula penelitian terkait minyak tempe belum banyak dilakukan. Penelitian mengenai minyak tempe pernah dilakukan oleh Kilo dkk. (2012), namun sampel yang digunakan hanya tempe segar (2 hari pemeraman) saja. Mengingat sering didapatinya tempe busuk dari hasil sampingan produksi tempe, maka penulis tertarik untuk Sampai sejauh ini, tempe segar (padat) mendapat perhatian lebih banyak dari masyarakat dibanding tempe busuk, lagi pula penelitian terkait minyak tempe belum banyak dilakukan. Penelitian mengenai minyak tempe pernah dilakukan oleh Kilo dkk. (2012), namun sampel yang digunakan hanya tempe segar (2 hari pemeraman) saja. Mengingat sering didapatinya tempe busuk dari hasil sampingan produksi tempe, maka penulis tertarik untuk

METODE PENELITIAN

Bahan dan AlatPenelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel tempe yang diperoleh dari pabrik tempe kedelai “X” di Bugel, Salatiga, Jawa Tengah. Sedangkan bahan kimiawi yang digunakan adalah heksana p.a, kloroform, etanol, asam asetat glasial, asam klorida, kalium iodida, natrium tiosulfat, kalium hidroksida, indikator fenolftalein. Semua reagensia yang digunakan produk Merck, Jerman.

Alat yang digunakan antara lain neraca analitis dengan ketelitian0,0001 g (OHAUS PA214), neraca analitis dengan ketelitian 0,01 g (OHAUS TAJ602), Moisture Analyzer (OHAUS MB 25), soxhlet, penangas air (Memmert WNB 14, Jerman), Rotary Evaporator (BUCHI R-114, Swiss), grinder, drying cabinet, buret, viskometer Ostwald,dan peralatan gelas.

Rancangan Penelitian

Data rendemen minyak dianalisa menggunakan metode sidik ragam klasifikasi dwi arah (Two-Way ANOVA), 8 perlakuan yaitu lama waktu pemeraman tempe yang terdiri dari hari ke-

2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 hari, dan 4 kali ulangan. Pengujian purata antar perlakuan dilakukan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1995).

Pembuatan Tempe (Wawancara dengan pengrajin)

Kedelai yang digunakan merupakan kedelai impor. Proses pembuatan tempe diawali dengan perendaman kedelai selama 1 malam, lalu direbus, ditiriskan dan didinginkan. Selanjutnya dilakukan peragian dengan ragi merk “RAPRIMA” produk dari Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemudian dibungkus dengan plastik.

Preparasi Sampel Serbuk Tempe

Sampel tempe diambil dari waktu pemeraman pada hari ke-2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Sampel diiris tipis-tipis lalu dikeringkan dalam drying cabinet pada suhu 50 ºC selama 2 hari. Sampel yang sudah kering dihaluskan dengan grinder, disimpan dalam wadah kering yang diberi silica gel dan serbuk tempe siap digunakan untuk analisa lebih lanjut.

Minyak hasil ekstraksi dipindahkan ke dalam botol sampel yang telah ditimbang, kemudian dikukus untuk menghilangkan sisa pelarut yang masih terperangkap di dalamnya. Selanjutnya hasil minyak disimpan dalam kulkas pada suhu15 ºC sampai siap untuk analisa lebih lanjut.Rendemen minyak dihitung menurut persamaan (1) :

% rendemen minyak= massa minyak massa sampel x 100%............................................................... (1)

Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimiawi Minyak Tempe

Penentuan aroma dan warna ditentukan dengan pemaparan secara deskriptif, sedangkan penentuan secara kuantitatif untuk kadar air, massa jenis, viskositas secara gravimetri, sedangkan bilangan peroksida, bilangan penyabunan, dan bilangan asam sesuai SNI 01-3555- 1998.

Kadar air

Sebanyak 1 g minyak tempe ditimbang dan diukur persen kadar airnya menggunakan Moisture Analyzer.

Massa Jenis

Sebanyak 1 mL minyak diukur seksama lalu ditimbang dengan neraca analitis ketelitian 0,0001 g. Massa jenis dinyatakan dalam g/mL.

Viskositas

Sebanyak 3 mL minyak tempe dimasukkan kedalam viskometer Ostwald, dihitung waktu yang dibutuhkan minyak untuk bergerak dari batas atas sampai batas bawah garis tera.

Bilangan Asam (SNI 01-3555-1998)

Sebanyak 2 g minyak ditambah 50 mL etanol 95% dan ditambah 3-5 tetes indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga warna merah muda (tidak berubah selama 15 detik).

Bilangan Penyabunan (SNI 01- 3555-1998)

Ditimbang 2 g minyak lalu ditambah dengan 25 mL KOH 0,5 M, kemudian direfluks selama 1 jam. Setelah itu ditambah 0,5 mL indikator fenolftalein dan dititrasi dengan HCl 0,5 M sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna.

suling bebas CO 2 . Penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan mengukur jumlah KI yang teroksidasi melalui titrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0,02 N dengan larutan kanji sebagai indikator.

HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Minyak Tempe

Rendemen minyak tempe diukur mulai dari hari ke-2 yang merupakan tempe segar, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi lanjut yaitu hari ke-3 sampai dengan hari ke-9. Rendemen minyak tempe selama proses fermentasi lanjut (hasil pemeraman selama 2-9 hari) berkisar antara 10,64 ± 0,24% - 14,35 ± 0,80% (Tabel 1).

Tabel 1. Rataan Rendemen Minyak Tempe (% ± SE) Selama Proses Fermentasi lanjut Tempe

Lama Pemeraman Tempe (hari)

(c) (ab) Keterangan : SE = Simpangan Baku Taksiran; W = BNJ 5 %

*Angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda nyata sebaliknya angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 1, rendemen minyak tempe tertinggi dihasilkan pada hasil pemeraman 2 hari yaitu 14,35%. Hasil ini relatif lebih kecil dari rendemen minyak tempe pemeraman 2 hari pada penelitian Kilo dkk. (2012) yang dilakukan dengan metode sokletasi (37,67% b/b). Tingginya rendemen minyak tempe hari ke-2 (tempe segar), diduga karenalemak kedelai belum seluruhnya terdegradasi oleh kapang tempe, sehingga minyak yang terekstrak lebih banyak dari pada tempe hasil pemeraman lebih lama (3-9 hari) dan telah mengalami fermentasi lanjut.

Pada pemeraman 3 hari, rendemen mengalami penurunan cukup bermakna, selanjutnya rendemen minyak menurun secara drastis pada hari ke-4, dan merupakan rendemen terendah. Pada hari ke-5, rendemen mulai meningkat dan presentasenya cenderung menurun pada hari

Gambar 8. Grafik Rendemen Minyak Tempe Selama Proses Fermentasi lanjut

Penurunan rendemen sampai dengan hari ke-4, nampaknya terkait dengan adanya aktivitas kapang. Menurut Deliani (2008), terjadinya penurunan kadar lemak seiring dengan lamapemeraman disebabkan karena aktivitas lipolitik kapang R. oligosporus yang mendegradasi lemak dan menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Mulai pada 5 hari pemeraman terjadi peningkatan rendemen minyak, diduga terkait dengan pertumbuhan bakteri-bakteri selama proses fermentasi lanjut yang menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat berkontribusi dalam pembentukan asam lemak bebas (Moreno et al., 2002 dalam Nout dan Kiers, 2005).

Rendemen minyak tempe optimal selama proses fermentasi lanjut diperoleh pada pemeraman hari ke-7 yaitu sebesar 13,18% diduga terkait dengan puncak aktivitas bakteri lipolitik dalam menghasilkan asam lemak bebas paling kuat pada hari ke-7. Selanjutnya pada hari 8 dan 9 terjadi penurunan rendemen minyak tempe, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk identifikasi jenis dan aktivitas bakteri yang berkontribusi selama proses fermentasi lanjut tempe.

Sifat Fisiko-Kimiawi Minyak Tempe

Dilakukan pengamatan sifat fisikawi minyak tempe meliputi warna, aroma, kadar air, massa jenis, dan viskositas; serta sifat kimiawi meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, dan bilangan peroksida (Tabel 2). Pada penentuan sifat fisiko-kimiawi dibandingkan minyak

Minyak Tempe Sifat Fisiko Kimiawi

Tempe busuk Kadar air

Aroma

Tempe

Tempe semangit

Massa jenis 3 g/ cm 0,9069

mg KOH/

Bilangan asam

g minyak mg KOH/

Bilangan penyabunan

g minyak mgrek/

Bilangan peroksida

kg minyak

Keterangan : H-2 (hasil pemeraman 2 hari); H-5 (hasil pemeraman 5 hari); H-7 (hasil pemeraman 7 hari)

Warna dan Aroma Minyak Tempe

Selama proses fermentasi lanjut tempe terjadi degradasi pigmen karotenoid dari kedelai, sehingga warna minyak yang dihasilkan semakin tua (Hammond et al., 2005). Minyak tempe H-2, H-5, dan H-7 disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 9. Warna Minyak Tempe H-2, H-5, dan H-7

Aroma minyak tempe H-2 berbau seperti tempe, namun seiring dengan waktu pemeraman, tempe mengalami fermentasi lanjut sehingga aroma minyak menjadi semakin busuk. Proses fermentasi lanjut mengakibatkan peningkatan jumlah bakteri dan pertumbuhan kapang menurun atau terhenti. Selain itu terjadi degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia yang menimbulkan bau busuk (Pradipta, 2012).

air dalam minyak tempe diduga karena proses penyerapan uap air pada minyak yang dipengaruhi oleh kelembaban udara sekitarnya (Winarno dkk., 1980).

Menurut Toscano dan Maldini (2007), kadar air merupakan salah satu parameter penting untuk menentukan kualitas minyak dan berkaitan dengan sifat kimiawi minyak. Minyak yang mengandung kadar air tinggi, memiliki kemungkinan mengalami kerusakan yang lebih besar, karena berhubungan dengan reaksi hidrolisis. Minyak dengan kadar air tinggi akan mempersingkat masa umur simpan minyak dan memicu pertumbuhan mikroba.

Massa Jenis

Massa jenis minyak kedelai yaitu 0,9165 – 0,9261 g/cm 3 (Hammond et al., 2005), sedang dari hasil penelitian diperoleh nilai massa jenis minyak tempe berkisar antara 0,8982 –

0,9069 g/cm 3 . Setiap jenis minyak memiliki nilai massa jenis yang khas tergantung dari jenis asam lemak bebas penyusun minyak tersebut (Nichols dan Sanderson, 2003).

Viskositas

Dari hasil penelitian (Tabel 2) diperoleh nilai viskositas minyak tempe berkisar antara 127,08 – 175,65 cP. Dalam Hammond et al. (2005) menunjukkan viskositas minyak kedelai berkisar antara 58,5 – 62,2 cP. Sehingga viskositas minyak tempe hasil penelitian ini lebih tinggi (lebih kental).

Bilangan Asam

Besarnya bilangan asam merupakan parameter penentu kualitas metil ester, semakin besar nilai bilangan asam maka akan semakin buruk kualitas metil ester karena minyak akan mudah rusak (Wijayanti, 2008). Lebih lanjut menurut Deliani (2008), bilangan asam kacang kedelai rebus adalah 1,7 dan pada akhir dari 69 jam fermentasi nilainya meningkat menjadi 78,3. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai bilangan asam minyak tempe berkisar antara 142,82

– 168,29 mg KOH /

g minyak . Nilai ini lebih besar dari standar mutu minyak kedelai yaitu maksimum

3 mg KOH / g minyak (Ketaren, 2008). Besarnya bilangan asam minyak tempe hasi penelitian diduga karena terjadinya reaksi hidrolisis yang dipengaruhi oleh cukup besarnya kadar air minyak tempe (Toscano dan Maldini, 2007). Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor bahan baku yang merupakan hasil olahan bahan alam, yaitu mengalami proses pemeraman dan fermentasi lanjut.

dengan banyak kandungan asam lemak bebas rantai panjang memiliki berat molekul besar sehingga bilangan penyabunan relatif kecil (Ketaren, 2008).

Bilangan penyabunan minyak tempe hasil penelitian ini berkisar antara 10,51 mg KOH – 69,39 /

g minyak . Menurut Hammond et al. (2005), nilai bilangan penyabunan untuk minyak kedelai yaitu 190,4 mg KOH / g minyak . Adanya perbedaan nilai bilangan penyabunan yang

tinggi diduga terkait faktor bahan baku (tempe) yang bukan merupakan bahan alam asli (kedelai), tetapi telah mengalami pengolahan (pemeraman dan fermentasi lanjut).

Nilai bilangan penyabunan minyak tempe H-7 yaitu 10,51 mg KOH / g minyak , nilai tersebut sangat rendah dibandingkan bilangan penyabunan minyak tempe H-2 dan H-5. Bilangan

penyabunan yang kecil menunjukkan bahwa minyak tempe tersusun atas asam lemak bebas rantai panjang lebih banyak.

Bilangan Peroksida

Besar kecilnya nilai bilangan peroksida menjadi parameter kualitas suatu minyak karena menunjukkan derajat kerusakan metil ester akibat reaksi autooksidasi. Semakin besar nilai bilangan peroksida maka semakin besar pula derajat kerusakan metil ester (Wijayanti, 2008).

Asam lemak bebas tidak jenuh dapat berikatan dengan oksigen pada ikatan rangkapnya dan membentuk peroksida (Ketaren, 2008). Lebih lanjut menurut Fauziah (2013), pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya, suasana asam, kelembaban udara dan katalis.

Nilai bilangan peroksida minyak tempe H-2 32 mgrek/ kg minyak, tertinggi dibandingkan H-5 dan H-7. Tingginya bilangan peroksida ini diduga terkait dengan faktor pemanasan ketika proses penghilangan sisa uap pelarut n-heksana serta oksigen dari lingkungan sekitar.

KESIMPULAN

Kesimpulan penelitian adalah rendemen minyak tempe optimal selama proses fermentasi lanjut tempe pada lama pemeraman 7 hari dengan rendemen minyak sebesar 13,18%. Dibandingkan dengan minyak tempe H-2, sifat fisikawi minyak tempe H-7 adalah sebagai berikut: warna minyak semakin tua (coklat); beraroma tempe busuk; kadar air = 0,81%

dan massa jenis = 0,9002 g/cm 3 , nilainya tetap bila dibandingkan minyak tempe H-2; dan

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dibiayai Hibah Internal Universitas Kristen Satya Wacana. Ucapan terimakasih kepada Pembantu Rektor V Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana yang telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Albertina, H., Soetjipto, H.,and Andini, S., 2015. Pengaruh Lama Waktu Ekstraksi Minyak Biji Mangga (Mangifera indica L. Var Arumanis) Terhadap Sifat Fisiko Kimianya. Prosiding Seminar Nasional Kimia Dan Pendidikan Kimia VII, “Penguatan Profesi Bidang Kimia dan Pendidikan Kimia Melalui Riset dan Evaluasi”.Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Badan Standarisasi Nasional Indonesia.SNI 01-3555-1998 : Cara Uji Minyak dan Lemak, Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta.

Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak, Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat pada Pembuatan Tempe. Tesis. Program Studi Ilmu Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dwinaningsih, E. A., 2010. Karakterisitk Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/ Beras dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Fauziah, A. W. 2013. Karakterisasi Dan Penentuan Komposisi Asam Lemak Dari Pemurnian Limbah Pengalengan Ikan Dengan Variasi Waktu Simpan Limbah Dan Suhu Paada Degumming. Skripsi. Jurusan KimiaFakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Jember, Jember.

Hammond, E. G., Lawrence,A. J.,Su,C., Wang, T., andWhite, P. J., 2005. Soybean Oil . Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, Sixth Edition, Sixth Volume Set. Iowa State University, Ames, Iowa.

Hassanein, T. R., Prabawati, E. K., and Gunawan-Puteri, M. D. P. T., 2015. Analysis of Chemical and Microbial Changes During Storage of Overripe Tempeh Powder and Seasoning Material. International Journal of Engineering Science, vol. 8, no. 2, pp. 131-134.

Ketaren, S., 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta. Kilo, A.K., Isa,I.,and Musa. W. J. A., 2012. Analisis Kadar Asam Linoleat dan Asam Linolenat

pada Tahu dan Tempe yang Dijual di Pasar Telaga secara GC-MS. Sainstek, vol. 6, no.

6, pp. 1-13. Program Studi Kimia Universitas Gorontalo, Gorontalo.

Pradipta, L. A. 2012. Kajian Karakteristik Fisikokimia dan Sensori Tepung Tempe “Bosok” Sebagai Bumbu Masak pada Variasi Suhu Pengeringan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Steel, R. G. D. and Torrie, J. H., 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penterjemah Bambang Sumantri . Gramedia Pustaka. Jakarta.

Toscano, G., andMaldini, E., 2007. Analysis of the Pyhsical and Chemical Characteristics of

Vegetable Oils as Fuel. Journal of Agricultural Engineering, vol. 3, pp. 39-47. Triwibowo, R., 2011. Kajian Perubahan Biokimiawi Stakhiosa dan Asam Lemak Essensial

Pada Tempe Kedelai (Glycine max) Selama Proses Fermentasi. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Wijayanti, F. E., 2008. Pemanfaatan Minyak Jelantah Sebagai Sumber Bahan Baku Produksi Metil Ester. Skripsi. Program Studi Farmasi Universitas Indonesia, Jakarta.

Wijaya, C. H., and Gunawan- Puteri, M. D. P. T.,2015. “Tempe Semangit”, the Overripe Tempeh with Natural Umami Taste. Umami Indonesia, vol.3, no. 3, pp. 1-5.

Winarno, F. G., Fardiaz,S.,and Fardiaz, D., 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia,Jakarta.

Lampiran 2.

Manuskrip MAKARA JOURNAL OF SCIENCE, Universitas Indonesia, Depok

“Chemical Compounds Identification of Over Fermented Tempe Oil during Over Fermentation Process ”