Pancasila UU dan UUD 1945 Memandang Koru
Pancasila, UU dan UUD 1945 Memandang Korupsi
I. Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, didalamnya terdapat sila-sila yang
mengatur bangsa Indonesia itu sendiri. Berikut sila-sila Pancasila, dan bagaimana sila-sila
tersebut memandang korupsi:
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengajarkan agar semua rakyat
Indonesia taat dalam beragama sesuai dengan agama yang dianut. Dalam ajaran beragama
tidak ada agama yang mebenarkan umatnya untuk mencuri, serakah. Korupsi sama halnya
dengan mencuri, mencuri uang rakyat. Dan pastinya merupakan hal yang bertentangan
dengan ajaran beragama.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Korupsi dikatakan melanggar sila
kedua karena menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, uang yang
seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat umum digunakan untuk kepentingan
pribadi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mengakibatkan stratifikasi
sosial yang begitu tampak kehidupan bangsa ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sebagai manusia Indonesia kita harus mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi melanggar nilai-nilai persatuan
yang sudah dimiliki bangsa ini sejak jaman peradaban kerajaan. Sebagai manusia Indonesia
yang memiliki amanah sudah menjadi kewajiban untuk menjalankan tugas yang diberikan
negara bukan mempermainkan tanggung jawab demi memperkaya ataupun memperoleh
kenikmatan tanpa memikirkan yang lain. Sekecil apapun tindakan korupsi itu jika bukan
mengedepankan kepentingan negara, akan ada potensi perpecahan baik ditingkat lembaga,
wilayah daerah maupun nasional. Pemberantasan korupsi seharusnya adalah upaya tegas
berbentuk persatuan lembaga-lembaga penegak hukum, anggota masyarakat dan pemerintah.
Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawa-ratan Perwakilan. Dalam upaya pemberantasan korupsi ataupun penegakkan
hukum atas tindakannya keputusan yang diambil harus mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini Pancasila mengajarkan
seluruh bangsa Indonesia untuk memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang
dipercayai untuk melakukan permusyawaratan artinya tidak perlu dibutuhkan semua elemen
bangsa ini dapat mengatasi masalah apapun dalam menghadapi masalah nasional termasuk
korupsi.
Sila kelima berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kita tahu
Indonesia adalah Negara hukum. Semua perkara yang terjadi di Indonesia harus diputuskan
secara adil dan tidak memihak sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun realitanya
penegakan hukum di Indonesia belum seadil yang diharapkan. sebagai perbandingan Kasus
pencurian sandal jepit yang dilakukan bocah 15 tahun berinisial AAL yang mencuri sandal
milik Brigadir (Pol) Satu, Ahmad Rusdi Harahap rasanya tak sebanding dengan ancaman
hukuman lima tahun penjara sementara banyak koruptor yang dihukum hanya 1,5 tahun. Itu
pun sewaktu di dalam jeruji besi pelaku korupsi dalam menikmati penjara versi hotel bintang
5 yang dilengkapi dengan fasilitas hotel bintang 5 seperti yang dirasakan oleh Artalyta
Suryani yang tersandung kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) pada tahun 2008 silam.
II. Undang-Undang (UU)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dansejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana
korupsi yangterjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Olehkarena itu pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secaraprofesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikankeuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunannasional;b. bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsibelum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidanakorupsi;c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahanatas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
TindakPidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi yang independen dengan
tugas dan wewenang melakukanpemberantasan tindak pidana korupsi;d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi;Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TambahanLembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negarayang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3851);4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4150);Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN.
III. UUD 1945
Indonesia sedang memasuki krisis multidimensi. Artinya, terdapat gejala-gejala
kemunduran, bahkan mungkin kehancuran, yang terjadi di hampir semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tetapi, yang paling pokok dari semua kemunduruan itu adalah
menjauhnya kita dari cita-cita nasional: masyarakat adil dan makmur.
Kehidupan rakyat kecil makin memburuk: orang miskin harus susah payah banting tulang
untuk sekedar makan sehari, harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak naik, lapangan
pekerjaan sulit didapatkan, layanan publik telah diswastakan, dan lain sebagainya.
Dari kondisi carut-marut itu, muncullah berbagai pandangan tentang akar dari berbagai
persoalan itu. Lalu, sebagai upaya untuk menjawab persoalan itu, ada sebagian orang yang
berkesimpulan bahwa korupsi-lah akar dari semua persoalan itu. Mereka pun berkampanye
sangat gencar untuk melawan korupsi.
Bagi kami, korupsi memang merupakan masalah besar bangsa ini. Tetapi, meletakkan
soal korupsi sebagai masalah paling pokok, atau penyebab utama, dari berbagai persoalan
bangsa itu adalah sebuah kesalahan.
Para pendukung liberalisasi berpendapat bahwa pengurangan peran negara dan reformasi
ekonomi akan mengurangi korupsi. Dengan begitu, kalau mau disederhanakan, negara
sebagai organisasi politik dianggap sebagai biang kerok korupsi.
Pada masa lalu, negara pernah memainkan peranan yang tidak kecil dalam mengelola
ekonomi dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa
negara telah memainkan peranan penting dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar
rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan lain-lain.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa peranan besar yang dimainkan oleh negara dalam lapangan
perekonomian, termasuk oleh perusahaan-perusahaan milik negara, telah melahirkan praktekpraktek korupsi. Tetapi, lahirnya korupsi itu tidak terlepas dari keburukan persoalan
manajamen, bukan karena watak negara yang memang korup. Dan, sekorup-korupnya orde
baru, mereka konsisten menganggarkan 40-45% anggaran di APBN untuk pembangunan. Itu
tertinggi di Asia Tenggara pada jamannya.
Dan, tidak bisa disangkal pula, keterlibatan negara dalam mengelola ekonomi dan
memobilisasi sumber daya untuk kesejahteraan rakyat dianggap kurang menguntungkan
kelompok swasta atau pemilik modal.
Mereka pun beranggapan bahwa berbagai intervensi negara dalam perekonomian, seperti
subsidi dan proteksi, sebagai sesuatu yang negatif dan tidak efisien. Padahal, bagi mayoritas
rakyat, kehadiran subsidi dan proteksi sangat membantu mereka keluar dari keterbatasan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, neoliberalisme memukul “negara” dalam
kepentingan menghentikan proses akumulasi keuntungan yang ditujukan kepada
kepentingan rakyat banyak. Yang hendak dipangkas dari peran negara adalah “fungsinya
melindungi kesejahteraan rakyat”.
Lalu, di bawah rejim neoliberal, seluruh proses keuntungan mengarah pada kemakmuran
segelintir swasta nasional dan perusahaan asing. Merekalah yang menikmati subsidi dan
menggunakannya untuk mengakumulasi keuntungan pribadi.
Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau
penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan
pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh
dua, tiga, empat, atau lima generasi.
Dengan sendirinya, karena motifnya kepada kepentingan segelintir korporasi, maka
negara neoliberal sebetulnya jauh lebih korup. Ketika penyelenggaraan ekonomi tidak lagi
dirumuskan sebagai “usaha bersama”, tetapi diputuskan oleh segelintir elit bisnis dan
kekuatan politik, maka disitulah praktek korupsi akan tumbuh subur bak jamur di musim
hujan.
Dan, ketika tujuan penyelenggaran ekonomi murni untuk akumulasi profit di tangan
segelintir orang, bukan lagi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka disitulah
praktek korupsi juga akan tumbuh subur.
Dalam hal ini, jika mau serius memberantas korupsi, maka perlu menegakkan kembali
fondasi perekonomian Indonesia yang diwariskan oleh pendiri bangsa, yaitu pasal 33 UUD
1945.
Sebagai misal, pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Jika mengacu pada ayat itu, maka kegiatan
perekonomian mesti diselenggarakan secara demokratis, kerjasama, dan solidaritas, sehingga
tidak memungkinkan adanya segelintir tangan yang mengakumulasi kemakmuran.
Pasal 33 secara terang-terangan menjadikan “kemakmuran rakyat” sebagai muara atau
tujuan akhir dari kegiatan perekonomian.
I. Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, didalamnya terdapat sila-sila yang
mengatur bangsa Indonesia itu sendiri. Berikut sila-sila Pancasila, dan bagaimana sila-sila
tersebut memandang korupsi:
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengajarkan agar semua rakyat
Indonesia taat dalam beragama sesuai dengan agama yang dianut. Dalam ajaran beragama
tidak ada agama yang mebenarkan umatnya untuk mencuri, serakah. Korupsi sama halnya
dengan mencuri, mencuri uang rakyat. Dan pastinya merupakan hal yang bertentangan
dengan ajaran beragama.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Korupsi dikatakan melanggar sila
kedua karena menyebabkan kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, uang yang
seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat umum digunakan untuk kepentingan
pribadi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya mengakibatkan stratifikasi
sosial yang begitu tampak kehidupan bangsa ini. Yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sebagai manusia Indonesia kita harus mampu menempatkan persatuan, kesatuan serta kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi melanggar nilai-nilai persatuan
yang sudah dimiliki bangsa ini sejak jaman peradaban kerajaan. Sebagai manusia Indonesia
yang memiliki amanah sudah menjadi kewajiban untuk menjalankan tugas yang diberikan
negara bukan mempermainkan tanggung jawab demi memperkaya ataupun memperoleh
kenikmatan tanpa memikirkan yang lain. Sekecil apapun tindakan korupsi itu jika bukan
mengedepankan kepentingan negara, akan ada potensi perpecahan baik ditingkat lembaga,
wilayah daerah maupun nasional. Pemberantasan korupsi seharusnya adalah upaya tegas
berbentuk persatuan lembaga-lembaga penegak hukum, anggota masyarakat dan pemerintah.
Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawa-ratan Perwakilan. Dalam upaya pemberantasan korupsi ataupun penegakkan
hukum atas tindakannya keputusan yang diambil harus mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini Pancasila mengajarkan
seluruh bangsa Indonesia untuk memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang
dipercayai untuk melakukan permusyawaratan artinya tidak perlu dibutuhkan semua elemen
bangsa ini dapat mengatasi masalah apapun dalam menghadapi masalah nasional termasuk
korupsi.
Sila kelima berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kita tahu
Indonesia adalah Negara hukum. Semua perkara yang terjadi di Indonesia harus diputuskan
secara adil dan tidak memihak sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun realitanya
penegakan hukum di Indonesia belum seadil yang diharapkan. sebagai perbandingan Kasus
pencurian sandal jepit yang dilakukan bocah 15 tahun berinisial AAL yang mencuri sandal
milik Brigadir (Pol) Satu, Ahmad Rusdi Harahap rasanya tak sebanding dengan ancaman
hukuman lima tahun penjara sementara banyak koruptor yang dihukum hanya 1,5 tahun. Itu
pun sewaktu di dalam jeruji besi pelaku korupsi dalam menikmati penjara versi hotel bintang
5 yang dilengkapi dengan fasilitas hotel bintang 5 seperti yang dirasakan oleh Artalyta
Suryani yang tersandung kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) pada tahun 2008 silam.
II. Undang-Undang (UU)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dansejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana
korupsi yangterjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Olehkarena itu pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secaraprofesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikankeuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunannasional;b. bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsibelum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidanakorupsi;c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telahdiubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahanatas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
TindakPidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi yang independen dengan
tugas dan wewenang melakukanpemberantasan tindak pidana korupsi;d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi;Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang
Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, TambahanLembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negarayang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3851);4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4150);Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN.
III. UUD 1945
Indonesia sedang memasuki krisis multidimensi. Artinya, terdapat gejala-gejala
kemunduran, bahkan mungkin kehancuran, yang terjadi di hampir semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tetapi, yang paling pokok dari semua kemunduruan itu adalah
menjauhnya kita dari cita-cita nasional: masyarakat adil dan makmur.
Kehidupan rakyat kecil makin memburuk: orang miskin harus susah payah banting tulang
untuk sekedar makan sehari, harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak naik, lapangan
pekerjaan sulit didapatkan, layanan publik telah diswastakan, dan lain sebagainya.
Dari kondisi carut-marut itu, muncullah berbagai pandangan tentang akar dari berbagai
persoalan itu. Lalu, sebagai upaya untuk menjawab persoalan itu, ada sebagian orang yang
berkesimpulan bahwa korupsi-lah akar dari semua persoalan itu. Mereka pun berkampanye
sangat gencar untuk melawan korupsi.
Bagi kami, korupsi memang merupakan masalah besar bangsa ini. Tetapi, meletakkan
soal korupsi sebagai masalah paling pokok, atau penyebab utama, dari berbagai persoalan
bangsa itu adalah sebuah kesalahan.
Para pendukung liberalisasi berpendapat bahwa pengurangan peran negara dan reformasi
ekonomi akan mengurangi korupsi. Dengan begitu, kalau mau disederhanakan, negara
sebagai organisasi politik dianggap sebagai biang kerok korupsi.
Pada masa lalu, negara pernah memainkan peranan yang tidak kecil dalam mengelola
ekonomi dan menggunakannya untuk kemakmuran rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa
negara telah memainkan peranan penting dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar
rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan lain-lain.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa peranan besar yang dimainkan oleh negara dalam lapangan
perekonomian, termasuk oleh perusahaan-perusahaan milik negara, telah melahirkan praktekpraktek korupsi. Tetapi, lahirnya korupsi itu tidak terlepas dari keburukan persoalan
manajamen, bukan karena watak negara yang memang korup. Dan, sekorup-korupnya orde
baru, mereka konsisten menganggarkan 40-45% anggaran di APBN untuk pembangunan. Itu
tertinggi di Asia Tenggara pada jamannya.
Dan, tidak bisa disangkal pula, keterlibatan negara dalam mengelola ekonomi dan
memobilisasi sumber daya untuk kesejahteraan rakyat dianggap kurang menguntungkan
kelompok swasta atau pemilik modal.
Mereka pun beranggapan bahwa berbagai intervensi negara dalam perekonomian, seperti
subsidi dan proteksi, sebagai sesuatu yang negatif dan tidak efisien. Padahal, bagi mayoritas
rakyat, kehadiran subsidi dan proteksi sangat membantu mereka keluar dari keterbatasan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, neoliberalisme memukul “negara” dalam
kepentingan menghentikan proses akumulasi keuntungan yang ditujukan kepada
kepentingan rakyat banyak. Yang hendak dipangkas dari peran negara adalah “fungsinya
melindungi kesejahteraan rakyat”.
Lalu, di bawah rejim neoliberal, seluruh proses keuntungan mengarah pada kemakmuran
segelintir swasta nasional dan perusahaan asing. Merekalah yang menikmati subsidi dan
menggunakannya untuk mengakumulasi keuntungan pribadi.
Neo-liberalisme bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau
penjamin kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan
pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan berkali-kali oleh
dua, tiga, empat, atau lima generasi.
Dengan sendirinya, karena motifnya kepada kepentingan segelintir korporasi, maka
negara neoliberal sebetulnya jauh lebih korup. Ketika penyelenggaraan ekonomi tidak lagi
dirumuskan sebagai “usaha bersama”, tetapi diputuskan oleh segelintir elit bisnis dan
kekuatan politik, maka disitulah praktek korupsi akan tumbuh subur bak jamur di musim
hujan.
Dan, ketika tujuan penyelenggaran ekonomi murni untuk akumulasi profit di tangan
segelintir orang, bukan lagi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka disitulah
praktek korupsi juga akan tumbuh subur.
Dalam hal ini, jika mau serius memberantas korupsi, maka perlu menegakkan kembali
fondasi perekonomian Indonesia yang diwariskan oleh pendiri bangsa, yaitu pasal 33 UUD
1945.
Sebagai misal, pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Jika mengacu pada ayat itu, maka kegiatan
perekonomian mesti diselenggarakan secara demokratis, kerjasama, dan solidaritas, sehingga
tidak memungkinkan adanya segelintir tangan yang mengakumulasi kemakmuran.
Pasal 33 secara terang-terangan menjadikan “kemakmuran rakyat” sebagai muara atau
tujuan akhir dari kegiatan perekonomian.