Makalah spi dan uts pdf

SEJARAH MASJID SULTAN RIAU DI PULAU PENYENGAT DAN
KONDISI SOSIAL MASYARAKATNYA SAAT ITU

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam
yang dibina oleh M. Mukhlis Fakhruddin, M.S.I
Oleh
NAMA : ATIQAH
NIM : 14660022

UNVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
Oktober 2015

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji syukur kehadirat Allah swt, karena rahmat dan hidayah-Nya saya

dapat menyelesaikan tugas makalah sejarah masjid sultan riau di pulau penyengat
dan kondisi sosial masyarakatnya saat itu pada mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk Rasulullah saw beserta
keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya yang setia mengikuti sunnahnya hingga
akhir nanti.
Makalah ini kami tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Perdaban Islam.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak terutama Bapak M.
Mukhlis Fakhruddin, M.S.I. selaku pembimbing dan semua pihak yang secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian Makalah ini.
Saya menyadari dalam penyusunan Makalah ini masih banyak
kekurangan, untuk itu saya mohon kritik dan saran yang membangun.

Jazzakumullah khairan katsiran

Malang, 21 Oktober 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH MASJID SULTAN RIAU
2.1.1

LOKASI

2.1.2

SEJARAH

2.1.3

ARSITEKTUR BANGUNAN

2.1.4


KEUNIKAN

2.2 KONDISI SOSIAL MASYARAKAT PADA MASA ITU
2.2.1

KERAJAAN LINGGA

2.2.2

MASYARAKAT PULAU PENYENGAT

2.3 HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI SEJARAH MASJID
BAB 3 PENUTUP
3.1 SIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR RUJUKAN

DAFTAR GAMBAR
gambar 2.1.3.1 perspektif bangunan masjid.
gambar 2.1.3.2 Mimbar Masjid


Gambar 2.1.4 Rumah Sotoh
gambar. 2.2.1. Masyarakat Kerajaan Lingga

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Eksistensi suatu bangsa tidak terlapas dari sejarah bangsa tersebut. Bangsa
Indonesia yang beraneka ragam bangsa dan budaya pun memiliki banyak untaian
sejarah yang saling berakitan. Dalam penyebaran agama Islam yang hingga saat
ini menjadi mayoritas agama di Negara Indonesia dan tercatat dalam Undang Undang sebagai agama yang diakui oleh negara. Tidak terlepas dari peran suku
melayu di daerah Sumatera hingga ke Malaka. Kerajaan - kerajaan berbentuk
Kesultanan pun banyak tersebar di daerah yang kaya minyak ini.
Dalam perkembangannya, saat ini peninggalan – peninggalan sejarah Islam di
Indonesia ini tidak banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri. Padahal
sejarahnya sangat urgen dalam penyebran Islam di daerah Sumatera hingga ke
Malaka. Salah satu penanda adanya suatu peradaban di suatu wilayah dapat
ditandai dengan situs – situs peninggalan sejarah, berupa bangunan maupun
arsitektur. Peninggalan Kerajaan Islam yang masih dapat ditemui biasanya berupa
bangunan Masjid. di daerah Riau ada salah satu masjid dengan keunikan

bangunan dan sejarah mengenai kondisi sosial masyarakatnya.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, ditulislah makalah dengan judul
Sejarah Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat dan Kondisi Sosial
Masyarakatnya saat itu.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam maklah ini dipaparkan sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat?
2. Bagaimana kondisi sosial masyarakatnya pada saat itu?
3. Apa hikmah yang dapat di ambil dari sejarah dan kondisi sosial
masyarakat Riau saat itu?

1.3 TUJUAN
Tujuan dalam makalah ini dipapakan sebagai berikut.
3

Memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

4

Mengetahui sejarah dan kondisi sosial masyarakat Riau pada masa itu.


BAB 2
PEMBAHASAN
4.1 SEJARAH MASJID SULTAN RIAU
4.1.1

LOKASI

Masjid Raya Sultan Riau atau disebut juga Masjid Sultan Riau
merupakan salah satu masjid tua dan bersejarah di Indonesia yang berada
di pulau Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang Barat, berjarak sekitar 2
km dari Kota Tanjungpinang, provinsi Kepulauan Riau dengan jarak
tempuh sekitar 15 menit dengan perahu motor.
Masjid Sultan Riau inni terleta di pelataran. Kemungkinan, lokasi
tersebut bekas bukit kecil yang diratakan dengan tinggi sekitar 3 meter
dari permukaan jalan. Untuk naik ke Masjid dibuat tangga yang cukup
tinggi.
4.1.2

SEJARAH


Masjid ini mulai dibangun sekitar tahun 1761-1812. Pada awalnya,
masjid ini hanya berupa bangunan kayu sederhana berlantai batu bata yang
hanya dilengkapi dengan sebuah menara setinggi lebih kurang 6 meter.
Namun, seiring berjalannya waktu, masjid ini tidak lagi mampu
menampung jumlah anggota jemaah yang terus bertambah sehingga Yang
Dipertuan Muda Raja Abdurrahman, Sultan Kerajaan Riau-Linggga pada
1831-1844 berinisiatif untuk memperbaiki dan memperbesar masjid
tersebut. Masjid yang menjadi kebanggaan orang Melayu ini diperbaiki
dan diperluas pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M). Untuk membuat
sebuah masjid yang besar, Sultan Abdurrahman berseru kepada seluruh
rakyatnya untuk beramal dan bergotong-royong di jalan Allah. Panggilan
tersebut ternyata telah menggerakkan hati segenap warga untuk
berkontribusi pada pembangunan masjid tersebut.
Orang-orang dari seluruh pelosok teluk, ceruk, dan pulau di kawasan
Riau Lingga berdatangan ke Pulau Penyengat untuk mengantarkan bahan

bangunan, makanan, dan tenaga, sebagai tanda cinta yang tulus kepada
Sang Pencipta dan Sang Sultan. Bahkan, kaum perempuan pun ikut serta
dalam pembangunan masjid tersebut sehingga proses pembangunannya

selesai dalam waktu yang cepat. Terbukti, fondasi setinggi sekitar 3 meter
dapat selesai hanya dalam waktu 3 minggu.
Konon, karena banyaknya bahan makanan yang disumbangkan
penduduk, seperti beras, sayur, dan telur, para pekerja sampai merasa
bosan makan telur sehingga yang dimakan hanya kuning telurnya saja.
Karena menyayangkan banyaknya putih telur yang terbuang, sang arsitek
memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Sisa-sisa putih telur itu
kemudian digunakan sebagai bahan perekat, dicampur dengan pasir dan
kapur, sehingga membuat bangunan masjid dapat berdiri kokoh, bahkan
hingga saat ini.
Di dalam masjid, tersimpan kitab – kitab kuno ( terutama yang
menyangkut agama Islam) , bekas koleksi perpustakaan yang didirikan
oleh Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X.
Benda menarik lain yang terdapat dalam masjid adalah mimbar indah dan
kitab suci Al-Qur’an tulisan tangan.
4.1.3

ARSITEKTUR BANGUNAN

Ditilik dari sisi arsitektur, masjid ini sangat unik karena memadukan

gaya Timur Tengah dan Melayu. Hal tersebut tidak menjadi aneh
mengingat arsitek pembangunan masjid adalah pedagang dari India.
”Konon dulu Raja Abdurrahman memanggil ahli khusus dari India, yang
juga seorang saudagar untuk membantu membangun masjid ini.
Namun, sayangnya sampai saat ini tak ada sejarah tertulis yang
menyebutkan siapa ahli itu,” ujar juru kunci masjid yang bernama
Hambali ini. Di dalam kawasan masjid terdapat beberapa bagian bagunan
yakni bangunan utama, yang terletak di tengah, dan beberapa bagian
pendukung

gambar 2.1.3.1 perspektif bangunan masjid.
Masjid ini berukuran 18x19,80 m, sementara luas lahannya sekitar
55x33 m. Dalam kompleks masjid, dari tangga hingga mihrab, terdapat
unit bangunan yang terpisah-pisah, masing – masing dalam posisi simetris.
Dari tangga, terdapat jalan setapak pada sumbu tengah dari unit bangunan
simeris tersebut.
Di halaman kiri dan kanan masjid, ada bangunan beratap limasan batu.
Masyarakat setempat menyebut bangunan kembar tersebut dengan nama
sotoh. Tempat ini berfungsi sebagi tempat permusyawaratan para ulama
cendikiawan. Sekarang difungsikan sebagai ruang tamu sekaligus tempat

rehat para pelancong yang baru saja menunaikan sholat. Tidak
mengherankan jika ruangan di dalamnya dibiarkan lapang tanpa perabot.
Selain rumah Sotoh, di halaman masjid terdapat dua bangunan lain yang
lebih luas. Bentuk bangunan ini menyerupai rumah Gadang khas Melayu.

Selain itu, juga terdapat bangunan kembar di sisi kiri dan kanan,
masing-masing berbentuk persegi empat panjang. Sisi terpanjangnya
sejajar dengan arah kiblat. Kedua bangunan ini semacam gardu, tapi besar
dan panjang tak berdinding, mempunyai kolong, degan konstruksi kayu.
Pintu utama masjid berada di tengah, menjorok ke depan seperti
beranda (porch) dan diatapi kubah. Di tiap sudutnya terdapat pilaster.

Denah dan semua elemen yang ada di dalam masjid berada dalam susunan
simetris.
Atap ruang utama masjid sangat unik, dan menunjukkan adanya
pengaruh India, dimana arsiteknya berasal. Keunikan itu berupa deretan
melintang kubah dan deretan membujurnya. Kubah berbentuk bawang,
berbaris empat mengarah kiblatdan berbaris tiga dengan arah melintang.
Secara keseluruhan berjumlah 12. Jika ditambah denga kubah diatas
beranda depan masuk pintu utama, maka jumlahnya menjadi 13.

Beranjak pada bangunan utama masjid, bentuknya sepintas mirip
dengan Taj Mahal di Agra, India. Bangunan utama tempat beribadah ini
menerapkan arsitektur Timur Tengah yang identik dengan kubah, dan
menara yang megah dan tinggi menjulang. empat menara yang dibangun
di sudut masjid tingginya mencapai 15 meter, dengan bentuk atap yang
runcing dan tiang penompang yang ramping. Keempat menara ini
berbentuk bangunan klasik yang biasa ditemui di Turki pada masa
Bizantium. Sementara itu, dari rancangan interior nuansa arsitektur
Mughal khas India begitu kuat mencocok mata. Ciri khas dilihat dari
penggunaan bingkai gerbang pemisah antaruangan yang berbentuk
lengkung dan berwarna senada dengan ornamen ukiran di langit-langit
kubah.

gambar 2.1.3.2 Mimbar Masjid

Satu-satunya perabotan dalam interior ruangan yang bergaya nusantara
adalah mimbar masjid. Mimbar yang terbuat dari kayu jati ini, menurut
sejarah sengaja didatangkan oleh Raja Abdurrahman dari Jepara.
Arsitek Seto Parama Artho menyebutkan pengaruh gaya Timur Tengah
pada bangunan masjid sangat lumrah pada masa lalu. Terlebih pulau
Penyengat termasuk kawasan pintu masuk para pedagang dan saudagar
asal Timur Tengah, di Malaka.
”Bangunan dengan gaya Timur Tengah memang sangat banyak
tersebar di sana. Terlebih setelah banyak kerajaan yang bekerjasama
bertukar komoditas, termasuk jasa perancang bangunan kala itu,” tuturnya.
Di sisi lain, berkembangnya ajaran Islam pada masa itu, juga menjadi
penanda kejayaan arsitektur Timur Tengah dan Turki yang banyak
digunakan di berbagai daerah, termasuk beberapa daerah Indonesia yang
di dominasi oleh warga beragama Islam.
4.1.4

KEUNIKAN

Keistimewaan dan keunikan masjid ini juga dapat dilihat dari bendabenda yang terdapat di dalamnya. Di dekat pintu masuk utama,
pengunjung dapat menjumpai mushaf Al Quran tulisan tangan yang
diletakkan di dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis
oleh Abdurrahman Stambul, putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus
oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867 M.
Sebenarnya, masih ada satu lagi mushaf Al Quran tulisan tangan karya
Abdullah Al Bugisi yang terdapat di masjid ini, namun tidak diperlihatkan
untuk umum. Usianya lebih tua dibanding mushaf yang satunya karena
dibuat pada tahun 1752 M. Di bingkai mushaf yang tidak diketahui siapa
penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Al Quran. Hal ini
mengindikasikan bahwa orang-orang Melayu tidak hanya menulis ulang
mushaf, tetapi juga mencoba menerjemahkannya. Sayangnya, mushaf

tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada pengunjung lantaran kondisinya
sudah rusak. Mushaf ini tersimpan bersama sekitar 300 kitab di dalam dua
lemari yang berada di sayap kanan depan masjid. Pengunjung juga
dilarang untuk mengambil foto di dalam masjid.
Benda lainnya yang menarik untuk dilihat adalah sebuah mimbar yang
terbuat dari kayu jati. Mimbar ini khusus didatangkan dari Jepara, sebuah
kota kecil di pesisir pantai utara Jawa yang terkenal dengan kerajinan
ukirnya sejak lama. Sebenarnya, ada dua mimbar yang dipesan waktu itu,
yang satu adalah mimbar yang diletakkan di Masjid Sultan Riau ini,
sedangkan yang satunya lagi, yang berukuran lebih kecil, diletakkan di
masjid di daerah Daik Lingga.
Di dekat mimbar, Masjid Sultan Riau ini tersimpan sepiring pasir
yang konon berasal dari tanah Makkah al-Mukarramah, melengkapi
benda-benda lainnya seperti permadani dari Turki dan lampu kristal yang
merupakan hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an.
Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua, bangsawan Riau
pertama yang menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 1820 M. Pasir
tersebut biasa digunakan masyarakat setempat pada upacara jejak tanah,
suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi anak-anak.
Selain itu, masjid yang memiliki tujuh pintu dan enam jendela ini juga
dilengkapi dengan beberapa bangunan penunjang, seperti tempat wudhu,
rumah sotoh, dan balai tempat melakukan musyawarah. Bangunan tempat
mengambil air wudu berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Adapun
rumah sotoh dan balai tempat pertemuan berada di bagian kanan dan kiri
halaman depan masjid.
Balai-balai yang bentuknya menyerupai rumah panggung tak
berdinding ini dulu digunakan sebagai tempat untuk menunggu waktu
shalat dan berbuka puasa pada bulan Ramadhan, sedangkan rumah sotoh,
bangunan dengan gaya arsitektur menyerupai rumah di Arab namun
beratap genting ini, sebelumnya merupakan tempat untuk bermusyawarah

dan mempelajari ilmu agama. Beberapa ulama terkenal Riau pada masa
itu, seperti Syekh Ahmad Jabrati, Syekh Arsyad Banjar, Syekh Ismail, dan
Haji Shahabuddin, pernah mengajarkan ilmu agama di tempat ini.

Gambar 2.1.4 Rumah Sotoh
Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (19911995) disebutkan bahwa Mesjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat ini
merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.

4.2 KONDISI SOSIAL MASYARAKAT PADA MASA ITU
4.2.1

KERAJAAN LINGGA

Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia
yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan
ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV,
memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.Wilayahnya meliputi Provinsi
Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang

didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri
dari Kerajaan Johor-Riau.
Kerajaan

Riau

Lingga

memiliki

peran

penting

dalam

perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang
sebagai bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa
Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar
lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa.
Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah
Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari Kerajaan Johor-Riau
atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berdiri sekitar
tahun 1528-1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan Malaka,
terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan
antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris, pada
tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London,
yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh
Inggris dan Sumatra serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam
pengaruh Belanda. Hal ini memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan
akhirnya pada tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2
Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja pertamanya Tengku Hussain
bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud
Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (17611812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan
besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku
Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan
Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l
(1812-1832).

Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang
pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada
tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511,
Sultan Mahmud Syah (Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama JohorRiau) beserta pengikutnya melarikan diri ke Johor, kemudian ke Bintan
dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada tahun 1526 Portugis berhasil
membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur
ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum
Kampar, kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan Alauddin
Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud Syah
yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak.

gambar. 2.2.1. Masyarakat Kerajaan Lingga
Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup
wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau,
dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. Kerajaan
Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah
wafatnya Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-

Riau-Lingga ke XVl, hal ini disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara
dua putra sultan, Yaitu Tengku Hussain/ Tengku Long dan Tengku Abdul
Rahman. Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku
Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada
tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat. Menurut adat
istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan
sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu
Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar JohorPahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll
menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang
ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga,
Tengku Hussain masih berada di Pahang. Sekembalinya Tengku Hussain
dari Pahang menuntut haknya sebagai putra tertua untuk menjadi Sultan
menggantikan Sultan Mahmud Syah lll. Tengku Hussain merasa lebih
berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul Rahman. Sebelum
meninggal Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat, yaitu menunjuk
Tengku Hussain/Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau dan Tengku
Abdul Rahman, agar berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap
menuntut haknya. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap
mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu
Tengku Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan,
lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain
masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik
menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.
Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua
Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman.
Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824,
yang menyatakan bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris
dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan
Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh

Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor
bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di
Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh Belanda,
dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan
Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah
Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik
Lingga.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan
Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora
(keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga
1883. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai
puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX
Raja Haji Abdullah (1857-1858). Memerintah di pulau Penyengat.
Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar
Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi
(1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum
Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan Tengku
Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat
perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang
dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang
dan sebagainya ke Daik. Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika
Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda,
oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton
(sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari
pusat Kerajaan Riau Lingga).
Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang
antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau
Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi
daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena

Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau
Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.
Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk
menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesarpembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan
beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll
menolak menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan
dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar.
Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar
Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada
bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada
pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana
dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan
pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan
agar tidak terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul
Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak
melakukan perlawanan. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau
Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun
1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.
4.2.2

MASYARAKAT PULAU PENYENGAT

Menurut cerita rakyat setempat nama penyengat diberikan oleh
para pelaut yang singgah di pulau tersebut untuk mengambil air bersih.
Para pelaut itu diserang oleh sejenis lebah hingga jatuh korban, sejak saat
itu para pelaut menyebut pulau mungil itu dengan sebutan Pulau
Penyengat. Ketika pusat pemerintahan Kerajaan Riau berdiri di pulau
tersebut, nama pulau itupun dikenal dengan nama Pulau Penyengat Indra
Sakti.

Karena letaknya yang strategis untuk pertahanan pada abad lalu
Pulau Penyengat berkali-kali menjadi medan pertempuran. Tercatat antara
lain, perang Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Raja Kecil dari
Siak. Demikian juga ketika terjadi perang antara Riau dengan Belanda
tahun 1782-1784. Sisa-sisa pertempuran berupa benteng pertahanan masih
dapat disaksikan sampai saat ini.
Tahun 1803 dari pusat pertahanan Pulau Penyengat dibina menjadi
sebuah negeri yang berkedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Kerajaan
Riau Lingga, sedang Sultan berkedudukan di Dalik Lingga. Baru tahun
1900 Sultan pindah ke Pulau Penyengat. Sejak saat Pulau Penyengat
berperan sebagai pusat pemerintahan, pusat adat istiadat, pusat agama
Islam dan pusat kebudayaan Melayu. Peranan tersebut berakhir tatkala
Sultan Abdurrachman Muazamsyah meninggalkan pulau mengungsi ke
Singapura karena tidak bersedia menandatangani kontrak dengan Belanda
yang dianggap merugikan.
Menghadapi ancama Belanda yang akan merampas segala harta
benda termasuk istana, Sultan memerintahkan kepada rakyat yang tinggal
di Pulau Penyengat agar menghancurkan apa saja yang kiranya akan
dirampas oleh Belanda. Sejak itu beberapa bangunan pun menjadi puing.
Menelusuri pulau penyengat masih dapat disaksikan antara lain
sebuah mesjid yang dirawat dengan baik, empat kompleks makam raja,
dua bekas istana, sumur, taman, dan beberapa gedung lainnya.
Mesjid yang disebut Mesjid Raya layak dibanggakan sebagai
cermin keagungan agama Islam. Kubah, menara, dan mimbar semuanya
serba indah. Mesjid ini didirikan tahun 1249 Hijriah bertepatan dengan
tahun 1832 Masehi, atas prakarsa Raja Abdurrachman Yang Dipertuan
Muda VII yang juga disebut Marham Kampung Bulang. Riwayat lain yang
menarik tentang pembangunan mesjid ini ialah dipergunakannya putih
telor sebagai campuran kapur untuk memperkuat kubah, menara , dan
bagian-bagian tertentu dari mesjid.

Di tengah-tengah kediaman penduduk akan dijumpai sisa gedung
Engkau Duah yang merupakan tabib kerajaan. Tidak jauh dari tempat
tersebut

dapat

dijumpai

pula

sisa-sisa

bangunan

istana

Sultan

Abdurrachman Muazamsyah, yang merupakan Sultan Riau Lingga yang
terakhir. Dari sisa-sisa bangunan dapar diperkirakan bahwa dulu
merupakan sebuah istana yang amat megah.
Berhimpitan dengan sebatang pohon besar terlihat pula sisa gedung
milik Tengku Bilik, adik Sultan Riau Lingga terakhir, yang bersuamikan
Tengku Abdul Kadir. Bentuk bangunan masih tampak jelas, yang
menggambarkan ciri-ciri rumah yang amat disukai oleh para bangsawan
pada akhir abad XIX. Bangunan serupa masih dapat dijumpai di tempat
lain seperti Singapura, di Johor dan di Semenanjung Malaysia. Sedang
profil bangunan bergaya Portugis tampak pada sisa-sisa istana milik Raja
Ali Marhum Kantor. Tembok yang mengelilingi sedung masih utuh.
Pembangunan fisik yang pesat terjadi pada masa pemerintahan Raja Ali
Marhum Kantor yang saat itu menjabat Sebagai Yang Dipertuan Muda
Riau VIII.
Di Pulau Penyengat dapat pula dijumpai gedung kecil yang sidah
dipugar, yangdisebut gedung mesiu atau gedung obat bedil. Menurut
keterangan ada empat gedung serupa di tempat tersebut, hanya yang
lainnya sudah tinggal sisa-sisa saja.
Pusat perbentangan terdapat di Bukit Kursi dan Bukit Penggawa
Benteng dilindungi dengan parit-parit pertahanan. Kebanyakan dibangun
ketika terjadi peperangan antara riau dengan Belanda tahun 1782-1784.
Sebagai bekas berkumpulnya cendekiawan Pulau Penyengat juga
ditandai dengan puing-puing bekas percetakan dan gedung Rusdiah Klub,
yang merupakan perkumpulan cendikiawan Melayu di Pulau Penyengat.
Percetakan dibangun tahun 1890. Sisa-sisa lainnya yang tampa agak utuh
adalah taman pantai dengan pemandangan yang mengesankan.

Beberapa bangunan kompleks pemakaman juga ada di Pulau
Penyengat, antara lain kompleks makam Engku Putri Raja Hamidah.
Dalam kompleks makam ini dapat pula ditemui pusara tokoh-tokoh
terkemuka kerajaan Riau, yaitu pusara Raja Haji Abdulla Marhum
Mursyid.Yang Dipertuan Muda Riau IX, pusara Raja Ali Haji, pujangga
Gurindam XII yang terkenal. Juga dapat dijumpai pusara raja Haji
Abdullah, hakim Syariah.
Di bukit selatan Pulau Penyengat terdapat makam Raja Haji
Marhum Teluk Ketapang, bersebelahan dengan makam Habib Sekh
seorang ulama terkenal di jaman Kerajaan Riau. Raja Haji Teluk Ketapang
adalah Yang Dipertuan Muda Riau IV.
4.3 HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL DARI SEJARAH MASJID
Ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari sejarah
pembangunan masjid dan kondisi sosial masyarakat pada saat itu
1. Gotong royong
Dalam pembangunan masjid, melibatkan semua lapisan
masyarakat. tidak ada perbudakan dan pemimpin mengayomi
pembangunan sarana kerajaan. Para masyarakat, turut
menyumbangkan bahan makanan kepada para pekerja.
2. Kerja sama
Kerja sama antara Sultan dengan Kerajaan India
mebuahkan hasil berupa desain masjid yang bercorak India.
Menunjukkan betapa kuatnya diplomasi kerajaan Riau dengan
Kerajaan lain.
3. Mempertahankan kekuasaan.
Kerajaan Lingga tetap kukuh tidak mau menandatangai
perjanjian dengan Belanda yang berniat untuk menguasai wilayah
Riau. Wlau pada akhirnya Kerajaan Lingga-Riau mengalami
kekalahan dalam peperangan melawan Belanda.

4. Sistem Pemerintahan Monarki
Bentuk pemerintahan merupakan kerajaan yang dipimpin
seorang Sultan. Pengganti Sultan apabila sudah mangkat adalah
darah keturunannya. Ada beberapa kelemahan dari sistem
pemerintahan monarki. Salah satunya memungkinkan suatu
wilayah dipimpin oleh pemimpin yang lemah. Namun tidak semua
pemimpin yang memimpin suatu kerajaan itu lemah. Ada banyak
pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan nan arif.

BAB 3
PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Pada BAB II telah dipaparkan penjelasan tentang sejarah Masjid
Sultan Riau, Kondisi Masyarakatnya serta Hikmah yang bisa diambil
Berdasarkan pembahasan tersebut dikemukakan simpulan sebagai
berikut.
1.

Masjid Sultan Riau di Pulau Penyangat memiliki pengaruh
dalam

perkembangan agama Islam di Indonesia, salah

satunya dari segi arsitektur.
2.

Kehidupan masyarakat sangat mendukung pemerintahan
pada masa itu, termasuk dalam segi pembangunan dan
politik.

3.2 SARAN
Berdasarkan simpulan diatas, ada beberapa saran yang yang perlu
disampaikan yaitu.
1. Banguanan bersejarah di Indonesia harus tetap dilestarikan
karena merupakan identitas bangsa.
2. Sebaiknya para pemuda-pemudi menghargai sejarah bangsa
agar dapat dijadikan pemicu semangat untuk kedepannya

DAFTAR RUJUKAN
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1051/pulau-penyengat
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbtanjungpinang/2014/06/08/sejarahkerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lingga
http://bujangmasjid.blogspot.co.id/2010/11/masjid-sultan-riau-pulaupenyengat.html
https://www.google.co.id/search?q=arsitektur+masjid+sultan+riau&biw=1366&bi
h=665&source=lnms&sa=X&ved=0CAUQ_AUoAGoVChMI86e2lKDGyAIVAg
SOCh3ZxQp1&dpr=1#q=kehidupan+sosial+masyarakat+masjid+sultan+riau