Penanggulangan kemiskinan dan id. doc

PENANGGULANGAN
KEMISKINAN

BAB IV
PENANGGULANGAN KEMISKINAN

A.

PENDAHULUAN

Krisis moneter dan dampak bencana alam yang kini melanda Indonesia
telah menyebabkan kegiatan ekonomi nasional mengalami
kemundurun dan menyebabkan kesejahteraan masyarakat menurun.
Dampak dari krisis tersebut telah menimbulkan berbagai persoalan,
antara lain terganggunya kegiatan produksi, distribusi, ketersediaan
pangan dan tingkat tukar mata uang Indonesia yang labil. Hal ini
mengakibatkan naiknya harga kebutuhan hidup termasuk sembilan
bahan kebutuhan pokok (sembako), semakin sempitnya kesempatan
kerja yang pada akhirnya menyebabkan daya beli dan pendapatan
masyarakat menurun. Menurunnya pendapatan penduduk secara
otomatis telah menurunkan kondisi sosial dan meningkatnya jumlah

penduduk miskin.
IV/3

Jika diperhatikan perkembangan persentase maupun jumlah
penduduk miskin selama PJP I, terlihat bahwa meskipun pengurangan
persentase dan jumlah penduduk miskin terus berlanjut, namun laju
penurunannya makin mengecil. Bahkan pada akhir PJP I, atau dalam
kurun waktu 1990-1993, penurunan persentase penduduk hanya
sekitar 1,4% atau sekitar 1,3 juta orang. Jika diikuti kecenderungan ini,
maka masalah kemiskinan akan sulit diatasi dalam jangka pendek.
Penduduk miskin yang tersisa pada akhir PJP I adalah yang paling
rendah keberdayaannya atau disebut dengan core poverty. Programprogram pembangunan yang selama ini cukup efektif mengatasi
kemiskinan menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena itu, di samping
terus meningkatkan berbagai program sektoral dan regional, dalam PJP
II yang dimulai dengan Repelita VI diperlukan upaya tambahan yang
khusus tertuju dan terarah hanya bagi kelompok penduduk miskin.
Program penanggulangan kemiskinan yang paling utama dalam
Repelita VI adalah Inpres Desa Tertinggal. Hasilnya cukup
menggembirakan. Pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin telah
turun menjadi 22,5 juta orang atau sekitar 11,3%. Ini berarti bahwa

selama 3 tahun telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
sebanyak 3,4 juta sedangkan penurunan persentase penduduk
miskinnya sebesar 2,3%. Jika dibandingkan untuk kurun waktu yang
sama sebelumnya (1990-1993), namum pada tahun 1998 jumlah
penduduk miskin mengalami peningkatan (Tabel IV-1).
Program penanggulangan kemiskinan merupakan bagian dari
gerakan nasional penanggulangan kemiskinan untuk membantu yang
lemah dengan semangat kebersamaan, kepedulian, dan keberpihakan,
yang memberi kesempatan bagi yang lemah untuk mendapat akses
keadilan, berpartisipasi seluas-luasnya dalam pembangunan, dan
mendapatkan manfaat serta merasakan kesejahteraan sosial ekonomi
sebagai hasil pembangunan. Dalam

IV/4

rangka itu program ini telah diperluas dengan program Takesra/
Kukesra, yang menghimpun dana dari anggota masyarakat yang lebih
mampu. Upaya ini mencerminkan pula solidaritas sosial sebagai salah
satu perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Sasaran penanggulangan kemiskinan dalam Repelita VI adalah

berkurangnya jumlah penduduk miskin absolut menjadi sekitar 12 juta
orang, atau 6% dari seluruh penduduk Indonesia. Pada Repelita VII
masalah kemiskinan absolut, seperti tercermin dari jumlah penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan, sebagian besar sudah teratasi.
Demikian pula pada akhir Repelita VII desa-desa tertinggal telah dapat
dibebaskan dari kondisi kemiskinan.
Kebijaksanaan
penanggulangan
kemiskinan
adalah
mengarahkan pembangunan sektoral dan regional untuk mengatasi
kemiskinan. Dalam kaitan ini, berbagai kebijaksanaan pembangun- an
yang telah dilakukan dalam PJP I dilanjutkan serta ditingkatkan. Di
samping itu, diluncurkan pula program khusus penanggulangan
kemiskinan dengan mendorong semangat keswadayaan dan
kemandirian penduduk miskin untuk bersama-sama melepaskan diri
dari kemiskinan dalam kelompok-kelompok swadaya dengan semangat
kooperatif yang dikembangkan di kalangan dan oleh masyarakat itu
sendiri. Menurut sifatnya, kebijakan penanggulangan kemiskinan
tersebut dapat dibedakan dalam tiga kelompok.

Pertama, kebijaksanaan yang bersifat tidak langsung mengarah
pada sasaran terwujudnya suasana yang mendukung keberhasilan
upaya penanggulangan kemiskinan misalnya stabilitas ekonomi,
pengendalian pertumbuhan penduduk, dan pelestarian lingkungan
hidup. Selain itu kebijakan sektoral dalam bidang pertanian, industri,
dan di berbagai sektor prasarana akan
IV/5

berpengaruh pula pada upaya penanggulangan kemiskinan. Di sektor
pertanian misalnya, tercapainya swasembada pangan sekaligus dapat
meningkatkan taraf hidup petani, sementara pembangunan prasarana
memungkinkan penduduk miskin lebih mudah memasarkan hasil
produksinya sehingga pada gilirannya pendapatannya juga meningkat.
Kedua, kebijaksanaan bersifat langsung yang ditujukan kepada
kelompok penduduk miskin yang terbatas kemampuannya dan
diarahkan pada peningkatan penyediaan prasarana dan sarana yang
mendukung pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan,
kesehatan dan pendidikan. Pendekatan yang paling tepat dalam
pengembangan ekonomi rakyat dan penduduk miskin adalah melalui
pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama atau dalam wadah

koperasi. Agar upaya-upaya tersebut menghasilkan nilai tambah,
harus ada perbaikan akses penduduk miskin terhadap empat hal, yaitu :
(1) akses terhadap sumber daya; (2) akses terhadap teknologi, berupa
cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien; (3) akses terhadap pasar
sehingga setiap produk dapat dijual untuk mendapatkan nilai tambah;
dan (4) akses terhadap sumber pembiayaan.
Ketiga, kebijaksanaan khusus yang diutamakan pada
peningkatan keswadayaan dan penyiapan penduduk miskin agar dapat
melakukan kegiatan sosial ekonomi dengan penyediaan modal kerja dan
pendampingan sesuai budaya setempat. Upaya khusus pada dasarnya
adalah upaya untuk memberdayakan penduduk miskin dengan
mendorong dan memperlancar proses transisi dari kehidupan subsisten
menjadi kehidupan ekonomi yang berorientasi pasar. Satu unsur
penting kebijaksanaan khusus adalah peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap kegiatan usaha
penduduk miskin berupa jaminan kepastian

IV/6

usaha dan kemudahan akses, serta pembentukan dan pengembangan

lembaga-lembaga yang memberi layanan kepada penduduk miskin.
B.

PELAKSANAAN DAN HASIL PEMBANGUNAN TAHUN
KEEMPAT REPELITA VI

Sesuai dengan kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan,
program-program pembangunan yang mempunyai pengaruh terhadap
upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi
program sektoral dan regional serta program khusus. Disamping itu
dilakukan juga program yang mendukung keber- hasilan pelaksanaan
program-program khusus.
1.

Program Khusus

Memasuki PJP II atau Repelita VI, upaya menanggulangi
kemiskinan ditingkatkan dengan mengembangkan upaya-upaya baru
yang bersifat khusus.
a.


Program IDT

Salah satu program khusus yang dikembangkan dalam
Repelita VI adalah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang
berprinsip pada pemberdayaan penduduk miskin. Dalam melaksanakan
Program IDT juga dipakai landasan pikir bahwa penduduk miskin
bukanlah penduduk yang sama sekali tidak memiliki apa-apa tetapi
memiliki sesuatu walaupun serba sedikit. Di samping itu, Program IDT
mempunyai tiga misi yaitu sebagai pemicu dan pemacu gerakan
nasional penanggulangan kemiskinan; sebagai strategi dalam
pemerataan dan penajaman program pembangunan; dan sebagai upaya
pengembangan ekonomi rakyat.
IV/7

Program IDT diarahkan kepada penduduk di desa-desa
tertinggal yang merupakan kantung-kantung kemiskinan berdasar- kan
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan
Penanggulangan Kemiskinan. Penentuan desa tertinggal didasarkan
atas data potensi desa yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik pada

tahun 1993. Dari informasi yang dikumpulkan dilakukan uji statistik
untuk memilih variabel yang mempunyai korelasi dengan pendapatan
penduduk dan diperoleh 25 variabel untuk daerah perkotaan dan 27
variabel untuk daerah perdesaan. Variabel- variabel tersebut terdiri
dari 10 variabel potensi dan fasilitas desa, 8 variabel perumahan dan
lingkungan, serta 7 variabel keadaan dan potensi penduduk disamping
2 variabel yang hanya berlaku untuk daerah perdesaan. Pada tahun
1994, untuk pelaksanaan program IDT tahun 1995/96, metodologi
penentuan desa tertinggal ini dikaji ulang dan dihasilkan
penyempurnaan variabel menjadi 17 variabel untuk daerah perkotaan
(4 variabel potensi dan fasilitas desa, 5 variabel perumahan dan
lingkungan, serta 8 variabel keadaan dan potensi penduduk) dan 18
variabel untuk daerah perdesaan (6 variabel potensi dan fasilitas desa,
3 variabel perumahan dan lingkungan, serta 9 variabel keadaan dan
potensi penduduk).
Untuk menumbuhkembangkan ekonomi rakyat, melalui
program IDT disediakan dana hibah bergulir kepada penduduk miskin
yang disalurkan langsung kepada kelompok masyarakat atau pokmas
yang dibentuk oleh penduduk miskin di desa-desa tertinggal. Besar
hibah per desa adalah antara Rp 20 juta sampai Rp 60 juta tergantung

jumlah penduduk. Desa dengan penduduk kurang dari 50 keluarga
mendapat hibah Rp 20 juta yang diberikan pada satu tahun anggaran.
Desa dengan jumlah penduduk lebih dari 50 keluarga tetapi kurang dari
100 keluarga mendapat hibah sebesar Rp 40 juta yang diberikan dalam
2 tahun anggaran. Sedangkan desa

IV/9

yang mempunyai jumlah penduduk lebih dari 100 keluarga menerima
hibah Rp 60 juta yang diberikan dalam 3 tahun anggaran.
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan program IDT selama
dua tahun (1994/95 dan 1995/96), pemberian bantuan modal kerja
bergulir yang dibarengi oleh pemberdayaan masyarakat ternyata sangat
bermanfaat bagi penumbuhan usaha penduduk miskin yang selanjutnya
akan menumbuhkan ekonomi rakyat. Sementara itu, wilayah-wilayah
kepulauan dan pedalaman karena keterisolasian- nya, umumnya
berada di Kawasan Timur Indonesia,
belum terjangkau oleh
pembangunan. Sehubungan dengan itu, sejak tahun ketiga Repelita VI
program IDT diperluas dengan mencakup seluruh desa dari propinsi

dan kabupaten kepulauan dan pedalaman. Propinsi-propinsi tersebut
adalah Propinsi Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Timor
Timur. Sedangkan kabupatennya adalah Kabupaten Nias dari Propinsi
Sumatera Utara, Kabupaten Riau Kepulauan dari Propinsi Riau,
Kabupaten Sangihe Talaud dari Propinsi Sulawesi Utara, dan
Kabupaten Banggai dari Propinsi Sulawesi Tengah. Dengan demikian
jumlah desa IDT telah menjadi 28.376 desa.
Untuk mencakup "seluruh" penduduk miskin, penanggulangan
kemiskinan di desa-desa di luar desa tertinggal dilaksanakan melalui
program lain yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun
1996 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka
Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Berbeda dengan program
IDT, program ini memberi hibah berupa tabungan (Tabungan Keluarga
Sejahtera atau Takesra) sebesar Rp 2.000 per keluarga. Untuk
mengembangkan usaha, mereka berhak meminjam kredit (Kredit Usaha
Keluarga Sejahtera atau Kukesra) dengan bunga rendah. Pada tingkat
pertama nilai kredit adalah Rp 20.000,- per keluarga kemudian menjadi
Rp 40.000,- dan seterusnya
IV/9


dalam 40 bulan dapat mencapai Rp 320.000,- per keluarga. Sumber
dana untuk hibah Takesra maupun kredit Kukesra, berasal dari
sumbangan para pengusaha besar. Pada awalnya, para pengusaha
besar yang tergabung dalam "Kelompok Jimbaran" memberikan
sumbangan untuk penanggulangan kemiskinan sebagai bentuk
kepedulian terhadap masalah kemiskinan. Selanjutnya, sumbangan
tersebut didapatkan dari mereka yang memperoleh penghasilan di
atas Rp 100 juta setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 2% dari
penghasilan tersebut.
Di samping kedua program tersebut, Sektor Kesejahteraan
Sosial juga memantapkan program-program yang langsung diarahkan
kepada penduduk miskin dan fakir miskin. Program dan kegiatan ini
telah dilaksanakan sejak Repelita I dan diarahkan kepada penduduk
yang menyandang masalah sosial seperti fakir miskin, masyarakat
terasing, lanjut usia, dan anak terlantar. Dalam Repelita VI program
kesejahteraan sosial ini lebih diutamakan di desa-desa non-IDT di
antaranya dikenal sebagai program KUBE (Kelompok Usaha
Bersama).
Selama Repelita VI jumlah desa yang dijangkau, yaitu yang
mendapat bantuan langsung program IDT adalah 28.376 desa dengan
dana hibah bergulir sebesar Rp 1,5 triliun termasuk rencana anggaran
untuk tahun anggaran 1998/99. Jumlah desa yang mendapatkan
bantuan langsung pada tahun pertama Repelita VI (tahun 1994/95)
adalah sebanyak 20.633 desa dengan jumlah alokasi dana bantuan
modal kerja langsung sebesar Rp 412,66 miliar. Memasuki tahun
kedua Repelita VI
dilakukan penyempur- naan metode
pengklasifikasian desa dan pendataan desa. Sebagian desa yang
mendapat hibah tahun pertama tidak lagi mendapat hibah tahun kedua
karena jumlah penduduknya kurang dari 50 KK. Dengan ketentuanketentuan tersebut, jumlah desa yang mendapat

IV/10

bantuan pada tahun anggaran 1995/96 adalah 22.094 desa dengan
alokasi dana sebesar Rp 441,88 miliar. Pada pelaksanaan tahun ketiga
Repelita VI, jumlah desa yang mendapatkan bantuan ditambah
dengan desa-desa yang sulit dijangkau seperti di wilayah- wilayah
kepulauan dan pedalaman. Jumlah desa yang memperoleh bantuan
pada tahun anggaran 1996/97 adalah sebanyak 22.054 desa dengan
alokasi dana sebesar Rp 441,08 miliar. Pada tahun anggaran 1997/98
jumlah desa yang menerima bantuan tinggal sebanyak 6.573 desa
(dengan alokasi dana Rp 131,46 miliar), sedang pada tahun anggaran
1998/99 direncanakan 3.761 desa dengan alokasi dana Rp 75,82
miliar.
Jumlah desa yang telah mencairkan dana bantuan untuk tahun
pertama Repelita VI mencapai 20.627 desa (99,98%) sedang dana yang
dicairkan mencapai Rp 411,83 miliar (99,37%). Dari dana tersebut
sekitar Rp 229,22 miliar (55,55%) telah dikembalikan kepada pokmas
dan selanjutnya telah digulirkan sebesar Rp 79,66 miliar. Pada tahun
1995/96, 21.584 desa (97,69%) telah mencairkan dana sebesar Rp
431,61 miliar (97,69%) dengan pengembalian mencapai Rp 115,39
miliar (26,11%), dan yang digulirkan mencapai Rp 32,8 miliar. Jumlah
desa yang telah mencairkan dana tahun 1996/97 adalah 19.264 desa
(87,35%) atau mencapai Rp 366,35 miliar. Dana yang telah
dikembalikan mencapai Rp 29,00 miliar dengan pengguliran sebesar
Rp 23,35 miliar. Untuk tahun 1997/98 telah dicairkan Rp 85,38 miliar
(64,95%) dari dana sebesar Rp 131,46 miliar.
Untuk mendukung pemantauan, pengendalian dan pelaporan
pelaksanaan program IDT disediakan dana bantuan operasional bagi
aparat di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, pemerintah daerah tingkat
II, dan pemerintah daerah tingkat I. Biaya opera-sional pemantauan
(BOP) untuk pemerintah daerah tingkat I ditentukan
IV/11

sebesar Rp 20.000,- per desa/kelurahan, untuk pemerintah daerah
tingkat II sebesar Rp 100.000,- per desa/kelurahan, pada tingkat
kecamatan sebesar Rp 500.000,- untuk setiap desa/kelurah-an, dan
pada tingkat desa Rp 600.000,- untuk tiap desa/kelurahan. Di samping
itu mulai tahun 1995/96 desa-desa yang dikategorikan terpencil
mendapatkan tambahan dana BOP sebesar Rp 300.000 untuk setiap
desa, dan Rp 100.000,- untuk setiap kecamatan yang mempunyai desa
terpencil. Selama 3 tahun anggaran (1994/95-1996/97) telah
dialokasikan dana BOP sebesar Rp 95,49 miliar. Sejak tahun
1997/98, dana BOP dialokasikan melalui Inpres Bantuan Desa.
Jumlah pokmas yang dibentuk penduduk miskin pada tahun
pertama Repelita VI (tahun 1994/95) sebanyak 89.273 pokmas dengan
jumlah anggota sebanyak 2.475.396 orang. Secara kumulatif jumlah
tersebut pada tahun kedua Repelita VI (tahun 1995/96) meningkat
menjadi sebanyak 106.960 pokmas dengan jumlah anggota sebanyak
2.873.612 orang, dan pada tahun ketiga Repelita VI (tahun 1996/97)
meningkat menjadi 123.000 pokmas dengan jumlah anggota 3.446.573
orang. Hingga tahun keempat Repelita VI (tahun 1997/98) secara
kumulatif jumlah pokmas meningkat menjadi 136.273 pokmas
dengan jumlah anggota sebanyak 4.031.954 kepala keluarga.
Untuk memperoleh masukan obyektif mengenai pelaksanaan
program IDT telah dilakukan tiga jenis penelitian yaitu Kaji Tindak,
Kajian Bersama, dan Penelitian Kebijakan. Penelitian dilakukan tim
peneliti dari 26 perguruan tinggi di 26 propinsi dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia untuk Propinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin dapat
memanfaatkan dana IDT dan memperbesar usaha. Mereka telah
mengenyam hasil usahanya dan pendapatan serta kesejahteraannya

IV/12

meningkat. Di beberapa daerah juga dilaporkan bahwa dengan bantuan
dari program IDT penduduk miskin terlepas dari jeratan rentenir dan
dapat membiayai kembali pendidikan anak-anak mereka yang putus
sekolah.
Hasil-hasil Program IDT yang disurvei BPS (akhir 1997)
mencakup 3.303 Pokmas IDT di 1.107 desa menunjukkan dampak
ekonomi yang cukup besar dari program IDT terhadap penduduk
miskin. Dampak ekonomi ini diukur dari pemenuhan kebutuhan seharihari, pembelian barang konsumsi tahan lama (perabot rumah tangga),
dan bahkan sebagian sudah dapat memperbesar prasarana
produksinya.
Lebih dari tiga perempat (76,5%) dari seluruh pokmas
menerima bantuan IDT dalam bentuk uang, sedang sebagian lainnya
dalam bentuk barang atau campuran antara barang dan uang.
Sementara itu, 72,4% dari usaha yang dilakukan sesuai dengan
ketrampilan dan keinginan, sedang lebih dari separuh usahanya sudah
dilakukan sebelum mendapat bantuan IDT, yang berarti lebih dari
separuh usaha merupakan pengembangan usaha yang sudah ada.
Dampak ekonomi keseluruhan adalah 58,8%, sedangkan
dampak partisipasi jauh lebih tinggi yaitu 83,5%, dampak kemandirian 46,9%, dan peranan lembaga pokmas 64,4%. Dampak
partisipasi dan kelembagaan yang lebih tinggi dibanding dampak
ekonomi memberikan harapan bahwa melalui pendampingan yang tepat
dampak ekonomi program IDT akan semakin meningkat di masa-masa
mendatang. Tujuan yang amat penting dari program IDT adalah
memberdayakan penduduk miskin sehingga akhirnya penduduk miskin
benar-benar mampu mengentaskan diri dari kemiskinan melalui upayaupaya swadaya.
IV/13

Survei pokmas IDT oleh BPS ini mengkonfirmasi penelitianpenelitian sebelumnya bahwa program IDT memang telah mencapai
sebagian tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
penduduk miskin. Survei ini menunjukkan bahwa 82,5% dari anggota
pokmas menggunakan paling sedikit 75% dana yang diterima untuk
usaha. Sedangkan usaha yang sampai kini masih berjalan sebesar
70,5% untuk di Luar Jawa dan 76,6% untuk Jawa. Artinya usaha atau
kegiatan ekonomi yang dikembangkan dengan dana IDT hanya sekitar
23-29% yang gagal atau menemui kesulitan. Di samping itu
ditunjukkan juga bahwa 86,4% pokmas di Luar Jawa dan 81,4%
pokmas di Jawa sudah mempunyai ketentuan dan kesepakatan
mengenai pengembalian pinjaman oleh anggota.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
program IDT selama tiga tahun ini sangat menggembirakan. Dengan
pembinaan yang berkelanjutan maka kekurangan-kekurangan yang
masih ada dapat diperbaiki.
Dampak keberhasilan yang telah dirasakan oleh rumah tangga
anggota pokmas IDT (Tabel IV-6) adalah sebagai berikut:
(1)

Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi program IDT sudah dirasakan oleh 59% dari
warga pokmas IDT, meskipun dari jumlah ini 78% diantranya masih
bersifat dampak ekonomi terbatas, dan baru selebihnya (22%)
merupakan dampak ekonomi nyata yaitu dalam kenaikan pendapatan
yang memungkinkan penduduk miskin mampu membeli barang-barang
tahan lama, memperbesar nilai prasarana produksi, dan sebagian lain
memperbaiki rumah.

IV/14

Di lima propinsi "teratas" dampak ekonomi sudah dirasakan
oleh 80% dari anggota pokmas yaitu di propinsi-propinsi D.I.
Yogyakarta (90,0%), Bali dan DKI Jakarta (86,9%), Sulawesi Utara
(84,8%), dan Jawa Barat (83,5%). Sementara itu, Propinsi Nusa
Tenggara Timur mempunyai persentase yang cukup tinggi, yaitu
79,5%, yang merupakan propinsi keenam tertinggi dalam peringkat
dampak ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di propinsi
yang miskin sumber daya alam tidak selalu tertinggal dalam
semangat mengentaskan diri dari kemiskinan. Sedangkan dampak
ekonomi paling rendah tercatat di Propinsi Kalimantan Barat (20,0%)
antara lain disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial dan
banyaknya anggota pokmas IDT yang meninggalkan kepemilikannya
pindah ke tempat lain Secara keseluruhan hanya di 8 propinsi
dampak ekonomi ini kurang dari 50%. Sembilan belas propinsi lainnya
mempunyai rata-rata tingkat keberhasilan ekonomi 71%.
(2)

Dampak Partisipasi

Indikator yang digunakan untuk menunjukkan peran-serta
anggota pokmas dalam pengorganisasian pokmas aalah menghadiri
pertemuan anggota, peranserta dalam penentuan jenis usaha,
pengetahuan mengenai permasalahan yang dihadapi pokmas, dan lainlain. Dengan tingginya persentase (83,5%) rumah tangga yang
berperan dalam organisasi pokmas, program IDT yang bertujuan
memberdayakan penduduk miskin untuk menolong diri sendiri (secara
swadaya) cukup berhasil mencapai tujuan yang dimaksudkan.
Dampak nyata partisipasi penduduk tertinggi terlihat di Propinsi
Sulawesi Tenggara (99,5%) sedangkan yang terendah di Propinsi
Kalimantan Barat (68,4%).

IV/15

Jika diperhatikan persentase dampak partisipasi ini ternyata
hanya 6 propinsi mempunyai dampak kurang dari 80%, yaitu Timor
Timur (78,6%), Jawa Tengah (77,7%), Jawa Timur (72,8%), Sulawesi
Selatan (71,8%), dan Kalimantan Barat (68,4%). Sementara itu,
hampir separoh dari propinsi mempunyai persentase yang mendekati
atau di atas 90%.
(3)

Dampak Kemandirian

Dampak kemandirian amat erat kaitannya dengan dampak
partisipasi. Gambaran yang diberikan dengan indikator ini adalah
kemandirian usaha yang dilakukan oileh anggota pokmas, misalnya
penggunaan sebagian hasil usaha untuk memperbesar usaha,
pembayaran angsuran tidak berpengaruh buruk kepada jalannya usaha,
masalah kekurangan dana, pemasaran, dan lain-lain.
Lima propinsi dengan kemandirian tertinggi adalah Bali
(87,4%), D.I. Yogyakarta (78,6), Jawa Timur (70,3%), Nusa Tenggara
Timur (64,4%), dan Nusa Tenggara Barat (63,8%). Masyarakat Bali
dan D.I. Yogyakarta, yang relatif lebih kuat peranan adat dan
budayanya dalam kehidupan masyarakat rupanya juga lebih tinggi
semangat "guyub rukunnya", dan lebih mudah dalam mengembangkan
semangat kemandiriannya. Sementara itu, tingginya kemandirian di
gugus Nusa Tenggara mungkin disebabkan kegigihan daerah untuk
menyukseskan pelaksanaan program IDT Propinsi Nusa Tenggara
Timur merupakan
satu- satunya propinsi yang menyediakan
pendamping purna waktu yang pelatihan dan biaya hidupnya
ditanggung oleh APBD. Padahal seluruh desa di propinsi ini diliput
dalam program IDT sejak tahun anggaran 1996/97. Sementara
Propinsi Nusa Tenggara Barat juga mempunyai tradisi seperti Bali
dengan panutan "Tuan Guru"-nya.

IV/6

Sementara itu, lima propinsi dengan persentase paling kecil
adalah Irian Jaya (terkecil, 5,3%), Kalimantan Barat (18,8%),
Sumatera Utara (21,3%), Maluku (23,5%), dan Jambi (24,9%).
Rendahnya kemandirian di Sumatera Utara dan Jambi mungkin sebagai
dampak dari musibah yang terjadi di kedua daerah itu, yaitu kematian
masal dari babi IDT yang dipelihara serta banjir dan gunung meletus
di Jambi.
(4)

Dampak Keberhasilan Kelembagaan Pokmas

Lembaga-lembaga masyarakat setempat cukup berpengaruh
dalam menjamin proses pelaksanaan program IDT menjadi gerakan
masyarakat dan gerakan nasional penanggulangan/penghapusan
kemiskinan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat inilah yang
menjamin keberlanjutan program sehingga akhirnya gerakan menjadi
milik masyarakat sendiri. Hal ini mendukung temuan bahwa Propinsi
Bali, D.I. Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat mempunyai persentase
dampak tinggi, yaitu masing-masing 95,4%, 91,7%, dan 91,2% walau
yang tertinggi adalah DKI Jakarta dengan 97,0%.
Tingginya dampak untuk DKI Jakarta bukan karena aspek
budaya tetapi karena aspek sosial dan komunikasi antara anggota dan
pengurus pokmas yang dengan mudah dilaksanakan. Yang cukup
mengherankan adalah rendahnya dampak kelembagaan untuk Propinsi
Sumatera Barat (48,2%) yang merupakan nomor tiga terendah diatas
Jawa Timur (43,8%) dan Irian Jaya (32,6%).
Secara keseluruhan, jika dilihat dari persentase usaha Pokmas
yang sudah menikmati dampak ekonomi, partisipasi dan keman-dirian,
dan dari persentase lembaga pokmas yang sudah menun-jang
pencapaian tujuan program IDT dan diperhatikan propinsi yang
IV/17

berada di 5 peringkat atas, Propinsi DI Yogyakarta dan Bali merupakan
propinsi yang paling berhasil dalam program IDT. Kedua propinsi ini
menduduki posisi lima teratas untuk keempat jenis keberhasilan
tersebut. Sementara DKI Jakarta
termasuk dalam 3 dari 4
keberhasilan karena pada kemandirian berada di peringkat 13.
Keberhasilan Propinsi DIY dan Bali dalam program IDT erat
kaitannya dengan semangat "guyup rukun" atau kekompakan warganya
dalam kegiatan ekonomi pokmas. Dalam masyarakat Bali pelaksanaan
program IDT sangat berhasil melalui penyusunan aturan-aturan adat
yang disebut "awig-awig" yang pantang dilang- gar anggotanya.
b.

Program Takesra/Kukesra

Untuk menemukenali penduduk miskin yang memerlukan
bantuan melalui program Takesra/ Kukesra mulai dilakukan pendataan
Keluarga Sejahtera pada tahun 1994. Pendataan tahun 1995 mencatat
sebanyak 39.399 ribu keluarga dengan tahapan keluarga Pra-Sejahtera
(Pra-S) sebanyak 27,5%, KS I 28,3%, KS II 23,4%, KS III 16,6%,
dan KS III Plus sebanyak 4,2%. Keluarga Sejahtera I karena alasan
ekonomi ditemukan sebesar 12,8% dan yang karena alasan nonekonomi sebesar 15,5%. Sementara itu, hasil pendataan tahun 1997
menunjukkan persentase keluarga pada tahap Pra-Sejahtera sebesar
19,4%, KS I 22,6% terdiri dari 10,8% karena alasan ekonomi dan
8,5% karena alasan non-ekonomi, KS II 27,3%, KS III 22,7%, dan
KS III Plus 5,7%. Jika diperhatikan secara seksama komposisi
keluarga antara tahun 1995 dan 1997, terjadi penurunan persentase
keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, sedangkan untuk
kategori lainnya terjadi kenaikan.

IV/18

Pelaksanaan program Takesra/Kukesra dimulai dengan
gerakan sadar menabung. Untuk membuka rekening Takesra di bank,
setiap keluarga diwajibkan menabung minimal sebesar Rp 2.000,-.
Bagi keluarga Pra-S dan KS I disediakan dana untuk memenuhi
kewajiban tersebut yang pendanaannya bersumber dari sumbangan
para pengusaha besar. Untuk tujuan itu disediakan dana sebesar Rp
22,9 miliar, yang sampai dengan 31 Desember 1997 terserap sebesar
Rp 21,8 miliar (94,9%), dan mencakup 10,7 juta keluarga yang
tersebar di 27 propinsi. Jumlah tabungan ini sampai Desember 1997
sudah berkembang menjadi lebih dari Rp 76,5 miliar dengan
menghasilkan bunga sebesar Rp 760,8 juta yang sudah dibayarkan
kepada penabung. Dari
persentase
penyerapan dana Takesra
antarpropinsi, di Propinsi Maluku telah terjadi penyerapan sebesar
100,0% disusul oleh Propinsi Sulawesi Utara (99,8%). Propinsi
Nusa Tenggara Barat, di lain pihak, merupakan propinsi yang
penyerapannya paling rendah, meskipun angkanya cukup tinggi, yaitu
74,3%.
Di samping bantuan Takesra, keluarga Pra-S dan KS I juga
memperoleh pinjaman modal kerja yang mudah, cepat, dan berbunga
ringan. Pinjaman atau kredit diberikan secara bertahap mulai dari Rp
20.000,-; Rp 40.000,-; Rp 80.000,-; Rp 160.000,-; dan Rp 320.000,per kepala keluarga. Sedangkan jangka waktu pengembalian
pinjamannya disesuaikan dengan besarnya nilai pinjaman yaitu mulai 4
bulan, 6 bulan, 8 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan.
Secara nasional, dari 11,5 juta keluarga Pra-S dan KS I,
sebanyak 10,5 juta keluarga telah menerima Kukesra dengan
penyerapan dana sebesar Rp 302,5 miliar pada akhir Desember
1997. Dana yang sudah disediakan di daerah-daerah berjumlah Rp
364,7 miliar sehingga penyerapannya mencapai 82,9%. Dari 27
IV/19

propinsi, 5 propinsi melaporkan penyerapan dana lebih dari 100%
dengan penyerapan tertinggi tercatat untuk D.I. Yogyakarta yaitu
166,9%. Angka sangat tinggi ini dimungkinkan karena angsuran kredit
yang masuk selanjutnya segera dipakai untuk memberikan kredit
kepada anggota lain. Penyerapan yang cukup rendah ditunjukkan
Propinsi Maluku (46,1%) dan Irian Jaya (49,4%). Rendahnya
penyerapan di kedua propinsi ini karena seluruh desa di kedua propinsi
ini mendapat bantuan program IDT mulai tahun anggaran 1996/97
sedangkan besarnya dana Kukesra didasarkan atas pendataan
keluarga tahun sebelumnya, yaitu tahun 1995.
Di samping keberhasilan dalam program IDT, dilaporkan juga
bahwa Propinsi Bali sudah bebas dari Keluarga Sejahtera II.
Keberhasilan ini ditunjang oleh kemitraan antara kelompok UPPKS
dan BUMN serta pengusaha swasta. Selain Propinsi Bali, 36
kabupaten/kotamadya di berbagai propinsi telah bebas Keluarga PraSejahtera.
Keluarga Pra-S dan KS I membentuk kelompok UPPKS yang
pada tahun 1996/97 berjumlah sekitar 550,3 ribu kelompok. Di dalam
kelompok UPPKS tersebut keluara Pra-S dan KS I berga- bung dan
belajar bersama dengan keluarga-keluarga yang sudah lebih "mapan"
kondisi sosial ekonominya. Proses belajar ini juga dibantu dengan
berbagai jenis pelatihan, baik dari pemerintah maupun dukungan
program kemitraan dari dunia usaha swasta dan BUMN. Pelatihan
berbentuk pelatihan-pelatihan dasar dinamika kelompok, pengelolaan
usaha, dan pengenalan potensi usaha. Di samping itu, kelompok
UPPKS yang dianggap sudah siap berusaha juga diberikan pelatihan
ketrampilan teknis yang biasanya disertai dengan proses magang.

IV/20

Kelompok UPPKS yang telah menyelesaikan pelatihan dasar
dan dinilai layak melakukan usaha diberikan Sertifikat Kelayakan
Usaha (SKU) dan sejak bulan Januari 1997 kepada mereka
00diberikan kesempatan untuk mendapatkan Kredit Kelayakan Usaha
(KKU) yang dananya bersumber dari pengumpulan 5% keun-tungan
BUMN. Sampai akhir Desember 1997 tercatat 3.839 kelompok
UPPKS yang telah memperoleh SKU dan 942 kelompok UPPKS yang
telah memanfaatkan KKU dengan jumlah kredit sebesar Rp 2,8
miliar.
Ciri khas dari kelompok UPPKS adalah semua anggotanya
wanita, walaupun sering ditemui ketua kelompoknya pria karena
diperlukan kepemimpinan dan panutannya. Dengan kekhasan ini,
program Takesra/Kukesra sekaligus merupakan program yang
meningkatkan peranan wanita. Ibu-ibu yang semula hanya sebagai "Ibu
Rumah Tangga" dan penerima hasil dari usaha suami telah mampu
memberikan sumbangan pendapatan dan hasil usaha kepada keluarga,
sehingga peranan wanita dalam pembangunan meningkat.
Untuk mengembangkan kemandirian masyarakat sehingga
secara bertahap menjadi tidak tergantung kepada pemerintah telah
dikembangkan Balai Mitra Sejahtera (BMS) yang merupakan institusi
maysarakat perdesaan dan dimaksudkan sebagai sarana informasi,
konsultasi, dan rujukan bagi keluarga Pra-S dan KS I yang tergabung
dalam kelompok UPPKS. Sebagai lembaga kemasyarakatan, BMS
dimaksudkan sebagai sarana penguatan fungsi Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) yang berhubungan dengan kegiatan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. BMS menganut prinsip dikelola
dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri dengan fasilitas dari kelompok
kerja pembangunan keluarga sejahtera serta dukungan bimbingan dari
usaha swasta, BUMN,
IV/21

serta LSM. Hingga bulan September 1997, jumlah BMS yang telah
aktif berfungsi sebanyak 3.951 tersebar di 11 propinsi.
Salah satu ciri dari keluarga miskin adalah memiliki kemampuan yang terbatas untuk membiayai pendidikan anaknya.
Pemberdayaan keluarga miskin dalam jangka panjang tidak akan ada
artinya tanpa memikirkan pemberdayaan anak-anak mereka. Tanpa
pengentasan anak-anak mereka dari kebodohan, generasi baru dari
keluarga miskin akan tetap dalam kebodohan yang juga menjadi
penyebab kemiskinan. Berhubung dengan itu, telah dilakukan upaya
memadukan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dengan
Pembangunan Keluarga Sejahtera. Melalui kerjasama ini dilakukan
peningkatan kepedulian masyarakat, khususnya keluarga yang telah
mampu, agar membantu anak-anak dari keluarga Pra-Sejahtera dan
Sejahtera I yang berusia sekolah untuk dapat menyelesaikan wajib
belajar 9 tahun. Atas dasar kerjasama ini, Lembaga GN-OTA juga
menentukan sasaran pemberian beasiswa kepada anak-anak dari
keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I.
c.

Program Kesejahteraan Sosial

Program-program pembinaan kesejahteraan sosial antara lain
meliputi penyuluhan sosial, bimbingan sosial dan motivasi, konsultasi,
dan pelatihan ketrampilan sesuai dengan bantuan yang diberikan.
Pembinaannya dilakukan melalui kelompok yang pada umumnya
beranggotakan 10 kepala keluarga. Kelompok-kelompok ini yang
disebut KUBE (Kelompok Usaha Bersama) dibimbing oleh
pendamping yang dinamakan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dan
Pekerja Sosial Kecamatan (PSK). Bantuan yang diberikan dapat
berupa ternak sapi, kambing atau barang-barang yang dapat dijual di
warung-warung KUBE. Dari "modal" awal ternak, kelompok

IV/22

kemudian mengembangkan berbagai usaha lain berupa industri rumah
tangga seperti pembuatan batu bata, krupuk, gula, minyak kelapa,
tenun, sulam, dan beragam macam makanan kecil. Kelompok lain
mengembangkan usaha perikanan, pertukangan, dan lain-lain.
Kelompok sasaran Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos) adalah
kelompok orang-orang miskin plus, yaitu orang- orang miskin yang
sekaligus menyandang rawan sosial, termasuk di dalamnya fakir
miskin, anak-anak terlantar, penyandang cacat fisik, cacat moral, lanjut
usia, dan lain-lain. Prokesos mencakup 16 jenis kegiatan, 9 di
antaranya yang tergolong prioritas adalah: (1) bantuan kesejahteraan
sosial untuk orang-orang miskin; (2) pembinaan kesejahteraan sosial
untuk masyarakat terasing; (3) rehabilitasi dan pelayanan sosial bagi
penyandang cacat; (4) pelayanan sosial untuk orang-orang lanjut usia;
(5) pelayanan kesejahteraan sosial untuk anak-anak terlantar; (6)
peningkatan peran wanita dalam pembangunan kesejahteraan sosial;
(7) pembinaan kesejahteraan keluarga muda; (8) pembinaan karang
taruna; dan (9) rehabilitasi sosial daerah kumuh.
Kelompok sasaran Prokesos tersebar di daerah perdesaan dan
perkotaan. Bantuan kesejahteraan sosial untuk fakir miskin, diberikan
dalam bentuk natura/barang, sebagai modal; usaha bergulir kepada
KUBE. Hasil usaha lebih lanjut digulirkan kepada keluarga fakir
miskin lainnya yang belum memperoleh bantuan. Untuk sasaran fakir
miskin, selama Repelita VI sampai dengan tahun 1997/98, secara
kumulatif telah terbentuk 18.945 KUBE di 3.918 desa dengan anggota
189.450 kepala keluarga.
PSM dan PSK merupakan matarantai penting dalam pelayanan
kepada kelompok-kelompok sasarannya. Dengan bantuan PSM dan
PSK, kelompok membuat rencana kegiatan KUBE, sesuai kemampuan
dan kebutuhan obyektif anggota. PSM adalah pendamIV/23

ping yang diambil dari anggota masyarakat setempat, sedangkan PSK
adalah pendamping tingkat kecamatan yang ditugaskan khusus oleh
Departemen Sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pendampingan
kepada KUBE pada seluruh wilayah kecamatan. PSM adalah
anggota masyarakat biasa, sedangkan PSK adalah pegawai negeri
dalam lingkungan Departemen Sosial.
d.

Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan

Dalam PJP I berbagai upaya pembangunan dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan kelompok sasaran. Di sektor pertanian
misalnya, dilakukan upaya peningkatan pendapatan petani kecil dan
nelayan yang sebenarnya merupakan "kelompok miskin" di sektor
pertanian. Kelompok "petani dan nelayan miskin" diistilahkan dengan
"petani dan nelayan kecil". Ini terlihat di semua sektor pembangunan
sehingga tidak ada upaya pembangunan yang secara tegas memakai
istilah "miskin" walaupun sasaran pembangunan terarah pada
penduduk miskin. Keadaan ini berubah setelah GBHN 1993 secara
tegas mengamanatkan penanggulangan kemiskinan agar kesenjangan
antargolongan ekonomi tidak semakin luas. Kemauan politik tersebut
telah mendapat sambutan luas, baik dari instansi pemerintah, swasta,
maupun masyarakat dengan mening- katnya kepedulian atas upayaupaya penanggulangan kemiskinan. Maka telah ditingkatkan koordinasi
antarupaya penanggulangan kemiskinan yang di tingkat Pusat
diwujudkan dalam penyelengga- raan Sidang Kabinet Terbatas
"Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan" (MPMK) yang
dipimpin langsung oleh Presiden dan diadakan 3 bulan sekali. Hingga
saat ini telah dilakukan 3 kali sidang yaitu pada bulan April, Juli, dan
November 1997. Tiga program utama dalam pokok bahasan
pengentasan
kemiskinan, yang sering disebut dengan Program
Kesejahteraan Rakyat (Prokesra), adalah Program IDT yang
dikoordinasikan oleh

IV/24

Departemen Dalam Negeri dan Bappenas, Program Takesra/Kukesra
yang dikoordinasikan oleh BKKBN, dan Program Kesejahteraan Sosial
yang dikoordinasikan oleh Departemen Sosial.
Hasil Sidang Kabinet Terbatas MPMK, khususnya yang
kedua, telah "disosialisasikan" ke daerah oleh pejabat dari berbagai
instansi seperti Bappenas, BKKBN, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Sosial, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Upaya sosialisasi
tersebut, yang juga disebut dengan Bimbingan Terpadu, dimaksudkan
untuk menyamakan persepsi para pengelola dan pelaksana tentang
Prokesra, mengoptimalkan program-program dan kegiatan sektoral
yang merupakan bagian Prokesra secara terkoordinasi dan terintegrasi
dengan baik, dan untuk memasyarakatkan sistem koordinasi dan
pemantauan Prokesra.
Salah satu hasil dari upaya tersebut adalah terbentuknya
kelompok
kerja
MPMK
di
setiap
propinsi
bahkan
kabupaten/kotamadya, terciptanya kesepakatan di setiap propinsi untuk
mengembangkan rapat koordinasi MPMK, melakukan inventarisasi
dukungan sektoral yang dikaitkan dengan strategi pembangunan
daerah, dan pemanfaatan Rakorbang di semua tingkatan untuk
mengevaluasi hasil-hasil program penghapusan kemiskinan. Dari
bimbingan terpadu tersebut ditemukenali juga kenyataan bahwa di
setiap daerah upaya penghapusan kemiskinan telah menjadi arahan dan
tekad utama baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat.

IV/25

2.

Program-program Sektoral dan Regional

Sejak awal, pembangunan nasional ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga semua program berupaya
mencapai tujuan tersebut, yaitu untuk menjangkau kelompok sasaran
dari sektor yang bersangkutan.
Beberapa program yang mempunyai pengaruh besar pada
pengurangan kemiskinan antara lain adalah Proyek Pembinaan
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) oleh
Departemen Pertanian, dan program-program lain dari Departemen
Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PIR Trans dan
HTI-Trans), Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil
(Kredit Candak Kulak dan berbagai skim kredit), Departemen Dalam
Negeri (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), dan Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA) yang selanjutnya diubah
menjadi Usaha
Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera
(UPPKS).
Program pembangunan regional yang dilaksanakan melalui
berbagai Inpres, baik Inpres Dati I, Dati II, Desa, serta Inpres Sektoral,
mempunyai dampak besar pada upaya penanggulangan kemiskinan.
Program regional ini pelaksanaannya langsung dikelola oleh
pemerintah daerah. Dari tahun ke tahun, dana Inpres yang dialokasikan
semakin besar sesuai dengan arah kebijakan Repelita VI untuk
meningkatkan pemerataan pembangunan dan penanggulangan
kemiskinan. Berhubung dengan itu telah dilakukan penyempurnaan
mekanisme bantuan mulai dari aspek perencanaan, penyaluran,
pelaksanaan, dan pemantauannya. Pembenahan sistem kelembagaan
perencanaan pembangunan dilakukan semakin transparan, efektif, dan
efisien dengan memantapkan mekanisme

IV/26

Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangun- an
di Daerah (P5D) dan berpedoman pada Sasaran Repelita Tahunan
yang diawali dari daerah (Sarlitada).
Beberapa program sektoral juga dilaksanakan untuk menunjang upaya penanggulangan kemiskinan seperti Kartu Sehat khusus
untuk penduduk miskin oleh Departemen Kesehatan, wajib belajar oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, padat karya oleh
Departemen Tenaga Kerja, dan program-program sektoral lainnya.
Program-program ini memang tidak langsung diarahkan kepada
penduduk miskin, tetapi keberhasilannya akan mendukung tercapainya sasaran penanggulangan kemiskinan.
a.

Program P4K

Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan
Nelayan Kecil (P4K) yang dimulai tahun 1986 adalah program
bantuan dana yang diberikan kepada petani kecil yang pendapatan- nya
di bawah garis kemiskinan atau yang pendapatannya setara dengan 320
kg beras per kapita atau kurang. Besar pinjaman disesuaikan dengan
kebutuhan kelompok-kelompok Petani-Nelayan Kecil (KPK). Jangka
waktu pinjaman adalah 12, 15, dan 18 bulan termasuk tenggang waktu
pembayaran angsuran 3 atau 6 bulan. Masa tenggang tersebut hanya
diberikan apabila memang benar-benar diperlukan. Seluruh anggota
KPK bertanggung jawab atas pengembalian seluruh pinjaman yang
diterima KPK dengan sistem tanggung renteng.
Sampai dengan tahun anggaran 1996/97 telah terbentuk
sebanyak 46.694 KPK dengan jumlah anggota sebanyak 466.940 KK.
Dari jumlah tersebut, KPK pria sebanyak 16.981, KPK wanita
sebanyak 17.518, dan KPK Campuran sebanyak 12.195. Jumlah
IV/27

kredit yang diserap mencapai Rp 91,3 miliar dengan pengembalian
kredit sebesar Rp 65,7 miliar, sisa pinjaman sebesar Rp 25,6 miliar,
dan tunggakan kredit sebesar Rp 2,2 miliar (2,42%). Pengembangan
Program P4K dalam jangka panjang diarahkan kepada penyempurnaan
program/proyek peningkatan pendapatan perdesaan dengan sasaran
sekitar 800.000 keluarga miskin.
b.

Program PHBK

Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya
Masyarakat (PHBK) dirintis oleh Bank Indonesia pada tahun 1989
sebagai proyek ujicoba dan mencakup 4 propinsi yaitu Sumatera
Utara, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Bali. Tujuan PHBK adalah
tersedianya pelayanan keuangan yang layak bagi Kelompok Simpan
Pinjam/Kelompok Swadaya Masyarakat (KSP/KSM) yang mempunyai
kegiatan simpan pinjam dan beranggotakan petani kecil serta
pengusaha mikro di sektor ekonomi rakyat perdesaan. Untuk mencapai
tujuan tersebut, kegiatan PHBK diarahkan untuk memperkuat
KSP/KSM sebagai lembaga keuangan informal dan memprakarsai atau
mempromosikan hubungan bank dengan KSP/ KSM melalui kegiatankegiatan pengenalan, pelatihan, dan pembenahan KSP/KSM
bekerjasama dengan lembaga yang membentuk dan membina
KSP/KSM yakni Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat
(LPSM) baik milik pemerintah maupun LSM.
Selama tiga tahun pertama proyek ujicoba PHBK
menunjukkan
perkembangan
yang
menggembirakan
dalam
meningkatkan akses kelompok swadaya masyarakat perdesaan pada
jasa pelayanan keuangan. Mengingat keberhasilan tersebut, pada tahun
1992 proyek PHBK ditingkatkan menjadi program PHBK dan cakupan
daerahnya diperluas menjadi 9 propinsi yaitu Sumatera

IV/28

Utara, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Bali, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Sampai dengan bulan Januari 1994, PHBK telah berhasil
menghubungkan 1.348 KSM (dengan anggota 40.000 orang) dengan
65 bank. Jumlah kredit yang disetujui mencapai Rp 12,1 miliar,
tabungan beku yang dihimpun dari anggota kelompok mencapai Rp 1,9
miliar, dan tingkat pengembalian kredit mencapai 96,3%. Dapat
dikatakan bahwa masyarakat berpendapatan rendah apabila dibina
dengan tepat dapat meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan
ekonomi secara mandiri.
Dalam rangka lebih memperluas PHBK, telah dikembangkan
kerjasama dengan proyek-proyek potensial lainnya yang bertujuan
meningkatkan pendapatan masyarakat miskin seperti: (1) proyek
Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K)
yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan
IFAD dan BRI; (2) Pusat Pelayanan Kredit Koperasi Perdesaan
(PPKKP) yang dilaksanakan oleh Bank BUKOPIN bekerjasama
dengan Rabobank-Belanda; dan (3) Tempat Pelayanan Simpan Pinjam
Koperasi Unit
Desa
(TPSP-KUD)
yang dilaksanakan oleh
Departemen Koperasi dan Pengembangan Pengusaha Kecil
bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri dan BRI; dan (4)
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera yang sebelumnya
disebut Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA)
yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN). PHBK mendapat bantuan teknis dari Pemerintah
Jerman (melalui GTZ, Deutsche Gessellschaft fuer Technische
Zusammmenarbeit) sampai Desember 1996.

IV/29

Sampai dengan tahun anggaran 1996/97, jumlah KSM yang
terbentuk sebanyak 7.587 KSM dengan kredit yang disalurkan sebesar
Rp 51,7 miliar, posisi kredit sebesar Rp 22,5 miliar, tabungan sebesar
Rp 9,0 miliar, sedangkan tunggakan sebesar Rp 1,1 miliar. Program
PHBK juga telah menjangkau 17 propinsi, yang dalam jangka panjang
akan dikembangkan sehingga menjangkau seluruh propinsi di
Indonesia. Di samping itu, dalam perkembangannya program PHBK
juga diarahkan agar terkait dengan program-program kredit yang lain,
dan diharapkan dapat menjadi "payung" mekanisme pelayanan kredit
bagi ekonomi rakyat.
c.

Program UED-SP

Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) merupakan
pola pelayanan kredit di bawah pembinaan Departemen Dalam Negeri
(Ditjen PMD) bersama-sama dengan Departemen Koperasi dan PPK
dan BRI. Kegiatan UED-SP yang dimulai pada tahun kedua Repelita
VI (1995/96) meliputi pemberian pinjaman pada lembaga-lembaga dan
masyarakat desa yang membutuhkan modal usaha, dan pengembangan
simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela anggota.
Ketentuan pinjaman ditetapkan oleh para pengelola UED-SP sesuai
dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dengan
memperhatikan adanya kelayakan usaha calon peminjam, perilaku
calon peminjam, kemampuan dana UED-SP yang tersedia, dan saran
atau pendapat dari Kepala Desa/Kepala Kelurahan serta Ketua I
LKMD. Pemberian pinjaman berdasarkan urutan prioritas adalah
anggota UED-SP, kemudian masyarakat yang bukan warga desa
akan tetapi berdomisili di desa bersangkut- an, serta warga masyarakat
desa yang berdomisili di desa lain yang belum ada UED-SP dan
mendapat rekomendasi dari Kepala Desa yang bersangkutan dan
persetujuan Kepala Desa lokasi UED-SP.

IV/30

Pinjaman diberikan untuk kegiatan ekonomis produktif dengan
menekankan atas kelayakan usaha serta memperhatikan kemampuan,
keinginan, dan kesungguhan calon peminjam.
Pada tahun 1995/96 telah dilakukan kegiatan perintisan
penumbuhan 622 UED-SP yang pelaksanaannya dilakukan secara
selektif melalui pelatihan 157 orang tenaga asistensi untuk pembinaan
dan pengawasan terhadap kegiatan UED-SP, serta pelatihan 1.866
calon pengelola UED-SP. Bantuan modal telah diberikan kepada UEDSP sebesar Rp 6,5 juta untuk setiap UED-SP. Penyalurannya antara
lain diberikan kepada 332 UED-SP di desa non-IDT. Dalam jangka
panjang UED-SP diharapkan menjadi lembaga pengelola dana bantuan
desa dengan menerapkan prinsip pengelolaan keuangan yang sehat.
d.

Program Padat Karya

Dalam tahun 1997/98, telah terjadi musim kemarau
berkepanjangan yang menyebabkan menurunnya kegiatan di sektor
pertanian, khususnya tanaman pangan. Keadaan ini mengakibatkan
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sangat menurun, sehingga
meningkatkan jumlah pengangguran di perdesaan. Sementara itu,
kondisi perekonomian juga kurang menguntungkan dengan terjadinya
gejolak moneter sejak pertengahan tahun 1997. Gejolak moneter ini
telah menimbulkan masalah keuangan bagi pemerintah maupun dunia
usaha swasta, dan mengakibatkan permasalahan serius pada usahausaha jasa konstruksi, serta sektor industri terutama yang kandungan
impornya tinggi. Akibat lebih lanjut yang terjadi adalah penundaan
kegiatan sejumlah proyek pembangunan pemerintah maupun swasta,
dan pemutusan hubung an kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan.

IV/31

Untuk menanggulangi permasalahan pengangguran tersebut,
telah diambil langkah-langkah penciptaan lapangan kerja produktif
yang pada tahun 1997/98 sebagai program mendesak (crash program)
padat karya selama sekitar 80 hari dimulai pada awal Januari 1998
sampai akhir Maret 1998. Kegiatan tersebut dilaksanakan di 12
kotamadya dan 18 kabupaten yang tersebar di daerah Jabotabek dan di
beberapa daerah pengirim tenaga kerja ke Jabotabek, daerah Bandung
dan sekitarnya, serta daerah Surabaya dan sekitarnya. Secara
keseluruhan, kegiatan padat karya tersebut direncanakan menyerap
sekitar 4.320.000 orang hari (OH) atau sekitar 54.000 orang per hari
selama 80 hari dengan upah sebesar Rp 7.500 per orang per hari.
Kegiatan yang dilaksanakan berupa pemeliharaan/perbaikan
ringan sarana/prasarana umum seperti saluran drainase, alur sungai,
jalan lingkungan, irigasi, dan embung/kolam desa. Pemilihan dan
pelaksanaan kegiatan tersebut ditentukan serta dikoordinasikan oleh
daerah tingkat II.
Dalam tahun 1998/99 sebagai tahun terakhir Repelita VI
program ini akan dilanjutkan dan diperluas, sehingga dapat lebih
banyak menampung dampak krisis moneter pada lapangan kerja,
khususnya tenaga kerja harian lepas yang bekerja di sektor konstruksi
dan pekerja-pekerja di sektor pertanian di perdesaan.
e.

Program ABRI Manunggal

Pembangunan pertahanan keamanan yang meliputi segenap
komponen pertahanan keamanan negara didasarkan atas sistem
pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Oleh karena itu,
setiap potensi yang ada dalam masyarakat dibina sedemikian rupa
sehingga dapat dijadikan sebagai ruang, alat, dan kondisi juang

IV/32

(RAK Juang) bagi penyelenggaraan sishankamrata tersebut. Berbagai
upaya dalam mewujudkan RAK Juang tersebut pada dasarnya
merupakan permasalahan teritorial yang menyangkut segala ikhwal
yang berhubungan dengan usaha dan kegiatan "pembinaan wilayah"
yang diarahkan pada kesejahteraan dan berdaya guna bagi Hankam
dan "pembinaan teritorial" yang dititikberatkan pada penyusunan
potensi Hankam.
Dengan pengertian dari berbagai kegiatan tersebut, sejak
Repelita II secara sistematis telah diupayakan berbagai kegiatan secara
terencana untuk membantu peningkatan pemerataan pembangunan
daerah, utamanya daerah terpencil, daerah perbatasan, dan daerah
tertinggal lainnya.
Adapun wujud dari kegiatan tersebut dituangkan dalam
program ABRI Manunggal yaitu: ABRI Masuk Desa (AMD),
Manunggal Aksara, Manunggal KB, Operasi Baskara Jaya, dan
Operasi Bakti lainnya. Kegiatan ABRI Manunggal sampai tahun
keempat Repelita VI telah dilakukan 78 kali dari rencana 96 kali atau
81,0%, dengan kegiatan antara lain berupa:
1)
2)
3)
4)

Pe