Guru Pendidikan Kritis dan Era Konseptua
BAB I
PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. (UU No 14 Th 2005 Tentang
Guru dan Dosen Bab I pasal 1 ayat 1 dan 4).
Pengabdian mengandung makna bekerja keras dengan
sungguhsungguh, ikhlas, rela berkorban, dan yakin akan adanya
pahala dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas pekerjaan yang telah
dilakukannya. Pengabdian diwujudkan dengan semangat dan
dedikasi yang tinggi, serta tidak mengenal putus asa untuk
mencapai tujuan pengabdiannya itu.
Berprestasi adalah berproses dan berhasil lebih baik dan
lebih berkualitas, lebih dari yang biasabiasa saja. Prestasi diukur
dan dinilai oleh orang lain, masyarakat, atau lembaga, sesuai
dengan hasil pengamatan yang obyektif berdasarkan kaidah
kaidah penilaian prestasi yang telah disepakati atau ditetapkan.
Kebanggaan adalah kepuasan batin terhadap prestasi kerja
yang telah dicapai, yang telah sesuai dengan prinsipprinsip
kebenaran pribadi yang diyakini dan sesuai dengan yang dicita
citakan. Kebanggaan berbeda dengan kesombongan. Kebanggaan
dimaknai sebagai rasa bersyukur atas kerja keras yang telah
mencapai hasil, sedangkan kesombongan bermakna menganggap
diri paling hebat dan meremehkan orang lain.
Guru dalam mengabdi di dunia pendidikan haruslah
memahami dan menyadari betul akan pendidikan macam apa
yang sedang diperjuangkannya. Pendidikan yang benarbenar
bermanfaat bagi peserta didik dan lingkungan hidupnya, berguna
masa depan diri dan bangsanya.
Tinggi rendahnya prestasi kinerja guru tidak hanya diukur
dengan tinggi rendahnya ketercapaian Tujuan Pendidikan
Nasional, namun secara kualitatif juga harus diukur dengan tinggi
rendahnya ketercapaian tujuan hakikat pendidikan yang
sebenarnya yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia,
pendidikan yang meningkatkan harkat dan martabat manusia,
dan pendidikan yang memfungsikan manusia sebagai subyek
terwujudnya rahmat bagi seluruh alam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengabdian Guru dan Filsafat Pendidikan Kritis
Pemahaman dan pemilihan yang benar akan filsafat
pendidikan akan menjadi pedoman guru dalam melaksanakan
tugas pengabdiannya untuk meminimalisir kemubadziran usaha
usaha pendidikan, dan menghindari ketidakjelasan arah tujuan
pendidikan.
Paulo Freire, seorang ahli, mahaguru, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia mempunyai pandangan
mengenai filsafat pendidikan yang pantas untuk dijadikan
referensi oleh kita sebagai guru, melengkapi teoriteori filsafat
pendidikan kita yang lain. Beliau lahir di kota Recife Brazilia
tahun 1912, meraih gelar doktor pendidikan pada tahun 1959,
menjadi konsultan UNESCO di Chili tahun 1969, dan menjadi
Guru Besar Tamu di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi:
kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif
(naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical
consciousness), kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang
tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan
faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak
mampu memahami kaitan kemiskinan mereka dengan
sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia
(natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan
ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses
belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap
suatu masalah maka oleh Freire disebut sebagai pendidikan
fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan
kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur
terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat. Murid
secara dogmatik menerima “kebenaran” dari guru, tanpa ada
mekanisme untuk memahami “makna” ideologi dari setiap
konsepsi atas kehidupan masyarakat.
b. Kesadaran naif. Kesadaran ini lebih melihat “aspek
manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat.
Dalam kesadaran ini “etika”, kreatifitas, dan “need for
achievement” dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat
miskin, bagi mereka disebabkan karena “salah” masyarakat
sendiri, yakni merka malas, tidak memiliki jiwa wiraswasta,
atau tidak memiliki budaya “membangun” dan seterusnya.
Oleh karena itu, menurut kesadaran naif ini, “man power
development” adalah sesuatu yang diharapkan akan
menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini
juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan
sistem yang sudah ada, dianggap sudah baik dan benar,
merupakan faktor “given” dan oleh sebab itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas pendidikan (menurut kesadaran naif)
adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid
bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar
tersebut.
c. Kesadaran kritis, Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem
dan struktursebagai sumber masalah. Pendekatan
struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih
menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan
sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, dan akibatnya
pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam
pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi
“ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem
dan struktur itu bekerja, serta bagaiman
mentransformasikannya. Transformasi yang dimaksud
adalah suatu proses penciptaan hubungan (sistemik dan
struktural) secara fundamental baru dan lebih baik.
Agar tujuan pendidikan dapat berhasil dan pengabdian guru
tidak mubadzir, maka diperlukan sebuah kesadaran bersama
bahwa sistem pendidikan berada di dalam sistem yang lebih besar
yaitu sistem kehidupan, yang mana sistem kehidupan itu terdiri
dari kebudayaan, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Sistem pendidikan tidak dapat dikelola secara terpisah dari sistem
kehidupan, artinya kondusifitas politik, ekonomi, sosial budaya,
dan lingkungan hidup. Implementasinya dalam dunia pendidikan
adalah membelajarkan peserta didik untuk mengamati,
mempertanyakan, menganalisa, menyimpulkan, kemudian beraksi
untuk memperbaiki sistem dan struktur kehidupan. Secara
praktis dan sederhana, apabila guru di sekolah membelajarkan
karakter dan budi pekerti luhur, maka guru dan masyarakat
sekitar sekolah juga harus mendukungnya dengan cara
memberantas semua aktifitas masyarakat yang bertentangan
dengan karakter dan budi pekerti luhur. Apabila guru di sekolah
membelajarkan etos kerja dan disiplin, maka guru dan
masyarakat sekitar juga harus dapat menjadi teladan etos kerja
dan disiplin.
2. Pengabdian Guru dan Era Informasi
Sengaja dipilih kata “era informasi” karena terasa lebih
akrab di telinga kita, walaupun kita sekarang sudah berada di
kelanjutan era informasi yaitu era konseptual. Ada pepatah
mengatakan “merasa hidup di jaman batu, membuat kita merasa
sudah serba tahu”. Pengabdian guru tanpa diimbangi dengan
usaha guru yang sungguhsungguh untuk selalu meningkatkan
kemampuan dan pengetahuannya akan memunculkan masalah
baru, di mana guru malah menjadi masalah pendidikan itu
sendiri, dan guru tidak dapat menjadi subyek pembaharu
pendidikan.
Daniel H. Pink dalam buku “A Whole New Mind”
(2006) telah menggambarkan era kehidupan seperti berikut :
Kita telah bergerak maju dari sebuah masyarakat petani (era
agrikultur) kepada masyarakat pekerja pabrik (era industri), ke
suatu masyarakat pekerja pengetahuan (era informasi). Dan
sekarang kita sedang bergerak maju sekali lagi ke sebuah
masyarakat pencipta dan pemberi simpati, pengidentifikasi pola
dan pembuat makna (era konseptual). Kejadian terkini dari pola
ini adalah transisi dari era informasi menuju era konseptual yang
didorong oleh melimpahnya kekayaan kehidupan Barat, kemajuan
teknologi, dan globalisasi (tipetipe pekerjaan pengetahuan
tertentu yang berpindah ke Asia).
Pada Era Konseptual, kita perlu melengkapi penalaran yang
diarahkan otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan
penting yang diarahkan oleh otak kanan. Secara bersamasama,
enam kecerdasan high concept, high touch ini dapat membantu
mengembangkan sebuah pikiran yang benarbenar baru yang
dituntut oleh era baru ini.
1. Tidak hanya fungsi tetapi juga DISAIN. Tidaklah lagi
memadai untuk menciptakan sebuah produk, jasa,
pengalaman, atau gaya hidup yang sematamata
fungsional. Saat ini adalah saat yang secara ekonomi
penting dan berharga secara personal untuk
menciptakan sesuatu yang indah, sendikit fantastis, dan
menarik secara emosional.
2. Tidak hanya argumen namun juga CERITA. Ketika hidup
kita penuh dengan informasi dan data, mengumpulkan
argumen yang efektif tidaklah memadai. Seseorang entah
dimana pun juga pasti maksud anda. Esensi dari
persuasi, komunikasi, dan pemahaman
diri telah menjadi suatu kemampuan juga untuk
menciptakan suatu kisah yang menarik.
3. Tidak hanya fokus tetapi juga SIMPONI. Banyak dari Era
era Industri dan Informasi membutuhkan dokus dan
spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerahputih
dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada
sebuah penghargaan terhadap kecerdasan sebaliknya:
menggabungkan bagianbagian, atau apa yang saya
sebut Simponi. Apa yang menjadi permintaan terbesar
saat ini bukanlah analisa namun sintesa melihat
keseluruhan perspektif, melintasi batasanbatasan, dan
dapat mengkombinasikan bagianbagian terpisah ke
dalam satu kesatuan baru yang mengesankan.
4. Tidak hanya logika tetapi juga EMPATI. Kapasitas untuk
pemikiran yang logis adalah salah satu hal yang
membuat kita menjadi manusia. Namun dalam sebuah
dumia yang penuh dengan informasi yang menyebar dan
alatalat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa.
Apa yang akan membedakan mereka yang berkembang
dengan cepat boleh jadi kemampuan mereka untuk
memahami apa yang membuat teman lakilaki atau
perempuan bergerak, untuk mempererat hubungan, dan
peduli kepada orang lain. I
5. Tidak hanya keseriusan namun juga PERMAINAN. Bukti
yang cukup menunjukkan kepada kesehatan yang besar
dan keuntungankeutungan profesional dari ketawa,
bersikap tenang, permainan, dan humor. Tentu saja, ada
saatnya untuk serius. Namun begitu banyak keseriusan
mungkin tidak baik juga untuk karir anda dan buruk
bagi kesejahteraan anda. Dalam Era Konseptual, dalam
pekerjaan dan kehidupan, kita semua perlu bermain.
6. Tidak hanya akumulasi tetapi juga MAKNA. Kita hidup
dalam sebuah duia yang berisi kelimpahan materi yang
menarik. Itu telah membebaskan ratusan juga orang dari
perjuangan seharihari dan membebaskan kita untuk
mengejar kesenangankesenangan yang lebih bermakna:
tujuan, transendensi, dan pemenuhan spiritual.
Disain. Cerita. Simponi. Empati. Permainan. Makna. Enam
kecerdasan ini akan semakin membimbing kehidupan kita dan
membentuk dunia kita. Sebagian dari anda pasti menyambut
perubahan tersebut. Namun bagi sebagian anda, visi ini mungkin
mengerikan –pengambilalihan kehidupan biasa yang tidak ramah
oleh segerombolan orang yang tidak tulus dalam jubahjubah
hitam yang akan meninggalkan orang yang sok artistik dan
berperasaan. Jangan takut. Kemampuankemampuan high
concept, high touch yang sangat penting secara fundamental
adalah atributatribut manusia. Bagaimana pun juga, kembali
kepada padang rumput yang sangat luas, nenek moyang kita yang
menghuni gua tersebut tidak mengambil SAT atau mengisi angka
angka ke dalam lembaranlembaran. Namun mereka menceritakan
kisahkisah, sembari memperlihatkan empati, dan merancang
motifmotif. Kemampuankemampuan ini selalu mencakup bagian
dari apa yang bermakna untuk menjadi manusia. Namun setelah
beberapa generasi di Era Informasi, otototot ini mengalami
atropia. Tantangannya adalah mengerjakannya kembali kepada
bentuknya yang baik. (Itulah gagasan di balik bagian Portofolio
pada akhir dari masingmasing bab. Kumpulan alat, latihan, dan
bahanbahan bacaan akan mendorong mengembangkan sebuah
pikiran baru yang utuh). Siapa pun dapat menguasai kecerdasan
kecerdasan Era Konseptual. Namun mereka yang menguasainya
pertamatama akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Oleh karena itu, mari kita mulai.
PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi. (UU No 14 Th 2005 Tentang
Guru dan Dosen Bab I pasal 1 ayat 1 dan 4).
Pengabdian mengandung makna bekerja keras dengan
sungguhsungguh, ikhlas, rela berkorban, dan yakin akan adanya
pahala dari Tuhan Yang Maha Kuasa atas pekerjaan yang telah
dilakukannya. Pengabdian diwujudkan dengan semangat dan
dedikasi yang tinggi, serta tidak mengenal putus asa untuk
mencapai tujuan pengabdiannya itu.
Berprestasi adalah berproses dan berhasil lebih baik dan
lebih berkualitas, lebih dari yang biasabiasa saja. Prestasi diukur
dan dinilai oleh orang lain, masyarakat, atau lembaga, sesuai
dengan hasil pengamatan yang obyektif berdasarkan kaidah
kaidah penilaian prestasi yang telah disepakati atau ditetapkan.
Kebanggaan adalah kepuasan batin terhadap prestasi kerja
yang telah dicapai, yang telah sesuai dengan prinsipprinsip
kebenaran pribadi yang diyakini dan sesuai dengan yang dicita
citakan. Kebanggaan berbeda dengan kesombongan. Kebanggaan
dimaknai sebagai rasa bersyukur atas kerja keras yang telah
mencapai hasil, sedangkan kesombongan bermakna menganggap
diri paling hebat dan meremehkan orang lain.
Guru dalam mengabdi di dunia pendidikan haruslah
memahami dan menyadari betul akan pendidikan macam apa
yang sedang diperjuangkannya. Pendidikan yang benarbenar
bermanfaat bagi peserta didik dan lingkungan hidupnya, berguna
masa depan diri dan bangsanya.
Tinggi rendahnya prestasi kinerja guru tidak hanya diukur
dengan tinggi rendahnya ketercapaian Tujuan Pendidikan
Nasional, namun secara kualitatif juga harus diukur dengan tinggi
rendahnya ketercapaian tujuan hakikat pendidikan yang
sebenarnya yaitu pendidikan yang memanusiakan manusia,
pendidikan yang meningkatkan harkat dan martabat manusia,
dan pendidikan yang memfungsikan manusia sebagai subyek
terwujudnya rahmat bagi seluruh alam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengabdian Guru dan Filsafat Pendidikan Kritis
Pemahaman dan pemilihan yang benar akan filsafat
pendidikan akan menjadi pedoman guru dalam melaksanakan
tugas pengabdiannya untuk meminimalisir kemubadziran usaha
usaha pendidikan, dan menghindari ketidakjelasan arah tujuan
pendidikan.
Paulo Freire, seorang ahli, mahaguru, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan di Universitas Recife, Brazilia mempunyai pandangan
mengenai filsafat pendidikan yang pantas untuk dijadikan
referensi oleh kita sebagai guru, melengkapi teoriteori filsafat
pendidikan kita yang lain. Beliau lahir di kota Recife Brazilia
tahun 1912, meraih gelar doktor pendidikan pada tahun 1959,
menjadi konsultan UNESCO di Chili tahun 1969, dan menjadi
Guru Besar Tamu di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi:
kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif
(naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical
consciousness), kaitannya dengan sistem pendidikan dapat
secara sederhana dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang
tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan
faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak
mampu memahami kaitan kemiskinan mereka dengan
sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia
(natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan
ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses
belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap
suatu masalah maka oleh Freire disebut sebagai pendidikan
fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan
kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur
terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat. Murid
secara dogmatik menerima “kebenaran” dari guru, tanpa ada
mekanisme untuk memahami “makna” ideologi dari setiap
konsepsi atas kehidupan masyarakat.
b. Kesadaran naif. Kesadaran ini lebih melihat “aspek
manusia” sebagai akar penyebab masalah masyarakat.
Dalam kesadaran ini “etika”, kreatifitas, dan “need for
achievement” dianggap sebagai penentu perubahan sosial.
Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat
miskin, bagi mereka disebabkan karena “salah” masyarakat
sendiri, yakni merka malas, tidak memiliki jiwa wiraswasta,
atau tidak memiliki budaya “membangun” dan seterusnya.
Oleh karena itu, menurut kesadaran naif ini, “man power
development” adalah sesuatu yang diharapkan akan
menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini
juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan
sistem yang sudah ada, dianggap sudah baik dan benar,
merupakan faktor “given” dan oleh sebab itu tidak perlu
dipertanyakan. Tugas pendidikan (menurut kesadaran naif)
adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid
bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar
tersebut.
c. Kesadaran kritis, Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem
dan struktursebagai sumber masalah. Pendekatan
struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih
menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan
sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, dan akibatnya
pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam
pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi
“ketidakadilan” dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem
dan struktur itu bekerja, serta bagaiman
mentransformasikannya. Transformasi yang dimaksud
adalah suatu proses penciptaan hubungan (sistemik dan
struktural) secara fundamental baru dan lebih baik.
Agar tujuan pendidikan dapat berhasil dan pengabdian guru
tidak mubadzir, maka diperlukan sebuah kesadaran bersama
bahwa sistem pendidikan berada di dalam sistem yang lebih besar
yaitu sistem kehidupan, yang mana sistem kehidupan itu terdiri
dari kebudayaan, politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Sistem pendidikan tidak dapat dikelola secara terpisah dari sistem
kehidupan, artinya kondusifitas politik, ekonomi, sosial budaya,
dan lingkungan hidup. Implementasinya dalam dunia pendidikan
adalah membelajarkan peserta didik untuk mengamati,
mempertanyakan, menganalisa, menyimpulkan, kemudian beraksi
untuk memperbaiki sistem dan struktur kehidupan. Secara
praktis dan sederhana, apabila guru di sekolah membelajarkan
karakter dan budi pekerti luhur, maka guru dan masyarakat
sekitar sekolah juga harus mendukungnya dengan cara
memberantas semua aktifitas masyarakat yang bertentangan
dengan karakter dan budi pekerti luhur. Apabila guru di sekolah
membelajarkan etos kerja dan disiplin, maka guru dan
masyarakat sekitar juga harus dapat menjadi teladan etos kerja
dan disiplin.
2. Pengabdian Guru dan Era Informasi
Sengaja dipilih kata “era informasi” karena terasa lebih
akrab di telinga kita, walaupun kita sekarang sudah berada di
kelanjutan era informasi yaitu era konseptual. Ada pepatah
mengatakan “merasa hidup di jaman batu, membuat kita merasa
sudah serba tahu”. Pengabdian guru tanpa diimbangi dengan
usaha guru yang sungguhsungguh untuk selalu meningkatkan
kemampuan dan pengetahuannya akan memunculkan masalah
baru, di mana guru malah menjadi masalah pendidikan itu
sendiri, dan guru tidak dapat menjadi subyek pembaharu
pendidikan.
Daniel H. Pink dalam buku “A Whole New Mind”
(2006) telah menggambarkan era kehidupan seperti berikut :
Kita telah bergerak maju dari sebuah masyarakat petani (era
agrikultur) kepada masyarakat pekerja pabrik (era industri), ke
suatu masyarakat pekerja pengetahuan (era informasi). Dan
sekarang kita sedang bergerak maju sekali lagi ke sebuah
masyarakat pencipta dan pemberi simpati, pengidentifikasi pola
dan pembuat makna (era konseptual). Kejadian terkini dari pola
ini adalah transisi dari era informasi menuju era konseptual yang
didorong oleh melimpahnya kekayaan kehidupan Barat, kemajuan
teknologi, dan globalisasi (tipetipe pekerjaan pengetahuan
tertentu yang berpindah ke Asia).
Pada Era Konseptual, kita perlu melengkapi penalaran yang
diarahkan otak kiri kita dengan menguasai enam kecerdasan
penting yang diarahkan oleh otak kanan. Secara bersamasama,
enam kecerdasan high concept, high touch ini dapat membantu
mengembangkan sebuah pikiran yang benarbenar baru yang
dituntut oleh era baru ini.
1. Tidak hanya fungsi tetapi juga DISAIN. Tidaklah lagi
memadai untuk menciptakan sebuah produk, jasa,
pengalaman, atau gaya hidup yang sematamata
fungsional. Saat ini adalah saat yang secara ekonomi
penting dan berharga secara personal untuk
menciptakan sesuatu yang indah, sendikit fantastis, dan
menarik secara emosional.
2. Tidak hanya argumen namun juga CERITA. Ketika hidup
kita penuh dengan informasi dan data, mengumpulkan
argumen yang efektif tidaklah memadai. Seseorang entah
dimana pun juga pasti maksud anda. Esensi dari
persuasi, komunikasi, dan pemahaman
diri telah menjadi suatu kemampuan juga untuk
menciptakan suatu kisah yang menarik.
3. Tidak hanya fokus tetapi juga SIMPONI. Banyak dari Era
era Industri dan Informasi membutuhkan dokus dan
spesialisasi. Namun ketika pekerjaan kerahputih
dialihkan ke Asia dan direduksi ke dalam software, ada
sebuah penghargaan terhadap kecerdasan sebaliknya:
menggabungkan bagianbagian, atau apa yang saya
sebut Simponi. Apa yang menjadi permintaan terbesar
saat ini bukanlah analisa namun sintesa melihat
keseluruhan perspektif, melintasi batasanbatasan, dan
dapat mengkombinasikan bagianbagian terpisah ke
dalam satu kesatuan baru yang mengesankan.
4. Tidak hanya logika tetapi juga EMPATI. Kapasitas untuk
pemikiran yang logis adalah salah satu hal yang
membuat kita menjadi manusia. Namun dalam sebuah
dumia yang penuh dengan informasi yang menyebar dan
alatalat analitis yang maju, logika sendiri tidaklah bisa.
Apa yang akan membedakan mereka yang berkembang
dengan cepat boleh jadi kemampuan mereka untuk
memahami apa yang membuat teman lakilaki atau
perempuan bergerak, untuk mempererat hubungan, dan
peduli kepada orang lain. I
5. Tidak hanya keseriusan namun juga PERMAINAN. Bukti
yang cukup menunjukkan kepada kesehatan yang besar
dan keuntungankeutungan profesional dari ketawa,
bersikap tenang, permainan, dan humor. Tentu saja, ada
saatnya untuk serius. Namun begitu banyak keseriusan
mungkin tidak baik juga untuk karir anda dan buruk
bagi kesejahteraan anda. Dalam Era Konseptual, dalam
pekerjaan dan kehidupan, kita semua perlu bermain.
6. Tidak hanya akumulasi tetapi juga MAKNA. Kita hidup
dalam sebuah duia yang berisi kelimpahan materi yang
menarik. Itu telah membebaskan ratusan juga orang dari
perjuangan seharihari dan membebaskan kita untuk
mengejar kesenangankesenangan yang lebih bermakna:
tujuan, transendensi, dan pemenuhan spiritual.
Disain. Cerita. Simponi. Empati. Permainan. Makna. Enam
kecerdasan ini akan semakin membimbing kehidupan kita dan
membentuk dunia kita. Sebagian dari anda pasti menyambut
perubahan tersebut. Namun bagi sebagian anda, visi ini mungkin
mengerikan –pengambilalihan kehidupan biasa yang tidak ramah
oleh segerombolan orang yang tidak tulus dalam jubahjubah
hitam yang akan meninggalkan orang yang sok artistik dan
berperasaan. Jangan takut. Kemampuankemampuan high
concept, high touch yang sangat penting secara fundamental
adalah atributatribut manusia. Bagaimana pun juga, kembali
kepada padang rumput yang sangat luas, nenek moyang kita yang
menghuni gua tersebut tidak mengambil SAT atau mengisi angka
angka ke dalam lembaranlembaran. Namun mereka menceritakan
kisahkisah, sembari memperlihatkan empati, dan merancang
motifmotif. Kemampuankemampuan ini selalu mencakup bagian
dari apa yang bermakna untuk menjadi manusia. Namun setelah
beberapa generasi di Era Informasi, otototot ini mengalami
atropia. Tantangannya adalah mengerjakannya kembali kepada
bentuknya yang baik. (Itulah gagasan di balik bagian Portofolio
pada akhir dari masingmasing bab. Kumpulan alat, latihan, dan
bahanbahan bacaan akan mendorong mengembangkan sebuah
pikiran baru yang utuh). Siapa pun dapat menguasai kecerdasan
kecerdasan Era Konseptual. Namun mereka yang menguasainya
pertamatama akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Oleh karena itu, mari kita mulai.