Fashion dan Kelas Sosial dalam
Fashion dan Kelas Sosial
Oleh Riska Ayu Eka P.
071311533067
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Fashion, Selera, dan Kelas Sosial
Pakaian membedakan diri seseorang secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal
pakaian memperlihatkan pada kelas sosial mana seseorang berada, sementara secara
horizontal pakaian mengatur perilaku dan cara pandang seseorang tentang hubungan
sosialnya dengan sesama. Sebagai contoh, di Cina pada era Kekaisaran, warna yang
mencolok, corak yang beragam, dan bahan pakaian yang halus serta tebal membedakan
masyarakat kelas tinggi dengan rendah yang biasanya hanya mengenakan baju satu warna
tanpa corak dan berbahan tipis. Sementara itu, bentuk pakaian antara laki-laki dan perempuan
menunjukkan relasi sosial di antara keduanya. Pakaian perempuan yang kaku menyebabkan
mobilitas penggunanya terhambat. Ini dimaksudkan agar perempuan tidak banyak melakukan
perjalanan dan pekerjaan berat di luar rumah. Berbeda dengan pakaian laki-laki yang lebih
ringan, mudah dikenakan, dan fleksibel sehingga membuat mereka cocok untuk kegiatan luar
ruangan. Fungsi serupa juga berlaku di masyarakat belahan bumi lainnya. Hal ini
memperlihatkan bahwa pakaian tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menunjukkan
kelas sosial seseorang kepada masyarakat melainkan juga mendidik seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan ekspektasi masyarakat atas gendernya. Hal ini berlanjut hingga era
posmodern saat ini, sebagaimana yang dinyatakan Arvanitidou (2010) dalam jurnalnya:
fashion is part of the concrete, tangible, profound, complicated and symbolic process of
forming of the modern and postmodern Self, identity, body and social relations.
Higgins dan Eicher (1992) membedakan beberapa istilah yang biasa digunakan dalam
studi tentang fashion, antara lain dress, appearence, ornament, clothing, apparel, costume,
dan fashion. Kedua peneliti tersebut memilih menggunakan istilah dress dalam jurnalnya
yang berjudul Dress and Identitiy karena dianggap paling mewakili proses modifikasi dan
penambahan pada tubuh yang termasuk dalam istilah dress. Sementara itu, menurut kedua
peneliti tersebut, istilah fashion hanya memiliki sedikit kesamaan dengan istilah dress karena
istilah fashion lebih merujuk pada berbagai jenis produk kultural, baik material maupun nonmaterial seperti musik, teori ilmiah, filosofi, hiburan, dan sebagainya. Dalam tulisan ini,
penulis menggunakan istilah fashion untuk merujuk pada tren dalam berpakaian. Namun,
tidak semua pakaian dapat digolongkan sebagai fashion. Contohnya, beberapa pakaian
keagamaan di berbagai negara (misalnya baju ihram saat haji, pakaian yang dikenakan Paus
saat misa, dan sebagainya) yang tidak terpengaruh oleh perubahan fashion. Perubahan
tersebut adalah hal utama yang membedakan istilah fashion dan dress. Fashion adalah segala
sesuatu yang dianggap happening, in, atau sesuai dengan jaman. Sifat utamanya ini
ditentukan oleh taste maker . Ia adalah orang yang dengan kapitalnya dapat menentukan apa
yang layak atau tidak layak dikenakan, dikonsumsi, dimiliki, dan digandrungi saat ini.
Konsumsi (terutama yang berkaitan dengan fashion) dipengaruhi oleh selera. Dalam
tulisannya yang berjudul Critique of Judgement (1790), Immanuel Kant menyangkal bahwa
kelompok mayoritas atau kelompok sosial tertentu menentukan standar mengenai selera mana
yang dianggap baik dan tidak. Baginya, kecantikan atau keindahan bukanlah sebuah properti,
melainkan penilaian estetis yang didasarkan pada subjektifitas. Selera yang baik, tidak dapat
ditemukan dalam standarisasi atau generalisasi manapun. Ia lahir dari perasaan personal
seseorang dan melampaui hal-hal yang memiliki alasan-alasan logis. Gagasan Kant mendapat
kritikan dari Bourdieu yang berpendapat bahwa selera yang diakui dalam masyarakat adalah
selera milik kelas yang berkuasa (rulling class). Pernyataan ini secara otomatis juga menolak
ide Kant mengenai adanya kesejatian selera yang baik (genuine good taste). Simmel juga
menyatakan bahwa setelah fashion tertentu ditinggalkan oleh kelas atas, masyarakat kelas
bawah akan mengadopsinya. Karena itu, orang yang dapat secara konsisten mengikuti
perubahan trend yang ditentukan oleh selera masyarakat kelas atas dapat digolongkan sebagai
bagian dari masyarakat tersebut. Veblen menyatakan, mereka yang mampu membayar untuk
kemewahan (dalam hal apapun termasuk tren pakaian terbaru yang harganya sudah pasti tak
murah) akan “melompat” ke situasi sosial yang lebih baik dari pada orang lain karena
perolehan atas kemewahan akan selalu dianggap merefleksikan kondisi sosial yang baik.
Pada akhirnya, hal itu menciptakan kebutuhan akan barang mewah yang tidak esensial untuk
dimiliki, namun karena tuntutan dari selera kelas atas, barang-barang tersebut menjadi
komoditas yang paling dicari.
Selera kelas sosial terstruktur atas dasar penilaian tentang kemungkinan dan hambatan
tindakan sosial. Beberapa pilihan tidaklah hadir dengan kemungkinan yang sama untuk
semua orang. Ketidakleluasaan dalam melakukan tindakan sosial tertentu (misalnya memilih
gaya berpakaian tertentu), tidak hanya disebabkan oleh kepemilikan jumlah modal ekonomi
yang berbeda antaranggota masyarakat. Bourdieu mengatakan bahwa terdapat modal nonekonomi yang juga signifikan di mana distribusi atas modal tersebut dapat mempengaruhi
stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Modal tersebut adalah modal
kultural yang sebagian besar dapat diperoleh melalui pendidikan dan asal sosial (social
origin). Modal kultural terdiri atas akumulasi dari pengetahuan dan kemampuan untuk
membuat perbedaan kultural.
Dengan menilai hubungan antara pola konsumsi, distribusi modal ekonomi, dan
modal kultural, Bourdieu mengidentifikasi perbedaan selera di dalam masyarakat Perancis
tahun 1960an. “Upper-class taste is characterized by refined and subtle distinctions, and it
places intrinsic value on aesthetic experience”. Sebagai konsekuensinya, anggota masyarakat
kelas menengah selalu mempraktekan “cultural goodwill” untuk menunjukkan tingkah laku
dan gaya hidup kelas atas. Sebaliknya, selera kelas pekerja ditegaskan melalui prinsip:
“gunakan apa yang penting”. Tidak ada perhatian khusus pada estetika. Hal ini dikarenakan
ketidakpunyaan atas material tertentu. Selain itu, didorong pula oleh kebiasaan yang dibentuk
oleh pengalaman kolektif masyarakat kelas tersebut. Kesimpulan Bourdieu tersebut ternyata
berlaku hingga saat ini. Orang yang cenderung mengutamakan fungsi ketimbang estetika
dalam berpakaian akan dianggap sebagai masyarakat kelas bawah dengan selera yang buruk.
BAB II
PEMBAHASAN
Iklan 1 – Brand “Omega”
Iklan 1 mempromosikan produk
jam tangan pria dari brand bernama
Omega. Seperti yang dapat diliha, brand
tersebut mendaulat aktor yang berperan
dalam salah satu sekuel film James Bond,
Daniel Craig, sebagai brand ambassador .
Lengkap dengan tuxedo, sang model
memperlihatkan
produk
yang
hanya
mengintip sedikit dari balik jasnya.
Dengan mencantumkan judul film
yang diperankan Daniel Craig, ditambah
dengan tulisan “James Bond’s Choice” di
sebelah kanan bawah, iklan ini secara
jelas mengkomunikasikan bahwa produk
yang dijual hanya “pantas” dimiliki oleh
kelas sosial yang mana. Masyarakat
umum pastinya mengetahui seperti apa sosok James Bond yang digambarkan dalam semua
sekuel 007: kaya, mandiri, dengan kehidupan yang flamboyan. Gerak sosialnya tidak pernah
terhambat oleh ketidakpunyaan modal ekonomi. Dan karenanya pula, ia mendapatkan
keuntungan/privilege dalam hal kemudahan akses memasuki kelompok sosial manapun, pergi
ke tempat manapun, dan berinteraksi dengan siapapun meski itu adalah pemimpin negara,
tokoh masyarakat, atau pemimpin organisasi yang biasanya sulit ditemui. Penampilannya ini
juga menjadi media untuk menebar pesona sensual yang hampir selalu berhasil menaklukan
hati wanita cantik nan seksi untuk berbaring bersama walau hanya semalam. James Bond
adalah simbol kesempurnaan laki-laki dari segi modal ekonomi, sosial, dan kultural.
Karenanya, ia adalah sosok yang diimpikan oleh hampir semua laki-laki dan segala cara
dilakukan oleh mereka agar dapat menjadi sepertinya. Iklan ini memberikan solusi untuk
mengangkat status sosial para lelaki agar minimal terlihat seperti James Bond meski hanya
separuh tangan: kenakan jam tangan Omega.
Pakaian yang dikenakan oleh Daniel Craig dalam iklan tersebut juga menciptakan
distinction antara kelas sosial tinggi tempatnya berada dengan kelas sosial di bawahnya.
Seperti yang dianut oleh kultur Barat, tuxedo hanya dikenakan di acara-acara resmi yang
formal hingga semi-formal seperti acara kenegaraan, pesta dansa, penampilan “seni kelas
atas” (seperti opera, musik klasik, balet), dan acara-acara yang tidak mengharuskan
hadirinnya untuk melakukan mobilitas tinggi. Acara-acara semacam ini tentunya hanya bisa
dimasuki oleh orang yang berasal dari kelas sosial atau golongan tertentu. Selain jenis acara,
setting tempat dan waktu untuk mengenakan pakaian tuxedo juga khusus. Kita tidak pernah
melihat adegan di mana James Bond mengenakan pakaian tersebut untuk berjalan-jalan di
supermarket, kolam renang, pantai, atau tempat umum lainnya yang dapat diakses siapa saja.
Ia biasanya mengenakan setelan ini saat berada di dalam ruangan mewah lengkap dengan
gelas-gelas champagne, lampu kristal, dan bersama kalangan terbatas.
Pemilihan warna yang ditampilkan dalam iklan tersebut juga sangat minim karena
hanya terdiri dari hitam dan putih. Pemilihan warna monokrom ini, dipadukan dengan
identitas kelas yang ditunjukkan melalui sosok Daniel Craig a.k.a James Bond, membuat
warna hitam dan putih menjadi selera kalangan atas. Pria yang dipandang memiliki selera
yang baik dalam berbusana adalah ia yang tidak menampilkan banyak warna, cukup hitam
dan putih saja. Iklan ini juga menampilkan tampilan produk jam tangan seperti apa yang
menggambarkan selera kelas atas: berbahan stainless steel dan hanya memiliki satu pilihan
warna. Maka jika seorang laki-laki mengenakan jam tangan dengan warna selain silver, ia
bukan dan tidak akan diterima sebagai bagian dari masyarakat kelas atas. Tidak banyaknya
tulisan mengenai deskripsi atau iming-iming promosi juga menciptakan distinction antara
iklan produk ini yang ditujukan oleh masyarakat kelas atas dan iklan lainnya yang ditujukan
untuk masyarakat kelas atas. Sasaran produk ini diandaikan memiliki pengetahuan dan
kecerdasan yang tinggi sehingga mampu menginterpretasi iklan yang didominasi oleh gambar
semata. Keputusan untuk membeli tidak dipengaruhi oleh iming-iming harga murah,
promosi, penjelasan mengenai keunggulan produk, dan lainnya melainkan hanya satu hal:
estetika.
Mimpi yang dijual dalam iklan ini pada akhirnya menimbulkan kebutuhan masyarakat
untuk membeli item yang secara fungsi tidak terlalu mereka butuhkan (apalagi dengan harga
ratusan dolar seperti jam tangan Omega) untuk menaikkan prestise dan status sosialnya.
Karena seperti yang dikatakan Veblen, mereka yang mampu membayar untuk kemewahan
akan “melompat” ke situasi sosial yang lebih baik dari pada orang lain karena perolehan atas
kemewahan akan selalu dianggap merefleksikan kondisi sosial yang baik.
Iklan 2 – Brand “American Apparel”
American Apparel merupakan
pabrik,
desainer,
distributor,
marketer, sekaligus retailer yang
berpusat di Los Angeles, California.
Brand yang berdiri sejak tahun
1989 dan pernah menjadi salah satu
produsen
Amerika
pakaian
ini,
resmi
terbesar
di
dinyatakan
bangkrut pada Februari 2016 lalu.
Meski begitu, advertising campaign
yang dilakukan oleh brand ini tetap
menarik untuk diteliti karena ciri
khasnya yang sangat menonjol.
Brand yang menjual berbagai
jenis pakaian ini, selalu merekrut
model
lepas
non-profesional.
Mereka adalah orang-orang yang
biasanya ditemui di jalan atau
tempat umum lainnya dan dianggap menarik oleh sang CEO. Meski banyak dikritik karena
sebagian besar iklannya mengandung unsur seksisme, pornografi, dan provokatif, American
Apparel
banyak
pula
menuai
pujian
atas
keberhasilannya
menampilkan
sisi
ketidaksempurnaan pada setiap orang, jujur, ekspresif, dan minim sentuhan editing.
Penulis menyimpulkan bahwa sasaran dari produk American Apparel adalah kalangan
masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut didasarkan atas beberapa poin analisis berikut
ini. Iklan di atas mempromosikan produk celana ketat yang menjadi produk andalan brand
ini. Warna celana yang digunakan oleh sang model adalah coklat yang cukup mencolok.
Sementara background foto terlihat bersih tanpa banyak menampilkan barang-barang dan
kondisi kamar secara keseluruhan. Background yang bersih tersebut dapat diasosiasikan
dengan minimnya kepemilikan akan barang-barang. Namun, sang model terlihat bangga dan
percaya diri. Ia menjadi dirinya sendiri dan merasa bebas dari opini orang lain mengenai apa
yang pantas dan tidak pantas ditampilkan. Hal ini juga mengindikasikan sikap masyarakat
kelas bawah yang jujur, apa adanya, dan memiliki harga diri yang tinggi meski tidak
memiliki benda-benda yang diasosiasikan dengan kemewahan. Harga dirinya adalah satusatunya kemewahan yang ia miliki.
Di sisi lain, ekspresi kebebasan yang ditampilkan dalam iklan tersebut merupakan sikap
yang membedakan masyarakat kelas bawah dengan kelas atas. Sebagaimana dijelaskan oleh
Bourdieu, estetika selalu ditampilkan secara tersirat dalam masyarakat kelas atas Perancis
melalui “cultural goodwill” yang terwujud dalam bentuk tingkah laku yang cenderung teratur,
menyembunyikan ekspresi sesungguhnya, dan taat pada aturan kepantasan (mana yang boleh
dan tidak boleh diperlihatkan). Ini bertentangan dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan
dalam iklan tersebut di mana sang model terlihat melepaskan diri dari segala aturan dan
norma bahkan kultur yang berlaku. Hal ini terlihat dari tanda bekas bra yang melekat pada
bagian dadanya. Ini berarti ia selalu mengenakan bra dalam beraktifitas sehari-hari, namun
dalam iklan tersebut sang model melepaskan bra yang biasa digunakannya. Terlepas dari
alasan pribadinya, penggunaan bra dapat diartikan sebagai sikap patuh kepada kultur yang
mengharuskan perempuan untuk menutupi (terutama) putingnya. Sikap melepaskan diri ini
barangkali menjadi kritik atas kekakuan manner yang selalu diterapkan oleh masyarakat kelas
atas. Ketika sikap semacam ini berungkali diartikulasikan oleh American Apparel dalam
bentuk iklan visual, ia telah berkontribusi dalam produksi kebudayaan masyarakat Amerika
secara khusus dan dunia secara umum.
Iklan 3 – Brand “Dior”
Iklan selanjutnya berasal dari brand Dior. Iklan ini menampilkan Marion Cotillard,
seorang aktris Hollywood, sebagai modelnya. Dalam Vanity Fair May 2013 issue ini, Dior
meluncurkan berbagai koleksi tas terbarunya yang berwarna terang untuk merepresentasikan
tema Old Hollywood (vintage style).
Dalam iklan ini, Cotillard terlihat tengah berbaring di sebuah papan (yang mungkin
adalah meja) dengan posisi setengah berbaring sambil membelakangi jendela yang
memperlihatkan pemandangan gedung Saint Basil's Cathedral. Salah satu katedral tertua dan
paling terkenal di Moskow, Rusia ini kini telah berubah fungsi menjadi museum. Dilihat dari
pemandangan yang nampak di luar jendela, ruangan tempat sang model berada pastilah
berada di lantai atas. Dengan tinggi 47,5 meter, atap gedung Saint Basil's Cathedral tidak
mungkin dapat terlihat dari tempat yang rendah di seberangnya. Dengan posisinya di lantai
yang cukup tinggi dengan pemandangan langsung berupa keindahan katedral Saint Basil's,
ruangan tempat wanita itu berada pastilah disewakan dengan harga yang tidak murah. Hal
lain yang juga memperlihatkan kemewahan ruangan itu adalah adanya ornamen di dinding
samping jendela. Ornamen klasik tersebut tidak akan kita temukan di kamar sewaan atau
hotel kelas melati. Keberadaan ornamen tersebut menjadi salah satu ciri selera masyarakat
kelas atas yaitu mengutamakan estetika dibandingkan fungsi. Selain itu, furniture berupa
meja berpelitur halus ditambah dengan ukiran di sisinya serta gorden berwarna krem yang
menggantung di samping jendela, menyokong asumsi penulis bahwa ruangan tersebut
pastilah berharga mahal karena perabotan yang terpajang bukanlah barang yang biasa hadir
atau dimiliki oleh masyarakat kelas bawah.
Selain itu, iklan ini juga memperlihatkan perempuan yang banyak memiliki waktu
luang dalam kehidupannya sehari-hari. Ia hanya terlihat berbaring di atas meja pada waktu
siang hari dan bukan bekerja atau melakukan aktifitas produktif lainnya seperti halnya para
perempuan kelas pekerja. Ini juga mengkonstruksi identitas wanita kelas atas yang tidak perlu
bersusah payah bekerja untuk mendapatkan hal-hal yang ia inginkan. Wanita kelas atas
adalah mereka yang selalu merawat penampilan tubuh agar senantiasa terlihat segar dan
langsing serta pandai merias wajah. Hanya bermodalkan kedua hal tersebut, perempuan kelas
atas dapat memiliki kemewahan dan menikmati me-time yang panjang dalam hidupnya. Maka
untuk dapat diakui sebagai wanita kelas atas, seorang wanita memenuhi syarat berupa:
memiliki postur tubuh yang langsing dan segar, pandai merias wajah, mampu memadupadankan model dan warna pakaian, memiliki waktu luang yang banyak, serta tidak bekerja.
Telah memiliki modal kultural tersebut, akan dianggap sebagai wanita kelas atas sementara
mereka yang ingin naik kelas harus berusaha untuk memiliki modal tersebut.
Permainan editing dalam foto tersebut juga berperan banyak dalam menampilkan
identitas masyarakat kelas atas. Contrast yang rendah membuat foto terlihat smooth dan
menurunkan efek mencolok dari warna pakaian serta produk tas tangan yang dipromosikan.
Hal ini berkaitan dengan selera masyarakat kelas atas yang menghindari paduan warna-warna
mencolok yang telah dilabel “norak” oleh mereka.
Iklan 4 – Brand “Fruits”
Harajuku merupakan salah satu distrik
di kota Shibua, Jepang. Di dunia fashion,
Harajuku Style dikenal dengan ciri khasnya
yang kreatif dan bebas dalam memadukan
berbagai warna serta berbagai jenis fashion
item seperti kacamata, topi, aksesoris, hingga
payung. Ia menciptakan standar estetikanya
sendiri yang cenderung bertolak belakang
dengan standar estetika fashion di Barat.
Dari iklan salah satu brand asal
Jepang ini, kita dapat melihat kultur seperti
apa yang ingin diproduksi. Dari potongan
pakaiannya, brand ini
menjual
pakaian
dengan potongan yang lebar sehingga tidak
memperlihatkan
bentuk
tubuh
yang
sesungguhnya. Hal ini berkebalikan dengan fashion tren di Barat saat ini yang justru
menggandrungi pakaian ketat sehingga menonjolkan setiap lekuk tubuh. Gaya tersebut dibuat
agar si pemakai mendapatkan perhatian dari orang lain karena bentuk tubuhnya yang bagus.
Sehingga menimbulkan kebutuhan dari para konsumen untuk memiliki bentuk tubuh ramping
sebagaimana kebanyakan brand ambassador merek-merek terkemuka di Barat agar pakaian
yang mereka beli nampak menempel secara sempurna. Tubuh yang ramping adalah modal
kultural yang paling penting bagi wanita kelas atas di masyarakat Barat dan kini menyebar
pula ke seluruh penjuru dunia, sehingga mereka yang memiliki tubuh “idea” tersebut akan
selalu berusaha menonjolkannya dengan menggunakan pakaian ketat. Namun pada iklan
tersebut, gaya berpakaian dan ideologi yang ditampilkan sangat berbeda. Pakaian yang
dikenakan para model sangat besar sehingga tidak ada yang tau persis bentuk tubuh mereka
seperti apa. Hal ini menyiratkan bahwa pakaian yang dikenakan dan gaya yang dipilih
merupakan upaya untuk memuaskan diri sendiri, bukan orang lain yang melihat. Mereka
mengenakan apa yang ingin mereka kenakan.
Tulisan “Harajuku Street Fashion” yang terletak di kiri bawah pun menegaskan
bahwa gaya yang dijual oleh brand Fruits merupakan gaya yang antimainstream karena
segala sesuatu yang ditambahkan istilah “street” selalu berkaitan dengan perlawanan atas
struktur dan standar yang telah mapan. Iklan ini ingin memproduksi kultur baru dalam
fashion remaja yaitu gaya yang bebas, apa adanya, subjektif, dan terlepas dari tuntutan untuk
terlihat sesuai dengan ekspektasi publik. Selain itu, latar belakang berupa jalan dan toko-toko
kecil juga menegaskan bahwa produk yang dijual dapat terjangkau serta dimiliki oleh siapa
saja. Fashion adalah milik semua orang, begitu juga dengan standar estetikanya. Karenanya,
siapapun dapat terlihat baik karena penilaian berada pada diri mereka sendiri dan bukan
orang lain. Ini menepiskan gagasan bahwa masyarakat kelas ataslah yang menentukan “good
taste.”
Iklan 5 – Brand “Candie’s”
Candie’s merupakan brand terkemuka yang
menjual berbagai fashion item mulai dari pakaian,
sepatu, perhiasan, hingga parfum. Brand yang berdiri
sejak tahun 1981 ini berpusat di New York, Amerika
Serikat.
Salah satu iklan Candie’s ini terlihat mencolok
karena menggambarkan identitas kelas yang berbeda.
Di dalam gambar, kita dapat melihat seorang
perempuan yang tengah menyikat water closet (WC)
sambil melirik ke belakang dan menatap kamera.
Kegiatan tersebut adalah hal yang biasa dilakukan oleh
wanita sebagai pengurus rumah tangga. Yang istimewa
adalah penampilan yang ditonjolkan oleh wanita tersebut. Ia mengenakan dress berwarna
pink muda lengkap dengan high heels dan sanggul yang tertata rapi. Outfit seperti ini tentu
tidak akan dikenakan oleh ibu rumah tangga kelas bawah karena tidak ada gunanya sekaligus
berbahaya mengenakan high heels di dalam kamar mandi yang basah dan akan sangat
disayangkan jika dress bagus terkotori oleh sabun pembersih keramik. Tidak bermanfaat juga
menata rambut sedemikian rupa (yang pastinya juga memakan waktu lama) hanya untuk
bergumul dengan peralatan pembersih kamar mandi. Meski benda-benda yang berada di
kamar mandi tersebut terlihat umum dan mungkin dimiliki semua orang, penampilan rapi dan
harmonis yang ditunjukkan oleh sang model menunjukkan ia merupakan anggota masyarakat
kelas atas.
]Bagi wanita kelas atas, kegiatan yang mereka lakukan boleh saja sama dengan wanita
kelas bawah, tapi penampilan harus berbeda. Tidak peduli di mana pun mereka berada,
mereka akan selalu siap untuk “dilihat” sehingga dibutuhkan pula usaha lebih untuk selalu
terlihat baik agar label sebagai wanita kelas atas yang memiliki “good taste” tetap tersemat di
bahunya. Menyikat WC tetap harus dilakukan dengan stylish agar sesuai dengan ekspektasi
kelas. Pilihan warna pastel pada dress dan high heels yang digunakan oleh model tersebut
juga menjadi ciri khas dari selera masyarakat kelas atas.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam pandangan Bourdieu mengenai selera, ia percaya bahwa selera yang dianggap
baik dalam masyarakat adalah selera masyarakat kelas atas. Sejak dulu hingga kini,
masyarakat kelas atas selalu menciptakan desain pakaian yang tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat kelas bawah untuk menciptakan perbedaan antara masyarakat kedua kelas
tersebut. Desain yang dimaksud dapat berupa warna, corak, potongan, maupun bahan pakaian
yang khusus serta umumnya langka sehingga menciptakan prestige di kalangan
pemakaiannya. Penilaian mengenai mana selera berpakaian yang baik dan tidak kemudian
dilakukan oleh mereka. Penilaian tersebut didasarkan pada standar estetika yang juga mereka
ciptakan sendiri. Pada akhirnya, penampilan menjadi penanda kelas yang paling menonjol
dan penting dalam masyarakat sehingga setiap usaha untuk melakukan social climbing akan
dimulai melalui perbaikan penampilan. Sementara itu, masyarakat kelas bawah sebagai kelas
pekerja cenderung mementingkan fungsi ketimbang estetika dalam berpakaian.
Iklan cetak sebagai salah satu media yang dapat menyebarkan ideologi-ideologi kelas,
memainkan peran yang signifikan dalam produksi dan reproduksi budaya pada masyarakat
modern saat ini. Sosok yang ditampilkan dalam iklan, menghadirkan visualisasi kehidupan
masyarakat kelas atas yang bertabur kemewahan yang sekaligus juga menjadi mimpi dan
hasrat terdalam masyarakat kelas bawah. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk
mengadopsi ideologi yang terkandung dalam iklan dan mewujudkan mimpi tersebut. Proses
ini terus terjadi dan pada akhirnya mengkonstruk segala tindakan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menaikkan kelas sosialnya.
3.2
Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terdapat ketidaksempurnaan penjelasan
mengenai theoritical framework dalam tulisan. Hal ini dapat disempurnakan dengan
mengulas pandangan Bourdieu mengenai cultural production yang dilakukan oleh iklan cetak
secara lebih mendalam dan menambahkan berbagai sudut pandang dari ilmuwan lain
mengenai isu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arvanitidou, Zoi. 2010. Fashion, Gender, and Social Identity. Online article. Diakses pada 3
Juli 2016 melalui http://process.arts.ac.uk/sites/default/files/zoi-arvanitidou.pdf
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Ebook.
https://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu#Bourdieu.27s_theory_about_media_and_cultu
ral_production
http://www.travelchannel.com/destinations/japan/articles/harajuku-culture-and-trends
Oleh Riska Ayu Eka P.
071311533067
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Fashion, Selera, dan Kelas Sosial
Pakaian membedakan diri seseorang secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal
pakaian memperlihatkan pada kelas sosial mana seseorang berada, sementara secara
horizontal pakaian mengatur perilaku dan cara pandang seseorang tentang hubungan
sosialnya dengan sesama. Sebagai contoh, di Cina pada era Kekaisaran, warna yang
mencolok, corak yang beragam, dan bahan pakaian yang halus serta tebal membedakan
masyarakat kelas tinggi dengan rendah yang biasanya hanya mengenakan baju satu warna
tanpa corak dan berbahan tipis. Sementara itu, bentuk pakaian antara laki-laki dan perempuan
menunjukkan relasi sosial di antara keduanya. Pakaian perempuan yang kaku menyebabkan
mobilitas penggunanya terhambat. Ini dimaksudkan agar perempuan tidak banyak melakukan
perjalanan dan pekerjaan berat di luar rumah. Berbeda dengan pakaian laki-laki yang lebih
ringan, mudah dikenakan, dan fleksibel sehingga membuat mereka cocok untuk kegiatan luar
ruangan. Fungsi serupa juga berlaku di masyarakat belahan bumi lainnya. Hal ini
memperlihatkan bahwa pakaian tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menunjukkan
kelas sosial seseorang kepada masyarakat melainkan juga mendidik seseorang untuk
berperilaku sesuai dengan ekspektasi masyarakat atas gendernya. Hal ini berlanjut hingga era
posmodern saat ini, sebagaimana yang dinyatakan Arvanitidou (2010) dalam jurnalnya:
fashion is part of the concrete, tangible, profound, complicated and symbolic process of
forming of the modern and postmodern Self, identity, body and social relations.
Higgins dan Eicher (1992) membedakan beberapa istilah yang biasa digunakan dalam
studi tentang fashion, antara lain dress, appearence, ornament, clothing, apparel, costume,
dan fashion. Kedua peneliti tersebut memilih menggunakan istilah dress dalam jurnalnya
yang berjudul Dress and Identitiy karena dianggap paling mewakili proses modifikasi dan
penambahan pada tubuh yang termasuk dalam istilah dress. Sementara itu, menurut kedua
peneliti tersebut, istilah fashion hanya memiliki sedikit kesamaan dengan istilah dress karena
istilah fashion lebih merujuk pada berbagai jenis produk kultural, baik material maupun nonmaterial seperti musik, teori ilmiah, filosofi, hiburan, dan sebagainya. Dalam tulisan ini,
penulis menggunakan istilah fashion untuk merujuk pada tren dalam berpakaian. Namun,
tidak semua pakaian dapat digolongkan sebagai fashion. Contohnya, beberapa pakaian
keagamaan di berbagai negara (misalnya baju ihram saat haji, pakaian yang dikenakan Paus
saat misa, dan sebagainya) yang tidak terpengaruh oleh perubahan fashion. Perubahan
tersebut adalah hal utama yang membedakan istilah fashion dan dress. Fashion adalah segala
sesuatu yang dianggap happening, in, atau sesuai dengan jaman. Sifat utamanya ini
ditentukan oleh taste maker . Ia adalah orang yang dengan kapitalnya dapat menentukan apa
yang layak atau tidak layak dikenakan, dikonsumsi, dimiliki, dan digandrungi saat ini.
Konsumsi (terutama yang berkaitan dengan fashion) dipengaruhi oleh selera. Dalam
tulisannya yang berjudul Critique of Judgement (1790), Immanuel Kant menyangkal bahwa
kelompok mayoritas atau kelompok sosial tertentu menentukan standar mengenai selera mana
yang dianggap baik dan tidak. Baginya, kecantikan atau keindahan bukanlah sebuah properti,
melainkan penilaian estetis yang didasarkan pada subjektifitas. Selera yang baik, tidak dapat
ditemukan dalam standarisasi atau generalisasi manapun. Ia lahir dari perasaan personal
seseorang dan melampaui hal-hal yang memiliki alasan-alasan logis. Gagasan Kant mendapat
kritikan dari Bourdieu yang berpendapat bahwa selera yang diakui dalam masyarakat adalah
selera milik kelas yang berkuasa (rulling class). Pernyataan ini secara otomatis juga menolak
ide Kant mengenai adanya kesejatian selera yang baik (genuine good taste). Simmel juga
menyatakan bahwa setelah fashion tertentu ditinggalkan oleh kelas atas, masyarakat kelas
bawah akan mengadopsinya. Karena itu, orang yang dapat secara konsisten mengikuti
perubahan trend yang ditentukan oleh selera masyarakat kelas atas dapat digolongkan sebagai
bagian dari masyarakat tersebut. Veblen menyatakan, mereka yang mampu membayar untuk
kemewahan (dalam hal apapun termasuk tren pakaian terbaru yang harganya sudah pasti tak
murah) akan “melompat” ke situasi sosial yang lebih baik dari pada orang lain karena
perolehan atas kemewahan akan selalu dianggap merefleksikan kondisi sosial yang baik.
Pada akhirnya, hal itu menciptakan kebutuhan akan barang mewah yang tidak esensial untuk
dimiliki, namun karena tuntutan dari selera kelas atas, barang-barang tersebut menjadi
komoditas yang paling dicari.
Selera kelas sosial terstruktur atas dasar penilaian tentang kemungkinan dan hambatan
tindakan sosial. Beberapa pilihan tidaklah hadir dengan kemungkinan yang sama untuk
semua orang. Ketidakleluasaan dalam melakukan tindakan sosial tertentu (misalnya memilih
gaya berpakaian tertentu), tidak hanya disebabkan oleh kepemilikan jumlah modal ekonomi
yang berbeda antaranggota masyarakat. Bourdieu mengatakan bahwa terdapat modal nonekonomi yang juga signifikan di mana distribusi atas modal tersebut dapat mempengaruhi
stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Modal tersebut adalah modal
kultural yang sebagian besar dapat diperoleh melalui pendidikan dan asal sosial (social
origin). Modal kultural terdiri atas akumulasi dari pengetahuan dan kemampuan untuk
membuat perbedaan kultural.
Dengan menilai hubungan antara pola konsumsi, distribusi modal ekonomi, dan
modal kultural, Bourdieu mengidentifikasi perbedaan selera di dalam masyarakat Perancis
tahun 1960an. “Upper-class taste is characterized by refined and subtle distinctions, and it
places intrinsic value on aesthetic experience”. Sebagai konsekuensinya, anggota masyarakat
kelas menengah selalu mempraktekan “cultural goodwill” untuk menunjukkan tingkah laku
dan gaya hidup kelas atas. Sebaliknya, selera kelas pekerja ditegaskan melalui prinsip:
“gunakan apa yang penting”. Tidak ada perhatian khusus pada estetika. Hal ini dikarenakan
ketidakpunyaan atas material tertentu. Selain itu, didorong pula oleh kebiasaan yang dibentuk
oleh pengalaman kolektif masyarakat kelas tersebut. Kesimpulan Bourdieu tersebut ternyata
berlaku hingga saat ini. Orang yang cenderung mengutamakan fungsi ketimbang estetika
dalam berpakaian akan dianggap sebagai masyarakat kelas bawah dengan selera yang buruk.
BAB II
PEMBAHASAN
Iklan 1 – Brand “Omega”
Iklan 1 mempromosikan produk
jam tangan pria dari brand bernama
Omega. Seperti yang dapat diliha, brand
tersebut mendaulat aktor yang berperan
dalam salah satu sekuel film James Bond,
Daniel Craig, sebagai brand ambassador .
Lengkap dengan tuxedo, sang model
memperlihatkan
produk
yang
hanya
mengintip sedikit dari balik jasnya.
Dengan mencantumkan judul film
yang diperankan Daniel Craig, ditambah
dengan tulisan “James Bond’s Choice” di
sebelah kanan bawah, iklan ini secara
jelas mengkomunikasikan bahwa produk
yang dijual hanya “pantas” dimiliki oleh
kelas sosial yang mana. Masyarakat
umum pastinya mengetahui seperti apa sosok James Bond yang digambarkan dalam semua
sekuel 007: kaya, mandiri, dengan kehidupan yang flamboyan. Gerak sosialnya tidak pernah
terhambat oleh ketidakpunyaan modal ekonomi. Dan karenanya pula, ia mendapatkan
keuntungan/privilege dalam hal kemudahan akses memasuki kelompok sosial manapun, pergi
ke tempat manapun, dan berinteraksi dengan siapapun meski itu adalah pemimpin negara,
tokoh masyarakat, atau pemimpin organisasi yang biasanya sulit ditemui. Penampilannya ini
juga menjadi media untuk menebar pesona sensual yang hampir selalu berhasil menaklukan
hati wanita cantik nan seksi untuk berbaring bersama walau hanya semalam. James Bond
adalah simbol kesempurnaan laki-laki dari segi modal ekonomi, sosial, dan kultural.
Karenanya, ia adalah sosok yang diimpikan oleh hampir semua laki-laki dan segala cara
dilakukan oleh mereka agar dapat menjadi sepertinya. Iklan ini memberikan solusi untuk
mengangkat status sosial para lelaki agar minimal terlihat seperti James Bond meski hanya
separuh tangan: kenakan jam tangan Omega.
Pakaian yang dikenakan oleh Daniel Craig dalam iklan tersebut juga menciptakan
distinction antara kelas sosial tinggi tempatnya berada dengan kelas sosial di bawahnya.
Seperti yang dianut oleh kultur Barat, tuxedo hanya dikenakan di acara-acara resmi yang
formal hingga semi-formal seperti acara kenegaraan, pesta dansa, penampilan “seni kelas
atas” (seperti opera, musik klasik, balet), dan acara-acara yang tidak mengharuskan
hadirinnya untuk melakukan mobilitas tinggi. Acara-acara semacam ini tentunya hanya bisa
dimasuki oleh orang yang berasal dari kelas sosial atau golongan tertentu. Selain jenis acara,
setting tempat dan waktu untuk mengenakan pakaian tuxedo juga khusus. Kita tidak pernah
melihat adegan di mana James Bond mengenakan pakaian tersebut untuk berjalan-jalan di
supermarket, kolam renang, pantai, atau tempat umum lainnya yang dapat diakses siapa saja.
Ia biasanya mengenakan setelan ini saat berada di dalam ruangan mewah lengkap dengan
gelas-gelas champagne, lampu kristal, dan bersama kalangan terbatas.
Pemilihan warna yang ditampilkan dalam iklan tersebut juga sangat minim karena
hanya terdiri dari hitam dan putih. Pemilihan warna monokrom ini, dipadukan dengan
identitas kelas yang ditunjukkan melalui sosok Daniel Craig a.k.a James Bond, membuat
warna hitam dan putih menjadi selera kalangan atas. Pria yang dipandang memiliki selera
yang baik dalam berbusana adalah ia yang tidak menampilkan banyak warna, cukup hitam
dan putih saja. Iklan ini juga menampilkan tampilan produk jam tangan seperti apa yang
menggambarkan selera kelas atas: berbahan stainless steel dan hanya memiliki satu pilihan
warna. Maka jika seorang laki-laki mengenakan jam tangan dengan warna selain silver, ia
bukan dan tidak akan diterima sebagai bagian dari masyarakat kelas atas. Tidak banyaknya
tulisan mengenai deskripsi atau iming-iming promosi juga menciptakan distinction antara
iklan produk ini yang ditujukan oleh masyarakat kelas atas dan iklan lainnya yang ditujukan
untuk masyarakat kelas atas. Sasaran produk ini diandaikan memiliki pengetahuan dan
kecerdasan yang tinggi sehingga mampu menginterpretasi iklan yang didominasi oleh gambar
semata. Keputusan untuk membeli tidak dipengaruhi oleh iming-iming harga murah,
promosi, penjelasan mengenai keunggulan produk, dan lainnya melainkan hanya satu hal:
estetika.
Mimpi yang dijual dalam iklan ini pada akhirnya menimbulkan kebutuhan masyarakat
untuk membeli item yang secara fungsi tidak terlalu mereka butuhkan (apalagi dengan harga
ratusan dolar seperti jam tangan Omega) untuk menaikkan prestise dan status sosialnya.
Karena seperti yang dikatakan Veblen, mereka yang mampu membayar untuk kemewahan
akan “melompat” ke situasi sosial yang lebih baik dari pada orang lain karena perolehan atas
kemewahan akan selalu dianggap merefleksikan kondisi sosial yang baik.
Iklan 2 – Brand “American Apparel”
American Apparel merupakan
pabrik,
desainer,
distributor,
marketer, sekaligus retailer yang
berpusat di Los Angeles, California.
Brand yang berdiri sejak tahun
1989 dan pernah menjadi salah satu
produsen
Amerika
pakaian
ini,
resmi
terbesar
di
dinyatakan
bangkrut pada Februari 2016 lalu.
Meski begitu, advertising campaign
yang dilakukan oleh brand ini tetap
menarik untuk diteliti karena ciri
khasnya yang sangat menonjol.
Brand yang menjual berbagai
jenis pakaian ini, selalu merekrut
model
lepas
non-profesional.
Mereka adalah orang-orang yang
biasanya ditemui di jalan atau
tempat umum lainnya dan dianggap menarik oleh sang CEO. Meski banyak dikritik karena
sebagian besar iklannya mengandung unsur seksisme, pornografi, dan provokatif, American
Apparel
banyak
pula
menuai
pujian
atas
keberhasilannya
menampilkan
sisi
ketidaksempurnaan pada setiap orang, jujur, ekspresif, dan minim sentuhan editing.
Penulis menyimpulkan bahwa sasaran dari produk American Apparel adalah kalangan
masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut didasarkan atas beberapa poin analisis berikut
ini. Iklan di atas mempromosikan produk celana ketat yang menjadi produk andalan brand
ini. Warna celana yang digunakan oleh sang model adalah coklat yang cukup mencolok.
Sementara background foto terlihat bersih tanpa banyak menampilkan barang-barang dan
kondisi kamar secara keseluruhan. Background yang bersih tersebut dapat diasosiasikan
dengan minimnya kepemilikan akan barang-barang. Namun, sang model terlihat bangga dan
percaya diri. Ia menjadi dirinya sendiri dan merasa bebas dari opini orang lain mengenai apa
yang pantas dan tidak pantas ditampilkan. Hal ini juga mengindikasikan sikap masyarakat
kelas bawah yang jujur, apa adanya, dan memiliki harga diri yang tinggi meski tidak
memiliki benda-benda yang diasosiasikan dengan kemewahan. Harga dirinya adalah satusatunya kemewahan yang ia miliki.
Di sisi lain, ekspresi kebebasan yang ditampilkan dalam iklan tersebut merupakan sikap
yang membedakan masyarakat kelas bawah dengan kelas atas. Sebagaimana dijelaskan oleh
Bourdieu, estetika selalu ditampilkan secara tersirat dalam masyarakat kelas atas Perancis
melalui “cultural goodwill” yang terwujud dalam bentuk tingkah laku yang cenderung teratur,
menyembunyikan ekspresi sesungguhnya, dan taat pada aturan kepantasan (mana yang boleh
dan tidak boleh diperlihatkan). Ini bertentangan dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan
dalam iklan tersebut di mana sang model terlihat melepaskan diri dari segala aturan dan
norma bahkan kultur yang berlaku. Hal ini terlihat dari tanda bekas bra yang melekat pada
bagian dadanya. Ini berarti ia selalu mengenakan bra dalam beraktifitas sehari-hari, namun
dalam iklan tersebut sang model melepaskan bra yang biasa digunakannya. Terlepas dari
alasan pribadinya, penggunaan bra dapat diartikan sebagai sikap patuh kepada kultur yang
mengharuskan perempuan untuk menutupi (terutama) putingnya. Sikap melepaskan diri ini
barangkali menjadi kritik atas kekakuan manner yang selalu diterapkan oleh masyarakat kelas
atas. Ketika sikap semacam ini berungkali diartikulasikan oleh American Apparel dalam
bentuk iklan visual, ia telah berkontribusi dalam produksi kebudayaan masyarakat Amerika
secara khusus dan dunia secara umum.
Iklan 3 – Brand “Dior”
Iklan selanjutnya berasal dari brand Dior. Iklan ini menampilkan Marion Cotillard,
seorang aktris Hollywood, sebagai modelnya. Dalam Vanity Fair May 2013 issue ini, Dior
meluncurkan berbagai koleksi tas terbarunya yang berwarna terang untuk merepresentasikan
tema Old Hollywood (vintage style).
Dalam iklan ini, Cotillard terlihat tengah berbaring di sebuah papan (yang mungkin
adalah meja) dengan posisi setengah berbaring sambil membelakangi jendela yang
memperlihatkan pemandangan gedung Saint Basil's Cathedral. Salah satu katedral tertua dan
paling terkenal di Moskow, Rusia ini kini telah berubah fungsi menjadi museum. Dilihat dari
pemandangan yang nampak di luar jendela, ruangan tempat sang model berada pastilah
berada di lantai atas. Dengan tinggi 47,5 meter, atap gedung Saint Basil's Cathedral tidak
mungkin dapat terlihat dari tempat yang rendah di seberangnya. Dengan posisinya di lantai
yang cukup tinggi dengan pemandangan langsung berupa keindahan katedral Saint Basil's,
ruangan tempat wanita itu berada pastilah disewakan dengan harga yang tidak murah. Hal
lain yang juga memperlihatkan kemewahan ruangan itu adalah adanya ornamen di dinding
samping jendela. Ornamen klasik tersebut tidak akan kita temukan di kamar sewaan atau
hotel kelas melati. Keberadaan ornamen tersebut menjadi salah satu ciri selera masyarakat
kelas atas yaitu mengutamakan estetika dibandingkan fungsi. Selain itu, furniture berupa
meja berpelitur halus ditambah dengan ukiran di sisinya serta gorden berwarna krem yang
menggantung di samping jendela, menyokong asumsi penulis bahwa ruangan tersebut
pastilah berharga mahal karena perabotan yang terpajang bukanlah barang yang biasa hadir
atau dimiliki oleh masyarakat kelas bawah.
Selain itu, iklan ini juga memperlihatkan perempuan yang banyak memiliki waktu
luang dalam kehidupannya sehari-hari. Ia hanya terlihat berbaring di atas meja pada waktu
siang hari dan bukan bekerja atau melakukan aktifitas produktif lainnya seperti halnya para
perempuan kelas pekerja. Ini juga mengkonstruksi identitas wanita kelas atas yang tidak perlu
bersusah payah bekerja untuk mendapatkan hal-hal yang ia inginkan. Wanita kelas atas
adalah mereka yang selalu merawat penampilan tubuh agar senantiasa terlihat segar dan
langsing serta pandai merias wajah. Hanya bermodalkan kedua hal tersebut, perempuan kelas
atas dapat memiliki kemewahan dan menikmati me-time yang panjang dalam hidupnya. Maka
untuk dapat diakui sebagai wanita kelas atas, seorang wanita memenuhi syarat berupa:
memiliki postur tubuh yang langsing dan segar, pandai merias wajah, mampu memadupadankan model dan warna pakaian, memiliki waktu luang yang banyak, serta tidak bekerja.
Telah memiliki modal kultural tersebut, akan dianggap sebagai wanita kelas atas sementara
mereka yang ingin naik kelas harus berusaha untuk memiliki modal tersebut.
Permainan editing dalam foto tersebut juga berperan banyak dalam menampilkan
identitas masyarakat kelas atas. Contrast yang rendah membuat foto terlihat smooth dan
menurunkan efek mencolok dari warna pakaian serta produk tas tangan yang dipromosikan.
Hal ini berkaitan dengan selera masyarakat kelas atas yang menghindari paduan warna-warna
mencolok yang telah dilabel “norak” oleh mereka.
Iklan 4 – Brand “Fruits”
Harajuku merupakan salah satu distrik
di kota Shibua, Jepang. Di dunia fashion,
Harajuku Style dikenal dengan ciri khasnya
yang kreatif dan bebas dalam memadukan
berbagai warna serta berbagai jenis fashion
item seperti kacamata, topi, aksesoris, hingga
payung. Ia menciptakan standar estetikanya
sendiri yang cenderung bertolak belakang
dengan standar estetika fashion di Barat.
Dari iklan salah satu brand asal
Jepang ini, kita dapat melihat kultur seperti
apa yang ingin diproduksi. Dari potongan
pakaiannya, brand ini
menjual
pakaian
dengan potongan yang lebar sehingga tidak
memperlihatkan
bentuk
tubuh
yang
sesungguhnya. Hal ini berkebalikan dengan fashion tren di Barat saat ini yang justru
menggandrungi pakaian ketat sehingga menonjolkan setiap lekuk tubuh. Gaya tersebut dibuat
agar si pemakai mendapatkan perhatian dari orang lain karena bentuk tubuhnya yang bagus.
Sehingga menimbulkan kebutuhan dari para konsumen untuk memiliki bentuk tubuh ramping
sebagaimana kebanyakan brand ambassador merek-merek terkemuka di Barat agar pakaian
yang mereka beli nampak menempel secara sempurna. Tubuh yang ramping adalah modal
kultural yang paling penting bagi wanita kelas atas di masyarakat Barat dan kini menyebar
pula ke seluruh penjuru dunia, sehingga mereka yang memiliki tubuh “idea” tersebut akan
selalu berusaha menonjolkannya dengan menggunakan pakaian ketat. Namun pada iklan
tersebut, gaya berpakaian dan ideologi yang ditampilkan sangat berbeda. Pakaian yang
dikenakan para model sangat besar sehingga tidak ada yang tau persis bentuk tubuh mereka
seperti apa. Hal ini menyiratkan bahwa pakaian yang dikenakan dan gaya yang dipilih
merupakan upaya untuk memuaskan diri sendiri, bukan orang lain yang melihat. Mereka
mengenakan apa yang ingin mereka kenakan.
Tulisan “Harajuku Street Fashion” yang terletak di kiri bawah pun menegaskan
bahwa gaya yang dijual oleh brand Fruits merupakan gaya yang antimainstream karena
segala sesuatu yang ditambahkan istilah “street” selalu berkaitan dengan perlawanan atas
struktur dan standar yang telah mapan. Iklan ini ingin memproduksi kultur baru dalam
fashion remaja yaitu gaya yang bebas, apa adanya, subjektif, dan terlepas dari tuntutan untuk
terlihat sesuai dengan ekspektasi publik. Selain itu, latar belakang berupa jalan dan toko-toko
kecil juga menegaskan bahwa produk yang dijual dapat terjangkau serta dimiliki oleh siapa
saja. Fashion adalah milik semua orang, begitu juga dengan standar estetikanya. Karenanya,
siapapun dapat terlihat baik karena penilaian berada pada diri mereka sendiri dan bukan
orang lain. Ini menepiskan gagasan bahwa masyarakat kelas ataslah yang menentukan “good
taste.”
Iklan 5 – Brand “Candie’s”
Candie’s merupakan brand terkemuka yang
menjual berbagai fashion item mulai dari pakaian,
sepatu, perhiasan, hingga parfum. Brand yang berdiri
sejak tahun 1981 ini berpusat di New York, Amerika
Serikat.
Salah satu iklan Candie’s ini terlihat mencolok
karena menggambarkan identitas kelas yang berbeda.
Di dalam gambar, kita dapat melihat seorang
perempuan yang tengah menyikat water closet (WC)
sambil melirik ke belakang dan menatap kamera.
Kegiatan tersebut adalah hal yang biasa dilakukan oleh
wanita sebagai pengurus rumah tangga. Yang istimewa
adalah penampilan yang ditonjolkan oleh wanita tersebut. Ia mengenakan dress berwarna
pink muda lengkap dengan high heels dan sanggul yang tertata rapi. Outfit seperti ini tentu
tidak akan dikenakan oleh ibu rumah tangga kelas bawah karena tidak ada gunanya sekaligus
berbahaya mengenakan high heels di dalam kamar mandi yang basah dan akan sangat
disayangkan jika dress bagus terkotori oleh sabun pembersih keramik. Tidak bermanfaat juga
menata rambut sedemikian rupa (yang pastinya juga memakan waktu lama) hanya untuk
bergumul dengan peralatan pembersih kamar mandi. Meski benda-benda yang berada di
kamar mandi tersebut terlihat umum dan mungkin dimiliki semua orang, penampilan rapi dan
harmonis yang ditunjukkan oleh sang model menunjukkan ia merupakan anggota masyarakat
kelas atas.
]Bagi wanita kelas atas, kegiatan yang mereka lakukan boleh saja sama dengan wanita
kelas bawah, tapi penampilan harus berbeda. Tidak peduli di mana pun mereka berada,
mereka akan selalu siap untuk “dilihat” sehingga dibutuhkan pula usaha lebih untuk selalu
terlihat baik agar label sebagai wanita kelas atas yang memiliki “good taste” tetap tersemat di
bahunya. Menyikat WC tetap harus dilakukan dengan stylish agar sesuai dengan ekspektasi
kelas. Pilihan warna pastel pada dress dan high heels yang digunakan oleh model tersebut
juga menjadi ciri khas dari selera masyarakat kelas atas.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam pandangan Bourdieu mengenai selera, ia percaya bahwa selera yang dianggap
baik dalam masyarakat adalah selera masyarakat kelas atas. Sejak dulu hingga kini,
masyarakat kelas atas selalu menciptakan desain pakaian yang tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat kelas bawah untuk menciptakan perbedaan antara masyarakat kedua kelas
tersebut. Desain yang dimaksud dapat berupa warna, corak, potongan, maupun bahan pakaian
yang khusus serta umumnya langka sehingga menciptakan prestige di kalangan
pemakaiannya. Penilaian mengenai mana selera berpakaian yang baik dan tidak kemudian
dilakukan oleh mereka. Penilaian tersebut didasarkan pada standar estetika yang juga mereka
ciptakan sendiri. Pada akhirnya, penampilan menjadi penanda kelas yang paling menonjol
dan penting dalam masyarakat sehingga setiap usaha untuk melakukan social climbing akan
dimulai melalui perbaikan penampilan. Sementara itu, masyarakat kelas bawah sebagai kelas
pekerja cenderung mementingkan fungsi ketimbang estetika dalam berpakaian.
Iklan cetak sebagai salah satu media yang dapat menyebarkan ideologi-ideologi kelas,
memainkan peran yang signifikan dalam produksi dan reproduksi budaya pada masyarakat
modern saat ini. Sosok yang ditampilkan dalam iklan, menghadirkan visualisasi kehidupan
masyarakat kelas atas yang bertabur kemewahan yang sekaligus juga menjadi mimpi dan
hasrat terdalam masyarakat kelas bawah. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk
mengadopsi ideologi yang terkandung dalam iklan dan mewujudkan mimpi tersebut. Proses
ini terus terjadi dan pada akhirnya mengkonstruk segala tindakan sosial yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menaikkan kelas sosialnya.
3.2
Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terdapat ketidaksempurnaan penjelasan
mengenai theoritical framework dalam tulisan. Hal ini dapat disempurnakan dengan
mengulas pandangan Bourdieu mengenai cultural production yang dilakukan oleh iklan cetak
secara lebih mendalam dan menambahkan berbagai sudut pandang dari ilmuwan lain
mengenai isu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arvanitidou, Zoi. 2010. Fashion, Gender, and Social Identity. Online article. Diakses pada 3
Juli 2016 melalui http://process.arts.ac.uk/sites/default/files/zoi-arvanitidou.pdf
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Ebook.
https://en.wikipedia.org/wiki/Pierre_Bourdieu#Bourdieu.27s_theory_about_media_and_cultu
ral_production
http://www.travelchannel.com/destinations/japan/articles/harajuku-culture-and-trends