RINGKASAN SEJARAH TEORI SOSIOLOGI sastra

SOSIOLOGI AKUNTANSI

RINGKASAN SEJARAH TEORI SOSIOLOGI : TAHUN- TAHUN AWAL
KELAHIRANNYA

OLEH :
KELOMPOK I

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015

RINGKASAN SEJARAH TEORI SOSIOLOGI : TAHUN- TAHUN AWAL
KELAHIRANNYA
KEKUATAN – KEKUATAN SOSIAL DALAM PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
Revolusi Politik
Teori sosiologi lahir dari rentetan revolusi yang dipicu oleh Revolusi Prancis tahun 1989
dan berlanjut hingga abad ke-19. Banyak dampak positif yang ditimbulkan terhadap
masayarakat, akan tetapi yang menjadi menarik perhatian para teoritisi adalah dampak
negatifnya yaitu berbagai kekacauan dan gangguan yang mucul khsusnya di Perancis. Yang

mana mereka menginginkan kembalinya keteraturan dalam masyarakat dan berusaha
menemukan tatanan social yang baru. Tatanan social baru inilah yang menjadi perhatian para
teretisi sosiologi yaitu, Comte, Durkhim, dan Parsons.

Revolusi Industri dan Kelahiran Kapitalis
Revolusi industry yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat, terdiri dari beberapa
perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari system
pertanian menuju system industry besar-besaran. Perubahan yang terjadi ini berdampak
munculnya birokrasi besar ekonomi yang sangat dibutuhkan industry dan system ekonomi
kapitalis sehingga muncul pasar bebas tempat diperjualbelikan barang-barang industry. Adanya
system ekonomi kapitalis ini memunculkan gerakan buruh dan berbagai gerakan radikal untuk
menghapuskan system tersebut yang dirasa merugikan bagi kaum buruh.

Kelahiran Sosialisme
Serangkaian perubahan terjadi untuk menghapuskan system industry dan kapitalisme.
Beberapa sosiolog menyebutkannya sebagai sosialisme sebagai solusi atas masalah-masalah
industry. Karl Max merupakan pendukung hancurnya system kapitalis dan digantinya system ini
dengan system sosialis. Karl Max menghabiskan waktunya untuk mengkritisi berbagai aspek
masyarakat kapitalis dan terlibat dalam aktivitas politik yang dapat membantu lahirnya
masyarakat sosialis.

Sebagian besar teoritisi awal (Weber dan Durkheim) menentang sosialisme karena
mereka lebih memilih untuk mengupayakan reformasi social dan kapitalisme daripada reformasi

social. Mereka lebih takut pada sosialisme daripada kapitalisme sehingga ketakutan ini yang
justru berperan membentuk teori sosiologi daripada dukungan Max terhadap sosialisme.

Feminisme
Awal kemunculan feminisme diperkirakan pada tahun 1630-an, adapun puncak aktivitas
dan tulisan feminisme itu pada gerakan pembebasan sejarah barat modern. Karya-karya
feminisme muncul pada tahun 1780 dan 1790-an dengan mengangkat perdebatan revolusi
amerika dan prancis, dan pada tahun 1850-an di mana fokus mereka lebih pada gerakan yang
menentang perbudakan dan perjuangan hak politik bagi kaum kelas menengah, adapun gerakan
dalam perjuangan hak pilih perempuan baru sekitar pada awal abad ke-20.
Dari pergolakan itulah yang juga memberi dampak pada perkembangan sosiologi.
Khususnya bagi perempuan yang mempelajari ilmu sosial, seperti Harriet Martineau, Jane
Addams, Marianne Weber dan lainnya. Namun pada perjalanannya, karya-karya mereka
terpinggirkan bahkan terhapus oleh sejumlah laki-laki yang memonopoli sosiologi. Adapun
tokoh sosiologi yang sentral posisinya yaitu seperti Spencer hingga Weber, memberikan
tanggapan yang terbelakang pada argumen-argumen feminis, bahkan menganggap sebagai teori
yang remeh untuk ditanggapi secara kritis dari apa yang mereka sebut sebagai sosiologi. Meski

dari kaum perempuan telah menuliskan sosiologi secara signifikan.

Urbanisasi
Urbanisasi merupakan salah satu dari sekian dampak yang ditimbulkan oleh revolusi
industri. Sekitar abad ke-19 dan 20 orang-orang pedesaan mulai meninggalkan kampung
halaman mereka untuk berpindah ke kota, yang mereka anggap menjanjikan dengan segala
macam pekerjaan yang ditawarkan oleh industri-industri yang ada. Adapun kebanyakan dari para
kaum urban tersebut mengalami kendala yang cukup sulit, mereka harus beradaptasi dengan
situasi perkotaan yang sangat berbeda dengan situasi saat mereka berada di desa.
Dari persoalan itulah memunculkan sifat kehidupan yang saling bertolak belakang antara
kota dan desa. Adapun tokoh sosiolog yang tertarik pada hal ini adalah Max Weber dan G.
Simmel.

Perubahan di Wilayah Agama
Sektor yang juga ikut terkena dampak dari revolusi politik, revolusi industri dan
urbanisasi adalah masalah religiusitas. Dalam hal ini juga melibatkan ahli sosiolog yang juga dari
latar belakang. Mereka mengusung tujuan dalam sosiologi, sama dengan tujuan agama. Seperti
memperbaiki kehidupan orang-orang yang tak beraturan dengan terjadinya revolusi di dunia
barat tersebut.
Tokoh sosiolog yang terlibat dalam hal ini adalah Comte, yang bahkan menjadikan

sosiologi sebagai agama baru. Durkheim, Talcott Parson dan Marx, namun marx lebih
mengkritisi dalam hal ini.

Tumbuhnya Ilmu Pengetahuan
Di saat ilmu sosiologi berkembang di tengah-tengah kemajuan industri dan teknologi di
dunia barat, banyak ilmu pengetahuan yang mendapat perhatian dalam masyarakat karena
dipandang sukses seperti fisika dan biologi. Mengenai hal itu, sosiologi diharapkan dapat
mengikuti keberhasilan fisika dan biologi, namun mengenai itu masih diperdebatkan oleh para
sosiolog. Seperti Weber yang memandang bahwa ilmu sosial sulit untuk mengadopsi model ilmu
ilmiah.

KEKUATAN-KEKUATAN INTELEKTUAL DAN KELAHIRAN TEORI SOSIOLOGI
Meskipun factor-faktor social memang penting, akan tetapi kekuatan-kekuatan intelektual
memiliki peran yang besar dalam teori sosiologi.

Definisi Sosiologi
Macam-macam definisi tentang sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
1. Pitirim Sorokin: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal
balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan
gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal

balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
2. Roucek dan Warren: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
dalam kelompok-kelompok.
3. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf : sosiologi adalah penelitian secara ilmiah
terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
4. J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers: sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang
struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5. Max Weber: Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
6. Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi: Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang
mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
7. Paul B. Horton: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan
kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
8. Soejono Soekanto: sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum
kehidupan masyarakat.
9. William Kornblum: sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat
dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam
berbagai kelompok dan kondisi.
10. Allan Jhonson: sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku,

terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut
memengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya memengaruhi
sistem tersebut.

Auguste Comte
Auguste Comte adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan
bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme.
Lahir
: 19 Januari 1798, Montpellier, Perancis
Meninggal
: 5 September 1857, Paris, Perancis
Pendidikan
: École Polytechnique
Orang tua
: Rosalie Boyer
Pasangan
: Caroline Massin (m. 1825–1842)
Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19
setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia
dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.

Aliran positivisme merupakan aliran produk pemikiran Comte yang cukup berpengaruh
bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh
filosofkelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis)
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual
yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan
aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut.
Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban
berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.
Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif secara
langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan.
Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu,
memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan
mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di
dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung oleh
para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu.
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care
pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte
mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena
ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak
sosiologi.


Meskipun Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi obyek
sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari dua hal, yaitu:
1. sosial statis,
Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan
yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan.dan
2. sosial dinamis
Sedangkan sosial dinamis

yaitu melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut

berkembang.

Auguste Comte & Hukum 3 Tahap
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti
Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary
for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis. Di antara karya-karyanya Auguste Comte,
Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya

itulah yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi

bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan
manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap, diantaranya :
1. Tahap Teologis
pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab
pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak.
Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini
sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini
dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau
dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat
umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya
terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep
“alam”, sebagai asal mula semua gejala.

3. Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai
pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik.
Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak

hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu.
Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat
pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan
“memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang
khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari
tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta
yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh
pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan
akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat
manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga
individu dan ilmu pengetahuan.
Henri de Saint-Simon
Saint-simon adalah seorang positivis, ia percaya bahwa studi terhadap fenomena sosial
harus menggunakan teknik ilmiah sama sebagaimana yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam.
Sedangkan di sisi radikal, ia melihat perlunya reformasi sosialis, khususnya perencanaan sistem
ekonomi terpusat.
Nama Lengkap : Henri de Saint-Simon

Alias : No Alias
Profesi : Agama : Kristen
Tempat Lahir : Paris, Perancis
Tanggal Lahir : Jumat, 17 Oktober 1760

Zodiac : Balance
Warga Negara : Perancis
Istri : Mlle de Champgrand
Claude Henri de Rouvroy, comte de Saint-Simon, atau Henri de Saint-Simon adalah pria
berkebangsaan Perancis yang lahir pada 17 Oktober 1760. Ia adalah seorang teoris di bidang
sosial dan menjadi penemu French Socialism (Ilmu Sosial Perancis).
Saat terjadi Revolusi Perancis, Saint-Simon mengemukakan teori reorganisasi dalam
lembaga yang dikontrol oleh beberapa pemilik industri dengan beberapa ahli ilmu pengetahuan
dan para pendeta. Tujuan dari lembaga yang dibentuknya adalah terciptanya hal - hal yang
bermanfaat untuk kehidupan dan kedamaian secara universal.
Saint-Simon menyebut teori ilmu berlembaga olehnya mempengaruhi perkembangan dari
ilmu sosiologi dan ekonomi dalam studi ilmu pengetahuan. Teori Saint-Simon telah
mempengaruhi masyarakat Perancis dan lembaga - lembaga di Eropa pada abad ke-19. Pekerjaan
utamanya, "Nouveau Christianisme" pada tahun 1825 bertujuan untuk modernisasi dan
menciptakan pandangan baru tentang perkembangan Katolicism dan Protestantism serta
membentuk Christianity untuk menyederhanakan dan menyamakan elemen penting dari
kehidupan beragama.
Henri de Saint-Simon mengenyam pendidikan dengan guru privat. Setelah lulus sekolah
privat, ia melanjutkan pendidikan pada akademi servis militer pada usia 17 tahun untuk
membantu para koloni Amerika di Perancis. Ia pernah menjadi seorang kapten artileri di
Yorktown pada tahun 1781. Ia hidup dengan bergelimangan harta saat zaman Revolusi Perancis
pada tahun 1789, dan sampai pada suatu saat ia mengalami kebangkrutan dan mulai untuk
melanjutkan pendidikannya. Saint-Simon melanjutkan pendidikan dengan mengambil kursus di
École Polytechnique dan mengenalkan dirinya pada perbedaan ilmu pengetahuan.
Proyek pertamanya adalah Lettres d'un habitant de Genève à ses contemporains (1803;
Letters of an Inhabitant of Geneva to His Contemporaries) yang mengemukakan tentang
keharusan menempatkan para pendeta dan para pemegang kekuasaan harus memberikan
perhatian bagi kemajuan pendidikan sebuah negara.

Nouveau Christianisme menjadi pekerjaan yang tak terselesaikan karena Saint-Simon
meninggal pada 19 Mei 1825 sebelum proyeknya tercapai namun, rekannya, Olinde Rodrigues,
Barthélemy Prosper Enfantin, and Amand Bazard mendirikan Sekolah Saint-Simonism.
Pendidikan




Menyelesaikan pendidikan dengan guru privat.
Pendidikan pembantu militer.

Karir




Seorang kapten artileri di Yorktown pada tahun 1781.
Mengonstruksi kanal antara Samudra Atlantik dengan Samudra Pasifik yang tersambung
dengan Kota Madrid.

Emile Durkheim
Emile Durkheim (1858-1917) lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan
pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10
tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat
akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988).
Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah
kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang
diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan
berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral
masyarakat.
Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi
sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.

Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia
berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993).
Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku
diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku
itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun
1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis.
Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan
meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang
mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah
pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional
umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu
menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia
menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan
tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi
utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil
penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi
profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di
Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat
terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912.Kini
Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam
kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran
liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred
Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang
oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan antiYahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan
anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai
gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan
Todd, 1995). Ia berkata :

Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat
dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai
sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum
yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang
meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan
Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang
telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum.
Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi
dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi.
Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa
terhibur (Lukes, 1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam
seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus
dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena
perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan
tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci
terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa
menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak
rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan
dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas,
1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang
pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya
sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan
Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes,
1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada
pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik
jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai
penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut

Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan
melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak
hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain
tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran
intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu,
Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa
dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis
tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun
sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott
Parsons.
Maximilian Weber
Maximilian Weber (lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864 – meninggal di München,
Jerman, 14 Juni 1920 pada umur 56 tahun) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari
Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern.
Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan,
meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi. Karyanya yang paling populer adalah esai yang
berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang
sosiologi agama. Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi
perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan
negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik
secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern.
Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya
untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang
berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan

(protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan
Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah
rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu
tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan
usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari
pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang
dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die
Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme.

Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan
baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di
Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang
menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk
mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di
dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia
ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami
kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta
benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga
sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja
yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam
perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa
dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat
mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah

menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan
pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang
dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna
doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa
setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam
rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang
digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan
shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciriciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real
ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi
sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat
dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi
keseluruhan kelompok manusia.
Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan semangat
kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber mempublikasikan tulisannya
mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi masyarakat protestan semakin menurun dan
disisi lain mayoritas katolik justru sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik
membakar teorinya Weber sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi
teorinya tidak dapat dijadikan ramalan masa depan.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga
membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber
pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan
sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat
membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme
dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan
di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang
rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari
Weber dalam sosiologi tentang agama.

Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang
mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang
dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak
berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana
diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi
itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka
yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok
memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM,
Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk
benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun
sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak
mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang
muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda
yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak
pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan
Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin
hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai
hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan
negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik
secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu
politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi
batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang
pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional,
karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai
patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat
seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan
otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu,
heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai

contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpinpemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi
karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk.
Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional
yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara
demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara
kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi
hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini
merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan
mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara
empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas
manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical.
Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler,
dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang
yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian
formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu
akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan
diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier
menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak.
Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah
dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu
kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan
negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya
adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak
langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini,
contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan
mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman
pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan

hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada
tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik
tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi
Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan.
Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang
karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan
kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area
yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan
tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis
juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya,
Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada
sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai
birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan
dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber
dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik
Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang
membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu
kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi
gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga
mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi
dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau
kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang
selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai tingkat kesulitan dalam
memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori

dalam buku ini. Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh
sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan
menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain
sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai
pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku
sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.

PERKEMBANGAN SOSIOLOGI JERMAN

Karl Marx (1818-1883)

 Marx merupakan mahasiswa di Universitas Berlin yang dipengaruhi oleh filsuf Jerman G. W.
F. Hegel (1770 – 1831).
 Konsep inti filsafat Hegel
o Dialektika
 adl kerangka berpikir dan citra manusia.
 adl kerangka berpikir yang menekankan pentingnya proses, hubungan,
dinamika, konflik, dan kontradiksi.
 adl pandangan bahwa dunia tidak diciptakan oleh unsur statis melainkan
oleh proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi.
 Idealisme
o menitikberatkan arti penting pemikiran dan produk mental daripada dunia
material.
o adl definisi sosial atas dunia fisik dan material yg paling banyak menjadi
persoalan, bukan dunia itu sendiri.
o dlm bentuk yg ekstrem, yang ada hanyalah pikiran dan konstruk psikologis.
o selain itu mementingkan gagasan yang dihasilkan dari proses tersebut.
 Marx bersifat kritis terhadap konsep – konsep Hegel, ex: Hegel cenderung hanya menerapkan
dialektika pada gagasan, sementara Marx merasa bahwa dialektika pun berlaku pada aspek
kehidupan yang lebih material, misal: ekonomi.
 Ludwig Feuerbach (1804-1872) adalah jembatan penting antara Hegel dan Marx. Sebagai
Hegelian muda Feuerbach bersikap kritis terhadap Hegel, karena penitikberatannya yang
terlalu besar terhadap kesadaran dan roh masyarakat. Bagi Feuerbach Tuhan hanyalah hasil
proyeksi yang dilakukan orang terhadap esensi manusia menjadi kekuatan impersonal. Orang
menempatkan Tuhan di luar dan di atas dirinya sendiri, yang akibatnya mereka terasing dari
Tuhan dan memproyeksikan serangkaian karateristik positif kepada Tuhan (bahwa Ia













sempurna, Mahakuasa, dan Kudus), sementara mereka mereduksi diri mereka sendiri sebagai
makhluk yang tidak sempurna, tak berdaya, dan penuh dosa. Feuerbach menegaskan bahwa
agama semacam ini harus ditaklukkan, dan penaklukan itu dapat dibantu oleh filsafat
materialis dimana orang (bukan agama) menjadi objek dan tujuan tertinggi bagi dirinya
sendiri.
Marx dipengaruhi sekaligus bersikap kritis terhadap Hegel dan Feuerbach. Marx mengambil
posisi ini bukan karena diterapkannya orientasi materialis namun juga karena minatnya pada
aktivitas – aktivitas praktis.
Marx mengambil posisi yang berbeda, dengan menyatakan bahwa masalah kehidupan modern
dapat dilacak kembali pada sumber riil dan material (misal: kapitalisme) dan dengan demikian
solusinya hanya dapat ditemukan pada dihancurkannya struktur – struktur tersebut dengan
aksi kolektif orang dalam jumlah besar.
Marx setuju dengan kritik Feuerbach terhadap Hegel terkait dengan beberapa persoalan
(misalnya pada materialisme dan penolakan terhadap teori Hegel yang abstrak), namun ia
lebih tidak puas terhadap pendapat Feuerbach sendiri. Hal ini dikarenakan Feuerbach
memfokuskan diri pada dunia religius sementara Marx percaya bahwa yang harus dianalisis
adalah dunia sosial, khususnya ekonomi.
Ekonomi Politik Marx  adanya teori nilai kerja, yang menyatakan bahwa laba kapitalis
didasarkan pada eksploitasi buruh. Para kapitalis menjalankan tipuan yang agak sederhana
dengan membayar pekerjanya lebih rendah daripada yang seharusnya mereka terima, karena
mereka menerima upah yang lebih rendah daripada nilai yang benar – benar mereka hasilkan
dalam satu periode kerja.
Marx tidak pernah menganggap dirinya seorang sosiolog.
Teori Marx  menawarkan teori masyarakat kapitalis yang didasarkan pada pandangannya
mengenai hakikat manusia. Marx percaya bahwa pada dasarnya menusia itu produktif, artinya
untuk bertahan hidup mereka perlu bekerja di dalam alam dengan cara mengolahnya. Untuk
menghasilkan makanan, pakian, peralatan, dan tempat berlindung, dan kebutuhan lain yang
memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka adalah cara yang sangat alamiah yang
mereka gunakan untuk mengekspresikan dorongan kreatif dasar mereka. Selain itu, dorongan
– dorongan ini diekspresikan secara bersama –sama dengan manusia lain (manusia sbg
makhluk sosial).
Konsep alienasi  yaitu putusnya hubungan alamiah antarorang dan antara orang dengan
yang mereka produksi. Alienasi terjadi karena kapitalisme berubah menjadi sistem dua kelas
dimana kaum kapitalis yang berjumlah sedikit menguasai proses produksi, produk, dan waktu
kerja bagi orang yang bekerja untuknya.

Max Weber (1864-1920)

 Weber bekerja dalam tradisi Marxian dimana mencoba melengkapi teori Marx.
 Weber cenderung memandang Marx dan kaum Marxis pada zamannya sebagai determinis
ekonomi yang menawarkan sebab tunggal kehidupan sosial, sehingga dia menganggap bahwa








teori Marxian hanya melacak seluruh perkembangan historis ke dalam basis ekonomi dan
melihat seluruh struktur hanya dibangun di atas basis ekonomi saja.
Salah satu determinasi ekonomi yang tampaknya paling tidak disukai Weber adalah
pandangan bahwa ide hanyalah refleksi dari kepentingan material (khususnya ekonomi),
bahwa kepentingan material menentukan ideologi.
Weberian termasuk sejarawan, filsuf, ekonom, dan teoritisi politik Jerman.
Pemikiran Weber juga dipengaruhi oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Nietzsche
(1844-1900).
Teori Weber  Weber tertarik pada pertanyaan umum mengapa institusi di dunia barat
tumbuh begitu progresif ke arah rasional, sementara sejumlah hambatan yang begitu kuat
tampak mencegah perkembangan serupa di dunia lain.
Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi,
namun kini rasionalisasi sangat tepat bila diilustrasikan dengan restoran cepat saji.
Penerimaan teori Weber  karena Weber terbukti lebih dapat diterima secara politis, karena
bersifat liberal terkait dengan sejumlah isu dan lebih konservatif untuk isu lain (misalnya
peran negara).

Georg Simmel (1858-1918)

 Adalah teman sejawat Weber yang merupakan pendiri Masyarakat Sosiologi Jerman, yang
merupakan seorang teoritisi sosiologi yang tidak lazim.
 Gagasan – gagasan Simmel begitu berpengaruh di Chicago terutama karena sejumlah tokoh
dominan pada tahun – tahun awal kehadiran mazhab Chicago, seperti Albion Small dan
Robert Park.
 Keganjilan teori Simmel adalah lingkup analisisnya yang merupakan isu – isu dalam skala
kecil, khususnya tindakan dan interaksi individu. Namun hal inilah yang menjadikannya dapat
dipahami oleh para teoritisi sosiologi Amerika pada masa awal perkembangannya.
 Selain itu Simmel membuat buku yang berjudul Philosophy of Money yang memberikan
perhatian pada munculnya ekonomi uang pada dunia modern yang terpisah dari individu dan
mulai mendominasi.

ASAL USUL SOSIOLOGI INGGRIS

Philips Adams (1968) menjelaskan bahwa sosiologi Inggris dibangun pada abad ke-19
oleh 3 sumber yang seringkali berbenturan yaitu ekonomi politik, ameliorisme, dan evolusi
sosial.
Ekonomi Politik

Para pemikir Inggris cenderung memfokuskan perhatiannya pada individu yang
membangun struktur – struktur tersebut. Saat membicarakan struktur yang besar maka mereka
cenderung mengumpulkan dara pada level individu dan selanjutnya menggabungkannya untuk
menciptakan satu potret kolektif.
Ameliorisme
Adalah hasrat untuk memecahkan masalah sosial dengan memperbaiki individu. Karena
sosiolog Inggris tidak dapat atau tidak akan melacak sumber masalah seperti kemiskinan di
tengah – tengah masyarakat secara keseluruhan, sehingga biang keladi dari masalah ini dianggap
bersumber dari individu itu sendiri.
Evolusi Sosial
Evolusi sosial terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Pada era ini karya yang paling
berpengaruh adalah karya Auguste Comte. Comte tertarik terhadap struktur masyarakat yang
lebih besar, orientasi ilmiah (positivistik), orientasi komparatifnya, dan teori evolusinya. Namun
sejumlah pemikir Inggris mempertajam konsepsi mereka sendiri tentang dunia yang bertentangan
dengan sejumlah ekses yang ditimbulkan oleh teori Comtian.

Herbert Spencer (1820-1903)
Salah satu pandangan liberalnya, yang tidak akur ketika disandingkan dengan
konservatisme, adalah penerimaannya terhadap laissez-faire, ia merasa bahwa negara tidak boleh
mencampuri urusan – urusan pribadi, kecuali dalam fungsi yang agak pasif berupa perlindungan
terhadap rakyatnya. Ini berarti Spencer tidak seperti Comte, tidak tertarik pada reformasi sosial,
ia ingin agar kehidupan sosial berkembang bebas dari kontrol eksternal.
Spencer memiliki perspektif yang menarik, yaitu dengan melihat masyarakat sebagai
organisme. Sehingga dia memberikan seluruh perhatian pada struktur masyarakat,
kesalingterkaitan antar bagian – bagian masyarakat, dengan fungsi bagian – bagian tersebut bagi
satu sama lainya maupun bagi sistem secara keseluruhan.
2 perspektif utama tentang teori evolusi menurut Spencer:
1. Masyarakat tumbuh karena bertambahnya jumlah individu dan menyatunya kelompok
(perkumpulan). Peningkatan ukuran masyarakat membawa struktur sosial yang lebih
besar dan lebih terdiferensiasi, sekaligus peningkatan diferensiasi fungsi yang
dimainkannya.
2. Evolusi dari masyarakat militan menuju masyarakat industri. Struktur masyarakat militan
dianggap hanya bertujuan perang dalam rangka bertahan dan menyerang. Meskipun
Spencer berdifat kritis terhadap perang, ia merasa bahwa pada atahap awal perang

berfungsi menyatukan masyarakat (ex: penaklukan militer) dan menyediakan lebih
banyak jumlah orang yang diperlukan bagi perkembangan masyarakat industri.

TOKOH KUNCI DALAM SOSIOLOGI ITALIA AWAL
Vilvedo Pareto (1848-1923) cukup berpengaruh pada jamannya, namun relevansi
kontemporernya sangat minim. Terjadi ledakan singkat terhadap karya Pareto (1935), ketika
teoritisi utama Amerika Talcott Parsons memberikan perhatiannya.
Pareto mengembangkan teori perubahan sosial yang bertentangan dengan teori Marxian.
Pareto menawarkan teori perbahan sosial, yang memandang bahwa masyarakat niscaya
didominasi oleh elite kecil yang beroperasi pada basis kepentingan diri yang mendapatkan
hidayah. Elite ini menguasai massa rakyat, yang didominasi oleh kekuatan nonrasional. Karena
miskin dengan kapasitas rasional, menurut sistem yang dikemukakan Pareto, massa tidak akan
menjadi kekuatan revolusioner.

PERKEMBANGAN MARXISME EROPA DI PENGHUJUNG ABAD KE-19
Setelah Marx meninggal, teori Marxian mula – mula didominasi oleh mereka yang
melihat adanya determinasi ilmiah dan determinasi ekonomi dalam teori tsb. Wallerstein
menyebut era ini Marxisme Ortodoks. Friedrich Engels, kolaborator dan penopang keuangan
Marx, masih hidup setelah Marx meninggal dan dapat dipandang sebagai pelopor pertama
perspektif ini. Pada dasarnya pandangan ini adalah bahwa teori ilmiah Marx telah menelanjangi
hukum – hukum ekonomi yang menguasai dunia kapitalis, sehingga hal ini dapat meruntuhkan
kapitalisme.