Kemajemukan dan Konflik Sosial dan

KEMAJEMUKAN DAN KONFLIK SOSIAL:
SUATU TANTANGAN BAGI PANCASILA SEBAGAI AGAMA SIPIL
DI INDONESIA

1

KEMAJEMUKAN DAN KONFLIK SOSIAL:
SUATU TANTANGAN BAGI PANCASILA SEBAGAI AGAMA SIPIL
DI INDONESIA 1
Abstrak
Artikel ini hendak memaparkan kondisi riil Bangsa Indonesia yang sejak proses kelahiran dan
kemenjadiannya hingga saat ini, memiliki catatan panjang dalam konflik sosial. Melihat kenyataan
tersebut tidak bisa tidak untuk memberi pengakuan bahwa kemajemukan identitas primordial yang
kurang menyatu dalam identitas nasional, telah menjadi akar ataupun bibit konflik sosial yang sangat
potensial, sekalipun dalam saat yang bersamaan keberadaan dua identitas tersebut dapat pula menjadi
bibit integrasi. Menyoroti keberadaan dua identitas ini, perlu suatu cara pandang yang beda yaitu
memberi ruang yang cukup lapang untuk berinteraksi dengan budaya “mereka” dengan mereduksi
seminim mungkin prasangka dan stereotype budaya yang senantiasa cenderung melihat dalam
perspektif “kita”. Sebagai suatu cara pandang hidup dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat,
Pancasila diharapkan mampu menjadi pemicu sekaligus “alat” yang memungkinkan terjadinya
interaksi integratif lintas budaya yang bermartabat.


Pengantar
Realitas Indonesia sekarang ini memang sangat menyedihkan. Bermula dari
krisis di bidang ekonomi, kini telah merambah ke dalam bidang sosial, politik, dan
budaya. Daerah-daerah mulai bergolak dan dengan tegas menolak campur tangan
yang dominan Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini diwujudkan dengan meminta
status otonomi yang seluas-luasnya, seperti yang terjadi di Aceh (berdasarkan UU
No. 44/1999 mengenai pemberian otonomi khusus bagi Aceh yang dalamnya
diberlakukan syariat Islam sejak tanggal 19 Desember 2000) dan Papua Barat,
bahkan keinginan ini berkembang menjadi keinginan untuk merdeka dan lepas dari
negara kesatuan Republik Indonesia seperti yang telah dialami oleh Timor-Timur.
Konflik-konflik sosial-pun marak terjadi. Pergolakan sosial itu telah
menimbulkan korban, baik di bidang materi, sosial, dan mental/psikologis. Di
berbagai tempat di Indonesia terjadi kerusuhan yang mencerminkan keinginan
masyarakat untuk melakukan apa saja yang dikehendaki.
diperteguh

Gejala sosial ini

dengan dikembangkannya oleh masyarakat suatu mekanisme


pertahanan ego, seperti: proyeksi yang melihat bahwa segala keruwetan yang
menimpa bangsa Indonesia saat ini merupakan hasil dari kesalahan yang dibuat

1

Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal PsikoWacana Vo. II No. 2 November 2003, Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

2

oleh pemerintahan pimpinan Soeharto; rasionalisasi terhadap setiap perilaku
kejahatan dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan hal yang sama;
juga dapat berupa regresi di dalamnya terjadi kemunduran kemampuan masyarakat
untuk mengendalikan diri.
Masyarakat yang dahulunya hidup dalam ketenangan dan kedamaian
berubah menjadi masyarakat yang saling membenci, menyerang, dan bahkan saling
membunuh. Makna hidup bersama dalam masyarakat yang plural menjadi
terabaikan oleh makna hidup yang berdasarkan kepentingan golongan tertentu saja.
Kehidupan antar pribadi maupun golongan diwarnai oleh rasa curiga, takut, benci,

dendam, cemas, dan juga keengganan untuk hidup bersama lagi dalam
kepelbagaian.
Kondisi

ini

sangat

memprihatinkan,

menggelisahkan

sekaligus

mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini?
Bukankah selama ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya saling
menghargai dan menghormati? Sampai kapan kondisi seperti ini akan terus
berlangsung? Bagaimana mengatasinya? Sederetan pertanyaan ini tidak mungkin
terjawab (apalagi dengan tuntas) dalam tulisan ini. Tetapi, paling tidak kita mampu
memetakan beberapa persoalan yang mendasar guna mencermati segala

permasalahan dengan lebih jernih dan obyektif.

Indonesia: Fenomena Baru Beridentitas Ganda
Dalam tinjauan sejarah, Indonesia baru ‘ada’ sejak diproklamirkannya
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 (Titaley,1998). Hal ini bermakna,
pertama, bahwa sebelum tanggal ini Indonesia belum ‘ada’, yang ada hanya
kerajaan seperti Majapahit, Demak, Sriwijaya dan lain sebagainya. Dengan kata
lain identitas yang dimiliki hanya identitas primordial. Kedua, dengan peristiwa
proklamasi, identitas keindonesiaan sebagai bangsa menjadi identitas baru.
Indonesia sebagai fenomena baru dapat dikatakan sebagai Indonesia jika dalan
dirinya terkandung sekaligus kedua identitas itu. Tidak dapat dikatakan Indonesia
jika yang ada hanya pengakuan terhadap identitas primordial atau nasional saja,
namun kedua identitas itu harus diakui secara bersama-sama keberadaannya. Inilah

3

persolannya, yaitu bagaimana kita dapat mengadakan keseimbangan diantara kedua
identitas tersebut dengan tetap mendasarkan diri pada asas keadilan dan kesetaraan.
Perjumpaan kedua identitas ini terjadi dalam waktu yang cukup singkat
dan diwarnai dengan perdebatan yang cukup sengit di antara ‘founding fathers’

ketika hendak merumuskan bentuk dan dasar negara bangsa ini (Bahar dkk, 1995).
Tampak dengan jelas adanya pertentangan antara tiga kelompok ideologi yang
memiliki basis massa cukup besar yaitu nasionalis, komunis, dan agama (Islam).
Masalah yang cukup serius ini dapat dikategorikan sebagai krisis identitas sosiokultural. Krisis ini menunjuk pada terjadinya benturan nilai dan ritus-ritus budaya
yang muncul dalam pertemuan beberapa sistem nilai atau sistem kebenaran dari
berbagai entitas sosial yang ada (Linggi, 2000). Dengan melihat kenyataan seperti
itu kita melihat bahwa lahirnya bangsa Indonesia semata-mata didasarkan pada
keinginan bersama untuk merdeka dan yang dapat mengikat keberagaman itu
adalah persatuan.

Persatuan Dalam Indonesia
Dalam sejarahnya Indonesia dibangun di atas mitos kesatuan dengan tekad
untuk menentukan nasibnya sendiri. Mitos kesatuan ini tidak lahir begitu saja atau
jatuh dari langit tetapi merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri
negara ini. Gagasan dasar tentang kesatuan tidak lepas dari gagasan tentang
identitas personal manusia sebagai mahluk bebas memilih pendirian eksistensinya.
Manusia harus memiliki hak kebebasan itu semata-mata karena ia adalah manusia.
Maka penjajahan atas hak ini harus dilawan (Awuy, 2000).
Gagasan ini ( yang mula-mula hanya bertujuan untuk merdeka) digunakan
oleh Soekarno-setelah pernyataan kemerdekaan- untuk menggalang


persatuan

Nasionalis, Islam, dan Komunis. Ia mengandaikan, pluralisme kelompok dan etnis
dapat terangkum begitu saja dalam ideologi Nasakom (Sindhunata dalam
Kristanto, 2000).
Pada

masa

kepemimpinan

perekonomian yang amburadul

Soeharto,

dengan

mewarisi


kondisi

dari Soekarno, mulai mengarahkan Indonesia

kepada pembangunan, dengan memfokuskan pada pembangunan ekonomi dan

4

stabilitas politik. Kedua fokus pembangunan ini ibarat saudara kembar siam saling
mengisi dan melengkapi. Pertumbuhan ekonomi menjadi primer dan stabilitas
politik

menjadi

menciptakan

sub-ordinasinya.

dan


memelihara

Tujuan
stabilitas

pembangunan
politik

politik

sebagai

bertujuan

prasyarat

bagi

terselenggaranya dan terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang merupakan prioritas
utama pembangunan nasional (Kaisiepo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Yang

menjadi persoalan adalah bilamana arah pembangunan politik itu tidak didasarkan
pada budaya politik yang hidup dalam masyarakat (Sjamsuddim dalam Alfian dan
Sjamsuddin, 1991). Sakralisasi terhadap pembangunan membuat ide atau gagasan
kesatuan dan persatuan kehilangan makna ketika berhadapan dengan kondisi
masyarakat yang plural. Perlawanan terhadap pembangunan dianggap sebagai
ancaman terhadap stabilitas politik, dan oleh karenanya sah-sah saja masyarakat
tersebut “diamankan”.
Dalam

hubungannya

dengan

pembangunan,

maka

pemerintah

mengembangkan strategi-strategi yang bersifat dualistis, misalnya pemerintah

pusat dan daerah, masyarakat sipil dan militer, dan lain-lain. Dalam hal hubungan
antara pusat dan daerah mau tidak mau nilai-nilai politik yang bersifat nasional
akan masuk dan bertemu dengan kenyataan di daerah tersebut. Interaksi
antardaerah serta pusat dan daerah menimbulkan penetrasi-penetrasi yang oleh
sebagian daerah dikuatirkan dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi subbudaya
politik. Di satu pihak, perasaan akan adanya ancaman semacam ini telah
memunculkan sikap membentengi subbudaya politik agar lebih tegar menghadapi
penetrasi-penetrasi tersebut. Di lain pihak, sikap yang demikian sering pula
dianggap oleh pimpinan nasional sebagai suatu tantangan/hambatan yang perlu
ditaklukan (Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Hubungan yang
lebih menekankan dominasi pemerintah pusat ini menimbulkan sentralisasi
kekuasaan yang sangat kuat.
Dalam sentralisasi, kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang memiliki
otonominya sendiri, melainkan sebagai sekedar suplemen atau unsur pelengkap
dari strategi pembangunan politik dan ekonomi (Kaiseipo dalam Ridjal dan Karim,
1991). Padahal ada asumsi bahwa budaya seharusnya punya kedudukan otonom di

5

dalam struktur sosialnya. Sebaliknya yang tampak, dalam kecenderungan

sentralisasi dan rekayasa yang ketat itu, budaya kehilangan otonomi atau
otoritasnya karena hanya melayani kemauan struktur: siapa menguasai struktur ia
mengatur struktur (Kaiseipo dalam Ridjal dan Karim, 1991). Secara langsung telah
diciptakan identitas baru bagi masyarakat Indonesia, yaitu mental ketergantungan.
Masyarakat di daerah menjadi lumpuh, ia tidak dapat bergerak tanpa tuntunan dan
petunjuk dari pemerintah pusat. Apa yang menjadi kebijakan Pemerintah pusat
tidak boleh dibantah. Pemerintah pusat senantiasa menuntut agar masyarakat
daerah agar tetap patuh dan tunduk, hal ini juga berarti bahwa pemerintah
menuntut masyarakat daerah untuk melepaskan diri dari kesetiaan lokal dan
bentuk-bentuk kesetiaan lainnya serta mengarahkan kesetiaan itu kepada negara
(Sjamsuddin dalam Alfian dan Sjamsuddin, 1991).
Tampaknya permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
selama ini justru lebih banyak terletak dalam bidang budaya politik. Secara
spesifik, apa yang menjadi pokok persoalan bagi kita di negeri ini ialah bagaimana
kepentingan-kepentingan yang berdasarkan sekian banyak subbudaya politik itu
dapat saling dipertemukan atau, setidak-tidaknya didekatkan (Sjamsuddin dalam
Alfian dan Sjamsuddin, 1991). Dengan kata lain kondisi masyarakat Indonesia
yang plural ini, pada dirinya telah mengandung bibit-bibit konflik. Inilah kelalaian
historis yang hingga kini masih terpelihara. Persatuan telah menjadi ‘Tuhan’ dan
asing bagi realitas kemajemukan.
Kemajemukan:Potensi Integrasi dan Potensi Konflik
Masyarakat majemuk terdiri dari aneka kelompok. Kelompok-kelompok
biasa membedakan diri dengan kelompok lain berdasarkan etnisitas. Kelompokkelompok ini acap dirujuk sebagai kelompok etnokultural dan dapat
didefenisiskan sebagai: pertama, sebagai suatu kelompok harus ada sejumlah
individu yang dapat dikenal, biasanya secara sosial berinteraksi dan melestarikan
diri sendiri dari waktu ke waktu. Kedua, kelompok itu butuh menjadi etnik dalam
karakter ( Berry dkk, 1999).

6

Kemajemukan, yang kata dasarnya adalah majemuk merupakan istilah
yang pertama kali diutarakan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat
‘Indonesia’ pada jaman Hindia Belanda (Nasikun, 1995). Lebih lanjut Nasikun,
berdasarkan pendapat Furnivall, menjelaskan masyarakat ‘Indonesia adalah
merupakan majemuk (plural societies), yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama
lain di dalam kesatuan politik. Sebagai contoh, dalam bidang politik tampak
dengan jelas bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak ada kehendak bersama
(common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemenelemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing
lebih merupakan kumpulan individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang
bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh
(Nasikun, 1995).
Masalah usaha mempersatukan penduduk yang beraneka warna tersebut
terdiri paling sedikit empat sub masalah yang masing-masing mempunyai dasar
serta lokasi yang berbeda dan yang karena itu memerlukan kebijaksanaan yang
berbeda-beda. Keempat sub masalah itu adalah:
1. Masalah mempersatukan aneka warna suku bangsa
2. Masalah hubungan antar umat beragama
3. Masalah hubungan antara mayoritas dan minoritas
4. Masalah integrasi budaya suku-suku bangsa yang ada di Indonesia
(Koentjaraningrat, 1984).
Untuk itu konsep suku bangsa di Indonesia perlu didefenisikan secara
ilmiah dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang
secara konsekuen harus dipakai sebagai kriteria pembeda yang obyektif bagi sukusuku bangsa yang besar maupun kecil di seluruh Indonesia. Dengan demikian akan
tampak segolongan penduduk Indonesia berbeda dari golongan yang lain, sehingga
bisa disebut sebagai suatu suku bangsa yang khas secara obyektif. Namun
demikian dalam interaksi dan pergaulan nyata antara penduduk Indonesia dengan
aneka latar belakang aneka bahasa dan adat istiadat, kriteria obyektif ilmiah untuk
membedakan satu suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, biasanya

7

tidak dipergunakan. Dalam interaksi dan pergaulan nyata justru alasan subyektif
yang dipakai. Ditambah juga bahwa di dalam hal itu ada suatu gejala penambahan
sejumlah ciri subyektif yang diberikan oleh suku bangsa yang satu kepada suku
bangsa yang lain, hal ini disebut stereotipe etnik. Sekalipun ada yang bernilai
positif, stereotipe ini biasanya bernilai negatif, dan hal ini merupakan salah satu
penghambat dalam interaksi serta pergaulan antar suku bangsa (Koentjaraningrat,
1984).
Usaha membina persatuan bangsa Indonesia yang majemuk menyangkut
suatu masalah lain yaitu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Masalah
tersebut bukan hanya suatu masalah cita-cita saja mengenai berkembangnya suatu
kebudayaan kesatuan yang kita bayangkan untuk kelak kemudian hari, melainkan
suatu masalah yang sangat nyata dan mempengaruhi kehidupan kita sebagai satu
nasion atau bangsa yang bernegara. Hal itu karena masalah kebudayaan nasional
Indonesia itu menyangkut masalah kepribadian nasional, dan masalah itu tidak
hanya langsung mengenai identitas kita sebagai bangsa, tetapi juga menyangkut
soal motivasi kita untuk bersama bersusah payah mengorbankan banyak harta dan
tenaga untuk membangun. Untuk itu syarat kebudayaan nasional meliputi:
pertama, kebudayaan nasional harus merupakan ide/gagasan, suatu aktivitas
sosial, atau hasil karya yang bermutu tinggi dari warga nasion itu sendiri agar dapat
menjadi kebanggaan bagi sebagian besar dari warga negara yang mendukungnya.
Kedua, sifat khas dan istimewa dari gagasan aktivitas sosial atau hasil karya itu
tidak mempunyai kesamaan dalam kebudayaan lain di dunia (Keontjaraningrat,
1984).
Telaah lintas budaya mengenai perbedaan dapat menjebak ke arah telaah
mengenai kekurangan; evaluasi tentang perbedaan antara kelompok (seperti
anggapan “ke-kami-an” (us) lebih baik, “ke-mereka-an” (them) lebih buruk)
dikenal sebagai etnosentrisme. Istilah ini ingin menjelaskan suatu kecenderungan
kuat untuk menerapkan patokan kelompok sendiri sebagai patokan satu-satunya
ketika memandang dan menempatkan kelompok seseorang pada hirarki teratas dan
mendudukkan kelompok lain pada hirarki yang lebih rendah (Berry dkk, 1999).

8

Berdasarkan hal di atas, maka masyarakat majemuk Indonesia menghadapi
permasalahan interaksi dalam konteks akulturasi. Akulturasi menunjuk pada
perubahan budaya dan psikologis karena perjumpaan dengan orang berbudaya lain
yang juga memperlihatkan perilaku berbeda (Berry dkk, 1999). Dengan
mendasarkan pada dua persoalaan pokok dalam menanggapi budaya yaitu
tanggapan terhadap budaya sendiri dan ketika berhadapan dengan budaya lain,
akan ditemukan empat varietas akulturasi.

Soal I
Apakah soal melestarikan
jatidiri dan ciri budaya
merupakan
suatu
yang
bernilai?
“YA”
“TIDAK”
Soal II
Apakah soal
memelihara
hubungan dengan
kelompok lain
menjadi hal yang
bernilai?

“YA”

“TIDAK”

Integrasi

Asimilasi

Separasi

Marjinalisasi

Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa proses Asimilasi:
adalah ketika seorang individu mengalami akulturasi tidak ingin memelihara
budaya dan jatidiri dan melakukan interaksi sehari-hari dengan masyarakat
dominan. Separasi: jikalau ada suatu nilai yang ditempatkan pada pengukuhan
budaya asal seseorang dan suatu keinginan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain. Integrasi: adanya minat dalam memelihara budaya asal dan melakukan
interaksi dengan orang lain (membuat yang terbaik dari kedua dunia yang
berbeda), dan disebut marjinalisasi: jika ada keniscayaan kecil atau minat kecil
untuk pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi

9

sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungan dengan orang
lain, kadang karena alasan pengucilan atau diskriminasi (Berry dkk, 1999).
Dengan melihat konsep di atas, sekali lagi dapat ditegaskan bahwa realitas
kemajemukan masyarakat Indonesia selain mengandung potensi integrasi sekaligus
mengandung potensi konflik.
Tuaian itu Ternyata Konflik
Berbagai konflik sosial yang disertai dengan tindakan kekerasan semakin
marak di Indonesia dan berada dalam kondisi kronis. Sepanjang tahun 1998 sampai
dengan saat ini telah terjadi berbagai konflik sosial, baik antargolongan agama,
antarsuku, antar pemerintah pusat dan daerah, hingga antarkelompok politik.
Konflik sosial tersebut akan semakin rumit jika terjadi konflik yang ‘dwi
minoritas;’, yaitu terhimpitnya konflik sosial suku dengan agama (kasus Ambon)
dan konflik “tripple minorities’, yaitu perhimpitan konflik sosial ras, suku, dan
agama, seperti yang terpotret dalam insiden Jakarta pada bulan Mei 1998 (Salim,
1999).
Sesungguhnya konflik adalah bagian dari perjalanan kehidupan manusia
dan merupakan konsekuensi alami dari keberadaan yang beragam. Perbedaan suku,
agama, dan ras sebenarnya tidak perlu selalu mengakibatkan konflik yang
destruktif, justru kehidupan suatu ekosistem akan stabil jika semakin beraneka
ragam.
Dengan melihat kenyataan bangsa Indonesia saat ini, mengapa rentetan
konflik sosial yang destruktif harus terjadi? Untuk mengkaji hal ini tidak bisa lepas
dari model pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam mengelola potensi
konflik yang telah ada dalam kandungan kemajemukan.
Pendekatan yang di terapkan selama ini adalah pendekatan fungsionalisstruktural yang menganalogkan masyarakat dengan organisme biologis. Adapun
anggapan dasar dari pendekatan ini adalah:
a.

Masyarakat adalah merupakan sebuah sistem yang bagianbagiannya saling berhubungan

10

b.

Hubungan di antara bagian-bagian bersifat ganda dan
saling berpengaruh/timbal balik

c.

Sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan
yang bersifat dinamis

d.

Ketidaksesuaian dan berbagai bentu penyimpangan dapat
teratasi dengan sendirinya melaui proses penyesuaian dan
institusionalisasi

e.

Perubahan-perubahan terjadi secara bertahap dan tidak
revolusioner.

f.

Perubahan dapat terjadi melalui cara penyesuaian yang
dilakukan oleh sistem sosial itu sendiri, pertumbuhan
melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional , serta
penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat

g.

Daya pengintegrasi adalah konsensus (Nasikun, 1995).

Dengan penekanan pada masyarakat sebagai suatu sistem dan konsensus
sebagai daya pengintegrasi, maka

kehidupan dalam kepelbagaian tidak rekat

secara sempurna, karena ketika konsensus dilanggar oleh pihak tertentu maka
sistem itu terancam disintegrasi.
Penutup: “Hai Pancasila, Di mana Sengatmu?”
Secara normatif dan juga sebagai mekanisme integrasi nasional (buah
konsensus), Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai nilai-nilai yang disepakati
bersama. Pancasila yang demikian telah menjadi asas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tentu saja, kekokohan dan kemantapan
Pancasila dalam mengintegrasikan bangsa di tengah berbagai persoalan nasional
yang dinamik juga akan ditentukan oleh seberapa jauh nilai-nilai Pancasila
dilaksanakan secara benar dalam praktek penyelenggaraan negara (Nashir, 1999).
Namun, dengan melihat kenyataan yang saat ini dialami oleh bangsa Indonesia,
peran dan fungsi integratif dari Pancasila perlu dipertanyakan. Pertikaian antar
golongan dan kepentingan yang destruktif

serta ketidakpuasan masyarakat di

11

daerah terhadap kebijakan Pemerintah pusat telah membawa Indonesia ke dalam
proses disintegrasi.
Dalam kerangka itulah telah banyak diskusi yang diadakan dan
memunculkan pula banyak konsep. Salah satunya adalah mendudukan Pancasila
sebagai agama sipil (civil religion). Disandingkannya Pancasila dengan agama
semata-mata dilihat dari fungsi integratif dan nilai religius yang dimiliki. Konsep
agama sipil dilontarkan oleh Robert Bellah yang mendapat ide dari J.J Rouseau
(Rouseau, 1986; Bellah dan Hammond, 1980). Konsep Pancasila (terutama sila
pertama) sebagai agama sipil ingin menunjukkan adanya elemen religius yang
dialami oleh Indonesia sebagai suatu bangsa.

Elemen-elemen religius itu

menyangkut makna, eksistensi, tujuan hidup suatu bangsa yang tercermin dalam
perjuangan dan pembangunan. Ini berarti pengalaman sebagai bangsa itu ditinjau
dari kacamata transenden atau dari dimensi religius. Dengan kata lain pengalaman
bangsa tidak semata dilihat sebagai hasil upaya manusia, melainkan campur tangan
Tuhan ada di dalamnya (Hadinoto, 1990). Dengan demikian Pancasila sebagai
agama sipil bersifat merangkum sekaligus mengayomi berbagai macam bentuk
keragaman secara adil dan setara.
Pandangan ini tidak bermaksud hendak menggusur agama dari peran
historisnya

apalagi menggantikan agama. Pancasila tidak diindentikan secara

menyeluruh dengan agama. Pancasila berfungsi sebagai dasar bagi tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya terdapat aspirasi-aspirasi
agama. Sedangkan agama berusaha menempatkan segala keberadaan manusia
dengan segala aktivitasnya dalam pertanggungjawabannya kepada Tuhan, Sang
Pencipta (Wahid, 1999).
Dalam kondisi kemajemukan yang mengandung bibit konflik, Pancasila
sebagai agama sipil sangat perlu untuk mendapat tempat dalam kehidupan
bermasyarakat, kehidupan yang senantiasa diwarnai oleh wawasan religius yang
menempatkan segala persoalan dalam pangkuan kemanusiaan yang universal.
Semoga!

12

DAFTAR BACAAN

Awuy, Tommy F., ‘Membaca Mitos, Merajut Identitas Manusia
Indonesia’, dalam Kompas, tanggal 28 Juni 2000

Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, Nannie Hudawati
(Penyunting)., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara Republik Indonesia:Jakarta, 1995

Bellah, Robert N. dan Phillip E. Hammond., Varieties of Civil Religion ,
San Fransisco:Harper&Row Publishers,1980

Berry, John W, Ype H. Poortinga, Marshall H. Segall, Pierre R.
Dasen., Psikologi Lintas Budaya; Riset dan Aplikasi, Edi
Suhardono (alih bahasa), Jakarta:PT. Gramedia,1999

Hadinoto, N.K Atmadja., Dialog dan Edukasi; Keluarga Kristen Dalam
Masyarakat Indonesia, Jakarta:BPK Gunung Mulia,1990

Kaisiepo, Manuel., ‘Ketika Kebudayaan Menjadi Alat Legitimasi
Politik’, dalam Fauzie Ridjal & M. Rusli Karim (editor), ), Dinamika
Budaya dan Politik Dalam Pembangunan ,Yogyakarta:Tiara
Wacana Yogya, 1991

Koentjaraningrat., Masalah-Masalah Pembangunan; Bunga Rampai
Antropologi Terapan LP3ES:Jakarta,1984

Linggi, Suleman Allo., Antara Suku-suku dan Internasionalisme:
Suatu Kajian terhadap Krisis Negara Nasional Indonesia Dalam
Pesrpektif Pluralisme Budaya Suku-suku dan Persentuhannya
Dengan Dunia Luar, Tugas Akhir matakuliah Sosiologi Menurut
Konteks Indonesia Program Pascasarjana Sosiologi Agama UKSW,
2000

13

Nashir, Haedar., Agama dan Krisis
Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999

Nasikun, Dr., Sistem Sosial Indonesia,
Press,1995

Rouseau,
J.J.,
Kontrak
Jakarta:Erlangga,1986

Sosial,

Kemanusiaan

Modern,

Jakarta:PT. RajaGrafindo

Sumardjo

(alih

bahasa),

Salim, Emil., ‘Membangun Integrasi Bangsa’ dalam Kompas, 2
September 1999

Sindhunata, ‘Demitologisasi Persatuan
Kristanto, 1000 Tahun Nusantara,
Nusantara, 2000

Nasional’, dalam J.B.
Jakarta:Kompas Media

Sjamsuddin, Nazaruddin., ‘Aspek-Aspek Budaya Politik Indonesia’,
dalam Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin, Profil Budaya Politik
Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991

Titaley, John A., “Nasionalitas dan Promordialitas: Pergumulan
Menjadi Indonesia di Tengah Pluralitas Bangsa “ Disampaikan
dalam pertemuan Jaringan Kerja Pelayanan Pemuda Gereja PGI,
29 Juli 1998 di Kawangkoan-Sulawesi Utara

Wahid, Abdurahman., Mengurai Hubungan Agama dan Negara,
Kacung Marijan dan Ma’mun Murod Al-Brebesy (editor),
Jakarta:Grasindo,1999

14