AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK ekstrak DARI POLISAK

MAKALAH
AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI POLISAKARIDA
EKSTRASELULER YANG DIHASILKAN MIKROALGA Porphyridium cruentum

AYU CHRISTIEN RAHAWEMAN
C351140181

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI POLISAKARIDA

EKSTRASELULER YANG DIHASILKAN MIKROALGA Porphyridium cruentum

I.

Pendahuluan
Laut merupakan bagian wilayah terluas yang melingkupi bumi. Indonesia memiliki luas

laut sebesar 2/3 dari total wilayahnya sehingga memiliki potensi atau sumber daya yang besar,
namun luasnya bagian ini tidak akan menghasilkan nilai apapun jika tidak dimanfaatkan secara
maksimal. Sumber daya pada wilayah perairan Indonesia meliputi flora, fauna dan beragam
mikroorganisme yang potensial seperti kapang dan bakteri endofit. Salah satu sumber daya laut
yang berpotensi adalah mikroalga. Mikroalga adalah kelompok alga berukuran renik (kecil),
ukuran diameter antara 3-30 μm, memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam menyerap dan
memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk proses fotosintesis. Mikroalga terdiri dari banyak
spesies yang hampir semuanya adalah organisme akuatik (Sasmita et al, 2004). Kelompok
mikroalga dibedakan berdasarkan pigmen yang dikandungnya, yakni diatom
(Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan
ganggang biru (Cyanophyceae). Lingkungan perairan terdapat ratusan jenis mikroalga, namun
belum banyak yang dimanfaatkan.
Biomassa mikroalga mengandung bahan-bahan penting yang sangat bermanfaat,
misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Karbohidrat (polisakarida) yang
terkandung dalam mikroalga memiliki manfaat yang besar seperti sumber energi seperti
penghasil biofuel (Chinnasamy 2010), pakan, dan juga dalam bidang pengobatan yakni
antidiabetes (antihiperglikemik). Penggunaan mikroalga dalam bidan farmasi sudah meluas
yakni penghasil suplemen seperti Spirulina, senyawa antiinflamasi, antikanker, antioksidan, dan
antihiperglikemik. Porphyridium cruentum merupakan mikroalga yang juga menghasilkan
polisakarida ekstraseluler yang diekskresikan oleh sel melalui badan golgi ke dalam media

kultur. Polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan terdiri dari D-xylose, D-glucose, D-galactose,
L-galactose, 3-O-methylxylose, 3-O-metylgalactose, dan D-glucuronic acid (Percival dan Foyle
1979).
Polisakarida yang dihasilkan oleh Porphyridium cruentum memiliki potensi sebagai
obat antihiperglikemik karena memiliki senya senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja
menghambat enzim α-glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Enzim-enzim αglukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis
oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi
pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan
kadar glukosa postprandial pada pasien diabetes. Senyawa inhibitor α-glukosidase juga
menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam
lumen usus halus (Info Obat Indonesia 2009). Proses untuk menghasilkan senyawa
antihiperglikemik dari mikroalga Porphyridiun cruentum meliputi proses yang panjang, dan
yang paling menentukan adalah proses kultivasi. Proses kultivasi mikroalga untuk menghasilkan
biomassa yang selanjutnya dapat dimanfaatkan membutuhkan proses yang panjang serta nutrisi
yang cukup untuk pertumbuhan mikroalga, meliputi penyegaran inokulum mikroalga

Porphyridium cruentum, kultivasi dan pemanenan mikroalga Porphyridium cruentum,
penghitungan jumlah sel, dan penentuan umur panen yang selanjutnya dilakukan pemisahan
polisakarida, analisis komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum, uji fitokimia, dan
uji inhibisi α-glukosidase.

Penelitian tentang antihiperglikemik dari polisakarida ekstraseluler dan komposisi
biokimia biomassa Porphyridium cruenttum belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan
penelitian aktivitas antihiperglikemik polisakarida dan biomassa dari Porphyridium cruentum.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji aktivitas antihiperglikemik dari
polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan mikroalga porphyridium cruentum, serta metode
kultivasi dan proses produksi biomassa mikroalga porphyridium cruentum.
II.
a.

Tinjauan Pustaka
Deskripsi Porphyridium cruentum
Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk divisi
Rhodophyta, hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam mucilago. Senyawa mucilago
dieksresikan secara konstan oleh sel membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago
merupakan polisakarida sulfat yang bersifat larut dalam air (Vonshak 1988). Klasifikasi
Porphyridium cruentum (Vonshak 1988) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Rhodophyta

Sub Kelas
: Bangiophycidae
Ordo
: Porphyridiales
Famili
: Porphyridiaceae
Genus : Porphyridium
Spesies : Porphyridium cruentum

Gambar 1 Porphyridium cruentum (Department of Enviromental Science 2008)
Sel Porphyridium cruentum berbentuk bulat dengan diameter 4-9 μm. Struktur selnya
terdiri dari sebuah nukleus (inti), kloroplas, badan golgi, mitokondria, lendir, pati dan vesikel
(Lee 2008). Porphyridium cruentum tidak memiliki dinding sel. Setiap sel memiliki kloroplas
dengan pirenoid di tengahnya. Permukaan membran tilakoid pada kloroplas diselimuti oleh
phycobilisome (Vonshak 1988). Porphyridium dapat hidup di berbagai habitat alam seperti air

laut, air tawar, maupun pada permukaan tanah yang lembab dan membentuk lapisan kemerahmerahan yang sangat menarik. Habitat asli dari Porphyridium cruentum diduga berasal dari laut
karena dapat hidup dengan baik pada media cair maupun media padat air laut (Vonshak 1988).
Porphyridium cruentum dibungkus oleh polisakarida yang merupakan heteropolimer asam yang
dibentuk oleh gula sulfat. Polisakaridanya membentuk jembatan ion melalui dua ikatan kation

dan memiliki bobot molekul yang tinggi. Ketebalan polisakarida bervariasi tergantung pada fase
pertumbuhan dan kondisi pertumbuhan. Sebagian polisakarida diekskresikan ke dalam medium
pertumbuhan, sehingga viskositasnya semakin tinggi (Arad et al. 1985).
Biomasa sel Porphyridium cruentum mengandung kadar air 1,25-8,83%, kadar abu
16,8-23,6%, karbohidrat 22,8-39,3%, protein 27,7-40,8%, dan total lemak 5,78-7,55% (Fuentes
et al. 2000). Produk komersial dari Porphyridium diantaranya adalah asam arakidonat,
polisakarida, dan fikoeritrin. Biomassa kering sel Porphyridium cruentum mengandung 2% asam
arakidonat, 35% polisakarida, dan 8% fikoeritrin (Vonshak 1988). Pertumbuhan mikroalga
dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik merupakan faktor yang
berkaitan dengan metabolisme tubuh mikroalga, dalam hal ini adalah Porphyridium cruentum,
sedangkan faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan di mana
Porphyridium cruentum tersebut tumbuh. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga Porphyridium cruentum diantaranya adalah suhu, cahaya, salinitas dan pH, serta
nutrisi.
1. Suhu
Sel Porphyridium cruentum dapat tumbuh pada kisaran suhu 10-35 oC. Aktivitas
optimum fotosintesis pada kultur Porphyridium cruentum terjadi pada suhu 25 oC (Vonshak
1988). Suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 21-26 oC dan pada
suhu di bawah 13 oC dan di atas 31 oC pertumbuhannya lambat (Golueke dan Oswald 1962
diacu dalam Vonshak 1988)

2. Cahaya
Pertumbuhan Porphyridium cruentum tergantung pada intensitas cahaya meskipun
Porphyridium cruentum memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap intensitas cahaya. Kultur
yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh dengan cepat. Arad dan
Richmond (2004) melaporkan bahwa faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga
adalah cahaya yang merupakan faktor utama pada fotosintesis. Pertumbuhan mikroalga akan
meningkat lebih dari 400% bila intensitas cahaya diubah dari 538 lux menjadi 4300 lux.
Pertumbuhan ini juga diikuti dengan peningkatan volume sel dan granula sitoplasma. Kandungan
pigmen dan ukuran kloroplast menurun sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya, total
lemak (bb) Porphyridium cruentum pada siklus terang-gelap (12:12) lebih tinggi dibandingkan
pada siklus terang–gelap (18:6) dan (6:18), dengan nilai total lemak berturut-turut adalah 19,3%,
18,3% dan 14,4% (Sung et al 2009).
3.

Salinitas dan pH
Porphyridium cruentum dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup lebar,
yaitu 0,5-2 kali konsentrasi air laut (Vonshak 1988). Porphyridium cruentum tidak mampu

bersaing hidup dengan mikroalga lainnya pada kondisi salinitas kurang dari 3,5% jika
ditumbuhkan pada kultur terbuka. Salinitas sebesar 4,6% tidak menghambat proses

pertumbuhan. Meskipun demikian salinitas dengan kisaran 3,5-4,5% dapat memacu
pertumbuhan yang optimal (Arad dan Richmond 2004). Porphyridium cruentum juga toleran
terhadap perubahan pH pada kisaran antara 5,2-8,3. Aktivitas fotosintesis menurun hingga
maksimum 33% ketika pH turun mencapai 5 dan pH optimum fotosintesis Porphyridium
cruentum adalah 7,5 (Colman dan Gehl 1983 diacu dalam Vonshak 1988)
4. Nutrisi
Porphyridium cruentum dapat menggunakan KNO3 dan ammonium sebagai sumber
nitrogen. Pertumbuhan dapat juga dihasilkan dengan menggunakan urea sebagai sumber nitrogen
pada medium air laut (Vonshak 1988). Menurut Arad et al. (1988), terbatasnya jumlah nitrogen
dalam medium akan menghambat fotosintesis, namun terbatasnya jumlah nitrogen ini akan
berdampak pada meningkatnya ekskresi polisakarida ke dalam medium. Porphyridium cruentum
menggunakan CO2 sebagai sumber karbon. Pertumbuhan menjadi lebih cepat pada kultur yang
diberi cahaya dan aerasi dengan udara yang mengandung CO2 (Vonshak 1988). Sumber sulfur
diperoleh dari MgSO4, Na2SO3, atau Na2S2O3 dengan konsentrasi antara 5,4-27,0 mM akan
menghasilkan pertumbuhan alga yang baik (Vonshak 1988).
b.

Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran
sel atau bertambahnya jumlah sel. Perkembangan sel dalam kultur mikroalga terdiri atas lima

fase, yaitu fase lag (adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase penurunan laju pertumbuhan
(deklinasi), fase stasioner dan fase kematian. Fase lag merupakan fase pertama dalam
pertumbuhan mikroalga dan mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum
yang tidak merata dan terjadi proses adaptasi terhadap media kultur. Fase kedua adalah fase
eksponensial di mana percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen
biokimia menjadi konstan. Fase ketiga merupakan fase penurunan laju pertumbuhan yang
disebabkan populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien sedangkan
pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk
mendapatkan nutrien yang semakin berkurang. Intensitas cahaya yang diterima sel semakin
berkurang akibat jumlah sel yang semakin tinggi sehingga terjadi pembentukan bayangan dari sel
itu sendiri juga dapat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan.
Kurva pertumbuhan mulai berubah karakter dari eksponensial menjadi linier pada saat
faktor-faktor pertumbuhan mulai habis. Fase ini disebut fase stasioner. Peningkatan ukuran
populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung konstan, karena laju pertumbuhan seimbang
dengan laju kematian pada fase stasioner. Pertumbuhan mikroalga yang dikultur mencapai
tingkat maksimal pada fase stasioner. Fase kematian merupakan fase akhir yang ditandai dengan
penurunan produksi biomassa karena kematian sel. Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam
kultur disajikan pada Gambar berikut.

Jumlah sel


Waktu
Gambar 2 Pola pertumbuhan sel alga (1) fase lag, (2) fase eksponensial, (3) fase deklinasi,
(4) fase stasioner, (5) fase kematian)
III.

Prosedur Kultivasi Porphyridium cruentum dan Pengujian Aktivitas
Antihiperglikemik
Pengujian aktivitas antihiperglikemik pada Porphyridium cruentum melalui beberapa
tahapan yakni penyegaran inokulum mikroalga Porphyridium cruentum, kultivasi dan
pemanenan mikroalga, penghitungan jumlah sel, dan penentuan umur panen dan jumlah etanol,
pemisahan polisakarida, pengujian komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum, yang
meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat, dan uji inhibisi αglukosidase.
1)
Penyegaran inokulum mikroalga Porphyridium cruentum
Kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dengan media Becker danpenyegaran
Porphyridium cruentum dengan media Guillard. Medium Guillard digunakan untuk membuat
suatu kondisi yang sama dengan media awal pertumbuhan mikroalga tersebut. Hal ini diharapkan
dapat membantu Porphyridium cruentum untuk melakukan proses adaptasi terhadap lingkungan
baru secara cepat. Selanjutnya pembuatan inokulum dan kultivasi mikroalga Porphyridium

cruentum digunakan media Becker. Penyegaran stok mikroalga perlu dilakukan sebelum
kultivasi dalam bioreaktor agar mikroalga yang ditumbuhkan dalam kondisi segar dan aktif.
Penyegaran stok mikroalga dilakukan dalam keadaan aseptik pada suhu ruang di bawah
penyinaran lampu pada selang 500-2000 lux dengan pemberian aerasi. Porphyridium cruentum
dikultur dalam media yang diatur pada pH 7,6 dan disterilkan dengan lampu UV selama 30
menit.
2)
Kultivasi dan pemanenan mikroalga Porphyridium cruentum
Kultivasi dilakukan dengan memindahkan 20% kultur segar Porphyridium cruentum ke
dalam bioreaktor. Kultivasi dilakukan pada media Becker pada suhu ruang di bawah penyinaran
lampu pada selang 500-2000 lux dengan pemberian aerasi. Selama kultivasi dilakukan
penghitungan konsentrasi sel. Penghitungan konsentrasi sel mikroalga dilakukan untuk membuat
kurva pertumbuhan. Penghitungan ini dilakukan setiap hari dengan menggunakan metode
mikroskopis langsung menggunakan haemasitometer. Pemanenan dilakukan pada fase stasioner

dimana produksi polisakarida optimum. Pemanenan Porphyridium cruentum dilakukan dengan
pengendapan menggunakan sentrifuge. Sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 10.000 rpm
selama 15 menit pada suhu 4oC. Biomassa dan media kultur terpisah. Media kultur disimpan
pada suhu refrigerasi untuk keperluan pemisahan polisakarida.
3)

Penghitungan jumlah sel (Hadioetomo 1993)
Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung sebagai berikut:
a. Permukaan hitung haemasitometer dan kaca penutup dibersihkan dengan
menggunakan alkohol 70%.
b. Tutup kaca haemasitometer diletakkan pada permukaan haemasitometer. Suspensi
biakan P. cruentum hasil pengambilan contoh dikocok, kemudian diambil dengan
mikropipet sebanyak 25 μl. Suspensi tersebut diteteskan pada tempat menaruh sampel
yang terdapat pada haemasitometer hingga suspensi P. cruentum menyebar pada ruang
hitung.
c. Haemasitometer diletakkan di atas pentas mikroskop. Jumlah sel yang terdapat dalam
80 kotak kecil yang terletak dalam kotak bagian tengah yang berukuran 0,2 mm2 (5 x
16 x 0,0025 mm2) dihitung dengan mikroskop pada pembesaran 40x10. Perhitungan
jumlah sel dilakukan sebanyak 2 kali ulangan. Penampang haemasitometer dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Penampang haemasitometer (
4)

Kotak yang dihitung jumlah sel)

Penentuan umur panen
Penentuan umur panen diawali dengan pemisahan polisakarida. Sebanyak 10 mL
sampel pada setiap umur kultur disentrifuse kemudian supernatannya ditambahkan dengan etanol
teknis 96% dengan perbandingan 1:1. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan dalam freezer
selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan
polisakarida dan larutannya. Kertas saring kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 45 oC
selama 6 jam. Hasil pengeringan ini kemudian ditimbang. Berat polisakarida didapat dari selisih
antara kertas saring kering kosong dan kertas saring yang mengandung polisakarida. Umur panen
ditentukan pada bobot polisakarida tertinggi.
5)
Penentuan perbandingan jumlah etanol

Penentuan perbandingan jumlah etanol dilakukan dengan menambahkan etanol teknis
96% pada supernatan hasil panen. Penambahan etanol dilakukan pada perbandingan supernatan :
etanol yaitu 1:2; 1:1; 1:0,75; 1:0,5; dan 1:0,25. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan
dalam refrigerator selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk
memisahkan polisakarida dan larutannya. Kertas saring kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 45 oC selama 6 jam. Hasil pengeringan ini kemudian ditimbang. Berat polisakarida didapat
dari selisih antara kertas saring kering kosong dan kertas saring yang mengandung polisakarida.
Bobot polisakarida tertinggi merupakan konsentrasi etanol terpilih yang akan digunakan pada
pemisahan polisakarida dalam jumlah besar.
6)
Pemisahan polisakarida
Pemisahan polisakarida dilakukan dengan menambahkan etanol teknis 96% pada
supernatan hasil panen. Penambahan etanol dilakukan pada perbandingan supernatan : etanol
dengan konsentrasi terpilih. Hasil campuran ini didiamkan dan disimpan dalam refrigerator
selama 24 jam. Kemudian dilakukan penyaringan dengan nylon mess 20 mess untuk memisahkan
polisakarida dan larutannya. Hasil penyaringan kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya.
7)
Analisis komposisi biokimia biomassa Porphyridium cruentum
Analisis komponen biokimia biomassa dilakukan dengan beberapa analisis yakni analisis kadar
air (AOAC 2005), analisis kadar abu (AOAC 2005), analisis kadar protein (AOAC 1980), dan
analisis kadar lemak (AOAC 2005)
8)
Uji fitokimia (Harborne 1987)
Uji fitokimia yang dilakukan antara lain dengan menguji komponen alkaloid dimana
sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga
pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji
dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan
coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff;
uji komponen steroid/ triterpenoid dimana sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform
dalam tabung reaksi yang kering. Lalu, 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat
ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk pertama kali kemudian
berubah menjadi biru dan hijau, menunjukkan reaksi positif. Uji komponen Flavonoid dilakukan
dengan sejumlah sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,10 mg dan 0,40 mL amil alkohol
(campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol
kemudian campuran dikocok. Warna merah, kuning atau jingga yang terbentuk pada lapisan amil
alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
Uji saponin (uji busa) dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama
30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. Uji
fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3) dimana sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 mL
etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes
larutan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya senyawa
fenol dalam bahan.
9)
Inhibisi α-glukosidase (Sutedja 2003 diacu dalam Sugiwati 2005)

Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam 100 mL buffer
fosfat (pH 7) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum digunakan, sebanyak 1
mL larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan buffer fosfat (pH 7). Campuran reaksi
terdiri dari 250 μl p-nitrofenil- -D-glukopiranosa (20 mM) sebagai substrat, 490 μl buffer fosfat
(100 mM, pH 7) dan 10 μl larutan sampel dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi
pada 37 oC selama 5 menit, 250 μl larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama
15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μl natrium karbonat (200 mM) dan
p-nitro fenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm. Larutan standar (acarbose)
dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose
(Glucobay) dalam akuades dan HCl 2N. Larutan disentrifugasi dan supernatannya digunakan
sebagai standar.
IV.

Pembahasan
Polisakarida merupakan salah satu komponen yang dihasilkan oleh mikroalga
Porphyridium cruentum. Fungsi biologi dari polisakarida pada Porphyridium cruentum, yaitu
melindungi sel, pertukaran atau penampungan ion, membentuk penghalang yang sulit ditembus
oleh gas dan air, serta sebagai tempat vitamin dan hormon. Polisakarida dari Porphyridium
cruentum juga berfungsi untuk membentuk thallus pseudoparenkim yang dilakukan bersamasama dengan sel (Vonshak 1988). Polisakarida terdiri atas 7-10% rantai sulfat ester dan
dihubungkan oleh 5-7% protein. Viskositas polisakarida Porphyridium cruentum cukup tinggi
dibandingkan dengan xanthan gum komersial. Produksi rata-rata tiap hari polisakarida
Porphyridium cruentum sekitar 55 sampai 75 mg (berat kering) per liter.
Kultur Porphyridium cruentum dapat mencapai densitas sel yang tinggi pada waktu
yang relatif singkat dan mengeluarkan polisakarida ke medium dalam jumlah besar. Polisakarida
berbentuk kapsul yang mengelilingi sel dengan kekentalan yang bervariasi tergantung dengan
fase pertumbuhan. Produksi polisakarida yang paling kental terjadi pada fase stasioner, yaitu
jumlah sintesis polisakarida lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan ke dalam
medium. Selama pertumbuhan viskositas medium meningkat dikarenakan pengeluaran
polisakarida ke medium. Kondisi lingkungan yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah
produksi polisakarida. Produksi polisakarida tertinggi ketika jumlah sumber nitrogen terbatas.
Polisakarida dapat diisolasi melalui presipitasi menggunakan cetylpiridinium chloride, diikuti
dengan konversi menjadi kalsium dan dipresipitasi kembali dengan etanol. Prosedur ini akan
menghasilkan polisakarida murni dan menjaga viskositas terhadap perubahan pH dan suhu
(Vonshak 1988).
Prosedur isolasi polisakarida dari mikroorganisme tergantung pada letak biopolimer
terikat pada dinding sel atau diekskresikan oleh sel sebagai pelindung atau pengotor. Isolasi
dapat dilakukan dengan ekstraksi dari biomassa sel. Namun, akhir-akhir ini isolasi polisakarida
dilakukan dengan sentrifugasi maupun filtrasi untuk memisahkan produk dari sel (Giavasis dan
Biliaderis 2006). Viskositas polisakarida Porphyridium sp.dalam larutan terkonsentrasi (1-2 g/L),
stabil pada berbagai nilai pH (2-9), suhu (30-120 oC) dan air garam. Ketergantungan dari
viskositas intrinsik pada kekuatan ionik, diperkirakan bahwa kekakuan dari rantai polisakarida

Porphyridium sp. berada dalam kisaran yang sama seperti yang dari getah xanthan dan DNA
(Eteshola et al. 1996 diacu dalam Arad dan Richmond 2004). Menurut penelitian Kusumawarni
(1998), secara umum produksi polisakarida terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain faktor
lingkungan, fase pertumbuhan juga berpengaruh terhadap produksi polisakarida. Produksi
polisakarida akan meningkat pada fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan
hingga akhir fase stasioner masih mendukung bagi pertumbuhan dan pembentukan polisakarida.
Kondisi pertumbuhan yang baik akan menentukan kandungan polisakarida sebagai hasil
fotosintesis. Sehingga semakin tinggi tingkat fotosintesis, semakin banyak pula polisakarida
yang akan terbentuk.
Berdasarkan penelitian Agustini et al. (2009), produksi ekstraseluler Porphyridium
cruentum dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaran. Produksi polisakarida ekstraseluler
mencapai maksimum pada saat sel mengalami fase logaritmik akhir menuju ke fase stasioner.
Berbeda halnya dengan penelitian Kusumawarni (1998), produksi polisakarida ekstraseluler akan
meningkat saat sel mulai memasuki fase stasioner hingga akhir fase stasioner. Cahaya biru dan
merah dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis dan meningkatkan produksi
polisakarida ekstraseluler. Pertumbuhan dan produksi polisakarida ekstraseluler Porphyridium
cruentum dipengaruhi oleh intensitas dan panjang gelombang cahaya. Pertumbuhan
Porphyridium cruentum meningkat seiring dengan peningkatan intensitas cahaya, meskipun
cahaya yang melebihi titik jenuh menjadi penghambat pertumbuhan mikroalga (You dan Barnett
2004).
Porphyridium cruentum menggunakan nitrat atau ammonium sebagai sumber nitrogen.
Arad et al. (1988) melakukan penelitian dengan menggunakan tiga tipe kultur yaitu batch mode
(pemberian nitrat pada awal kultivasi), continual mode (pemberian nitrat tiap hari), dan deficient
mode (tanpa pemberian nitrat) menyatakan bahwa batch mode dan continual mode mengalami
pertumbuhan yang sama, sedangkan pertumbuhan pada deficient mode terhambat. Jumlah
polisakarida yang dihasilkan pada continual mode dan deficient mode tiap sel memiliki
persamaan. Meskipun produksi polisakarida maksimal terjadi pada batch mode, tetapi jumlah
polisakarida yang diekskresikan ke medium secara maksimal terjadi pada deficient mode. Jumlah
nitrogen yang ditambahkan pada medium kultivasi berpengaruh terhadap distribusi antara jumlah
polisakarida terlarut pada medium dan polisakarida yang terikat pada sel.
Porphyridium cruentum memiliki potensi sebagai antihiperglikemik karena memiliki
enzim α-glukosidase dan polisakarida. Enzim α-glukosidase berfungsi memecah karbohidrat
menjadi glukosa pada usus halus manusia. Enzim ini merupakan enzim yang terlibat dalam
degradasi glikogen. Degradasi lanjutan dari glikogen oleh fosforilase dapat terjadi hanya setelah
kerja enzim glukanotransferase dan α-glukosidase, yang mengkatalis dua reaksi (Lehninger
2004). Mekanisme kerja inhibisi dari polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum yang
berperan sebagai inhibitor belum diketahui. Untuk mengetahui mekanisme inhibisi dari suatu
inhibitor, maka perlu dilakukan pemetaan kebalikan ganda data kecepatan enzim (Lehninger
2004). Mekanisme kerja inhibisi dari flavonoid yang memiliki efek penghambatan terhadap
enzim α-glukosidase melalui ikatan hidroksilasi dan substitusi pada cincin β. Prinsip
penghambatan ini serupa dengan acarbose, yaitu menghasilkan penundaan hidrolisis karbohidrat

dan absorbsi glukosa serta menghambat metabolism sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Ho
dan Bray 1999).
MEDIA KULTIVASI Porphyridium cruentum
Proses kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dengan menggunakan media
pertumbuhan yang menyediakan komponen nutrisi yang diperlukan oleh mikroalga pada
umumnya. Kebutuhan unsure hara bagi kehidupan alga secara garis besarterbagi dua, yaitu
unsure hara makro dan unsure hara mikro. Unsure hara makro terdiri dari N, P, K, S, Na, Si, dan
Ca, sedangkan unsur hara terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, dan B. Unsur-unsur makro
maupun mikro biasanya diberikan dalam bentuk senyawa. Unsur makro adalah hara yang
diperlukan tanaman dan alga dalam jumlah yang relative banyak. Nitrogen (N) diberikan dalam
bentuk NH4NO3, NH2PO4, NH2SO4. Nitrogen berfungsi untuk membentuk protein, lemak, dan
berbagai senyawa organic lain, pertumbuhan dan pembentukan sel secara vegetative. Fosfor (P)
diberikan dalam bentuk KH2PO4 yang berfungsi untuk metabolisme energy, sebagai stabilitor
membrane sel, pengaturan metabolisme alga, pengaturan produksi pati/amilum, pembentukan
karbohidrat, sangat penting dalam transfer energy, protein, dan sintesis asam amino serta
kontribusi terhadap struktur dan asam nukleat.
Unsur K (kalium) memperkuat organ alga, memperlancar metabolisme dan penyerapan
makanan, unsur S (sulfur) berperan dalampembentukan asam amino dan vitamin, unsure Ca
(kalsium) berperan membantu menyusun dinding sel, mengatur permeabilitas membrane. Mg
(magnesium) diberikan salam bentuk MgSO4.7H2O yang berperan dalam pembentukan klorofil,
pembentukan karbohidrat, lemak, vitamin, dan untuk meningkatkan kandungan fosfat dan
pembentukan protein. Kalium (K), diberikan dalam bentuk KH2PO4 yang berfungsi untuk
pemanjangan sel, memperkuat tubuh alga, memperlancar metabolisme dan penyerapan makanan,
ion kalsium ditransfer secara cepat menyebrangi membrane sel dan mengatur pH dan tekanan
osmotic di antar sel. Unsur S merupakan unsure yang penting untuk pembentukan beberapa jenis
protein, seperti asam amino dan vitamin B1.
Unsur mikro adalah unsure hara yang diperlukan mikroalga dalam jumlah sedikit.
unsure Fe biasanya diberikan dalam bentuk senyawa dan berfungsi sebagai penyangga kestabilan
pH medium dan berperan dalam pembentukan klorofil, Mn berperan sebagai activator enzim,
unsure Zn berperan sebagai activator enzim dan penyusun klorofil, unsure Cu berperan sebagai
bagian enzim fenolase, lactase, dan askorbat aksidase, unsur B berfungsi dalam translokasi
karbohidrat, sebagai activator dan inaktivator zat pengatur tumbuh, unsure Cl berperan sebagai
ion yang berpengaruh terhadap aktivitas enzim, Mo berperan dalam membentuk enzim
reduktase, sintesis asam askorbat dan ikut dalam metabolisme fosfor.

PROSES PRODUKSI MIKROALGA
Inokulan mikroalga tertentu dibiakkan dalam suatu wadah dengan temperatur dan
pencahayaan serta aerasi terkontrol untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal. Komponen
CO2 dan unsur nutrien (makronutrien dan mikronutrien) diberikan secara berkala demi

peningkatan biomassa spesies. Stok mikroalga dibudidayakan hingga jenuh di dalam tempat
aquarium besar dengan pencahayaan dan aerasi terkontrol (sekitar 10 hari). Mikroalga dipanen
dengan memisahkan air dan koloni mikroalga dengam metode penyaringan hingga diperoleh
biomassa kering mikroalga (Gambar 4).
- Pemilihan inokulan atau starter adalah penentu daya pertumbuhan biakan mikroalga.
Inokulan yang baik adalah inokulan yang mampu beradaptasi dengan kondisi kultur yang
sangat berbeda dengan habitat asal starter. Spesies Porphyridium sp. merupakan inokulan
untuk kultivasi yang cukup responsif dalam adaptasi lingkungan baru.

Gambar 4 Diagram alir proses produksi mikroalga
-

Kultivasi biomassa; Proses kultivasi Porphyridium cruentum tidak jauh berbeda dengan
proses kultur mikroalga spesies lainnya. Proses kultur mikroalga disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan volume biomassa dari spesies, dikenal dengan konsep scaling up. Terdapat
beberapa tahapan kultivasi sesuai kepadatan koloni spesies mikroalga, dimulai dari skala
indoor, skala semi-outdoor, hingga kultur massal di system outdoor. Kultivasi indoor dapat
dilakukan di mediapadat (agar). Tahapan selanjutnya adalah kultur dimedia cair yang
diawali dengan mengkultur mikroalga dalam tabung reaksi steril dan diberi
nutrien.Selanjutnya apabila kepadatan mikroalga dalamtabung meningkat, kultur dapat
dipindahkan dalammedia dengan volume lebih besar (100–300 mL). Setelah satu minggu
kultur dapat dipindahkan kevolume yang lebih besar lagi (500–1000 mL).
Demikianseterusnya kultur dilakukan secara bertahap darivolume kecil ke volume yang

lebih besar yaitu sampai 5000 mL. Kultur semi outdoor menggunakan wadah kultur dengan
kapasitas 40 L atau 100 L denganpencahayaan yang tidak terlalu kuat. Kultur
dapatdilanjutkan dengan wadah berkapasitas 1000 L dengan volume yang lebih besar (10–
1000 m3) setara dengan kultur skala massal.

Gambar 5 Media kultivasi biomassa mikroalga skala laboratorium dan skala besar pada bak beton

Mikroalga dapat tumbuh dalam berbagai media yang mengandung cukup unsur hara
makroseperti N, P, K dan unsur mikro lainnya dalam jumlah relatif sedikit yaitu besi (Fe),
tembaga (Cu), mangan (Mn), seng (Zn), silicon (Si), boron (B), molybdenum (Mo), vanadium
(V), dan kobalt (Co). Pupuk sebagai faktor penunjang pertumbuhan sel secara normal
memerlukan minimal 16 unsur hara di dalamnya dan harus ada 3 unsur mutlak, yaitu nitrogen,
fosfor, dan kalium. Pemasukan unsur N, P, K dalam air limbah yang berbeda pada kultivasi
mikroalga akan menghasilkan produktivitas proksimat yang berbeda. Hal tersebut akibat asupan
total nitrogen (TN) dan total fosfor (TP) yang disintesa oleh mikroalga juga berbeda.
Amonium adalah salah satu bentuk kimia yang paling umum dari nitrogen yang dapat
mudah diserap oleh sebagian besar spesies mikroalga.Dalam hal ini, sumber murah nitrogen
dalam air limbah atau effluen dapat digunakan untuk budidaya mikroalga (Razzak et al. 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan budidaya mikroalga berbasis limbah terhambat dengan
konsentrasi TN tinggi , terutama amonium tinggi. Terlepas dari efek negatif pada pertumbuhan
mikroalga dalam suplemen amonium, masih merupakan sumber nitrogen disukai jika parameter
lingkungan untuk pengembangan yang tepat dari budaya dikendalikan (Razzak et al. 2013).
Fosfor adalah unsur penting lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga dan
metabolisme.Fosfor merupakan elemen penting yang berkontribusi sebagai ATP dalam sel
mikroalga.Oleh karena itu, ketersediaan fosfor memiliki dampak besar dalam pertumbuhan
mikroalga seperti yang dapat dipertimbangkan dalam pengaruh fotosintesis (Razzak et al., 2013).
Fosfor biasanya tersedia dalam air limbah sebagai spesies anion anorganik
Konsentrasi TN dan TP yang relatif rendah (TN: sekitar 15-90 mg/L, TP: sekitar 5-20
mg/L) di dalam kedua efluen. Semakin rendah TN dan TP adalah kualitas air khas air limbah
rumah tangga. Konsentrasi TN dan TP di air limbah dari peternakan dan pertanian biasanya

sekitar 185-3,213 mg/L dari TN dan sekitar 30-987 mg/L dari TP, seperti cernaan anaerobik
efluen sampah unggas, air limbah pupuk babi atau susu. Namun, jenis-jenis limbah selalu
mengandung nutrisi dari konsentrasi yang sangat tinggi, dan dengan demikian harus diencerkan
sebelum digunakan untuk budidaya mikroalga. Budidaya mikroalga membutuhkan air, cahaya,
CO2 dan bahan-bahan anorganik sebagai nutrisi. Selain itu, peningkatan produktivitas budidaya
mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, suhu,kadar CO2, cahaya, dan
salinitas yang optimum (Wang et al 2013). Salinitas merupakan faktorlingkungan yang sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan komponen biokimia mikroalga laut (Zhu et al 2008).
V.

KESIMPULAN

Porphyridium cruentum memiliki potensi antihiperglikemik karena dapat menghasilkan
polisakarida ekstraseluler diekskresikan oleh sel melalui badan golgi ke dalam media kultur.
Polisakarida yang dihasilkan oleh Porphyridium cruentum memiliki potensi sebagai obat
antihiperglikemik karena memiliki senya senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat
enzim α-glukosidase yang terletak pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif
dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat
mengurangi peningkatan kadar glukosa postprandial pada pasien diabetes. Senyawa inhibitor αglukosidase juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang bekerja menghidrolisis
polisakarida di dalam lumen usus halus. Proses yang paling menentukan untuk menghasilkan
biomassa mikroalga adalah proses kultivasi serta kandungan nutrisi untuk pertumbuhan
mikroalga.

Referensi
[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 1980. Official Method of Analysis of the
Association of Official Analitical of Chemist. Arlington: The Association of Official
Analitical Chemist, Inc.
[AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of the
Association of Official Analitical of Chemist. Arlington: The Association of Official
Analitical Chemist, Inc. Info Obat Indonesia 2009
Agustini NWS, Kusmiati, Jusuf E, Kabinawa IN. 2009. Produksi eksopolisakarida dari mikroalga
Porphyridium cruentum yang berpotensi sebagai senyawa antiinflamasi kulit.
http://www.biotek.lipi.go.id.
Arad SM, Adda M, Cohen E. 1985. The potential of production of sulfate polysaccharide from
Porphyridium. Plant and Soil 89: 117-127.
Chinnasamy S, Bhatnagar A, Hunt RW, Das, KC. 2010. Microalgae cultivation in a wastewater
dominated by carpet mill effluents for biofuel applications.Bioresource Technology 101,
3097–3105.
Fuentes MMR, Fernandez GGA, Perez JAS, Guerrero JLG. 2000. Biomass nutrient profiles of
the microalga Porphyridium cruentum. Food Chemistry 70: 345-353.
Lee YK, Shen H. 2004. Basic Culturing Techniques. Dalam Richmond A, editor. Handbook of
Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. United Kingdom: Blackwell
Publishing Company. 566 hlm.
Lehninger AL.2004. Dasar-dasar Biokimia Jilid II. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta :
Erlangga. Terjemahan dari : Principles of Biochemistry. 386 hlm.
Percival E, Foyle RAJ. 1979. The extracellular polysaccharides of Porphyridium cruentum and
Porphyridium aerugineum. Carbohydrate Research 72: 165-176.
Razzak SA, Hossain MM, Lucky RA, Bassi AS, de Lasa H. 2013.Integrated CO2 capture,
wastewater treatment and biofuel production by microalgae culturing.A
review.Renewable Sustainable EnergyRev. 27, 622–653.
Sugiwati S. 2005. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria
macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa Glukosidase in vitro dan in vivo pada
Tikus Putih. [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sung HO et al. 2009. Lipid production in Porphyridium cruentum grown under different culture
conditions. Journal of Bioscience and Bioengineering 108(5): 429-434.
Vonshak A. 1988. Porphyridium. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka MJ, editor. Microalgal
Biotechnology. New York: Cambridge University Press. 477 hlm.
Wang H, Zhang W, Chen L, Wang J, LiuT. 2013.The contamination and control of biological
pollutants in mass cultivation of microalgae.Bioresource Technology 128: 745–750.
You T, Barnett SM. 2004. Effect of light quality on production of extracellular polysaccharides
and growth rate of Porphyridium cruentum. Biochemical Engineering Journal 19 : 251–
258.
Zhu L, Wang Z, Shu Q, Takala J, Hiltunen E, Feng P, Yuan Z. 2008. Nutirent removal and
biodiesel production by integration of freshwater algae cultivation with piggery
wastewater treatment. Water Res. 47: 4294–4302.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN RASIO LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, AKTIVITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PERUBAHAN LABA DI MASA DATANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

18 254 20

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

UJI AKTIVITAS TONIKUM EKSTRAK ETANOL DAUN MANGKOKAN( Polyscias scutellaria Merr ) dan EKSTRAK ETANOL SEDIAAN SERBUK GINSENG TERHADAP DAYA TAHAN BERENANG MENCIT JANTAN (Musmusculus)

50 334 24

AKTIVITAS ANTIBAKTERI FRAKSI ETIL ASETAT DAUN KELOR (Moringa oleifera Lamk.) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli DENGAN METODE BIOAUTOGRAFI

55 262 32

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

INTERVENSI OBAT NEUROPROTEKTIF DITINJAU DARI PERBAIKAN GCS DAN CER TERHADAP PASIEN CVA Hemorrhagic DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER

1 82 18

JUMLAH DANA DAN KREDIT DARI BANK TABUNGAN MENJADI BANK UMUM PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA ( PERSERO ) CABANG DENPASAR

3 91 12

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85