Pendidikan dan Gender dan pendidikan

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN GENDER

Disusun Guna Memenuhi
Mata Kuliah: Politik dan
Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Prof. Dr.

Tugas Akademik
kebijakan Pendidikan
H. Hamruni, M.Si

Disusun oleh:
Afik Ahsanti (1320411038)
Mohammad Ja’far (1320412155)
1 PAI A (Non Reguler)

PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2013/2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah
Masyarakat manusia secara tradisional didominasi oleh kekuasaan maskulin.
Kekuasaan maskulin itu dipekuat oleh berbagai mitos, tradisi, bahkan dalam agamaagama di dunia telah dimanipulasi untuk mensubordinasikan perempuan dalam

struktur kehidupan masyarakat.1 Gender dipahami sebagai duatu konsep mengenai
peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi.
Hal ini merupakan bentukan ketentuan kehidupan bersosial bukan biologis. Gender
mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial. Peran
tersebut dipelajarai berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut budaya dan
antar budaya.2
Tidak mengherankan apabila terdapat banyak kebijakan termasuk kebijakankebijakan publik dan kebijakan pendidikan yang merugikan kaum perempuan. Hal
ini menyebabkan kedudukan perempuan dalam masyarakat merupakan kedudukan
yang inferior yang sebenarnya hal ini bertentangan dengan kodrat manusia.
Kenyataan semacam ini dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan serius bagi

kaum perempuan yang apabila terjadi secara terus-menerus dapat menyebabkan
terjadinya pen-subordinasia-an kaum perempuan dari laki-laki. 3 Bukankah manusia
itu dilahirkan dari seorang perempuan, dan seorang ibu adalah pendidik alamiah
yang utama dan pertama oleh sebab itu, perempuan, ibu, secara genealogis
merupakan salah satu dari stakeholder pendidikan yang alamiah di samping keluarga,
masyarakat dan negara.
Melihat kedudukan dan peranan strategis dari seorang ibu dalam proses
pendidikan, sudah sewajarnyalah apabila peranan perempuan dalam proses
pendidikan dan dalam hidup bermasyarakat mendapatkan tempat yang sewajarnya.
Peranan tersebut ternyata dalam sejarah kehidupan manusia meminta perjuangan
yang sangat panjang untuk membobol tembok-tembok pembatas atau dengan
konstruksi atas tata kehidupan masyarakat yang memarginalkan perempuan dari
berbagai lembaga pengambil keputusan. Hal ini dapat dilihat dari perempuan dalam
kesempatan pengembangan dirinya atau memerdekakan dirinya. Pendidikan bagi
kaum perempuan sebagai barang “lux” sehingga mendapatkan pendidikan yang baik
dan bermutu bukan merupakan kebutuhan hakiki kaum perempuan. Perubahan
mindset dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan yang setara merupakan
inti dari gerakan feminisme sedunia.4 Gerakan feminisme ini merupakan aliran yang
1 H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hlm, 156.

2 Elfi Muawanah, Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia,( Yogyakarta : Teras, 2009). Hlm, 7.
3 Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm, 112.
4 H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hlm,157

2

membela kaum perempuan dalam berbagai hal, agar tidak ada kesenjangan antara
perempuan dan laki-laki.
Perjuangan kesetaraan gender dalam masyarakat dewasa ini masih terus
dihalangi oleh berbagai stereotip mengenai peran dan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. 5 Perjuangan terhadap
perempuan ini makin gencar walaupun dalam prakteknya masih mendapat hambatanhambatan tertentu di masyarakat.
Dewasa ini perjuangan kesetaraan gender telah menjadi agenda internasional
dan nasional. Banyak konvensi internasional dan undang-undang mengenai
kesetaraan pria dan perempuan yang menuntut affirmative action atau positive action
dalam melaksanakan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Kesetaraan
gender merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Sehubungan dengan itu telah
banyak kebijakan publik yang telah banyak kebijakan publik yang telah dikeluarkan
untuk mewujudkan ide kesetaraan.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perjuangan kesetaraan gender pada tingkat internasional?
2. Bagaimana perjuangan kesetaraan gender pada tingkat nasional?
3. Bagaimana pelaksanaan kesetaraan gender dalam bidang pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Gender
Sebelum membahas perjuangan kesetaraan gender pada tingkat internasional,
alangkah baiknya kita mengetahui perbedaan sex dan gender serta tujuan memahami
gender terlebih dahulu. Sex secara etimologi adalah jenis kelamin. Istilah jenis
5 H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm,157

3

kelamin (lelaki/perempuan) dalam bahasa Indonesia sering digunakan dalam konsep
sex dan gender, meskipun pada dasarnya keduanya mengandung makna berbeda.
Sedangkan tujuan memahami gender adalah untuk memutus ketimpangan gender

dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender.6
Secara istilah, sex adalah berkenaan dengan perbedaan secara biologis dan
fisiologis antara pria dan wanita yang dilihat secara anatomis dan reproduksi. Gender
merupakan konsep yang mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan
dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Intinya bahwa secara terminologi
gender merupakan konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan disuatu masa dan
kultur tertentu yang dikonstruksi sosial bukan biologis.7
Dari beberapa pengertian diatas, bisa dikatakan bahwa gender adalah peran
dalam kehidupan yang bisa dilakukan oleh-laki dan perempuan. Peran ini tidak ada
hubungannya sama sekali dengan tanda-tanda biologis yang dibawa manusia sejak
lahir. Gender lebih cenderung mengacu pada anggapan yang berlaku dalam
masyarakat tentang aktivitas-aktivitas dan sikap-sikap (sifat dan perilaku) yang boleh
dilakukan oleh laki-laki atau perempuan. Sedangkan seks adalah lebih mengacu pada
identitas genetis atau fisik dari seseorang. Secara biologis, seks biasanya digunakan
untuk menentukan apakah seeorang itu laki-laki atau perempuan.8
B.

Perjuangan Kesetaraan Gender pada Tingkat Internasional
Ketidakadilan gender merupakan ketimpangan yang terjadi sehingga
mengakibatkan salah satu gender mengalami diskriminasi. Untuk memperjuangkan

kesetaraan gender butuh perjuangan yang tidak mudah. Salah satu bentuk perjuangan
untuk menyetarakan gender dilakukan pada tingkat internasional.
Dokumen monumental mengenai kesetaraan gender telah dilahirkan tahun
1948 dalam Universal Declaration of Human Rights. Dalam dokumen tersebut
dinyatakan bahwa semua manusia dilahirkan sama dan setara di dalam harkat dan
haknya. Dalam deklarasi mengenai hak-hak manusia yang sama itu tidak
membedakan antara ras maupun gender. Namun, dalam kenyataan perbedaanperbedaan dalam masyarakat umat manusia masih saja tampak seperti berbagai jenis
diskriminasi berdasarkan ras, agama, kedudukan ekonomi, kedudukan sosial dan
6 Elfi Muawanah, Op.,Cit, hlm. 1
7 Elfi Muawanah, ibid, hlm. 2
8 Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm, 115.

4

perbedaan gender. Bahkan hingga saat ini masih saja terdapat perdagangan
perempuan dan anak-anak. Khusus mengenai kesetaraan tampak masih terdapat
perbedaan baik disadari maupun tidak disadari terhadap kesetaraan gender meskipun
dewasa ini kita mengenal bebrapa presiden perempuan, menteri perempuan, dan
berbagai kedudukan penting lainnya yang sudah dijabat oleh perempuan meskipun
relatif masih tampak kepincangan dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan

kenyataan tersebut, PBB mengadakan berbagai pertemuan dan menelorkan berbagai
konvensi dalam perjuangan kesetaraan gender9. Konvensi –konvensi tersebut antara
lain sebagai berikut:
1.

Konvensi CEDAW (Commite on the Elimination of Discrimination Against
Women)
Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan
puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan negara peserta Konvensi.10
CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang – politik,
ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya
perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi
tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto
antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan
dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis

kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.
Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dibentuk pada
tahun1982, setelah Konvensi dinyatakan berlaku. Tugas utamanya adalah untuk
mempertimbangkan laporan periodik yang disampaikan kepada Komite dari
Negara-negara

Peserta

mengenai

langkah-tindak

legislatif,

judikatif,

administratif dan tindakan-tindakan lain yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Konvensi. PBB tersebut bertugas memantau implementasi konvensi
9 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm 159.
10 http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf, diakses pada tanggal 30

September 2013

5

penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di negara-negara
peserta.11
Dalam konvensi CEDAW ini terdapat beberapa prinsip. Prinsip-prinsip
konvensi tersebut ialah:
a.

Prinsip persamaan substantif yaitu persamaan hak, kesempatan, akses dan
penikmatan manfaat.

b.

Prinsip non-diskriminasi

c.

Prinsip kewajiban negara

Dalam hal ini negara bukan hanya menjamin hasilnya. Negara tidak hanya

menjamin tetapi juga merealisasikan hak-hak perempuan. Indonesia sendiri telah
meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita. Undang-Undang itu disahkan pada 24 Juli 1984.12
2.

Konferensi Dunia IV tentang Wanita di Beijing Tahun 1995
Memasuki akhir abad 20, tepatnya pada tanggal 4-15 September 1995,
sebuah Konferensi tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV telah terselenggara di
Beijing,

China.

Konferensi

yang

bertema:


Persamaan,

Pembangunan,

Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi yang harus
dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses
dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Seluruh rekomendasi dan hasil konperensi tertuang dalam Deklarasi
Beijing dan Landasan Aksi (Beijing Declaration and Platform for Action).13
Konferensi Beijing menghasilkan deklarasi dan rencana aksi (Bejing
Platform of Action) yang berisi rencana kerja yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah, dan lembaga PBB serta donor untuk memajukan perempuan.
Rencana Bejing mengidentifikasikan 12 bidang kritis yang merupakan
keprihatinan dunia yaitu:
a. Perempuan dan kemiskinan
b. Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan
11 http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf, diakses pada tanggal 30
September 2013
12 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm 160.
13 http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013

6

c. Perempuan dan kesehatan
d. Kekerasan terhadap perempuan
e. Perempuan dan konflik bersenjata
f. Perempuan dan ekonomi
g. Perempuan dan kekuasaan serta perempuan serta pengambilan keputusan
h. Mekanisme kelembagaan untuk memajukan perempuan
i. Hak asasi perempuan
j. Perempuan dan media massa
k. Perempuan dan lingkungan hidup
l. Anak perempuan14
3.

World Education Forum on Education for All di Dakkar, Senegal tahun 2000.
Dalam konferensi pendidikan sedunia di Dakkar dirumuskan untuk
menjamin pada tahun 2015 semua anak, terutama anak perempuan, anak dalam
keadaan sulit dan termasuk etnis minoritas mempunyai akses dan dapat
menyelesaikan pendidikan dasar yang wajib, berkualitas dan gratis. Selanjutnya
tahun 2015 penghapusan kesenjangan dalam pendidikan dasar dan menengah
antara laki-laki dan perempuan pada tahun 2005 dan pada tahun 2015 terjamin
bahwa semua anak perempuan mempunyai akses penuh untuk mencapai
pendidikan dasar yang berkualitas.15
Setelah satu dekade, karena lambatnya kemajuan dan banyaknya negara
yang jauh dari keharusan untuk mencapai tujuan tersebut, masyarakat
internasional menegaskan kembali komitmennya terhadap Pendidikan Untuk
Semua di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan sekali lagi pada bulan
September tahun itu. Pada pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra mereka
mengadopsi dua dari delapan tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dikenal
dengan nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu MDG 2 mengenai
pendidikan dasar dan universal serta MDG 3 mengenai kesetaraan gender dalam
pendidikan pada tahun 2015.16
Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Millenium)
dirumuskan PBB tahun 2000. Tujuan pembangunan millenium dalam bidang

14 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Op.,Cit, hlm 160.
15 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm 161.
16 http://moshimoshi.netne.net/materi/efa.htm, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013

7

pendidikan ialah mencapai pendidikan dasar secara universal tahun 2015 bahwa
semua laki-laki dan perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar.17
Target MDGs sampai dengan tahun 2015, yaitu:

C.

a.

Memberantas kemiskinan dan kelaparan,

b.

Mewujudkan pendidikan dasar,

c.

Meningkatkan persamaan gender dan pemberdayaan perempuan,

d.

Mengurangi angka kematian bayi,

e.

Meningkatkan kesehatan ibu,

f.

Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya,

g.

Pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan

h.

Mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan.18

Kesetaraan Gender di Tingkat Nasional
Indonesia telah melaksanakan berbagai konvensi PBB dalam berbagai
kebijakan publik yang berisikan perjuangan kesetaraan gender. Adapun kebijakan
publik yang berupa

undang-undang dan peraturan di Indonesia adalah sebagai

berikut:
1.

Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convenstion on The Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women).

2.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Dalam pasal 48 UU ini dikatakan: Wanita berhak untuk memperoleh
pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pasal 60 ayat (1) menyatakan: Setiap
anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan

pribadinya

sesuai

dengan

minat,

bakat

dan

tingkat

kecerdasannya.
3.

Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 23 UU ini menyatakan mengenai asas

17 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm 161.
18 http://sherlyretnosari10.blogspot.com/2011/12/sejarah-perjuangan-kesetaraan-dan.htmldiakses
pada tanggal 1 Oktober 2013

8

manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non-diskriminasi dan perlindungan
korban.
4.

Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional. Instruksi persetujuan itu bertujuan: Melaksanakan
pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunannya,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan program pembangunan
nasional yang bersprespektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta
kewenangan masing-masing. Pengarusutamaan gender dilaksanakan antara lain
melalui analisis gender adan upaya komunikasi, informasi, informasi dan
edukasi tentang pengerusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintah
di tingkat pusat dan daerah.19
Dalam pengoptimalan pelaksanaan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG)

tersebut, Pemerintah mencantumkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yaitu menjadi salah satu arah pembangunan
di dalam Misi 2 untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, adalah
pemberdayaan perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan
kualitas hidup perempuan, kesejahteraan perlndungan anak, penurunan kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi serta penguatan kelembagaan dan jaringan PUG.20

D.

Pelaksanaan Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan
Dalam membahas masalah ini kita dihadapkan pada dua pokok yang berkaitan
erat yaitu:
1. Feminisme dan Kekuasaan
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap warga
negara

berhak

mendapat

pengajaran....”

Undang-undang

tersebut

sudah

menjelaskan bahwa pendidikan dapat diakses oleh setiap warga negara tanpa
memandang status, jenis kelamin atau stratifikasi dalam masyarakat.

19 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm,162.
20http://moshimoshi/ Topik utama.B.pdf, diakses pada tanggal 30 September 2013

9

Namun apa yang kiata lihat di masyarakat sangatlah berbeda. Telah kita
lihat bagaimana kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat hingga dewasa
ini. Perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini disebabkan karena peranan
laki-laki dan perempuan di bawah kekuasaannya. Tentunya hal ini bertentangan
dengan hakikat manusia yang dilahirkan sama dan oleh sebab itu kekuasaan lakilaki

terhadap

perempuan

bertentangan

dengan

harkat

manusia.

Tidak

mengherankan apabila berbagai jenis produk kekuasaan telah dihadirkan dari
tangan kaum laki-laki. Kekuasaan yang dipegang oleh kaum laki-laki berarti
membatasi kemerdekaan perempuan. Pembebasan terhadap kebebasan perempuan
bukan hanya membatasi perkembangan pribadi perempuan, tetapi juga pada
hakikatnya telah mambatasi kemerdekaan perkembangan pria. Bukankah
perkembangan pribadi manusia merupakan interaksi antar manusia termasuk
interaksi antar-manusia termasuk interaksi antara perempuan dan laki-laki.
Dengan adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan maka tidak
mungkin dapat ditegakkan keadilan (justice). Apa yang dituntut dalam suatu
masyarakat manusia yang mempunyai kualitas kemanusiaan adalah kebebasan
para anggotanya yang berkeadilan termasuk kebebasan yang penuh bagi para lakilaki dan para perempuan.21
Adanya kenyataan bahwa keterwakilan perempuan dalam dunia politik
belum representatif sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami oleh Indonesia
sebagai negara berkembang. Di negara-negara maju seperti di beberapa negara
Eropa dan Amerika Serikat, keterwakilan perempuan di dunia poitik juga masih
sangat minim. Sekarang ini hanya di sembilan negara saja yang kuota
perempuannya telah mencapai 30% lebih. Diantaranya adalah Swedia (42,7%),
Denmark (37,4%), Finlandia (36,5%), Norwegia (36,4%), Belanda (36%),
Islandia (34,9%), Jerman (30,8%), dan Mozambik (30%). 22
Kebebasan yang berkeadilan menuntut kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Kebebasan yang demikian ialah kebebasan yang berkeadilan artinya,
terdapat pembagian kekuasaan yang adil (fair) antara laki-laki dan perempuan
antara lain karena perbedaan biologis antara keduanya. Keadilan yang fair berarti
kesamaan dalam kesempatan dan pemanfaatan sumber-sumber (resources) dalam
21 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm 163.
22 Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm 128

10

hidup bersama. Dapat saja terjadi terdapat keadilan dalam kehidupan bersama
dalam masyarakat dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi, bidang sosial,
bidang politik misalnya dalam hukum-hukum pemilihan umum, tetapi tidak
terdapat fairness dalam pemberian kesempatan yang sama. Dalam pemilu
misalnya hak perempuan dan laki-laki sama yang dijamin dalam undang-undang
tetapi dalam penunjukkan wakil-wakilnya ternyata wakil-wakil rakyat didominasi
oleh kaum laki-laki. Hal ini berarti dalam kehidupan politik belum terjamin
keadilan yang fair antara laki-laki dan perempuan.23
Apabila perempuan disubordinasikan dari laki-laki maka hasilnya adalah
ketidakberdayaan perempuan sehingga dia hanya merupakan objek eksploitasi
pria dalam arti fisik (biologis). Keadaan ini dapat digunakan oleh kaum
perempuan secara negatif dengan menggunakan kelemahan laki-laki dalam
eksploitasi kaum perempuan (eksploitasi seks). Lahirlah budaya seks yang pada
hakikatnya

menunjukkan

ketidakberdayaan

perempuan

dan

seakan-akan

menonjolkan keperkasaan laki-laki yang sebenarnya menunjukkan keterbatasan
kaum laki-laki itu sendiri.
2. Feminisme/Kekuasaan dan Pendidikan
Hubungan antara kekuasaan dan pendidikan sangat erat. Knowledge is
power terutama di abad modern dewasa ini. Menguasai ilmu pengetahuan berarti
menguasai sumber-sumber kehidupan lebih-lebih dalam knowledge based society
abad XXI. Hal ini menyebabkan kaum perempuan dianaktirikan di dalam
memperoleh

pendidikan

didiskriminasikan

untuk

yang

berkualitas.

memperoleh

Kaum

pendidikan

yang

perempuan
berkualitas

sejak
dan

berkelanjutan. Tempat perempuan bukannya dalam kehidupan publik tetapi di
dalam kehidupan privat, dalam kehidupan keluarga dan bahkan hanya merupakan
pajangan bagi kaum laki-laki. Kita mengenal budaya dipingit seperti yang dialami
oleh R.A. Kartini. Dia seorang perempuan yang cerdas dan mempunyai
pendangan yang jauh ke depan, tetapi budaya memaksa dia untuk mengakhiri
pendidikan sekolah dasarnya sampai ia dipaksa berumah tangga oleh orang
tuanya. 24

23 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm164.
24 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Op.,Cit, hlm,165.

11

Dewasa ini tentunya budaya-budaya pingitan perempuan atau membuat kaki
perempuan kecil seperti dalam kebudayaan Cina kuno sehingga perempuan tidak
bisa bergerak atau melarikan diri dari suaminya. Dewasa ini pada umumnya
perempuan telah diberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan
bersama-sama dengan laki-laki. Hal ini kita lihat dalam perkembangan pendidikan
nasional yang jumlah siswa laki-laki dan perempuannya telah berimbang. Hal ini
menunjukkan bagaimana pendidikan nasional di Indonesia telah menembus
hambatan-hambatan diskriminasi seks. Kesempatan yang sama untuk meraih ilmu
pengetahuan bagi pria dan wanita telah dijamin melalui Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan berbagai peraturan
lainnya.25
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender
dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh Departemen
Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia pendidikan
yaitu:
a.

Aspek akses, yaitu fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak
sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan
selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Di lingkungan tradisional,
umumnya orang tua segan untuk mengirimkan anak perempuannya ke
sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh
sebab itu, banyak anak perempuan yang terpaksa tinggal di rumah.

b.

Aspek partisipasi. Aspek ini mencakup di dalamnya faktor bidang studi dan
statistik pendidikan. Dalm masyarakat Indonesia, dimana terdapat sejumlah
nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di area
domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh
kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Hal ini dikaitkan
dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah tangga yaitu
bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.

c.

Aspek proses pembelajaran masih juga dipengaruhi gender. Yang termasuk
dalam proses pembelajaran adalah materi pendidikan, seperti misalnya yang
terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu
mengatasnamakan laki-laki. Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender

25 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm, 166.

12

juga terdapat dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua jabatan
formal dalam buku seperti Camat, Direktur digambarkan dijabat oleh lakilaki.
d.

Aspek penguasaan. Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di
dominasi oleh kaum perempuan.26 Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari
jumlah penduduk buat aksara usia 10 tahun keatas sebanyak 15.686.161
orang, 10.643.823 orang diantaranya atau 67,85 persen adalah perempuan.27

Gambar : Angka Buta Aksara Penduduk Indonesia Usia 10-14 Tahun
Namun pelaksanaan prinsip kesetaraan yang berkeadilan (justice) ternyata
belum sepenuhnya terlaksana dalam masyarakat. Kita lihat misalnya, bagaimana
sulitnya kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam masyarakat
seperti jabatan Presiden, Gubernur, Anggota DPR yang seluruhnya menunjukkan
ketimpangan di dalam kesetaraan yang berkeadilan. Prinsip kebebasan perempuan
yang berkeadilan belum menuju kepada fairness karena perempuan masih dibatasi
dalam menduduki jabatan-jabatan strategis. Seperti kita ketahui jabatan-jabatan
strategis dalam masyarakat adalah jabatan-jabatan pemimpin. Pemimpin adalah
menguasai. Sudah tentu pemimpin perempuan yang memperoleh kekuasaan
bukanlah pemimpin untuk membalas dendam, tetapi akan memberikan contoh
kepada kaum perempuan lainnya supaya menggapai keadilan yang fair dari

26 Achmad Muthai’in, 2001, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: UMS, hlm, 9.
27 http://www. Dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm, diakses pada tanggal 30
September 2013

13

kaumnya melalui affirmative action di dalam kehidupan bermasyarakat yang
masih didominasi oleh kaum laki-laki.28
Tabel 1. Jumlah Siswa Laki-Laki Dan Perempuan (2000-2004)
Jumlah
pendudu
k yang

SD

SMP

SMA

bersekola
h/tahun
L

P

L

p

L

P

2001

12.194.560

11.573.342

5. 176.741

4. 876.403

3.412.339

3.169.633

2002

12.663.627

11.931.928

4.940.218

4.286.462

3.286.462

2.980.305

2003

13.712.130

12.865.401

5.359.777

4.949.625

3.406.485

3.165.591

2004

13.597.072

12.779.898

5.464.466

4. 949.625

3.525.885

3.163.716

Sumber. BPS, Susenas 2003

Tabel 2. Jumlah Perempuan Pada Jabatan-Jabatan Strategis
Anggota DPR
Laki-laki
485

2004-2009
Perempuan
65
(11,85%)

Jumlah
550

28 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm,166.

14

Laki-laki
396

1999-2004
Perempuan
40
(9,2%)

Jumlah
436

Dalam pelaksanaan UU Sistem Pendidikan Nasional telah diberikan
kesempatan yang sama kepada pria dan perempuan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat kita dalam jumlah mahasiswa pria dan wanita yang
relatif sudah seimbang. Namun demikian, jabatan-jabatan strategis dalam hidup
bermasyarakat ternyata masih didominasi oleh kaum laki-laki.29

BAB III
KESIMPULAN
1.

Gender dipahami sebagai duatu konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di
suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi. Hal ini merupakan bentukan
ketentuan kehidupan bersosial bukan biologis. Gender mengacu ke peran perempuan
dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial.
29 H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Ibid, hlm, 167.

15

2.

Perjuangan-perjuangan untuk menyetarakan gender terjadi baik di tingkat
internasional maupu nasional. Perjuangan di tingkat internasional dapat dilihat pada
konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh berbagai negara di seluruh dunia.
Adapun konvensi-konvensi yang telah diperjuangkan dalam kesetaraan gender
adalah: konvensi CEDAW, konferensi Dunia IV tentang wanita di Beijing, dan World
Education Forum on Education for All di Dakkar, Senegal. Sedangkan perjuangan
kesetaraan gender di tingkat nasional dapat dilihat pada dikeluarkannya UU RI No.7
tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita, Pengarusutamaan gender dan UU lainnya berkaitan
dengan kesetaraan gender.

3.

Pelaksanaan kesetaraan gender dalam bidang Pendidikan terkait erat dari dua hal
yaitu: feminisme dan kekuasaan, dan feminisme/kekuasaan dan Pendidikan. Banyak
konferensi dan peraturan yang mengatur tentang kesetaraan pendidikan gender
dewasa ini, walaupun dalam prakteknya bias gender dalam pendidikan masih sering
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin.2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding. Yogyakarta:
Pilar Media
Achmad Muthai’in. 2001. Bias Gender Dalam Pendidikan, Surakarta: UMS
Elfi Muawanah. 2009. Pendidikian Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Teras
16

H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/CEDAW_text_Bahasa.pdf,diakses pada tanggal 30
September 2013
http://www. Dikmas.depdiknas.go.id/05-p-gender-pedoman.htm, diakses pada tanggal 30
September 2013
http://moshimoshi.netne.net/materi/efa.htm, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013
http://moshimoshi/ Topik utama.B.pdf, diakses pada tanggal 30 September 2013
http://sherlyretnosari10.blogspot.com/2011/12/sejarah-perjuangan-kesetaraan-dan.html,
diakses pada tanggal 1 Oktober 2013
http://www.lbh-apik.or.id/fac-25.htm, diakses pada tanggal 1 Oktober 2013

17