Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum Singk

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

KEARIFAN LOKAL DAN
KESADARAN HUKUM
Singkeru Rukka
IAIN Sultan Amai Gorontalo
singkeru@yahoo.co.id
Abstract
Efforts to restore people's lives who have encroached by the behavior that tends to wish and/or
to breach the regulations of the laws into something that is very difficult to recover, a mental
and moral deterioration that occurs in our nation from the government to the more grounded
in community, politeness, civility, adherence has been lost, a role model in society seemed hard
to find. The search is the author's effort to find a solution to restore mental and moral
deterioration. The local wisdom is one of the author’s offer to be stretched, the local wisdom is
very close to us, it was in the community surroundings,in family surrounding, it was born
around us, something that is mandated to be politeness as an effort to treat the live wisely
without damaging the legal order itself, local wisdom is the root of legal awareness.
Upaya memulihkan kehidupan masyarakat yang telah digerogoti perilaku-perilaku yang
cenderung ingin dan atau telah melanggar peraturan hukum yang berlaku menjadi sesuatu

yang amat sulit dipulihkan, sebuah kemerosotan moral dan mental yang terjadi di bangsa kita
mulai dari pemerintah hingga semakin membumi di masyarakat, kesantunan, kesopanan,
kepatuhan telah hilang, panutan dimasyarakat terasa sulit ditemukan. Pencarian adalah
upaya penulis untuk menemukan solusi untuk memulihkan kemerosotan moral dan mental.
Kearifan lokal adalah salah satu tawaran penulis untuk geliatkan, kearifan lokal adalah suatu
yang sangat dekat dengan kita, dia berada dilingkungan masyarakat, di lingkungan keluarga,
dia lahir disekitar kita, sesuatu yang diamanahkan tuk dijadikan kesantunan sebagai upaya
mebijaki hidup tanpa merusak tatanan hukum itu sendiri, kearifan lokal adalah akar kesadaran
hukum.
Kata kunci : Kearifan Lokal, Kesadaran hukum, living hadis

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

173

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

PENDAHULUAN


I

ndonesia adalah negara hukum. Dalam hidup di lingkungan masyarakat tidak lepas
dari aturan-aturan yang berlaku, baik aturan yang tertulis maupun aturan yang tidak
tertulis, kearifan lokal adalah sumber kesadaran yang dapat menimbulkan ketaatan
akan tatanan hidup termasuk didalamnya adalah Hukum yang berlaku. Aturan-aturan
tersebut harus ditaati sepenuhnya. Adanya aturan tersebut adalah agar tercipta
kemakmuran dan keadilan dalam lingkungan masyarakat. Apabila aturan-aturan tersebut
dilanggar, akan mendapatkan sanksi yang tegas.
Kearifan lokal adalah sumber kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai
kaitan yang erat sekali. Kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum1.
Bahkan Krabbe mengatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum2.
Menurut pendapatnya maka yang disebut hukum hanyalah yang memenuhi kesadaran
hukum kebanyakan orang, maka undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran
hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat.
Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warganya.
Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, jika kesadaran hukum penduduk
suatu negara rendah, yang berlaku di sana adalah hukum Alam.

Di negara Indonesia masih banyak orang-orang yang melanggar hukum atau
peraturan. Peraturan-peraturan yang sudah disepakati dan ditulis ternyata masih banyak
yang dilanggar. Hal tersebut tidak hanya di kalangan pemerintah, masyarakat, tetapi juga
menyebar ke instansi-instansi termasuk lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah.
Olehnya itu penulis mengangkat masalah Bagaimanakah Kearifan Lokal itu dapat
menjadi sumber kesadaran hidup manusia dan Apakah Landasan hukum Kearifan Lokal
di Indonesia.

PEMBAHASAN
1.
Deskripsi Masjid Besar Mataram Kotagede Yogyakarta
A. Kearifan Lokal
Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan yang berasal dari kata dasar arif
dan kata lokal menurut Kamus Bahasa Indonesia (1989:48) arif memiliki dua arti yaitu
tahu atau mengetahui, arti yang kedua cerdik, pandai dan bijaksana namun jika ditambah
awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kebijaksanaan, kecendikiaan, suatu sikap yang
1

Lemaire, Dr. L.W.G.-,1952, Het recht in Indonesie, NV Uitgeverij W v \Hoeve
s‟Gravenhage. Hlm 46

2
Achmad Sanusi, SH., Prof. Dt A.-,1977, Kesadaran hukum masyarakat Hukum 9

174

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

menumbuhkan dan memelihara harkat, nilai-nilai insani serta martabat manusia dan
lingkungan.
Kata lokal yang berarti tempat atau pada suatu tempat tumbuh terdapat atau
hidup suatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat disuatu tempat,
yang bernilai dan mungkin berlaku setempat atau berlaku universal.
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata
yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan
kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasangagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Dalam ilmu antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan
istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas
secara panjang lebar pengertian local genius ini. Antara lain bahwa local genius adalah juga
cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri.3 Sementara Menurut Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan.4
Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Sartini mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara
nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada5. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meski pun berasal dari daerah lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya sangat universal.

B.

Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Soerjono dan Mustafa mendefenisikan nilai sebagai apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa nilai-nilai
3

Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta hlm 18-

19
4

Moendardjito Moendardjito 1986, Negara yang demokratis, yayasan koidor pengabdian,
Jakarta hlm 40-41
5
Sartini 2003, Menggali kearifan local nusantara sebuah kajian filsafati, Air Langga, Jakarta hlm
111
Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

175


Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa
yang buruk (sehingga harus di hindari). Patokan-patokan berperilaku yang merupakan
pedoman bagi manusia, lazimnya disebut kaedah atau norma.6
Nilai-Nilai maupun kaedah-kaedah biasanya diajarkan secara turun temurun
maupun secara meluas, proses tersebut dinamakan sosialisasi. Dengan demikian
sosialisasi merupakan suatu proses, dimana warga masyarakat di didik untuk
mengetahui, memahami, menghargai dan mentaati nilai-nilai serta kaedah-kaedah. Proses
sosialisasi tersebut berlangsung selama hidup, artinya proses tersebut dimulai sejak
manusia dilahirkan dan berakhir bila dia meninggal dunia.
Ada kalanya hukum diartikan sebagai jaringan nilai-nilai, hal yang terutama
dikemukakan oleh kalangan yang banyak berkecimpung dalam filsafat hukum. Hal ini
dapat dimengerti oleh karena kalangan filsafat hukum terutama mengadakan renunganrenungan terhadap nilai-nilai yang sebenarnya merupakan refleksi kehidupan
masyarakat. Renungan terhadap nilai-nilai tersebut kemudian dilanjutkan dengan usaha
merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang didalam kehidupan manusia cenderung
berpasangan, dengan nilai-nilai tersebut dimaksudkan sebagai konsepsi abstrak di dalam

diri manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, hal ini
dengan sengaja memisahkan nilai-nilai dari hukum, untuk menunjukkan bahwa sema
nilai merupakan hukum dan bahwa hukum tidak jarang mempunyai arti lain, disamping
sebagai jaringan nilai.
Masalah nilai-nilai dalam hukum, dengan sendirinya mencakup soal kesadaran
hukum. Hal ini terutama disebabkan oleh karena kesadaran hukum merupakan suatu
penilaian terhadap hukum yang ada serta hukum yang dikehendaki seharusnya ada.
Nilai-Nilai utama sebuah kebudayaan dapat dilihat dari beberapa ciri yaitu:
1.
Menurut sifatnya (preferensi dan seleksi),
2.
Menurut kandunganya (moral dan sakral),
3.
Menurut fungsinya (milik bersama dan pembimbingan),
4.
Menurut pelaksanaanya (di ungkapkan secara verbal dan terpelihara
berkesinambungan dan konsistensinya),
5.
Menurut keluasanya (umum dan khusus),
6.

Menurut sanksinya (penghargaan dan hukuman).
Nilai budaya bukan sekadar di inginkan tetapi sesuatu yang lebih berharga dan
disukai. Ia menghendaki preferensi dan seleksi. Nilai-nilai bersifat moral dan sakral
sehingga menjadi titik pusat dari pengalaman sehari-hari. Nilai dapat dilihat dari
fungsinya, yang menurut ketaatan dan penghormatan dari setiap anggota masyarakat,
nilai berfungsi mengendalikan setiap tindakan yang akan dilakukan oleh orang-orang
maupun masyarakat. Apabila nilai-nilai dilihat dari segi pengungkapan makna maka
dapat dinyatakan dalam bentuk verbal dan nonverbal yang mengandung makna peng6

Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A. 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali
Pres. Jakarta hlm. 100

176

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka


iaan, pengingkaran, pujian dan hukum. Eksistensi nilai memiliki daya tahan yang kokoh
yang menunjang kelangsungannya. Suatu nilai kadang-kadang sukar di mengerti jika di
lihat dari sejarahnya. Suatu nilai mencakup masa yang panjang, kelangsungan kehidupan
perlu di ajarkan melalui learning (belajar), dan acquistion (perolehan) kebudayaan formal
nonformal dan informal.
a. Nilai
M. Rasjidi mengatakan dasar nilai terletak dalam watak manusia dan nilai yang
pokok adalah harga diri manusia. Jika dalam sains yang menjadi tujuan adalah
pengetahuan dan pengungkapan kebenaran, maka etika tujuanya adalah perkembangan
kepribadian manusia atau kehidupan yang baik.7 Mencari kebenaran dan mencari
kebaikan bersifat terus menerus karena keadaan selalu berubah dan pengetahuan selau
bertambah dengan cepat.
Dalam teori nilai yang penting adalah pembicaraan tentang dasar nilai serta tempat
nilai-nilai tersebut didalam ini. Apakah hubungan antara nilai dan akal yang menilai,
apakah nilai itu hanya ada dalam akal artinya itu hanya imajinasi aratu pemikiran atau
kepentingan manusia?. Ataukah nilai itu ada diluar pikiran?, artinya nilai itu dalam benda
sebagaimana halnya dengan temperatur, ukuran dan bentuk?, atau apakah kebenaran itu
terletak diantara dua posisi yang ekstrim dan olehnya nilai adalah subyektif dan objektif
dan sebagainya bergantung kepada keadaan atau konteks dimana nilai itu didapatkan.
Dalam hal ini, nilai dibagi antara dua jenis yakni nilai subyektif dan nilai objektif.

a.1. Nilai Subyektif
Mereka yang mengatakan bahwa nilai itu subyektif mengira bahwa pernyataan
nilai menunjukkan perasaan atau emosi dari suka atau tidak suka. Tidak lebih dari itu
makan, minum, main, mendengar musik, melihat matahari terbenam yang indah, semua
itu bernilai karena membangkitkan rasa senang dan menimbulkan pengalamanpengalaman yang kita sukai.
George Santayana dalam Astim Rianto menjelaskan tidak ada nilai diluar
penghargaan kita terhadap nilai itu. Emosi dan kesadaran keduanya penting untuk
adanya kebaikan dan pemahaman kita kepada kebaikan itu.8 Dewi H. Parker dalam
Astim Rianto menjelaskan Nilai terdapat didalam alam yang dalam, alamya akal.
Kepuasan keinginan adalah nilai yang sesungguhnya, benda yang mengantarkan kepada
kepuasan itu hanya alat (instrumen).9 Nilai-nilai itu selalu merupakan pengalaman, bukan
hanya benda atau objek. Benda-benda mungkin berharga akan tetapi bukan nilai. Kita
memperoleh nilai itu didunia luar dan menganggapnya sebagai benda yang memuaskan
keinginan.

7

Rasjidi H.M,1970. Filsafat Agama, Bulan Bintang. Jakarta hlm 122
Astim, Rianto, 1949. Filsafat hukum, Yapemo, Bandung hlm 413
9
Ibid hlm 413

8

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

177

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

Mereka mengemukakan interpretasi subjektif tentang nilai menemukan fakta
bahwa nilai pertimbangan tentang kebaikan dan keindahan selalu berbeda dari seseorang
kepada orang lain, dari suatu kelompok kepada kelompok lain. Jika nilai itu objektif
seluruhnya, apakah pertimbangan akan berbeda-beda ?, Nilai juga bersifat subjektif dalam
arti bahwa nilai itu bergantung kepada hubungan antara penganut dengan hal yang di
nilai.
a.2. Nilai Objektif
Mereka yang mengatakan bahwa nilai itu objektif beranggapan bahwa nilai-nilai
itu terdapat di dunia ini yang harus di gali. Nilai fakta kualitas atau kumpulan kualitas
mengandung pertimbangan kita, sesuatu terpisah dari pengamatan menarik perasaan
moral atau perasaan keindahan. Seorang mempunyai perhatian kepada sesuatu yang
memiliki nilai bukan perhatiannya yang menciptakan nilai.
Aristoteles dalam Astim Rianto menjelaskan hubungan suatu benda kepada
maksudnya, yaitu nilai adalah bagian yang esensial dari wataknya, objektifitas nilai juga
sangat penting dalam pemikiran abad pertengahan.10 Filsafat Katolik Roma pada
umumnya mengatakan bahwa kebenaran dan keindahan ada, tidak bersandar kepada
yang lainya dan Tuhan adalah dasar tertinggi dari nilai.
C.

Konsep Kesadaran Hukum
Menurut teori kedaulatan tuhan, satu-satunya sumber hukum adalah kesadaran
kesadaran hukum dan hanyalah apa yang memenuhi kesadaran hukum orang banyak.
Doktrin etis dalam pandangan hukum Hugo krabe dalam Astim Rianto menjelaskan
hukum bersumber pada individu-individu dan bersifat etis normatif, karena merupakan
manifestasi dari kesadaran individu akan hal-hal baik atau buruk, menurut doktrin etis ini,
hukum bukanlah semata-mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan-badan
legislatif suatu negara. Hukum (dan kedaulatan hukum sebagai aspeknya) bersumber
pada perasaan hukum anggota masyarakat.11 Perasaan hukum adalah sumber hukum
dan merupakan pencipta hukum. Negara hanya memberikan bentuk pada perasaan
hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum. Oleh karena itu jelas bahwa hukum
yang hidup dimasyarakat adalah hukum yang ideal di undangkan. Sebagaimana ternyata,
kesadaran hukum merupakan suatu pancangan nilai yang terdapat pada wujud sistem
budaya (culture system).
Soerjono dan Mustafa mengatakan bahwa kepatuhan hukum sangat erat
hubungannya dengan kesadaran hukum, kesadaran hukum dianggap sebagai variable
bebas, sedangkan taraf kepatuhan atau ketaatan hukum merupakan variable tergantung.12
10

Ibid hlm 85.
Ibid hlm 85.
12
Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A. 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali
Pres. Jakarta hlm 208
11

178

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

Di dalam berbagai hasil penelitian di luar negeri, asumsi tersebut belum ditangani dengan
semestinya, sehingga masih terhenti pada asumsi atau hipotesa belaka. Penelitian yang
mendalam dan luas terhadap masalah itu, akan dapat mengungkapkan berbagai hal yang
hingga kini masih merupakan sesuatu yang diduga-duga.
Selain dari itu, maka kesadaran hukum dapat pula merupakan variable antara,
yang terletak antara hukum dengan perilaku manusia yang nyata. Walaupun perilaku
yang nyata tersebut dalam kepatuhan hukum, akan tetapi kenyataan tidak dengan
sendirinya berarti bahwa hukum telah mendapat dukungan sosial. Dukungan sosial
hanyalah diperoleh, apabila kepatuhan hukum tersebut didasarkan pada kepuasan
merupakan hasil pencapaian hasrat keadilan.
Kesadaran hukum seperti halnya dengan perasaan hukum, asas-asas hukum serta
kaidah-kaidah hukum termasuk bagian nilai etika dalam sistem budaya.
Koentjaraningrat menjelaskan Kesadaran hukum masyarakat tidak lain dari
kesamaan cita-cita gagasan konsep para warga masrakat atau sebagian besar dari mereka
yang berkenan dengan penghayatan terhadap hukum yang berlaku, serta hukum yang
dicita-citakan.13 Dari sisi-sisi kebudayaan, maka hukum merupakan sub unsur dalam
organisasi sosial.
Menurut Soerjono dan Mustafa bahwa hukum merupakan bagian dari
kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum tidaklah dapat dipisahkan dari
jiwa serta cara berfikir dari masyarakat yang mendukung kebudayaan tersebut, bahkan
dapat dikatakan bahwa hukum penjelmaan dari jiwa serta cara berfikir masyarakat,
artinya hukum merupakan penjelmaan dari pada struktur rohaniah suatu masyarakat14.
Setidak-tidaknya hukum merupakan penjelmaan dari nilai-nilai sosial-budaya dari
golongan yang menbentuk hukum tersebut.
Hans J Daeng mengartikan kebudayaan sebagai upaya manusia untuk terus
menerus secara dialektis menjawab setiap tantangan yang dihadapkan kepadanya dengan
menciptakan berbagai prasarana dan prasarana, pada intinya adalah proses terus menerus
menyimak kadar dinamika dari sistem nilai dan sistem kepercayaan yang mapan dalam
masyarakat15.
Dalam pandangan Laica marsuki siri‟(harga diri/malu dalam budaya Bugis)
sebagai sebuah nilai budaya dilihat dari sisi hukum adalah bagian nilai-nilai etika hukum
(value of legal etic) yang disublimasikan dari kandungan nilai-nilai etika yang menempati
wujud sistem budaya (culture system) Bugis. Nilai-nilai etika (value of etnic) yang antara lain
memuat kandungan nilai-nilai malu serta harga diri (martabat) merupakan bagian asas13

Koentjaraningrat.1982, kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta hlm

105
14

Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A. 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali
Pres. Jakarta hlm 33-34
15
Daeng, Hans, J. 2000. Manusia Kebudayaan dan lingkungan, Pustaka Pelajar, yogyakarta
hlm 45
Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

179

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

asas hukum (rechtsbeginselen) yang mendasari kaidah-kaidah hukum adat beserta segenap
lembaganya. Siri „(harga diri/malu dalam budaya Bugis) adalah bagian sumber hukum
dari segenap kaidah hukum16.
Konsepsi manusia dan pengaktualisasianya di masyarakat dengan Nilai Siri‟
(harga diri/malu dalam budaya Bugis) adalah suatu produk budaya masyarakat yang
berproses dan berlangsung sejak lama, sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan
itu sendiri, Laica Marsuki, ini dikuatkan dengan pandangan beberapa pakar17.
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta buddhayah yaitu bentuk jamak
kata buddhi yang berarti budi atau akal, Koentjaraningrat memahami kata kebudayaan
sebagai hal-hal yang bersangkutan budi dan akal, kata kebudayaan merupakan
perkembangan kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal,
berupa cipta, rasa dan karsa. Pandangan Munajat Danusaputro filsafat hukum
lingkungan, sumber hukum mengandung dua arti yaitu18
1. Landasan dasarnya atas hukum memiliki daya mengikat dan,
2. Daya mampu manusia yang merupakan sumber terciptanya hukum.
Daya manusia mencakup secara utuh terpadu cipta, rasa, karsa manusia lasimnya disebut
juga batin atau hati nurani manusia, perpaduan antara batin dan lahir manusia itu
merupakan kebulatan daya mampu manusia, yang ada kalanya digambarkan sebagai
perpaduan utuh menyeluruh antara kelima daya mampu manusia yakni cipta, rasa, karsa,
kata dan karya manusia.
A.Mattulada berpendapat bahwa fitrah manusia tidak sekedar berfikir,
berkehendak dan berperasaan, tetapi juga memiliki fitrah guna percaya berdasarkan
keyakinan tentang hidup dan tujuan yang hakiki, yaitu iman. Manusia memiliki kalbu
yang dapat membawanya melampaui kemampuan ilmu, etika dan estetika yang menjadi
pangkal kebudayaan ummat manusia19.
Hans J Daeng menjelaskan sistem nilai budaya merupakan bagian dari sistem
budaya, yaitu aspek dari sistem gagasan. Dalam kaitan ini sistem nilai budaya adalah
sejumlah pandangan mengenai soal-soal yang paling berharga dan bernilai dalam hidup.
Karena itu disistem nilai, sebagai inti dari sistem budaya, menjiwai semua pedoman yang
mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Pedoman
tingkah laku itu adalah adat istiadatnya, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan
sopan santun, pandangan hidup dan idiologi pribadi.20 Soal-soal yang paling tinggi
Marsuki, Laica,1995,Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar, Hasanuddin
University Press hlm 206
17
Ibid hlm 18
18
Danusaputro, Munajat. 1984, Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, Bina Cipta, Bandung hlm
93
19
Mattulada. 1991. Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin
University Press hlm 2-4
20
Daeng, Hans, J. 2000. Manusia Kebudayaan dan lingkungan, Pustaka Pelajar, yogyakarta
hlm 46-47
16

180

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

nilainya dalam hidup manusia dan yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di
dunia, menyangkut lima hal yaitu:
1. Makna hidup manusia
2. Makna pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia
3. Persepsi manusia mengenai waktu
4. Hubungan manusia dengan alam sekitarnya
5. Hubungan manusia dengan sesama manusia.
Kelima masalah yang bernilai dalam hidup tersebut biasanya menjadi isi dari sistem nilai
budaya dalam tiap kebudayaan di dunia. Persepsi dan konsepsi mengenai kelima masalah
diatas berbeda-beda dalam berbagai kebudayaan.
Selama ini jika hukum dihubungkan dengan kebudayaan, masih terdapat
pemahaman yang memandang bahwa pemikiran hukum dimaksud tertuju pada upaya
penelaahan dan penelitian bekenaan dengan sistem hukum, lembaga-lembaga hukum
serta perilaku-perilaku hukum masyarakat suku-suku tertentu yang masih bersahaja,
sebagaimana pada beberapa tahun terkhir ini hukum baru yang bernama
rechtsanthropology, antropology of law atau antropologi hukum.
Menurut Laica Marsuki pemikiran hukum di Indonesia dewasa ini hendaknya
mengacu pada pandangan bahwa secara universal hukum itu merupakan bagian
kebudayaan.21
Keberadaan hukum selaku bangunan kebuyaan dapat di simpulkan melalui pandangan
berkenaan dengan dimensi wujud dan isi kebudayaan yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat, bahwa wujud dimensi kebudyaan paling sedikit memiliki wujud
yaitu22:
1. Wujud sebagai kompleksitas cita-cita gagasan, konsep serta pemikiran manusia,
yang lasim disebut sebagai sistem budaya. Wujud idel kebudayaan ini disebut pula
convert culture atau unsur-unsur kebudayaan yang tidak tampak serta paling
abstrak, antara lain sistem nilai budaya, pandangan hidup, etika, idiologi dan
sistem norma. Sebagai konsep gagasan, konsep dan pikiran maka wujud itu tidak
dapat dilihat, diraba dan di foto lokasinya karena berada dalam kepala dan pikiran
para warga pendukung kebudayaan yang bersangkutan.
2. Wujud sebagai kompleks aktifitas kelakuan berpola serta saling berinteraksi dari
manusia dalam masyarakat, yang lasim disebut sistem sosial.
3. Wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia, lazim disebut kebudayaan fisik,
seperti halnya lukisan, patung, candi dan lain sebagainya.
Pandangan diatas sejalan dengan pandangan Sunggono mengatakan bahwa
hukum bukanlah salah satu unit terisolir yang telepas dari dinamika sosial, bangunan
Marsuki, Laica,1995,Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar, Hasanuddin
University Press hlm 34
22
Koentjaraningrat.1982, kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta
hlm 16
21

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

181

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

hukum sebagai buatan manusia dan diperuntukkan bagi manusia, ikut ditentukan oleh
kompleksitas hidup manusia itu sendiri dan ditegaskan bahwa hukum adalah konsep
antropologi (low as agreat antropological dokumen) . sehingga setiap orang jika dihadapkan
pada norma-norma hukum positif yang begitu sistematik seakan memandang bahwa
hukum akan menjanjikan keamanan, kepastian, keseimbangan dan keadilan.23 Namun
pada saat yang bersamaan akan bimbang bila di hadapkan pada persoalan refansional
dari keseluruhan tatanan normatif yang telah menjadi sistem nilai dalam masyarakat.
Van Peursen mengatakan bahwa tidak satupun individu yang dapat mengenal
secara keseluruhan isi kebudayaannya. Betapapun sederhananya suatu kebudayaan,
kandungan terlalu kaya apabila dibandingkan dengan kemampuan seseorang untuk
memahaminya24. Maka pola-pola pembagian kerja dan spesifikasi kegiatan-kegiatan di
masyarakat, yang memungkinkan berhasilnya individu berfungsi selaku anggota
masyarakat tanpa mengetahui dengan sempurna. Orang mempelajari dan mengambil
aspek-aspek tertentu dari semua kandungan kebudayaannya sambil membiarkan
pengetahuan dan pelaksanaan aspek lainya kepada individu-individu lain. Pada waktu
yang bersamaan biasanya setiap individu mengenal unsur-unsur kebudayaan masyarakat
yang baginya tidak dituntut masyarakat dalam tindakan.
Pernyataan Ralph Linton membuktikan bahwa setiap masyarakat mempunyai
budaya yang sangat luas, yang tidak dapat di jangkau oleh setiap orang dari masyarakat
tersebut. Budaya apapun demikian luasnya sehingga mungkin saja ada masyarakat
pendukungnya yang tidak mampu memahami keseluruhan kebudayaanya. Pelanggaran
atas nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat mungkin saja karena kesengajaan
atau ketidak tahuan terhadap nilai-nilai budaya tersebut.
D.

Subtansi Hukum Kearifan Lokal
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita
pengakuan kebudayaan sebagai kearifan lokal dan sebagai sumber hukum yang hidup
dimasyarakat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa kebudayaan.
Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan
kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan kebudayaan.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, Pokok pikiran pertama yaitu
persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang
hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak
mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas
fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan
disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap
bersumberkan nilai primernya.
23

Ibid hlm 21

24

182

Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta hlm 17

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar
atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat
fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya,
artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasaan hukum, perasaan
politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum
melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan
karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil,
menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan.
Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa
dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara
hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai
fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha
Esa.
Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 barulah termuat secara tegas
peraturan yang secara jelas mengakui tentang kebudayaan sebagai kearifan lokal. Pasal 32
ayat 1 undang-undang dasar 1945 dinyatakan bahwa “ Negara memajukan kebudayaan
nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya”.
Menurut Jimli Asshidiqie ayat ini merupakan ketentuan baru yang
menggambarkan politik kebudayaan negara kita di masa depan. Di sini ditegaskan bahwa
negara secara pro aktif haruslah memajukan kebudayaan masyarakat untuk memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya sendiri.25 Dengan pro aktif dalam
membangun, mempromosikan, serta memajukan kebudayaan bangsa Indonesia di
tingkat dunia. Di samping mengembangkan didalam kehidupan kebangsaan disertai
jaminan kebebasan setiap komunitas budaya di tanah air untuk mengembangkan warisan
kebudayaan masing-masing.
Selain itu Kebudayaan sebagai sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis
diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2)
yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie
menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :

25

Assiddiki, Jimli, 2003. Konsolidasi naskah UUD 1945 (setelah perubahan ke empat), Yasrif
watampone. Jakarta hlm 75
Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

183

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

1. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional
yang dimilikinya, yang bersumber dari kebudayaan sebagai kearifan lokal itu
sendiri;
2. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan
tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3. Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4. Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran
kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan
bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi
dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban
hanya karena alasan sentimentil;
6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia
sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.26
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;
2. Jaminan konstitusi sepanjang kebudayaan sebagi sumber hukum adat itu masih
hidup;
3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Diatur dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan
penghormatan kebudayaan sebagai sumber hukum adat bila memenuhi syarat:
1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat;
2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia,
dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi :
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat dan pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

26

184

Ibid hlm 32-33

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1)
menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam
lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan
dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum
dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan
dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat
yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan
dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas
tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan
zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.
Kemudian dalam UU 32 pasal 22 huruf m tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, disebutkan bahwa ” dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban
melestarikan nilai sosial budaya”.
Pasal 22 huruf m UU No.32 Tahun 2004 tersebut adalah penjabaran dari pasal 32
UUD 1945, oleh karena itu jika dianalisa, negara benar-benar serius melestarikan nilai-nilai
budaya dengan membingkainya dalam perangkat undang-undang dan mengarahkan
pelestarian itu di daerah sebagai tempat lahir dan tumbuhnya nilai-nilai sosial budaya
pada pelaksanaan nilai-nilai sosial budaya itu sebagai ”kewajiban”. Jadi sesuatu yang
harus atau dengan kata lain tidak boleh tidak dilaksanakan dan jika tidak dilaksanakan
adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang yang mengaturnya.
PENUTUP
Kearifan Lokal adalah sumber kesadaran hukum manusia dimana dia berada,
karena kearifan lokal lahir sebagai bagian dari Kebudayaan dan manisfestasi atas cita,
cipta dan karsa manusia, oleh karena itu dia hidup di masyarakat.
Dasar hukum kearifan lokal yaitu Tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
Undang-undang Dasar 1945, UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) dan
(2), UU 32 pasal 22 huruf m tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013

185

Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum

Singkeru Rukka

DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sanusi, SH., Prof. Dt A.-,1977, Kesadaran hukum masyarakat Hukum
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta
Astim, Rianto, 1949. Filsafat hukum, Yapemo, Bandung
Assiddiki, Jimli, 2003. Konsolidasi naskah UUD 1945 (setelah perubahan ke empat), Yasrif
watampone. Jakarta
Danusaputro, Munajat. 1984, Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, Bina Cipta, Bandung
Daeng, Hans, J. 2000. Manusia Kebudayaan dan lingkungan, Pustaka Pelajar, yogyakarta
Koentjaraningrat.1982, kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta
Koentjaraningrat.1982, kebudayaan mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta
Lemaire, Dr. L.W.G.-,1952, Het recht in Indonesie, NV Uitgeverij W v \Hoeve s‟Gravenhage.
Marsuki, Laica,1995,Siri’ bagian kesadaran hukum rakyat Bugis, Makassar, Hasanuddin
University Press
Mattulada. 1991. Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin
University Press
Moendardjito Moendardjito 1986, Negara yang demokratis, yayasan koidor pengabdian,
Jakarta
Rasjidi H.M,1970. Filsafat Agama, Bulan Bintang. Jakarta
Sartini 2003, Menggali kearifan local nusantara sebuah kajian filsafati, Air Langga, Jakarta
Soekanto, Sarjono dan Mustafa. A. 1987, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali
Pres. Jakarta
Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta

186

Al-Risalah | Volume 13 Nomor 1 Mei 2013