DERMATITIS KONTAK IRITAN DAN ALERGIK PADA GERIATRI

  

SK Sulistyaningrum dkk Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri

Tinjauan Pustaka

  

DERMATITIS KONTAK IRITAN DAN ALERGIK

PADA GERIATRI

SK Sulistyaningrum, Sandra Widaty, Wieke Triestianawati, Emmy Soedarmi S. Daili

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

  

FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo

ABSTRAK

  Dermatitis kontak (DK) merupakan penyebab kelainan kulit dan pruritus yang kerap dijumpai pada populasi geriatri. Regenerasi kulit yang melambat dan masa pemulihan yang lebih panjang pada kulit yang menua mempengaruhi manifestasi klinis dan keparahan DK pada geriatri. Risiko kejadian dermatitis kontak alergik (DKA) meningkat dengan riwayat pajanan terhadap bahan sensitizer yang telah terjadi sepanjang usia dan peningkatan penggunaan berbagai obat topikal. Namun penurunan respons imun pada geriatri, sebenarnya menurunkan risiko DKA. Dermatitis kontak iritan (DKI) tidak memerlukan fase sensitisasi dan risikonya meningkat pada populasi geriatri akibat perubahan struktur dan fungsi proteksi kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada kontak iritan kuat, misalnya asam kuat, karena gejala timbul beberapa menit setelah pajanan. Diagnosis menjadi sulit ditegakkan pada kontak iritan lemah yang menyebabkan dermatitis kronik atau subakut, misalnya pada cuci tangan berulang. Pengobatan DK meliputi penghindaran bahan iritan dan alergen, penggunaan pelembab, kortikosteroid topikal, dan bahan imunosupresif nonsteroid. Pencegahan juga merupakan bagian penting dari tatalaksana DK pada geriatri (MDVI 2011; 38/1:29-40) Kata kunci: Dermatitis kontak, geriatri, iritan, alergen.

  ABSTRACT Contact dermatitis (CD) is a significant cause of skin disease and pruritus in geriatric patients. The slower turnover rate of aged skin and prolonged recovery time after barrier insults influence the clinical manifestation and severity of CD in elderly. Geriatric risk for allergic contact dermatitis (ACD) is increased by longer exposure history to potential sensitizers and an increased use of topical moisturizers and medications. However, certain factors, such as a diminished immune response, actually decrease the risk of ACD. Irritant contact dermatitis (ICD) does not require sensitization and the risk is increase in elderly due to changes in structure and barrier function. The diagnosis of ICD is easily made when contacted to potent irritants, such as an acid splash, which manifest symptoms within minutes of exposure. The diagnosis is considerably more difficult to make, however, when contacted to minor irritants, causing subacute to chronic dermatitis, such as because of frequent hand washing. Treatment of CD consists of avoiding the known irritants or allergens, using moisturizers, topical corticosteroids or, nonsteroids immunosuppressive agents. Prevention plays an important role in management CD among elderly. (MDVI 2011; 38/1:29-40) Key words: Contact dermatitis, elderly, irritans, allergens.

  Korespondensi: Jl. Diponegoro 71 Jakarta Pusat Telpon/fax: 021-31935383 Email: ningrum84@gmail.com

  

MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40

PENDAHULUAN

3 DKA dan DKI merupakan dua varian utama

  Not immunologically mediated Type IV (delayed hypersensitivity

  1,2,18

  kepustakaan dermatologi secara umum,

  2,3

  maupun kepustakaan geriatri

  4,5

  yang membahas mengenai dermatitis kontak, tidak menyebutkan adanya perbedaan patofisiologi dermatitis kontak pada populasi anak, dewasa, dan geriatri. Namun, perubahan struktur dan fisiologi kulit dan imunosenescence akibat proses menua dapat berpengaruh terhadap kekerapan dan manifestasi klinis dermatitis kontak. Tabel 1 memberikan gambaran perbandingan DKI dan DKA secara umum pada populasi geriatri.

  17 Tabel 1. Dermatitis kontak iritan dan alergik pada populasi geriatrik Irritant Allergic Immunology

  Nickel, plants (especially the Toxicodendron genus), topical medicaments, cosmetics, clothing Created for Geriatrics by Scalf LA and Shenefelt PD, based on Rietschel RL

  Time interval to reaction Variable 24-48 h in a previously sensitized individual Sensitization period None Approximately 1-3 wk from initial exposure Common symptoms Burning, stinging Pruritus Relative risk in the elderly Increased Decreased Common agents Water, detergents, Solvents

  17 Sebagian besar kepustakaan yang

  PATOFISIOLOGI

  Patogenesis dermatitis kontak melibatkan pajanan ter- hadap alergen dan iritan, faktor endogen dan lingkungan yang berinteraksi secara dinamis. Secara patofisiologi dermatitis kontak dibedakan menjadi dermatitis kontak alergik (DKA) yang merupakan respons kontak terhadap alergen pada individu yang telah tersensitisasi dan dermatitis kontak iritan (DKI) yang diakibatkan pajanan terhadap iritan.

  2 DERMATITIS KONTAK IRITAN

  Pada DKI, pajanan pertama terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi pada kulit.

  21 Sel T memori tidak berperan dalam timbulnya DKI.

  6 Terdapat

  empat mekanisme utama yang saling berinteraksi dalam

  Dermatitis kontak merupakan kelainan yang sering ditemui. Di Amerika, angka kejadian dermatitis kontak sekitar 20% pada populasi umum.

  tersedia, baik kepustakaan khusus mengenai dermatitis kontak,

  Dermatitis kontak diidentifikasi dalam dua varian utama, yaitu iritan dan alergik berdasarkan keterlibatan sistem imun spesifik.

5 Dermatitis kontak pada geriatri memiliki kekhususan.

  Sementara itu, di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM terdapat 148 (8,4%) kasus dermatitis kontak dari total 1760 pasien selama kurun periode September 2008 – Oktober 2009.

  1,2

  Pada populasi geriatri, angka kejadian berkisar 11%, meliputi dermatitis kontak adalah alergik (DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI).

  dermatitis kontak. Meskipun mekanisme patogenesis keduanya berbeda, namun kerap kali sulit dibedakan secara klinis, histologis maupun di tingkat molekuler.

  2,4

  Fenomena tersebut menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang menarik dan kompleks. Anamnesis dan pemeriksaan penunjang, yaitu: uji tempel dapat berperan penting dalam diagnosis DKA dan DKI. Dermatitis kontak merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Selain adanya pajanan terhadap alergen dan iritan, banyak faktor individual dan lingkungan yang turut berperan dalam perkembangan penyakit tersebut.

  Pada populasi geriatri terjadi proses menua yang menye- babkan adanya perubahan degeneratif secara struktural, fisiologis, dan imunologis.

  3,6,7

  Perubahan tersebut terjadi secara alamiah akibat penuaan intrinsik dan akumulasi kerusakan ekstrinsik oleh faktor lingkungan seiring ber- tambahnya usia.

  8,9

  Adanya perubahan struktur dan fisiologi kulit pada proses menua serta penuaan imuno- logis (imunosenecence) mempengaruhi kejadian dan manifestasi klinis dermatitis kontak pada pasien geriatri. Di sisi lain, pola kepekaan individu secara spesifik terhadap materi tertentu adalah proses yang dinamis. Pajanan terhadap sensitizer dan iritan secara kumulatif terus berlangsung sepanjang hidup.

  3,10

  Dari berbagai kepustakaan ditemukan bahwa pem- bahasan dermatitis kontak pada geriatri seringkali me- rujuk pada kepustakaan umum dermatitis kontak, baik dalam patofisiologi, gambaran klinis maupun diagnosis. Tinjauan pustaka ini akan membahas dermatitis kontak meliputi patofisiologi secara umum, berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian, diagnosis dan tatalaksana pada pasien geriatri.

DERMATITIS KONTAK PADA GERIATRI

  Dermatitis kontak merupakan pola respons inflamasi pada kulit akibat kontak dengan faktor eksternal.

  11,12

  Dermatitis kontak merupakan salah satu penyebab kelainan kulit dan pruritus pada populasi geriatri.

13 Penelitian tentang kejadian dermatitis kontak pada

  populasi geriatri sangat terbatas. Fitzpatrick pada tahun 1989 mendapatkan prevalensi dermatitis kontak pada populasi geriatri sebesar 11%, baik tipe iritan maupun alergik.

14 Berbagai penelitian yang dilakukan pada tahun

  1999-2003, menemukan kekerapan kejadian DKA berkisar antara 34% sampai dengan 64%.

  10,15,16

  

SK Sulistyaningrum dkk Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri

21 Telah

  presenting Langerhans cells (LCs) berperan sebagai tempat melekat alergen tersebut.

  stratum korneum, kemudian mencapai lapisan hidup dari epidermis yang menyebabkan respons inflamasi diperan- tarai sistem imun nonspesifik. Iritan yang sering ditemui sehari-hari berupa: suhu tinggi, kelembaban, gesekan, deterjen, asam dan alkali, pelarut organik, garam organik

  22 Iritan harus mampu melakukan penetrasi pada

  21 Umumnya iritan merupakan molekul yang berukuran kecil.

  Dermatitis kontak merupakan respons kulit terhadap kontak dengan faktor luar, dalam hal ini iritan dan alergen. Iritan merupakan senyawa kimia, bahan biologik, pajanan suhu tinggi, maupun tekanan/trauma fisik yang dapat menyebabkan disintegrasi membran atau meng- ganggu proses metabolik pada dermis dan epidermis.

  2 BERBAGAI FAKTOR PADA POPULASI GERIATRI Agen

  γ dan prosta- glandin (PGE) yang menghambat produksi IL-2 dan menghambat aktivitas natural killer cell (sel NK). Reaksi diakhiri dengan mekanisme down-regulasi sel T. Adanya deskuamasi lapisan kulit yang mengandung alergen kontak, degradasi enzimatik terhadap alergen, dan mekanisme regulasi imun lainnya yang belum sepenuhnya diketahui turut berperan dalam fase ini.

  Respons inflamasi yang terjadi melibatkan migrasi berbagai sel inflamatorik dan pelepasan sitokin oleh keratinosit apoptotik. Gambaran histologis yang ditemui pada DKA dapat berupa spongiosis dan infiltrat pada dermis. Gambaran perbedaan keterlibatan berbagai sitokin pada DKI dan DKA ditampilkan pada tabel 2. Fase resolusi ditandai peningkatan IFN

  2,24

  Fase eferen atau fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen kontak pada kulit. Alergen ini kemudian dipresentasikan oleh sel Langerhans dan dikenali sel T tersensitisasi yang akan menginduksi reaksi. Reaksi inflamasi ini diperantarai komponen selular sistem imun spesifik.

  Sel Langerhans kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening (KGB) untuk mensensitisasi sel T naïve. Sel T tersensitisasi ini, meliputi sel Th1(CD4) dan sel Tc1(CD8), kemudian bermigrasi ke kulit.

  2,20

  Proses tersebut dapat diamati dalam 3 fase, yaitu fase aferen, fase eferen, dan fase resolusi. Pada fase aferen atau fase sensitisasi, hapten melakukan penetrasi ke kulit dan membentuk kompleks dengan protein karier epidermis, membentuk alergen. Molekul MHC II atau HLA-DR pada permukan antigen-

  kejadian DKI: kehilangan lipid dan substansi pengikat air epidermis, kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada epidermis, dan efek sitotoksik langsung.

  17,20

  Secara umum patofisologi DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed type) yang diperantarai komponen selular (sel T).

  10,11,13

  yang mendapatkan angka kejadian meningkat pada populasi geriatri.

  Walaupun individu usia lanjut mengalami fenomena immunosenescence se- hingga lebih sulit tersensitisasi pada kondisi eksperi- mental, namun individu tersebut telah mendapatkan pajanan alergen selama bertahun-tahun secara kumulatif. Keadaan sensitisasi akibat pajanan alergen potensial ini dapat ber- tahan seumur hidup. Respons alergik yang adekuat pada pajanan berikutnya dapat berkembang menjadi dermatitis kontak.

  9,13

  Kelainan alergi kulit pada usia lanjut dapat timbul akibat kontak dengan alergen tertentu. Dermatitis kontak alergik (DKA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui pada usia lanjut.

  4 Tabel 2. Sitokin, kemokin dan growth factor pada DKI dan DKA. 4 Alat dan Bahan

  berbagai sitokin pada DKI dan DKA ditampilkan pada tabel 2.

  26 Gambaran perbedaan keterlibatan

  Pajanan terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa vasodilatasi dan infiltrasi sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin pro- inflamatorik IL-1 sebelum terjadi kerusakan kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah keratin, makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel T naïve. Gambaran histologis respons inflamasi DKI berupa spongiosis dan pem- bentukan mikrovesikel.

  7,8

  dibuktikan bahwa sistem imun nonspesifik berperan dalam patogenesis DKI.

DERMATITIS KONTAK ALERGIK

13 Hal tersebut menerangkan beberapa penelitian

  

MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40

dan inorganik.

24 Pada populasi geriatri, iritan umum yang

  12,17

  Alergen merupakan suatu zat yang dapat meng- induksi respons imun spesifik.

  dari pH normal kulit (pH normal 4,5-5), baik terlalu asam maupun basa, meningkatkan sifat iritatif suatu senyawa, contohnya asam kuat dan basa kuat. Ukuran molekul yang lebih kecil, kelarutan dalam lemak, jumlah dan konsen- trasi yang meningkat, durasi pajanan yang lebih panjang, serta jarak antar pajanan yang lebih pendek juga mening- katkan reaksi kulit.

  17 Keasaman (pH) suatu senyawa yang jauh

  ditemukan meliputi sodium lauryl sulphate (SLS) pada deterjen, berbagai pelarut, air, dan kosmetika.

13 Tidak semua benda asing yang dapat berpenetrasi ke kulit merupakan antigen.

  protein adalah hapten. Sifat alami dari determinan antigenik, tipe ikatan yang dimiliki hapten dengan protein pembawa, konfigurasi 3 dimensi akhir konjugat, dan be- ragam faktor yang tidak diketahui berkontribusi terhadap sifat antigenik suatu zat kimia. Protein pembawa hapten juga memegang peranan penting. Sebagai contoh, contact

  Sebagian besar alergen adalah hapten, yaitu suatu senyawa sederhana yang harus berikatan kovalen dengan protein karier untuk menjadi antigen yang mampu men- sensitasi respons imun spesifik. Ukurannya berkisar 500 dalton.

  Menua adalah suatu fenomena kompleks yang bersifat multifaktorial. Perubahan tersebut merupakan akibat penuaan intrinsik alamiah secara biologis, mekanis akibat perilaku/gerakan otot berulang yang terus menerus dan akumulasi penuaan ekstrinsik akibat pajanan matahari, polusi, radikal bebas, stres lingkungan yang terjadi seiring bertambahnya usia. Hal ini menyebabkan penurunan fungsi sawar, melambatnya regenerasi sel epidermal, penurunan respons terhadap trauma, pe- nurunan bersihan zat kimia, penurunan persepsi sensoris, berkurangnya fungsi pengaturan suhu, serta penurunan produksi sebum dan vitamin D.

  3,18,19

  Sebagaimana organ lainnya, kulit menua mengalami perubahan degeneratif yang progresif secara struktural dan fisiologis.

  3,17

  Kulit merupakan seperenam dari berat badan total, merupakan organ yang paling terlihat sebagai indikator usia. Kulit merupakan struktur yang kompleks dan dinamis. Kulit berperan sebagai sawar antara lingkungan internal dan eksternal. Selain itu kulit juga berperan pada regulasi homeostasis, mencegah kehilangan cairan perkutan, elektrolit dan protein, termoregulator, persepsi sensorik, dan surveillance imunitas.

  17 KULIT MENUA DAN IMMUNOSENESCENCE

  topikal kerap menjadi penyebab dermatitis kontak. Media/ zat pembawa partikel agen juga mempengaruhi potensi iritatif maupun alergik suatu senyawa. Panas dan kelembaban yang tinggi kerap menjadi faktor pencetus timbulnya dermatitis kontak pada populasi geriatri.

  21 Pada populasi geriatri, rejimen

  2 Saat ini telah ditemukan lebih dari 3700 bahan

  sensitizer yang kuat, apabila membentuk kompleks dengan

  kimia yang dapat menginduksi terjadinya dermatitis kontak.

  dapat memberikan reaksi berat dengan pembengkakan wajah dan daerah periorbital yang dimulai dalam hitungan jam sampai hari setelah pajanan pewarna tersebut. Pasien dengan riwayat alergi terhadap senyawa ini harus meng- hindari pewarnaan rambut yang bersifat permanen.

  amine yang digunakan pada pewarna hitam untuk rambut

  14 Tidak semua substansi elektrofilik dan terikat

  16,17

  lain menyebutkan bahwa nikel, tanaman tertentu (misal- nya Toxicodendron sp), rejimen topikal, kosmetika, dan bahan pakaian sintetik merupakan alergen utama pada populasi geriatri.

  Beberapa alergen yang lebih sering ditemukan men- jadi penyebab DKA pada populasi geriatri dibandingkan pada populasi muda, yaitu: neomisin, lanolin alkohol, campuran paraben, dan phenoxy-ethanol.

  15,20

  pembawa nonimunogenik akan menginduksi toleransi, bukan sensitisasi.

20 Kepustakaan

  Alergi terhadap para-phenylenedi-

13 Kondisi pajanan iritan maupun alergen juga mem-

  3

  Perubahan yang terjadi pada kulit menua terangkum dalam tabel 3.

  3,20,21

  pengaruhi respons kulit individu. Sebagai contoh, oklusi suatu zat pada kulit meningkatkan risiko iritasi maupun sensitisasi kulit.

  

SK Sulistyaningrum dkk Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri

Tabel 3. Perubahan yang terjadi pada kulit yang menua 3 Physiologic change Pathologic change Clinical significance

  Pada kulit menua terjadi penipisan epidermis akibat

  Selain itu, terjadi atrofi pembuluh darah progresif disertai pemendekan lengkung kapiler. Perubahan pada tingkat mikrovaskular ini menyebabkan bersihan zat kimia pada orang tua menjadi lebih lambat. Perubahan lain terjadi pada sistem saraf tepi. Penurunan persepsi sensorik pada kulit menua akibat berkurangnya badan Meissner menyebabkan menurunnya fungsi kewaspadaan terhadap ambang nyeri. Pada kuku dapat terjadi abnor- malitas lempeng kuku, pertumbuhan yang lebih lambat, lebih opak, dan warna menjadi pudar.

  9,38

  Kulit menua mengalami perubahan pada dermis yang ditandai oleh serabut kolagen dan elastin yang jarang, jumlah fibroblas yang berkurang, peningkatan enzim metalo-proteinase, serta berkurangnya glikosaminoglikan (terdiri atas: asam hialuronat dan dermatan sulfat). Secara umum, terjadi penipisan dermis dan lapisan lemak sub- kendur. Fungsi kulit sebagai shock absorber, insulator dan termoregulator pun menurun. Terjadi pula penurunan fungsi dan jumlah kelenjar apokrin dan degenerasi selular yang menyebabkan penurunan produksi keringat, serta penurunan aktivitas kelenjar sebasea dalam menghasilkan sebum.

  3,36,38

  Terjadi pula penurunan filagrin, penurunan kemampuan mengikat air, dan penurunan jumlah melanosit.

  senescense resisten terhadap apoptosis, yang akan menyebabkan akumulasi kerusakan protein dan DNA.

  tersebut menyebabkan stratum korneum yang terbentuk suboptimum sehingga mudah terjadi kerusakan pada epidermis. Selain itu terjadi penumpukan keratinosit

  epidermal turn-over rate menurun hingga 50%. Keadaan

  terjadi penurunan regenerasi stratum korneum, dan

  rete ridges yang mengalami retraksi dan mendatar;

  Loss of self-esteem

  Thinning of epidermis and dermis Increased vulnerability to mechanical trauma, especially shearing and friction Increased incidence of skin tears Flattening of dermal papillae Increased risk of blister formation Increased susceptibility to infection

  Decrease in melanocytes Loss of ability to tan, greater susceptibility to solar radiation Graying hair Cutaneous neoplasma

  Increased susceptibility to skin tears, bruising Osteoporosis and bone fractures Atrophy of sweat glands Decreased sweating Less ability so thermoregulate, hypothermia Dry skin, xerosis Reduced stratum corneum lipids Decreased ability to retain water Dry skin, xerosis Structural changes in stratum corneum Altered barrier function Variable response to topical medications, altered sensitivity to irritants Reduced movement of water from dermis to epidermis Reduced epidermal hydration Dry skin, xerosis

  Impaired neurologic responses Reduced sensation Increased risk of thermal or other accidental injury Decreased skin thickness Loss of cushioning and support

Decreased vitamin D precursor production

Increased risk of pressure damage, decubitus ulcers

  Increased risk of severe injury from irritants Impaired immune function Increased susceptibility to photocarcinogenesis, false- negative delayed hypersensitivity tests

  

Impaired delayed hypersensitivity reaction

Decreased production of cytokines

Decrease in numbers of Langerhans cells

Impaired wound healing

  Increased risk of pressure damage to elderly skin, decubitus ulcers Longer healing times after injury or surgery Impaired immune response Impaired inflammatory response

  Decrease in vascular plexus, blunied capillary loops Loss of thermoregulatory ability Hypothermia, heat stroke Changes in and loss of collagen and elastin fibers Decreased tensile strength, lower layers more susceptible to injury Delayed collagen remodeling

  Fragile, easily broken blood vessels Decreased wound capillary growth Skin easily bruised (senile purpura) Increased risk of wound dehiscence

  Increased time to re-epithellafization Longer healing times after injury or surgery

Decrease in elastin fibers Loss of elasticity Lax skin and wrinkling, with loss of self-esteem and

or depression Decrease in vascularity and supporting structures in dermis

  Slowdown in turnover rate of epidermis; decrease in ratio of proliferative-10-differentiated keratinocytes

Delayed cellular migration and proliferation

Decreased wound contraction

  38

  

MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40

Transepidermal water loss (TEWL) tidak mengalami terhadap antigen spesifik menurun. Selain itu, pajanan

  peningkatan bahkan mengalami penurunan pada orang berulang terhadap antigen dan patogen membentuk

  40

  tua. Mekanismenya belum diketahui secara utuh. subpopulasi sel T efektor spesifik yang secara langsung

  28,44 Hipotesis yang berkembang menyatakan bahwa pe- berkontribusi pada immunosenescence.

  nurunan sekresi keringat, penurunan pada mikrosirkulasi, Perubahan sistem imun juga terjadi pada sel B yang penurunan komponen alami moisturizer kulit misalnya bertindak sebagai komponen humoral sistem imun. Meski-

  

ceramids, dan penurunan suhu kulit secara keseluruhan pun jumlah sel B perifer tidak berubah, namun terjadi

  berkontribusi terhadap penurunan TEWL. Namun bila perubahan komposisi sehingga lebih banyak didominasi berbagai faktor tersebut berdiri sendiri, kenyataannya oleh populasi antigen-experienced memory cells. Sel B tidak menyebabkan penurunan TEWL. Walaupun TEWL memori yang lebih resisten terhadap apoptosis ter- menurun, terjadi penurunan kapasitas ikatan air dan akumulasi pada individu lanjut usia. Meskipun jumlah kandungan air dari epidermis pada populasi geriatri yang antibodi tetap pada usia lanjut, terjadi penurunan afinitas

  22

  29

  menyebabkan sering ditemukannya xerosis kutis. akibat pergeseran isotop dari IgG menjadi IgM. Sel B Proses menua secara keseluruhan menyebabkan pada usia lanjut lebih sulit distimulasi dibandingkan gangguan struktural dan fungsional. Suatu survei terhadap dewasa. Hal tersebut terkait penurunan fungsi sel B, populasi sehat berusia 50-91 tahun, menemukan bahwa akibat penurunan ekspresi molekul co-stimulatorik seperti setiap individu memiliki sedikitnya satu keluhan derma- CD27 dan CD40. Selain itu, adanya gangguan komu- tologis, dan dua-pertiga di antaranya merupakan keluhan nikasi sel T dan sel B menyebabkan penurunan ekspansi yang bermakna secara klinis. Walaupun jarang menjadi sel B dan penurunan diferensiasi sel B dalam merespons fatal, keluhan kulit dapat meningkatkan morbiditas dan antigen. Hal tersebut dikenal dengan kelemahan interaksi

  23,24

  30 berpotensi menurunkan kualitas hidup pasien. Pada antara sel imum terkait usia.

  populasi geriatri meskipun TEWL tidak meningkat/bahkan menurun, risiko DKI meningkat disebabkan adanya kerusak- an fungsi sawar kulit, bersihan zat kimia yang menurun, keterlambatan proses penyembuhan pasca destruksi sawar, sensasi sensorik yang menurun, serta penurunan sintesis lipid. Adanya kerusakan sawar kulit meningkatkan risiko pene- trasi alergen sehingga menyebabkan DKA apabila sensiti-

  17 sasi telah terjadi sebelumnya.

  Pada proses menua terjadi pula perubahan pada imunitas yang dirangkum dalam istilah imunosenescence, yaitu suatu penurunan dan disregulasi fungsi imun terkait bertambahnya usia.Sistem imun sendiri sebenarnya adalah salah satu faktor yang terlibat dalam proses menua. Perubahan sistem imun ini berkaitan dengan perubahan pada sistem hematopoiesis, sistem imun alamiah, sistem imun humoral, serta sistem imun selular (gambar 1, tabel

  25,26,44 4 dan 5).

  sumsum tulang dan timus, limfosit matur pada pembuluh darah perifer dan organ limfatik, serta imunitas non- spesifik. Secara umum kapasitas regenerasi sel punca menurun dan total jaringan hematopoietik menurun

  44

  seiring bertambahnya usia. Terjadi involusi timus di- tandai dengan ukuran yang menurun dan deposit jaringan lemak pada korteks dan medula. Jumlah sel T naïve yang meninggalkan timus juga berkurang. Hal tersebut terkait dengan peningkatan jumlah antigen-experienced memory,

  • dan beberapa sel T efektor CD8 . Terjadi penurunan fungsi dalam produksi IL-2, kemampuan ekspansi, kemampuan proliferasi ditandai pemendekan telomer, dan penurunan diferensiasi menjadi subpopulasi sel T efektor serta peningkatan resistensi terhadap apoptosis, apabila

  27

  dibandingkan dengan dewasa muda. Sebagai konse- 44 Gambar 1. Perubahan pada sistem imun kuensinya, kemampuan untuk menimbulkan respons imun

  SK Sulistyaningrum dkk Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri Tabel 4. Perubahan pada sistem imun nonspesifik Cell type Age-related increase

  38,40

  Terdapat satu hipotesis bahwa kemampuan individu untuk menetralisir radikal bebas, menyesuaikan jumlah enzim antioksidan dan membentuk heat shock protein (hsp) dipengaruhi secara genetik. Faktor tersebut memengaruhi

  10 GENETIK

  kejadian dermatitis kontak pada pria dan wanita, banyak terkait faktor pekerjaan, cara berpakaian, kebiasaan pribadi, budaya, dan pajanan/interaksi dengan lingkungan.

  potassium dichromate dan rejimen topikal. Perbedaan

  lakukan di Italia menemukan bahwa alergen utama pada populasi geriatri sesuai dengan yang ditemukan pada populasi usia muda. Nikel sulfat dan fragrance mix pada populasi wanita, sedangkan pada populasi pria adalah

  35 Penelitian lain yang di-

  Berbagai penelitian melaporkan pengaruh jenis kelamin terhadap kejadian dermatitis kontak, namun hasilnya bersifat kontroversial. Penelitian pada populasi geriatri mendapatkan hasil bahwa kejadian dermatitis kontak alergik pada wanita lebih banyak, hal tersebut di- kaitkan kerap dengan penggunaan perhiasan yang me- ngandung campuran logam.

  21 JENIS KELAMIN

  Pada DKI, proses menua yang terjadi pada sistem imun nonspesifik (meliputi perubahan pada: netrofil, makrofag, sel dendritik, dan sel NK menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda iritasi kulit yang dapat diobservasi, namun kerusakan struktur dan sawar kulit yang tidak terlihat secara kasat mata meningkat. Hal tersebut menyebabkan gambaran klinis DKI maupun DKA pada orang tua secara klinis lebih banyak bermanifestasi sub- akut dan kronik.

  33,34

  α tidak mengalami perubahan.

  absolut meningkat pada individu geriatri, namun aktivitas sitotoksik dan produksi IFN γ menurun. Selain itu terjadi penurunan proliferasi dan ekspresi CD39 yang memengaruhi efektivitas sel NK dalam respons imun. Produksi perforin dan TNF-

  44 Jumlah sel NK

  Namun penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kapasitas uptake antigen, ke- mampuan fagositosis, pinositosis, dan kemampuan migrasi sel dendritik pada lansia dibandingkan dewasa, sehingga segmen aferen sistem imun terganggu.

  dalam menghubungkan sistem imun nonspesifik dan spesifik, sebagai antigen-presenting cell (APC) profesional, belum banyak diketahui. Terjadi penurunan jumlah sel Langerhans dan sel dendritik hingga 50% sehingga aktivitas penyajian antigen pun berkurang. Hal tersebut berkaitan dengan berkurangnya produksi sitokin dan growth factor oleh keratinosit dan limfosit serta kegagalan migrasi me- lalui sistem limfatik.

  Age-related decrease Neutrophils Oxidative burst Phagocytic capacity Bactericidal activity

  Number of narve B cells Diversity of the B cell repertoire Expression of costimulatory molecules (CD27,CD40) Antibody affinity Isotype switch

  Macrophages Oxidative burst Phagocytic capacity NK cells Total number of cells

  Proliferative response to IL2 Cytotoxicity Dentritic cells Capacity to stimulate antigen specific T cells Lymph node homing

  Cytokines and Chemokines Serum levels of IL6,

  IL1 β dan TNF-α Tabel 5. Perubahan pada sistem imun spesifik Cell type Age-related increase

  Age-related decrease T lymphocytes Number of memory and effector cells Expanded clones of effector cells Release of pro- inflammatory cytokines

  Number of nalve T cells Diversity of the T cell repertoire Expression of co-stimulatory molecules (CD28, CD27, CD40L). Proliferative capacity B lymphocytes Autoreactive serum antibodies Generation of B cell precursors

  Secara klinis individu berusia lebih dari 65 tahun mengalami berbagai defek pada fase induksi maupun

  32 Perubahan pada sel dendritik yang berperan penting

  20 alergen sebelumnya telah berlangsung sepanjang hidupnya.

  Sehingga hal ini menerangkan hasil beberapa penelitian, yang menemukan prevalensi DKA yang meningkat pada populasi geriatri.

  Perubahan menua pada sistem imun nonspesifik ter- jadi pada netrofil, makrofag, sel dendritik, dan sel natural

  killer (sel NK). Netrofil merupakan sel berumur pendek

  yang menjalankan fungsi penting dalam pertahanan tubuh terhadap patogen dan berperan pada proses inflamasi akut. Pada individu usia lanjut, jumlah netrofil tidak berubah bahkan cenderung meningkat, namun fungsi kemotaksis dan adesi menurun.

31 Pada makrofag terjadi

  penurunan molekul MHC kelas II, yang menyebabkan penurunan respons sel CD4+. Jumlah makrofag pada sirkulasi perifer lansia tidak berubah, meskipun jumlah prekusor pada sumsum tulang menurun. Namun terjadi penurunan kapasitas menjadi 75% dalam produksi anion superoksida dan kemampuan fagositosis.

  

MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40

variabilitas respons individu terhadap berbagai iritan.

  memerlukan usaha keras dan menjadi tantangan tersendiri. Petunjuk klinis yang paling dapat dipercaya adalah distribusi geografisnya.

  menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang menarik dan kompleks.

  Pembahasan manifestasi dermatitis kontak pada geriatri umumnya mengacu pada gambaran dermatitis kontak secara umum. Gambaran klinis DKI maupun DKA pada orang tua secara klinis bervariasi, dapat berupa bercak eritematosa berskuama tanpa disertai vesikel rasa gatal maupun sensasi terbakar.

  22 Perubahan sistem imun

  pada populasi geriatri menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda iritasi kulit yang dapat diobservasi. Sebagian besar dermatitis kontak bermanifestasi klinis subakut dan kronik.

  21 Namun apabila terdapat pajanan

  dengan iritan kuat, misalnya: asam kuat atau basa kuat, dapat bermanifestasi akut berupa vesikel dan area eritematosa yang sesuai pola distribusi pajanan. Gatal merupakan gejala utama dermatitis kontak alergik. Rasa gatal yang dihubungkan dengan alergi kulit harus dibedakan dari penyebab gatal lainnya pada individu usia lanjut, misalnya: rasa gatal akibat xerosis dan penyakit sistemik.

  13 Identifikasi etiologi dermatitis kontak kerap

  33 Lokasi dan distribusi dermatitis dapat menjadi

  bersamaan dapat pula bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat meningkatkan kejadian DKA. Hal tersebut terjadi akibat adanya gangguan fungsi sawar kulit yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan penetrasi alergen.

  petunjuk penting diagnosis dermatitis kontak pada populasi usia lanjut. Dermatitis kontak awalnya terdapat pada area kulit yang terpajan. Namun dalam perkembangannya, dapat menyebar ke tempat lain yang lebih jauh baik dengan kontak yang tidak disengaja, atau dalam kondisi tertentu, misalnya autosensitisasi. Lebih jauh lagi, kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki yang relatif resisten terhadap dermatitis kontak, dapat menunjukkan karakteristik patologis akibat pajanan agen berulang disertai faktor mekanis misalnya pemijatan.

  17 Kheilitis

  dan stomatitis pada orang tua mungkin berkaitan dengan dermatitis kontak terhadap perasa pada pasta gigi, tabir

  13 Pada DKI, kontak pertama dengan iritan telah dapat

  menimbulkan kelainan kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada kontak dengan iritan kuat, misalnya: pajanan asam kuat, yang menimbulkan reaksi DKI akut dalam beberapa menit. Namun pajanan iritan lemah kronik yang kerap dialami populasi geriatri menampilkan manifestasi klinis subakut maupun kronik, menjadi lebih sulit didiagnosis.

  17 Untuk mempermudah diagnosis DKI,

  Scalf dkk. telah membuat panduan kriteria diagnosis DKI pada geriatri seperti tertuang pada tabel 6. Berbeda dengan DKI, kejadian DKA memerlukan fase sensitisasi, namun kapan fase sensitisasi pada populasi geriatri lebih sulit ditentukan, karena dapat terjadi di sepanjang usia kehidupannya. Fenomena kontak alergik pada uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas dapat membantu menegakkan diagnosis DKA.

  4 Fenomena ini

  25 Suatu iritan pada saat yang

  21 Pada DKA, untuk menginduksi reaksi imun spesifik

  13 FAKTOR LAIN

  selain sensitisasi terhadap alergen kontak yang memadai dan pajanan ulang terhadap bahan yang sama pada episode selanjutnya, individu harus memiliki kepekaan secara genetik.

  20 KELAINAN KULIT YANG TELAH ADA SEBELUMNYA

  Xerosis kutis yang kerap dialami oleh populasi geriatri sering menyebabkan fisura maupun disintegritas kulit. Hal tersebut meningkatkan pajanan iritan dan alergen potensial yang dapat menyebabkan dermatitis kontak.

  17 Kelainan kulit dasar pada pasien, misalnya:

  dermatitis atopik, ichthyosis, psoriasis, dermatitis stasis, dan ulkus, meningkatkan risiko terjadinya dermatitis kontak pada geriatri.

  40 Selain itu, berbagai penyakit yang

  membutuhkan terapi topikal dan penggunaan protese gigi dapat meningkatkan kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri akibat kekerapan pajanan.

  Selain faktor yang telah dijabarkan satu-persatu di atas, terdapat beberapa faktor lain yang berperan dalam penetrasi bahan dan kejadian dermatitis kontak. Faktor tersebut adalah lokasi tubuh yang mengalami kontak terkait dengan kekerapan kejadian kontak dan TEWL,

  mengidentifikasi intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan.

  2

  faktor mekanik (misalnya: pemijatan maupun penekanan pada area kontak), adanya berbagai bahan yang berperan baik sebagai iritan maupun alergen, gesekan, serta abrasi kulit. Selain itu, kelembaban yang menurun dan temperatur rendah dapat menyebabkan penurunan kandungan air pada stratum korneum, yang meningkatkan permeabilitas kulit terhadap iritan.

  21 DIAGNOSIS

  Dermatitis kontak dapat disebabkan karena alergi atau iritan. Diagnosis biasanya tidak jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis saja.

  13 Anamnesis dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tempel,

  memberikan kontribusi bermakna dalam menegakkan diagnosis. Meskipun mendapatkan informasi yang relevan mudah pada sebagian pasien, faktanya diagnosis secara tepat membutuhkan rangkaian pertanyaan yang panjang dan teliti untuk mendapatkan petunjuk yang diperlukan.

  5 Anamnesis teliti dan terarah harus dilakukan untuk

  17

  SK Sulistyaningrum dkk Dermatitis kontak iritan dan alergik pada geriatri Tabel 6. Kriteria diagnostik DKI 17 Kriteria subyektif mayor Kriteria subyektif minor

  memberikan banyak manfaat dalam membedakan DKI dan DKA pada populasi orang tua.

  13

  sebaiknya dihindari karena berisiko menginduksi alergi sekunder pada kulit yang telah mengalami dermatitis.

  33 Antihistamin maupun zat anestesi topikal

  Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritik atau anti- histamin oral.

  17,25

  Beberapa pasien tetap membutuhkan terapi simptomatik meskipun telah menghindari alergen penyebab. Untuk pasien yang tidak mampu menghindari alergen yang telah diketahui, terapi imunosupresan (misalnya: kortikosteroid topikal, takrolimus topikal, siklosporin, dan fototerapi) atau perbaikan sawar dapat memberi manfaat.

  25,36

  dalam tatalaksana dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat membantu pemulihan sawar kulit dengan cara meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis, dan mencegah absorbsi senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi pilihan utama.

  33 Pelembab telah menjadi satu bagian penting

  Erupsi likenifikasi kronik paling baik diobati dengan pelembab.

  Tatalaksana secara umum DKI dan DKA pada pasien geriatri di- jabarkan pada tabel 7.

  15,17

  Identifikasi dan penghindaran bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan tahapan utama dalam terapi dermatitis kontak. Pasien harus mendapatkan informasi lengkap mengenai bahan yang harus dihindari. Bagi sebagian besar individu, penghindaran alergen me- nyebabkan resolusi dermatitis. Perlu dijelaskan pada pasien DKA geriatri, bahwa diperlukan waktu sekitar 3 bulan penghindaran alergen untuk melihat perbaikan tanpa adanya pengobatan tambahan.

  13,17 TATALAKSANA

  13 Biopsi kulit umumnya tidak

   Awitan dalam beberapa menit-jam setelah pajanan  Gejala: nyeri, rasa terbakar, kesemutan, rasa tidak nyaman disertai gatal terutama pada awal kejadian

PEMERIKSAAN PENUNJANG

  Tanpa uji tempel, adalah mustahil menggambarkan penyebab DKA secara obyektif. Oleh karena itu, meskipun 105 tahun telah berlalu sejak Jadassohn pertama kali menjelaskan kegunaan uji tempel, pemeriksaan penunjang ini tetap penting untuk diagnosis dermatitis kontak secara tepat.

   Awitan dalam 2 minggu setelah pajanan  Beberapa individu dari lingkungan yang sama terkena akibat adanya pajanan secara berkelompok Kriteria obyektif mayor Kriteria obyektif minor

   Makula eritematosa, hiperkeratosis dan fisura disertai vesikulasi  Terjadi penyembuhan jika menghindari pajanan yang dicurigai.  Hasil uji tempel yang negatif terhadap alergen yang berhubungan

   Lesi dermatitis dengan batas yang tegas  Kecenderungan kecil dermatitis meluas  Adanya vesikel di sekitar bercak eritematosa, erosi, bula atau kelainan morfologis lainnya yang ditemukan. Hal ini menandakan perbedaan konsentrasi maupun waktu kontak, yang memberikan gambaran kerusakan kulit yang bervariasi.

  Uji tempel merupakan alat yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis dermatitis kontak pada orang tua.

  13,17

  11,13

  tersering dermatitis kontak alergi pada orang tua, termasuk neomisin dan kortikosteroid. Namun, reaksi positif uji tempel terhadap rejimen pengobatan topikal umumnya lebih lambat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pembacaan lambat, yaitu sekitar 7-10 hari pada pasien yang menggunakan bahan ini pada uji tempel. Alergi kortiko- steroid, khususnya, dapat tidak terdeteksi jika pembacaan lambat tidak dilakukan.

  Sebagai langkah pencegahan uji tempel juga dapat dilakukan sebelum pemberian rejimen topikal pada populasi geriatri, ter- utama pada pasien yang berisiko tinggi terkena dermatitis kontak, misalnya: pasien dengan dermatitis kronik ekstremitas bawah yang berkaitan dengan stasis vena.

  13

  berbeda dari pasien yang lebih muda. Preparat uji tempel dilepaskan pada jam ke-48. Evaluasi hasil uji tempel dilakukan pada jam ke-48 dan jam ke-72. Pembacaan pertama dapat dilakukan 15-30 menit setelah preparat dilepaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Mangelsdorf dkk. pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, men- dapatkan lebih banyak hasil uji tempel yang positif pada pembacaan jam ke-72. Sekitar 60% baru menunjukkan hasil uji yang positif pada pembacaan kedua. Umumnya kasus positif ditandai eritema dan infiltrat ringan. Edema, pembentukan vesikel sampai bula hampir tidak pernah dijumpai.

  berusia lebih dari 65 tahun, menganjurkan pembacaan uji tempel dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-5.

  16 Penelitan

  yang dilakukan Wantke dkk. terhadap 1729 subjek menemukan bahwa reaksi uji tempel secara umum pada populasi geriatri menurun jika dibandingkan pada anak dan dewasa muda.

  15 Pengobatan topikal merupakan salah satu penyebab

29 Penelitian oleh Gupta dkk. pada 860 pasien

  

MDVI Vol. 38.No.1 Tahun 2011: 29-40

Tabel 7. Tatalaksana umum DKI dan DKA 17 Acute Chronic

  33 Namun belum ada publikasi

  33

  surya (campuran para-aminobenzoic acid), serta produk lain. Apabila timbul reaksi kulit, baik berupa rasa gatal dan kemerahan pada kulit, hendaknya menghindari penggunaan ulang bahan tersebut.

  phenylenediamine), pewarna tekstil (aniline), beberapa tabir

  Pasien harus mendapatkan edukasi untuk mengamati respons kulit pada penggunaan berbagai bahan yang sering menyebabkan DKA, misalnya pewarna rambut (para-

  benzocaine harus menghindari substansi yang bereaksi silang meliputi zat anestesi lain (misalnya: procaine).

  senyawa. Sebagai contoh, pasien yang alergi terhadap

  38 Selain itu perlu diingat adanya reaksi silang antar

  Pencegahan dermatitis kontak pada pasien yang ber- usia tua memiliki juga implikasi pada peresepan. Bahan poten yang mudah mensensitisasi mialnya neomisin harus dihindari pada pasien dengan risiko tinggi seperti mereka dengan ulkus stasis. Beberapa peneliti menganjurkan untuk menghindari penggunaan rutin antibakterial topikal bahkan setelah prosedur operasi. Sebagai contoh, pada prosedur operasi minor penggunaan vaselin album yang disteri- lisasi lebih dipilih dibandingkan dengan penggunaan basitrasin untuk mengurangi risiko alergi kontak.

  Pasien geriatri dengan dermatitis kontak dianjurkan untuk menghindari pencucian yang sering dan peng- gunaan bahan yang dapat mengiritasi kulit, misalnya: bahan yang kasar, sabun tipe deodoran, astringent dan losio yang mengandung parfum. Mandi sebaiknya diikuti dengan aplikasi pelembab, baik berupa salap yang lembut atau krim, namun tidak disarankan menggunakan losio. Losio lebih populer dan mudah didapat, namun rejimen- nya mengandung lebih banyak bahan formulasi tambahan dibandingkan dengan krim/salap yang lembut yang hanya mengandung air dalam vaselin atau minyak mineral. Losio kurang efektif dibandingkan krim dan salap. Losio umumnya mengandung berbagai bahan tambahan yang berpotensi menimbulkan iritasi maupun sensitisasi jika terjadi kontak.

  PENCEGAHAN

  ICD Avoidance of irritants Burrow’s solution Topical corticosteroid

  hasil uji klinis terapi dermatitis kontak pada populasi geriatri.

  regulator, dan netralisasi sitokin proinflamasi dengan oligonukleotida antisense, antibodi antisitokin atau reseptor sitokin terlarut.

  Created for Geriatrics by Scalf LA and Shenefell PD

  Avoidance of irritants Emolients Topical corticosteroids ACD

  Short course of oral prednisone (20- tp 30-d taper) if severe Oral antihistamines (less effective for pruritus In acute flares Topical corticosteroids

  Avoid allergens Emolients Low-to-midpotency topical Corticosteroids Avoid long-term oral prednisone

  inhibitor molekul adesi, aplikasi kulit target dengan sitokin

  Key: ACD, allergic contact dermatitis, ICD, irritant contact dermatitis.