FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA PADA KARYAWAN PENCUCIAN MOBIL DI KELURAHAN SUKARAME BANDAR LAMPUNG

(1)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis

Kontak Akibat Kerja Pada Karyawan Pencuci Mobil di

Kelurahan Sukarame

Bandar Lampung

Oleh

Donna Rozalia Mariz

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(2)

FACTORS THAT CORELATION TO THE INCIDENCE OF OCCUPATIONAL CONTACT DERMATITIS ON THE WORKERS OF CAR

WASHES IN SUKARAME VILLAGE BANDAR LAMPUNG CITY By

Donna Rozalia Mariz

Abstract

Occupational contact dermatitis is one of the most occurs skin disease of the worker that get contact with chemical and biological material frequently. This disease may reduce worker productivities. Therefore, prevention is recommended to this disease. Knowing the factors related to occupational contact dermatitis, we wished the prevention easier to done. So that, the objective of this research is to investigate factors related to occupational contact dermatitis on workers at car washes in Sukarame Village Bandarlampung City.

The study design of this analytic research is cross-sectional, which is conducted on workers at Carwash in Sukarame Village Bandarlampung City. The research subjects were selected using a total sampling, and the total subjects were 50 respondents. Data collecting procedure was carried out by questionnaire to each of 50 respondents. This research used Fisher exact statistical test because the expected value is less than 5 in any of the cells.

From the results of the study found that 78% of respondents experienced occupational contact dermatitis. Based on statistical tests, frequency of contact, duration of contact, personal hygiene and the use of Self Protection Device (SPD) obtained a result of p<0.05, which means there is a meaningful relationship to the incidence of occupational contact dermatitis. Whereas the factors of age, gender, and history of previous illness have no meaningful relationship (p<0.05) with the incidence of occupational contact dermatitis.


(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA PADA KARYAWAN PENCUCIAN MOBIL DI

KELURAHAN SUKARAME BANDAR LAMPUNG Oleh

Donna Rozalia Mariz

Abstrak

Dermatitis kontak akibat kerja merupakan salah satu penyakit kulit akibat kerja yang banyak terjadi terutama pada pekerja yang sering kontak dengan bahan-bahan kimia dan biologi. Penyakit ini dapat menurunkan produktifitas pekerja. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan proses pencegahan dapat lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis kontak pada karyawan pencucian mobil di kelurahan Sukarame Bandarlampung.

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. Responden penelitian diambil secara keseluruhan yaitu sebanyak 50 responden. Data yang diperoleh adalah data primer dari kuesioner, Setelah itu dilakukan uji statistik Fisher exact karena

expected value <5 pada setiap sel.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 78% responden mengalami kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Berdasarkan uji statistik, faktor lama kontak, masa kerja, personal hygiene, dan penggunaan alat pelindung diri(APD) didapatkan hasil p< 0,05 yang berarti ada hubungan yang bermakna terhadap kejadian dermatitis kontak akibat kerja. Sedangkan faktor usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit sebelumnya tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik (p>0,05) dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja.


(4)

(5)

(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kerangka Pikiran ...7

F. Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Derrmatitis... 9

B. Dermatitis Kontak ... 9

1. Dermatitis Kontak Iritan ... 10

C. Faktor Yang Mempengaruhi... ...23

D. Penyakit Akibat Kerja... ... 26


(7)

ii

B. Variabel Penelitian ... 37

C. Definisi Operasional... 37

D. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

E. Alat dan bahan... 39

F. Populasi dan Sampel ... 40

G. Alur Penelitian ... 42

H. Pengumpulan Data ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...46

B. Pembahasan ...56

V. SIMPULAN DAN SARAN A.Simpulan...68

B. Saran...69

DAFTAR PUSTAKA ...71


(8)

iii DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka konsep ...7

1.2 Kerangka Teori ...8

2.1 Dermatitis Kontak ... 17

2.2 Alur Pencucian Mobil... 35

3.1 Alur Penelitian ... 42

4.1 Angka Kejadian dermatitis kontak akibat kerja... 47

4.2 Angka Kejadian Lama Kontak………... 48


(9)

ii DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Iritan yang sering menimbulkan DKI ... 24

2. Kriteria Diagnosis DKI ... 25

4. Definisi Operasional... 36

4.1Distribusi Kejadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja... 38

4.2 Distribusi Faktor Tidak Langsung... 49


(10)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan perkembangan industri dan adanya perubahan gaya hidup masyarakat terutama pada masyarakat ibukota yang lebih menyukai hal-hal yang praktis membawa efek positif pada usaha penyedia jasa. Jenis usaha penyedia jasa yang berkembang dan semakin menjamur dikalangan masyarakat, salah satunya adalah usaha penyedia jasa pencucian mobil atau dikenal dengan istilah car wash. Hal ini memberikan konsekuensi semakin banyak orang yang bekerja dibidang jasa pencucian mobil, sehingga semakin banyak pula kemungkinan orang yang berisiko terkena penyakit kulit akibat kerja, mengingat bekerja di pencucian mobil akan berkontak langsung dengan bahan-bahan yang memiliki potensi menimbulkan penyakit kulit akibat kerja (Djunaedi, 2003)

Penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatoses) adalah suatu peradangan kulit diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja terbanyak yang bersifat nonalergi atau iritan (Kosasih, 2004). Penelitian survailance di Amerika menyebutkan bahwa 80% penyakit kulit akibat kerja adalah


(11)

dermatitis kontak. Di antara dermatitis kontak, dermatitis kontak iritan menduduki urutan pertama dengan 80% dan dermatitis kontak alergi menduduki urutan kedua dengan 14%-20% (Taylor dkk, 2008). Data dari

United Stases Bureau of Labor Statistict Annual Survey of Occupational

Injuries and Illnesses pada tahun 1988, didapatkan 24 % kasus penyakit akibat kerja adalah kelainan atau penyakit kulit. Data di Inggris menunjukan bahwa dari 1,29 kasus/1000 pekerja merupakan dermatitis akibat kerja. Apabila ditinjau dari jenis penyakit kulit akibat kerja, maka lebih dari 95 % merupakan dermatitis kontak (Djunaedi, 2003).

Dermatitis kontak adalah dermatitis disebabkan bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2007). Penyakit ini ditandai dengan peradangan kulit polimorfik yang mempunyai ciri – ciri yang luas, meliputi: rasa gatal, eritema (kemerahan), endema (bengkak), papul (tonjolan padat diameter kurang dari 55mm), vesikel (tonjolan berisi cairan diameter lebih dari 55mm), crust dan skuama (Freedberg, 2003).

Prevalensi dermatitis kontak di Indonesia sangat bervariasi. Menurut Perdoski (2009) Sekitar 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis kontak, baik iritan maupun alergik. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan dermatitis kontak sebesar 92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1% penyakit kulit karena sebab lain. Pada studi


(12)

3

epidemiologi, Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis kontak alergi (Hudyono, 2002). Di Bandar Lampung sendiri, sekitar 63% kejadian dermatitis kontak menurut

survailence tahunan yang dilakukan oleh dinas kesehatan kota Badar Lampung pada tahun 2012 dan menjadi peringkat pertama penyakit kulit yang paling sering dialami (Dinkes, 2012).

Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan, dermatitis kontak dapat terjadi pada hampir semua pekerjaan. Biasanya penyakit ini menyerang pada orang-orang yang sering berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat toksik maupun alergik, misalnya ibu rumah tangga, petani dan pekerja yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia dan lain-lain (Orton, 2004) Sebelumnya, sudah dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak pada pekerja, seperti penelitian pada pegawai salon yang dilakukan oleh Mulyaningsih didapatkan hasil kelompok usia dengan angka kejadian tertinggi yaitu pada pegawai usia 20-30 tahun (54,2%), wanita (70,8%) dibandingkan pria (20,9%), kelompok dengan paparan ulang terhadap agen (70,8%), lokasi tersering adalah telapak tangan dan sela jari (73%), serta terdapat pengaruh penggunan alat pelindung diri sebagai faktor protektif (Mulyaningsih, 2005).

Terdapat juga penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis pada pekerja pencuci mobil di bengkel sehat


(13)

Kota Medan didapatkan hasil pekerja yang mengalami kejadian dermatitis sebanyak 82% dengan angka kejadian tertinggi pada kelompok usia >20 tahun (80%), dan masa kerja >1 tahun (75%), lokasi tersering adalah bagian kaki (47%) (Kesuma, 2012). Kemudian, penelitian pada satu tempat pencucian mobil di daerah Raja Basa Bandar Lampung yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa fakultas kedokteran universitas lampung dalam kegiatan walk through survey, dalam hal ini didapatkan hasil 85% pegawai yang bekerja sebagai pencuci mobil mengalami masalah pada kulit daerah tangan dan kaki (Pratiwi, 2013).

Melihat hal diatas, bahwa karyawan pencucian mobil memiliki potensi lebih untuk mengalami dermatitis kontak, sedangkan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak pada karyawan pencucian mobil masih terbatas. Penelitian ini untuk mencari faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil.

B. Rumusan Masalah

Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.


(14)

5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui hubungan faktor langsung berupa lama kontak dengan paparan terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor tidak langsung berupa usia, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene dan penggunaan alat pelindung diri terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.


(15)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi mengenai faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencucian mobil

2. Bagi Pemilik Usaha dan Masyarakat

Dapat memberikan informasi kepada pekerja dan pemilik usaha jasa pencucian mobil khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan dan juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi tempat usaha dalam mengupayakan tindakan promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif dalam rangka meningkatkan kesehatan para pekerjanya.

3. Bagi Peneliti

Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai penyakit kulit akibat kerja terutama dermatitis kontak akibat kerja pada pekerja pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.


(16)

7

E. Kerangka Teori

(Djuanda, 2007; Fredberg, 2003)

Jenis Pekerjaan

Dermatitis

Kontak Akibat Faktor Langsung:

 Bahan kimia (ukuran

molekul, daya larut, dan konsentrasi)

 Lama Kontak

Faktor Tidak Langsung:

 Suhu

 Kelembaban

 Masa Kerja

 Usia

 Jenis Kelamin

 Riwayat

penyakit kulit sebelumnya  Personal

hygiene

 Penggunaan

Alat Pelindung Diri


(17)

F. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

G. Hipotesis

1.Terdapat hubungan antara variabel lama kontak terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencuci mobil.

2.Terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene, dan penggunaan alat pelindung diri, terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencuci mobil.

Faktor Langsung:

Lama Kontak

Dermatitis Kontak Akibat Kerja

`Faktor Tidak Langsung:

 Usia

 Jenis Kelamin  Masa Kerja  Riwayat

Penyakit kulit sebelumnya  Personal

Hygiene

 Penggunaan APD


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan non-inflamasi pada kulit yang bersifat akut, sub-akut, atau kronis dan dipengaruhi banyak faktor. Menurut Djuanda 2006, Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal. Terdapat berbagai macam dermatitis, dua diantaranya adalah dermatitis kontak dan dermatitis okupasi. Dermatitis kontak adalah kelainan kulit yang bersifat polimorfi sebagai akibat terjadinya kontak dengan bahan eksogen (Dailli, 2005).

B. Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit dan dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi


(19)

peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa diketahui proses sensitasi. Sebaliknya, dermatitis alergik terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu alergen (Djuanda, 2006; Stateschu, 2011).

1. Dermatitis Kontak Iritan

a. Definisi

Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan baik fisika maupun kimia yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam wakttu dan konsentrasi yang cukup (Verayati, 2011).

b. Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data dermatitis kontak iritan sulit didapat. Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukan bahwa 249.000 kasus penyakit okupational nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan kedua terbesar untuk semua penyakit okupational. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk penyakit okupational


(20)

11

pada populasi pekerja di Amerika menunjukan 90-95% dari penyakit okupational adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.

Di Amerika, DKI sering terjadi pada pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang pada kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).

Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan, namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan penderita dengan gejala ringan dan tanpa keluhan tidak datang berobat (Djuanda, 2006). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis kontak alergik kira-kira hanya 10-20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik diperkirakan terjadi pada 0,21% dari populasi penduduk (Sumantri, 2010).


(21)

c. Etiologi

Sekitar 80-90% kasus dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh paparan iritan berupa bahan kimia dan pelarut. Inflamasi dapat terjadi setelah satu kali pemaparan ataupun pemaparan berulang (keefner, 2004). Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali disebut DKI akut dan biasanya disebabkan oleh iritan yang kuat, seperti asam kuat, basa kuat, garam, logam berat, aldehid, bahan pelarut, senyawa aromatic, dan polisiklik. Sedangkan, DKI yang terjadi setelah pemaparan berulang disebut DKI kronis, dan biasanya disebabkan oleh iritan lemah (Hayakawa, 2000).

Tabel 1. Iritan yang sering menimbulkan DKI Iritan yang sering menimbulkan DKI

Asam kuat (hidroklorida, Hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat)basa Basa kuat (kalsium Hidroksida, Natrium hidroksida, Kalium Hidroksida) Detergen

Resin epoksi Etilen oksida Fiberglass

Minyak (lubrikan) Pelarut-pelarut organic Agen oksidator Plasticizer Serpihan kayu (Keefner, 2004)


(22)

13

d. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti (Streit, 2001).

Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler (Beltrani, 2006; Djuanda, 2006).

DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan


(23)

stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-α, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani, 2006).

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2007).

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak, kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan mengeluarkan cairan bila terkelupas. Gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi pada bintik


(24)

merah-15

merah itu. Reaksi inflamasi bermacam-macam mulai dari gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit. Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi hiper atau hipopigmentasi dan penebalan (Verayati, 2011)

e. Gejala Klinis

Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan berdasarkan klasifikasinya yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan kronik

1) Dermatitis kontak iritan akut

Dermatitis kontak iritan akut biasanya timbul akibat paparan bahan kimia asam atau basa kuat, atau paparan singkat serial bahan kimia, atau kontak fisik. Sebagian kasus dermatitis kontak iritan akut merupakan akibat kecelakaan kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang berat.

Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan bahan-bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan epidermis yang berakibat peradangan. Bahan-bahan iritan ini dapat merusak kulit


(25)

karena terkurasnya lapisan tanduk, denaturasi keratin dan pembengkakan sel. Manifestasi klinik tergantung pada bahan apa yang berkontak, konsentrasi bahan kontak, dan lamanya kontak. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi merah atau coklat, terjadi edema dan rasa panas, atau ada papula, vesikula, pustula dan berbentuk pula yang purulent dengan kulit disekitarnya normal.

2) Dermatitis kontak iritan kronik

DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2007).

Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian (Djuanda, 2007).


(26)

17

Berdasarkan manifestasinya pada kulit dapat dibagi kedalam dua stadium, diantaranya:

a) Stadium 1

Kulit kering dan pecah-pecah, stadium ini dapat sembuh dengan sendirinya.

b) Stadium 2

Ada kerusakan epidermis dan reaksi dermal. Kulit menjadi merah dan bengkak, terasa panas dan mudah terangsang kadang-kadang timbul papula, vesikula, krusta. Bila kronik timbul likenikfiksi. Keadaan ini menimbulkan retensi keringat dan perubahan flora bakteri.

Gambar1: Dermatitis kontak (Dailli, 2005).

f. Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih


(27)

cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk membedakan dan melihat anatara dermatitis akut dan kronik maka diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2007).

Pada dermatitis kontak tidak memiliki gambaran klinis yang tetap. Untuk menegakkan diagnosis dapat didasarkan pada:

1. Anamnesis, harus dilakukan dengan cermat. Anamnesis dermatologis terutama mengandung pertanyaan-pertanyaan: onset dan durasi, fluktuasi, perjalanan gejala-gejala, riwayat penyakit terdahulu, riwayat keluarga, pekerjaan dan hobi, kosmetik yang digunakan, serta terapi yang sedang dijalani.

Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berupa lesi numular di sekitar umbilicus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, serta penyakit kulit pada keluarganya (misalnya dermatitis atopik) (Djuanda, 2007).


(28)

19

2. Pemeriksaan klinis, hal pokok dalam pemeriksaan dermatologis yang baik adalah:

a) Lokasi dan/atau distribusi dari kelainan yang ada.

b) Karakteristik dari setiap lesi, dilihat dari morfologi lesi (eritema, urtikaria, likenifikasi, perubahan pigmen kulit).

c) Pemeriksaan lokasi-lokasi sekunder.

d) Teknik-teknik pemeriksaan khusus, dengan patch test.

Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran, di pergelangan tangan oleh jam tangan, dan di kedua kaki oleh sepatu. Pemeriksaan hendaknya dilakukan pada seluruh permukaan kulit, untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab- sebab endogen (Djuanda, 2007).

Pada Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain maka predileksi regional akan sangat membantu penegakan diagnosis (Trihapsoro, 2003).


(29)

3. Pemeriksaan Penunjang

Untuk membantu menegakan diagnosis penyakit kulit akibat kerja selain pentingnya anamnesa, juga banyak test lainnya yang digunakan untuk membantu. Salah satu yang paling sering digunakan adalah

patch test. Dasar pelaksanaan patch test adalah sebagai berikut:

a. Bahan yang diujikan (dengan konsentrasi dan bahan pelarut yang sudah ditentukan) ditempelkan pada kulit normal, kemudian ditutup. Konsentrasi yang digunakan pada umumnya sudah ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian.

b. Biarkan selama 2 hari (minimal 24 jam) untuk memberi kesempatan absorbsi dan reaksi alergi dari kulit yang memerlukan waktu lama. Meskipun penyerapan untuk masing-masing bahan bervariasi, ada yang kurang dan ada yang lebih dari 24jam, tetapi menurut para peniliti waktu 24 jam sudah memadai untuk kesemuanya, sehingga ditetapkan sebagai standar.

c. Kemudian bahan tes dilepas dan kulit pada tempat tempelan tersebut dibaca tentang perubahan atau kelainan yang terjadi pada kulit. Pada tempat tersebut bisa kemungkinan terjadi dermatitis berupa: eritema, papul, oedema atau fesikel, dan bahkan kadang-kadang bisa terjadi bula atau nekrosis.

Setelah 48 jam bahan tadi dilepas. Pembacaan dilakukan 1525 menit kemudian, supaya kalau ada tanda-tanda akibat tekanan,


(30)

21

penutupan dan pelepasan dari Unit uji temple yang menyerupai bentuk reaksi, sudah hilang. Cara penilaiannya ada bermacam-macam pendapat. Yang dianjurkan oleh International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) sebagai berikut:

NT : Tidak diteskan

+ : hanya eritem lemah: ragu-ragu

++ : eritem, infiltrasi (edema), papul: positif lemah +++ : bula: positif sangat kuat

- : tidak ada kelainan: iritasi (Sulaksmono, 2006)

Untuk membantu membedakan antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak alergika, Rietschel mengusulkan kriteria yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan.

Tabel 2. Kriteria diagnosis dermatitis kontak iritan

Subjektif

Mayor Minor

1. Onset dari gejala timbul dalam hitungan menit hingga jam setelah paparan

2. Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat, atau rasa tidak nyaman melebihi rasa gatal pada tahap klinis awal

1. Onset timbulnya gejala 2 minggu setelah paparan

2. Banyak orang dalam lingkungan yang sama juga terkena


(31)

Objektif

Mayor Minor

1. Makula eritem, hiperkeratosis, atau fisura lebih mendominasi daripada vesikulasi

2. Epidermis tampak mengkilap, merekah, atau terkelupas

3. Proses penyembuhan dimulai

segera setelah paparan terhadap bahan kausal dihentikan 4. Hasil uji tempel negative

1. Dermatitis berbatas tegas

2. Terdapat bukti pengaruh gravitasi, seperti efek menetes

3. Tidak terdapat kecenderungan menyebar 4. Perubahan morfologik menunjukan perbedaan. konsentrasi yang kecil mampu timbulkan kerusakan kulit yang besar

(Rietschel, 2007)

g. Pengobatan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau tekanan yang bersifat terus menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi (alkali, sabun, pelarut organic, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat). Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperaiki kulit yang kering (Djuanda, 2007).


(32)

23

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2007; Kampf, 2007). Pencegahan bahan iritan seharusnya menjadi diagnose primer dan edukasi pada pasien. Penggunaan kompres basah dengan astringent alumunium asetat dapat digunakan untuk mendinginkan dan mengeringkan lesi. Hidrokortison dan lotion kalamin membantu untuk mengeringkan rasa gatal. Penggunaan topical anestesi local tipe caine perlu dihindari atau diawasi karena dapat menyebabkan kontak dermatitis yang lebih luas (Keefner, 2004)

C. Faktor yang Mempengaruhi

Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen.

1. Faktor Eksogen

Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak dan berasal dari luar tubuh. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.

a. Karakteristik bahan kimia


(33)

atau terlalu rendah < 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah terpapar, sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah < 7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan gejala), jumlah dan konsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin banyak pula bahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak lapisan kulit), berat molekul ( molekul dengan berat <1000 dalton sering menyebabkan dermatitis kontak, biasanya jenis dermatitis kontak alergi), kelarutan dari bahan kimia yang dipengaruhi oleh sifat ionisasi dan polarisasinya (bahan kimia dengan sifat lipofilik akan mudah menembus stratum korneum kulit masuk mencapai sel epidermis dibawahnya).

b. Karakteristik paparan

Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan perhari dan lama bekerja (semakin lama durasi paparan dengan bahan kimia maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk ke kulit sehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak (kontak melalui udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan dengan lebih dari satu jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu bahan kimia dapat bersifat sinergis ataupun antagonis, terkadang satu bahan kimia saja tidak mampu memberikan gejala tetapi mampu timbulkan gejala ketika bertemu dengan bahan lain), dan frekuensi paparan dengan agen (bahan kimia asam atau basa kuat dalam sekali paparan bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lemah butuh


(34)

25

beberapa kali paparan untuk mampu timbulkan gejala, sedangkan untuk bahan kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja tidak bisa menimbulkan gejala karena harus melalui fase sensitisasi dahulu).

2. Faktor Endogen

Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari dalam dan turut berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak meliputi:

a. Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya diatur oleh genetik. Dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada tiap individu berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia tertentu.

b. Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan, dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit yang lebih rentan, tetapi karena perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan pekerjaan yang lembap.

c. Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada kulit.

d. Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi


(35)

yang baru, menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah, karena eritema pada kulit hitam sulit terlihat.

e. Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit pada lokasi yang berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih rentan dermatitis.

f. Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan kerentanan terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier kulit dan perlambatan proses penyembuhan.

g. Faktor lain dapat berupa perilaku individu: kebersihan perorangan, hobi dan pekerjaanan sambilan, serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja.

D. Penyakit Akibat Kerja

1. Definisi

Penyakit akibat kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang artifisal atau man made disease.


(36)

27

WHO membagi penyakit akibat kerja menjadi 4 kategori yaitu:

a. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya pneumonikosis

b. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan

c. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya bronchitis kronis

d. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya, misalnya asma (WHO, 2010)

2. Prevalensi dan Insidensi

Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Lebih dari 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan jenis penyakit kulit akibat kerja eksematosa, sedang sisanya kira-kira 10% berupa penyakit kulit akibat kerja non-eksematosa. Umumnya pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antarnegara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Effendi (1997) melaporkan insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11,9% dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu penyakit kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (Effendi, 1997).


(37)

Di AS angka statistik berasal dari survei yang dilakukan oleh Bureau of Labor Statistic pada industri swasta yang didata secara random. Di Inggris pelaporan melibatkan dokter spesialis kulit yang bekerja pada beberapa pusat kesehatan. Diagnosis ditetapkan secara sederhana termasuk menetapkan jenis pekerjaan yang dilaksanakan. Pengamatan yang dilaksanakan pada berbagai jenis pekerjaan di berbagai negara barat mendapatkan insiden terbanyak terdapat pada penata rambut 97,4%, pengolah roti 33,2% dan penata bunga 23,9%.

Apabila ditinjau dari masa awitan penyakit, maka masa awitan terpendek adalah dua tahun untuk pekerjaan penataan rambut, tiga tahun untuk pekerjaan industri makanan, dan empat tahun untuk petugas pelayanan kesehatan dan pekerjaan yang berhubungan dengan logam. Berkaitan dengan umur, maka umur 15-24 tahun merupakan usia dengan insidens penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh pengalaman yang masih sedikit dan kurangnya pemahaman mengenai kegunaan alat pelindung diri. Sensitisasi sesuai dengan jenis pekerjaan terjadi pada 52 persen kasus. Di beberapa negara maju telah berhasil mendata PAK, misalnya di Swedia prosentase PAK 50% dari seluruh jenis PAK. Sedang di Singapura, angka ini berkisar 20%. Ada dua kelompok besar dalam penggolongan PAK ini, yakni PAK eksematosa dan PAK non-eksematosa (Sassville, 2008)


(38)

29

3. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Untuk dapat mendiagnosis penyakit akibat kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:

a. Tentukan diagnosis klinisnya

b. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini,

c. Tentukan apakah pajanan tersebut dapat menyebabkan penyakit tersebut, d. Tentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat

mengakibatkan penyakit tersebut.

e. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi.

f. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat menyebabkan penyakit. g. Buat keputusan penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaanya.

Dalam penelitian ini, dermatitis kontak yang terjadi berhubungan dengan pekerjaan seseorang, untuk itu dalam anamnesis perlu riwayat paparan saat kerja dan bukti yang jelas adanya agen penyebab dalam bahan yang ditangani oleh karyawan.


(39)

Untuk memastikan bahwa dermatitis kontak tersebut akibat kerja, Mathias mengusulkan bahwa harus ditemukan minimal empat dari tujuh kriteria di bawah ini:

a. Apakah gambaran klinis sesuai dengan dermatitis kontak?

b. Apakah ada paparan terhadap iritan atau alergen kulit yang potensial pada tempat kerja?

c. Apakah distribusi anatomik dari dermatitisnya sesuai dengan bentuk paparan terhadap kulit dalam hubungannya dengan tugas pekerjaannya? d. Apakah hubungan waktu antara paparan dan witannya sesuai dengan

dermatitis kontak?

e. Apakah paparan non-pekerjaan telah disingkirkan sebagai penyebab yang mungkin?

f. Apakah menghindari paparan memberikan perbaikan pada dermatitisnya?

g. Apakah uji tempel atau uji provokasi melibatkan suatu paparan pada tempat kerja yang bersifat spesifik?

(Mathias, 2000)

E. Pencucian Mobil / Car Wash

Kegiatan cuci-mencuci merupakan hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Namun, akibat perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai segala sesuatunya menjadi praktis, akhirnya masyarakat saat ini lebih


(40)

31

memilih mencucikan kendaraan mereka di tempat pencucian khusus kendaraan. Selain banyak diminati oleh masyarakat dengan ritme kegiatan yang tinggi dan masyarakat menengah keatas, ternyata banyak alasan mengapa lebih memilih menggunakan jasa pencucian mobil, selain karena tidak punya waktu lebih, keterbatasan tempat mencuci dan ketersediaan air yang tidak menentu, ternyata juga turut mempengaruhi keputusan menggunakan jasa pencucian mobil. Apalagi di dukung oleh kecepatan pelayanan dan harga yang terjangkau membuat masyarakat semakin tertarik (Kesuma, 2012).

Hal-hal tadi lah yang membuat peluang usaha pencucian mobil sangat diminati. Bahkan saat ini banyak pelaku usaha yang sudah mengembangkan potensi bisnis tersebut menjadi bisnis franchise. Mengingat minat konsumen akan jasa car wash, menunjukan peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya, sehingga semakin terbukanya peluang bagi pengusaha baru untuk memulai usaha pencucian mobil. Hasilnya, jasa pencucian mobil pun saat ini ada dimana-mana, bahkan bisa dikatakan tiap keluruhan dapat ditemui jasa pencucian mobil (Kesuma, 2012). Dengan banyaknya pengusaha jasa pencucian mobil, maka semakin banyak masyarakat yang bekerja di pencucian mobil. Padahal dengan menjadi pegawai pencucian mobil, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi terkena dermatitis kontak akibat kontak dengan bahan-bahan kimia yang digunakan. Apalagi ditambah dengan tingginya jumlah konsumen, sehingga intensitas kontak dengan paparan bahan kimia semakin sering terjadi, risiko pun meningkat (Pratiwi, 2013).


(41)

Bahan-Bahan baku yang terdapat di dalam detergen sabun pencuci mobil (Kesuma, 2012)

1. Bahan Aktif

Bahan aktif ini merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini harus ada dalam pembuatan deterjen. Secara kimia bahan kimia ini dapat berupa sodium lauryl sulfonate (SLS). Sodium lauryl sulfonate dengan beberapa nama dagang dengan nama texapone, Emal, luthensol, dan neopelex. Secara fungsional bahan mempunyai andil dalam meningkatkan daya bersih karena bekerja dengan cara menurukan tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta membentuk mikro emulsi yang bisa menimbulkan busa. Ciri dari bahan aktif ini mempunyai busa banyak dan bentuknya jel (pasta). Penggunaan SLS dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan terjadinya iritasi epidermis dan denaturasi rantai polipeptida suatu molekul protein sehingga merubah dari suatu struktur rantai protein (Winarno, 2002) 2. Bahan pengisi

Bahan ini berfungsi sebagai bahan pengisi dari keseluruhan bahan baku. Pemberian bahan pengisi ini dimaksudkan untuk memperbesar atau memperbanyak volume. Keberadaan bahan ini dalam deterjen semata-mata dilihat dari aspek ekonomis. Bahan pengisi deterjen disini menggunakan sodium sulfat (Na2SO4). Bahan lain sebagai pengisi deterjen dapat mengguanakan tetra sodium pyroposphate dan sodium sitrat. Bahan ini berbentuk serbuk, berwarna putih dan mudah larut dalam air.


(42)

33

3. Bahan penunjang

Salah satu contoh bahan penunjang deterjen adalah soda abu (Na2CO3) yang berbentuk serbuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi sebagai meningkatkan daya bersih. Keberadaan bahan ini dalam deterjen tidak boleh terlalu banyak, sebab dapat menimbulkan efek panas pada tangan saat mencuci pakaian. Bahan penunjang lainnya adalah STPP (sodium tripoly posphate) yang juga penyubur tanaman. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yng merupakan salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.

4. Bahan Tambahan (aditif)

Bahan tambahan ini sebenarnya tidak harus ada didalam pembuatan deterjen. Namun demikian, produsen mencari hal-hal baru untuk mengangkat nilai dari deterjen itu sendiri. Salah satu contoh bahan tambahan ini adalah CMC (Carboxyl methyl cellulose). Bahan ini berbentuk serbuk putih yang berfungsi mencegah kotoran kembali ke pakaian.

5. Bahan Wangi

Keberadaan bahan wangi ini sangat penting keberadaannya. Parfum untuk deterjen bentuknya cair kekuning-kuningan.

Berikut ini merupakan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam industri jasa pencucian mobil yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak pada karyawan car wash:

a) Detergen sabun pencuci kendaraan merupakan bahan iritan lemah yang didalamnya mengandung surfaktan seperti alkil benzene sulfonat yang


(43)

berfungsi tegangan permukaan, adanya bahan ini dapat mempengaruhi lapisan lipid di kulit superficial dan kondisi hidrasi kulit.

b) Air, dapat menimbulkan dermatitis kontak bila kontak dengan air lebih dari 2 jam perhari, atau terlalu sering mencuci tangan dengan air (> 20 kali perhari), karena sifatnya yang hipotonik, air ini mampu bertindak sebagai agen sitotoksik yang dapat mengerosi kulit.

c) Pewangi, jenis bahan kimia yang terkandung dalam parfum tergantung dari aromanya dan bahan ini termasuk bahan yang seering menimbulkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergika.

Pada umumnya tahap-tahap alur kerja pada penyedia jasa car wash adalah

1. Penerimaan mobil yang akan dicuci. Mobil diparkirkan dan kunci diletakan ditempat yang sudah disediakan

2. Peletakan mobil di tempat yang disediakan dan pemasangan alat hidrolik untuk mengangkat mobil ke atas.

3. Pembersihan mobil bagian bawah dengan menggunakan air mengalir . 4. Setelah bersih, mobil kembali diturunkan dengan menggunakan alat

hidrolik.

5. Pencucian mobil dengan disemprotkannya detergen sabun pencuci mobil khusus kendaraan.

6. Lalu, dengan menggunakan sponge, mobil dibersihkan dan disikat pada bagian bannya.


(44)

35

8. Proses pengeringan dilakukan ditempat yang berbeda, yang biasanya berada bersebelahan dengan bagian yang basah dengan menggunakan kain atau yang dikenal dengan sebutan kanebo

9. Kemudian, proses finishing pembersihan bagian dalam mobil dengan

vacuum cleaner dan diberikan semprotan pewangi ruangan.

Gambar 2. Alur Pencucian Mobil

Shampoo body Pemasangan

Hidrolik

PARKIR Pembersihan

bag bawah

Finishing Pengeringan Pembersihan


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini merupakan suatu penelitian deskriptif analitik dengan rancangan penelitian cross-sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak iritan pada pekerja pencuci mobil di kelurahan sukarame Bandar Lampung. Metode penelitian analitik dengan rancangan cross-sectional merupakan upaya mencari hubungan antara variabel (faktor risiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan melakukan pengukuran sesaat. Tentunya tidak semua subyek harus diperiksa pada hari atau disaat yang sama, Namun baik variabel risiko maupun variabel efek dinilai hanya satu kali saja.

Langkah-langkah pada penelitian cross-sectional,yaitu:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai 2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung

3. Menetapkan subyek penelitian 4. Melaksanakan pengukuran


(46)

37

5. Melakukan analisis.

B. Variabel Penelitian

Variabel merupakan karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek ke subyek lain. Dalam penelitian ada dua variabel penelitian, yaitu:

1. Variabel Independen

Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah faktor- faktor yang mempengaruhi berupa: lama kontak, usia, jenis kelamin, masa kerja, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene, dan penggunaan alat pelindung diri, dengan pekerja sebagai responden

2. Variabel Dependen

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel tergantung adalah dermatitis kontak akibat kerja

C. Definisi Operasional

Tabel 4: Definisi Operasional,

No Variabel Pengertian Pengukuran Skala

1 Lama Kontak Berapa kali pekerja

kontak dengan bahan kimia dalam satu hari kerja

Alat ukur: Keusioner Nilai ukur:

< 5 jam/hari > 5 jam/hari


(47)

2 Masa Kerja Lamanya seseorang pegawai bekerja di pencucian mobil dari awal sampai waktu penelitian

Alat ukur: Kuesioner Nilai ukur:

 < 1 tahun  > 1 tahun

Rasio

3 Penggunaan

alat pelindung diri

Penggunaan alat pelindung diri (sarung tangan) oleh karyawan

di tempat kerja saat

melakukan tugasnya.

Alat ukur: kuesioner Nilai ukur:

 0 : Tidak menggunakan

atau tidak lengkap

 1 : Menggunakan dan

lengkap

Nominal

4 Usia Usia pekerja pencuci

mobil saat penelitian

Alat ukur: kuesioner Nilai ukur:

< 20 tahun > 20 tahun

Rasio

5 Jenis Kelamin Jenis kelamin

pekerja pencuci mobil saat penelitian

Alat ukur: kuesioner Nilai ukur:

 0: Perempuan

 1: Laki-laki

Nominal

6 Dermatitis

Kontak Akibat kerja

Suatu reaksi inflamasi pada kulit karena berinteraksi dengan bahan-bahan kimia yang

berkontak dengan kulit akibat proses kerja di pencucian mobil berupa gejala kemerahan, bengkak, pembentukan lepuh kecil pada kulit, kering, mengelupas dan bersisik.

Alat ukur: kuesioner Nilai ukur:

 0: Ya: dermatitis

kontak

 1: Tidak: tidak dermatitis kontak

Nominal

7 Riwayat

penyakit kulit sebelumnya

Pekerja yang sebelumnya atau sedang mengalami penyakit kulit akibat kerja

Alat ukur: kuesioner Nilai ukur:

 0: memiliki riwayat

 1: Tidak memiliki

riwayat


(48)

39

8 Personal

Hygiene

Kebiasaan pekerja untuk menjaga kebersihan diri sebelum dan setelah bekerja.

Alat ukur: Kuesioner Nilai ukur:

 0: Tidak baik

 1: Baik

Nominal

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada November 2013 dan akan dilaksanakan diseluruh tempat pencucian mobil yang berada di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung

E. Alat dan bahan penelitian

Materi atau alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan (kuesioner) yang penyusunannya diadaptasi dari Health and Safety Executive

Inggris (HSE UK).Tiap item pertanyaan diberi skor : 1 = pertanyaan sesuai atau berhubungan

0 = tidak jelas hubungannya


(49)

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi penelitian

Populsi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Berdasarkan defenisi di atas yang menjadi polulasi penelitian ini adalah seluruh pekerja yang bekerja di pencucian mobil di Kelurahan Sukarame Bandar lampung.

2. Sampel penelitian

Sampel adalah subset (bagian) dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya. Dalam penelitian ini, sampel diambil dengan cara mengambil seluruh populasi menjadi sampel (total sampling)

Di kelurahan Sukarame Kota Bandar Lampung terdapat 4 tempat pencucian mobil dengan pekerja dibagian pencucian mobil sebanyak 50 orang.

3. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Sedangkan kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel. a. Kriteria inklusi


(50)

41

 Pekerja yang hanya bekerja di tempat pencucian mobil b. Kriteria ekslusi

 Sedang dalam pengobatan dengan obat kulit topikal (neomisin topikal, antibiotik topikal, krim steroid, antihistamin topikal, anestesi lokal, obat topikal dengan kandungan parabens atau lanolin).

 Mengalami dermatitis kontak bukan karena pekerjaan sebagai pegawai car wash, seperti hobi (bertukang, berkebun, membuat kerajinan tangan) dan akibat aktivitas rumah tangga (mencuci baju, mencuci piring, membersihkan rumah).


(51)

G. Alur Penelitian

H. Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer

Data ini diperoleh dengan melakukan wawancara langsung kepada sampel penelitian

Pencarian subyek, yaitu karyawan car wash yang sudah ditentukan tempatnya serta memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi,bersedia mengikuti penelitian dibuktikan dengan menandatangani informed consent

Dermatitis Kontak Akibat Kerja

Tidak Dermatitis Kontak Akibat

Kerja Wawancara responden dan

pengisian kuesioner

Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja


(52)

43

2. Data Skunder

Data ini diperoleh dari bagian administrasi car wash, yang meliputi data jumlah karyawan atau pekerja yang bekerja sebagai pencuci mobil di car wash tersebut.

3. Langkah-Langkah Pengumpulan Data

a. Langkah persiapan

1) Mengurus perizinan kepada pimpinan tempat penelitian

2) Menyusun pertanyaan penelitian yang akan digunakan pada saat mewawancarai pekerja saat penelitian.

b. Langkah pelaksanaan

1) Menyerahkan surat izin untuk mengadakan penelitian di tempat pencucian mobil

2) Menetapkan sampel penelitian

3) Melakukan wawancara kepada pekerja pencuci mobil di pencucian mobil

4) Memproses dan menganalisa data-data yang terkumpul. I. Pengolahan Data dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(53)

a. Editing

Peneliti pada tahapini akan memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh responden, apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam pengisiannya.

b. Coding

Peneliti akan mengklasifikasikan kategori-kategori dari data yang didapat dan dilakukan dengan cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-masing kategori

c. Tabulating

Data yang telah diberi kode kemudian dikelompokkan, lalu dihitung dan dijumlahkan dan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel.

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Tujuan analisa univariat adalah untuk menerangkan distribusi frekuensi masing – masing variabel, baik variabel independen maupun dependen.

b. Analisa Bivariat

Pengujian hipotesis analisis bivariat menggunakan uji korelasi Fisher exact untuk melihat besar hubungan antara masing-masing variabel bebas tadi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja pencucian


(54)

45

mobil. Tujuan analisa bivariat adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan dependen. Untuk itu pengujian dilakukan dengan menggunakan derajat kepercayaan 95%. Jika P Value <0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa adanya hubungan bermakna antara variabel independen dengan dependen. Jika P Value >0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan bermakna antara variabel independen dengan dependen.


(55)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Terdapat 78% angka kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

2. Terdapat hubungan antara faktor langsung berupa lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung, dengan nilai p=0,017.

3. Terdapat hubungan antara faktor tidak langsung berupa masa kerja,

personal hygiene, dan penggunaan APD dengan kejadian dermatitis kontak

akibat kerja pada karyawan pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

4. Tidak terdapat hubungan antara faktor tidak langsung berupa usia, jenis kelamin dan riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.


(56)

69

B. Saran

1. Bagi Pekerja

a. Pekerja seharusnya menggunakan alat pelindung diri dengan lengkap selama melaksanakan proses kerja, sehingga dapat mencegah terjadinya kontak langsung dengan bahan kimia.

b. Pekerja seharusnya memperhatikan kebersihan diri selama berada di lingkungan kerja, seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan proses kerja, langsung membilas bagian tubuh saat terkena bahan kimia dan menggunakan pakaian yang bersih selama melakukan proses pekerjaan.

2. Bagi Pemilik Usaha

a. Menyediakan alat pelindung diri dan mencukupi jumlah APD bagi seluruh pekerja.

b. Pekerja baru maupun pekerja lama seharusnya diberi pelatihan dan penyuluhan mengenai proses kerja yang aman, pentingnya penggunaan APD dan perilaku hidup bersih dan sehat selama bekerja.

c. Meningkatkan pengawasan yang bukan hanya mengawasi proses kerja tetapi juga mengawasi personal hygiene dan penggunaan APD pekerja.


(57)

d. Memberikan peringatan atau pun sanksi tegas bagi pekerja yang tidak patuh terhadap peraturan untuk menjaga kebersihan diri dan penggunaan APD.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat melakukan uji tempel untuk memperkuat hasil diagnosa mengenai kejadian dermatitis kontak akibat kerja serta dapat membedakan jumlah pajanan,yang ada di tempat kerja. b. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat meneliti ukuran molekul, daya

larut serta konsentrasi dari bahan kimia yang kontak dengan kulit.

c. Penelitian selanjutnya agar dapat meneliti penyebaran penyakit lain dan resiko pekerjaan pada karyawan pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

d. Penelitian selanjutnya agar dapat meneliti kejadian dermatitis akibat kerja pada tempat kerja yang berbeda dengan populasi yang lebih besar.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan binatu. Skripsi Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Beltrani, Vincent, S. 2006. Contact Dermatitis. A practice Parameter. Annals of Allergy. Asthma, and Immunology.

Bock, M. 2003. Contact Dermatitis and Allergy, Occupational Skin Disease in The Construction Industry. Br Journal Dermatol 149 (2).

BUHS. 2003. Contact Dermatitis, Patient Education Series. Brown University Health Services.

Carinna M. 2008. Hubungan Antara Higiene Pribadi Dengan Kejadian Dermatitis pada Pekerja Pengangkut Sampah Kota Palembang Tahun 2008. Skripsi Universitas Sriwijaya.

Chew, L.AL. 2005. Iritant Dermatitis. University of California. School of Medicine Departemen of Dermatologi USA. San Fransisco.

Dailli, E.S., Menaldi, S.L., Wisnu. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Sebuah Panduan Bergambar. PT. Medical Multimedia, Jakarta.

Dinkes. 2012. Laporan Bulanan Data Kesehatan ICDX. Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Lampung.

Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI. Jakarta.

Djunaedi H, Lokananta MD. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 3 volume 31.


(59)

Effendi. 1997. Prevalensi dan Insidensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja tahun 1997. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Fredberg I.M. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 6th Ed, McGraw-Hill Professional, New York.

Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.

Hayakawa, R. 2000. Contact Dermatitus. Nagoya J. Med. Sci 63. 83-90. Nagoya Hudyono J. 2002. Dermatosis akibat kerja. Majalah Kedokteran Indonesia,

November 2002.

Hogan, D.J. 2009. Conatct Dermatitis, Allergic. EMedicine Dermatology

Kamphf, G, dan Harald, L. 2007 Prevention of irritant Contact Dermatitis Among health Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higine Practice. ARevew. Industrial Health.

Keefner, D.M, Curry,C.E. 2004 Contact Dermatitis. Handbook of Nonprescription Drugs. Edisi 12. APHA. Washington. DC.

Kesuma, H. Damanik, M.S, Ningsih, W.T. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Dermatitis Pada Pekerja Pencuci Mobil Di Bengkel Sehat Kota Medan. Laporan Penelitian Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Medan

Kosasih A. 2004. Dermatitis Akibat Kerja. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta

Lestari F, Nuraga W, Kurniawidjaja LM. Dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di perusahaan industri otomotif kawasan industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan. 12(2): 63-69

Mathias, C.G. Soaps and Detergens. Occupational Skin Disesase. Edisi 3. Philadephia.


(60)

Mulyaningsih, R. 2005. Faktor risiko terjadinya dermatitis kontak pada karyawan salon. Skripsi Mahasiswa Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

NIOSH. 2006. Occupational and Environmental Exposure of skin to chemic. National Institute of Occupational Safety Hazards.

Orton, D.I, Wilkinson, J.D. 2004. Cosmetic Allergy : Incidence, Diagnosis and Management. Am J Clin Dermatol.

(PERDOSKI). 2009. Kategori Galeri Kesehatan; Dermatitis Kontak. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.

Pratiwi. A, Laras. D, dkk. 2013. Walk Through Survey. Laporan Penelitian Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Lampung

Rietschel, R. 2007. Fisher’s Contact Dermatitis. Pmph USA.

Safeguards. 2000. Contact Dermatitis. Government of South Australia. Departemen for Administrative and Information Services.

Sasseville, D. 2008. Allergic,Asthma,And Clinical Imunologic. Division of Dermatologi McGill. University Health Centre

Sastroasmoro. S, Ismail. 2008. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 3. Jakarta

Siregar, RS. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi: II. Penerbit buku kedokteran.

Situmeang,S.M.F. 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di PT, X Medan tahun 2008. Makara Kesehatan.EGC. Jakarta.

Stateschu, L. 2011. Spitalul Clinic de Urgenta. Clinic Dermatologie. Universtatea de Medicina si Farmacie.

Sulaksmono, M. 2006. Keuntungan dan Kerugian Patch Test (uji temple) Dalam Upaya Menegakan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat kerja (Occupational Dermatosis). Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya.


(61)

Taylor S, Sood A. 2003. Occupational Skin Diseases. In : Fritzpatricks editors Dermatology in General Medicine 6 th ed. New York: Mc Graw Hill Book co. Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H

Adam Malik Medan. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Verayati, D. 2011. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dan Personal Higine

Terhadap Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung. Skirpsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung.

WHO. 2010. Prevailence Contact Dermatitis. World Health Organization. Jakarta Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta


(1)

69

B. Saran

1. Bagi Pekerja

a. Pekerja seharusnya menggunakan alat pelindung diri dengan lengkap selama melaksanakan proses kerja, sehingga dapat mencegah terjadinya kontak langsung dengan bahan kimia.

b. Pekerja seharusnya memperhatikan kebersihan diri selama berada di lingkungan kerja, seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan proses kerja, langsung membilas bagian tubuh saat terkena bahan kimia dan menggunakan pakaian yang bersih selama melakukan proses pekerjaan.

2. Bagi Pemilik Usaha

a. Menyediakan alat pelindung diri dan mencukupi jumlah APD bagi seluruh pekerja.

b. Pekerja baru maupun pekerja lama seharusnya diberi pelatihan dan penyuluhan mengenai proses kerja yang aman, pentingnya penggunaan APD dan perilaku hidup bersih dan sehat selama bekerja.

c. Meningkatkan pengawasan yang bukan hanya mengawasi proses kerja tetapi juga mengawasi personal hygiene dan penggunaan APD pekerja.


(2)

70

d. Memberikan peringatan atau pun sanksi tegas bagi pekerja yang tidak patuh terhadap peraturan untuk menjaga kebersihan diri dan penggunaan APD.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat melakukan uji tempel untuk memperkuat hasil diagnosa mengenai kejadian dermatitis kontak akibat kerja serta dapat membedakan jumlah pajanan,yang ada di tempat kerja. b. Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat meneliti ukuran molekul, daya

larut serta konsentrasi dari bahan kimia yang kontak dengan kulit.

c. Penelitian selanjutnya agar dapat meneliti penyebaran penyakit lain dan resiko pekerjaan pada karyawan pencuci mobil di Kelurahan Sukarame Bandar Lampung.

d. Penelitian selanjutnya agar dapat meneliti kejadian dermatitis akibat kerja pada tempat kerja yang berbeda dengan populasi yang lebih besar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, A. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada karyawan binatu. Skripsi Mahasiswi Fakultas Kedokteran. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Beltrani, Vincent, S. 2006. Contact Dermatitis. A practice Parameter. Annals of Allergy. Asthma, and Immunology.

Bock, M. 2003. Contact Dermatitis and Allergy, Occupational Skin Disease in The Construction Industry. Br Journal Dermatol 149 (2).

BUHS. 2003. Contact Dermatitis, Patient Education Series. Brown University Health Services.

Carinna M. 2008. Hubungan Antara Higiene Pribadi Dengan Kejadian Dermatitis pada Pekerja Pengangkut Sampah Kota Palembang Tahun 2008. Skripsi Universitas Sriwijaya.

Chew, L.AL. 2005. Iritant Dermatitis. University of California. School of Medicine Departemen of Dermatologi USA. San Fransisco.

Dailli, E.S., Menaldi, S.L., Wisnu. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Sebuah Panduan Bergambar. PT. Medical Multimedia, Jakarta.

Dinkes. 2012. Laporan Bulanan Data Kesehatan ICDX. Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Lampung.

Djuanda, A. Hamzah, M. Aisah, S. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Departemen Ilmu Kedokteran Kulit dan Kelamin FK UI. Jakarta.

Djunaedi H, Lokananta MD. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 3 volume 31.


(4)

Diri dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Paving Block CV. F. Lhoksumawe. Skripsi Mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Effendi. 1997. Prevalensi dan Insidensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja tahun 1997. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Fredberg I.M. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 6th Ed, McGraw-Hill Professional, New York.

Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates. Jakarta.

Hayakawa, R. 2000. Contact Dermatitus. Nagoya J. Med. Sci 63. 83-90. Nagoya Hudyono J. 2002. Dermatosis akibat kerja. Majalah Kedokteran Indonesia,

November 2002.

Hogan, D.J. 2009. Conatct Dermatitis, Allergic. EMedicine Dermatology

Kamphf, G, dan Harald, L. 2007 Prevention of irritant Contact Dermatitis Among health Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higine Practice. ARevew. Industrial Health.

Keefner, D.M, Curry,C.E. 2004 Contact Dermatitis. Handbook of Nonprescription Drugs. Edisi 12. APHA. Washington. DC.

Kesuma, H. Damanik, M.S, Ningsih, W.T. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Dermatitis Pada Pekerja Pencuci Mobil Di Bengkel Sehat Kota Medan. Laporan Penelitian Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara. Medan

Kosasih A. 2004. Dermatitis Akibat Kerja. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta

Lestari F, Nuraga W, Kurniawidjaja LM. Dermatitis kontak pada pekerja yang terpajan dengan bahan kimia di perusahaan industri otomotif kawasan industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan. 12(2): 63-69

Mathias, C.G. Soaps and Detergens. Occupational Skin Disesase. Edisi 3. Philadephia.


(5)

Mulyaningsih, R. 2005. Faktor risiko terjadinya dermatitis kontak pada karyawan salon. Skripsi Mahasiswa Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

NIOSH. 2006. Occupational and Environmental Exposure of skin to chemic. National Institute of Occupational Safety Hazards.

Orton, D.I, Wilkinson, J.D. 2004. Cosmetic Allergy : Incidence, Diagnosis and Management. Am J Clin Dermatol.

(PERDOSKI). 2009. Kategori Galeri Kesehatan; Dermatitis Kontak. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia.

Pratiwi. A, Laras. D, dkk. 2013. Walk Through Survey. Laporan Penelitian Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Lampung

Rietschel, R. 2007. Fisher’s Contact Dermatitis. Pmph USA.

Safeguards. 2000. Contact Dermatitis. Government of South Australia. Departemen for Administrative and Information Services.

Sasseville, D. 2008. Allergic,Asthma,And Clinical Imunologic. Division of Dermatologi McGill. University Health Centre

Sastroasmoro. S, Ismail. 2008. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis edisi 3. Jakarta

Siregar, RS. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi: II. Penerbit buku kedokteran.

Situmeang,S.M.F. 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di PT, X Medan tahun 2008. Makara Kesehatan.EGC. Jakarta.

Stateschu, L. 2011. Spitalul Clinic de Urgenta. Clinic Dermatologie. Universtatea de Medicina si Farmacie.

Sulaksmono, M. 2006. Keuntungan dan Kerugian Patch Test (uji temple) Dalam Upaya Menegakan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat kerja (Occupational Dermatosis). Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga. Surabaya.


(6)

Streit,M, Lasse, R.B. 2001. Contact Dermatitis. Clinics and Pathology. Acta Odontal Scand 59.

Taylor S, Sood A. 2003. Occupational Skin Diseases. In : Fritzpatricks editors Dermatology in General Medicine 6 th ed. New York: Mc Graw Hill Book co. Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H

Adam Malik Medan. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Verayati, D. 2011. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dan Personal Higine

Terhadap Keajadian Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung Bandar Lampung. Skirpsi Mahasiswa Fakultas Kedokteran. Universitas Lampung. Lampung.

WHO. 2010. Prevailence Contact Dermatitis. World Health Organization. Jakarta Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta