KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI, BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

ISBN :978–602–1681–03-9

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

i

Judul

:

FRAGMENTASI HUTAN :
Teori yang mendasari penataan ruang hutan
menuju pembangunan berkelanjutan

ISBN

: 978–602–1681–03-9

Penulis

: Hendra Gunawan

Lilik Budi Prasetyo

Penelaah Ilmiah

: Prof. Dr. Tukirin Partomiharjo, M.Sc.

Disain dan Tata Letak

: Tatang Rohana

Foto Sampul Depan

: Hendra Gunawan

Diterbitkan oleh

: Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi
dan Rehabilitasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan

Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610

© Copyright 2013
Hak cipta dilindungi oleh undang-Undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Boleh dikutip dengan menyebutkan sumbernya.
Saran pengutipan :
Gunawan, H. dan L.B. Prasetyo. 2013. Fragmentasi Hutan :
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan
berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi. Bogor.
Saran tentang buku mohon disampaikan ke :

hendragunawan1964@yahoo.com

ii

PRAGMENTASI HUTAN


KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KONSERVASI DAN REHABILITASI, BADAN PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
Salah satu tugas pokok lembaga penelitian adalah menghasilkan dan
mempublikasikan buku buku, baik yang bersifat teoritis maupun praktis,
baik hasil penelitian maupun hasil pemikiran dan pengkajian literatur.
Buku berjudul ”Fragmentasi Hutan : Teori yang mendasari penataan ruang
hutan menuju pembangunan berkelanjutan” merupakan salah satu produk
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang
diharapkan dapat membantu para prakitsi kehutanan, khususnya dalam
pengaturan tata ruang kawasan hutan.
Kepada penulis disampaikan penghargaan dan terima kasih atas
upayanya membukukan berbagai teori dalam sebuah buku yang mudah
dimengerti, baik oleh para praktisi maupun akademisi sehingga dapat
menjadi referensi, baik dalam penelitian maupun pengambilan keputusan.
Kepada Penelaah Ilmiah juga disampaikan terima kasih atas telaah dan
saran perbaikan untuk buku tersebut.
Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan hutan dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan.

Bogor, November 2013
Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
NIP.195712211982031002

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

iii

KATA PENGANTAR
Isu kepunahan keanekaragaman hayati tropika menjadi isu krusial
yang

menjadi

perhatian


internasional

pada

dua

dekade

terakhir.

Fragmentasi hutan merupakan salah satu penyebab utama punahnya
keanekaragaman hayati di beberapa lokasi. Fragmentasi hutan merupakan
proses dan hasil dari perilaku manusia dalam memanfaatkan sumbedaya
hutan, seperti konversi, penebangan liar, pembakaran hutan, perladangan
dan perambahan kawasan hutan.
Keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati di kantong kantong hutan yang telah terfragmentasi memerlukan pemahaman konsepkonsep yang lahir dari teori biogeografi pulau, seperti fragmentasi, koridor
dan single large or several small (SLOSS).
mahasiswa,

praktisi


konservasi,

manajer

Buku ini membantu para
satwaliar

serta

pengambil

kebijakan penataan ruang pembangunan dalam memahami fragmentasi
hutan dan kaitannya dengan pengelolaan dan konservasi keanekarag aman
hayati.
Buku ini merupakan kompilasi dari hasil terjemahan, penelaahan
dan analisis dari berbagai buku teks dan website yang relevan.
memahami dan mengetahui lebih detail, para

Untuk


pembaca dipesilakan

membaca buku-buku teks yang menjadi sumber penu lisan buku ini.
Penulis menyadari, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran-saran dari peminat akan dipertimbangkan untuk perbaikan.
Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat dan pemerhati
masalah konservasi keanekaragaman hayati.

Bogor, November 2013

Penulis

iv

PRAGMENTASI HUTAN

DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1.


FRAGMENTASI: SUATU PENDAHUL UAN .....................

1

BAB 2.

MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI ......................

10

BAB 3.

TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs FRAGMENTASI HUTAN ...

16

BAB 4.

FRAGMENTASI HABITAT DIPANDANG DALAM SKALA

LANSKAP ........................................................

BAB 5.

KONSEP KORIDOR DAN SI NGLE LARGE OR SEVERAL
SMALL (SLOSS) .................................................

30

42

BAB 6.

DINAMIKA POPULASI PADA SKALA LANSKAP ................

52

BAB 7.

PENGARUH FRAGMENTASI TERHADAP SATWALIAR .......


71

BAB 8.

PERPINDAHAN SATWA DALAM LANSKAP ....................

95

BAB 9.

FRAGMENTASI DAN DINAMIKA METAPOPULASI .............

103

BAB 10.

IMPLIKASI PENGELOLAAN KONSERVASI .....................

109


BAB 11.

STUDI KASUS: Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi –
Merbabu Dan Telaah Kemungkinan Sebaran Macan
Tutul Di Katong-Kantong Hutan Yang Terfragmentasi ...

112

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

v

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Teks

Halaman

Model konseptual pengaruh fragmentasi
(Kupfer et al. 2004) ...........................................

13

Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat,
(b) pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan
(c) pulau-pulau besar, dekat (Mac Arthur and
Wilson 1967) ..................................................

21

Gambar 3.

Mekanisme bekerjanya pengaruh isolasi .................

27

Gambar 4.

Klasifikasi rejim gangguan berdasarkan pada luas yang
terganggu dan luas lanskap (diadaptasi oleh Shugart
1984; dari Shugart and West 1981)……………..............

32

Empat tipe gangguan yang ditunjukkan oleh derajat
gangguan dan luas geografis yang dipengaruhinya
(Morrison et al. 1992) .......................................

32

Fungsi insiden dari pelatuk totol besar (Picoides
major) (Dari Moore dan Hooper dalam Wilcove
et al. 1986) ...................................................

35

Contoh koridor perpindahan yang dibuat di
pegunungan Costa Rica (Dari Stiles and Clark 1989) …

45

Gambar 8.

Perbandingan SLOSS (Dari berbagai sumber) ............

50

Gambar 9.

Gradien pertukaran di dalam metapoulasi dari
berbagai struktur internal (Morrison et al. 1992) ......

56

Batas Das dan sistem riparian (riverine)
(Morrison et al. 1992) .......................................

58

Kejadian sepuluh patches dari hutan tua
(Morrison et al. 1992) .......................................

58

Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10
patches (Morrison et al. 1992) .............................

59

Gambar 1.
Gambar 2.

Gambar 5.

Gambar 6.

Gambar 7.

Gambar 11a.
Gambar 11b.
Gambar 11c.

vi

PRAGMENTASI HUTAN

Gambar 11d.

Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis
(Morrison et al. 1992) .......................................

Gambar 11e.

Akibat langsung dari ganguan pemanenan : hilangnya
spesies pada tiga patches (Morrison et al. 1992) ......

60

Kehilangan spesies kemudian pada patch hutan yang
jauh, terisolasi dan kecil (faunal relaxation) (Morrison
et al. 1992) ...................................................

60

Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch
hutan lebih besar yang kini terisolasi
(Morrison et al. 1992) .......................................

61

Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan
listrik, (2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4)
pertanian (Foto: Hendra Gunawan, 2008) ...............

73

Sekumpulan patch hutan yang ditempati oleh
populasi-populasi penghuni hutan. Tebal tipisnya
panah menunjukkan laju pertukaran individu antar
populasi (panah tebal menunjukkan lebih banyak
pertukaran). Catatan: Laju pertukaran dikoreksi oleh
seberapa dekat patch-patch dalam ruang (Sumber:
http://chesapeake.towson.
edulandscape/forestfrag/effects.asp ....................

76

Penghunian (occupancy) sekumpulan patch hutan yang
mendukung suatu metapopulasi spesies penghuni
hutan pada dua waktu yang berbeda. Patch hitam
ditempati dan patch putih tidak ditempati. Catatan:
penghunian pada patch individual berubah sepanjang
waktu (seperti patch-patch dikolonisasi dan po pulasipopulasi di dalam patch punah), tetapi jumlah patchpatch yang ditempati tetap sama sepanjang waktu
(Sumber: http://chesapeake. towson.edu/landscape/
forestfrag/effects.asp ......................................

76

Grafik menunjukkan hubungan antara kelembaban
tanah dan edge dan core habitat dala patch hutan.
Banyak spesies burung tidak dapat mentolerir kondisi
tepi habitat (edge habitat) dan hanya ditemukan di
core habitat (Sumber:http://chesapeake.towson.
edulandscape/forestfrag/effects.asp) ...................

78

Berbagai bentuk fragment dan gambaran luas
interior-nya ...................................................

80

Gambar 11f.

Gambar 11g.

Gambar 12.

Gambar 13.

Gambar 14.

Gambar 15.

Gambar 16.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

59

vii

Gambar 17.

Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada
ukuran patch dan isolasi (Fahrig 1997) ……………………..

Gambar 18.

Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau
habitat………………………………………………………….............

86

Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat
positif lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian
yang sempit seperti yang tampak dalam gambar
berpeluang menghasilkan damak negatif bagi
satwaliar ………………………………………………………………………

101

Metapopulasi adalah suatu populasi sumber (source)
dan populasi penerima (sink) (Barnes 2000) ……….………

106

Ukuran, bentuk, konfigurasi dan jumlah patch semua
mempengaruhi jumlah habitat interior dalam patch
kecil, tunggal, patch-patch persegi memberikan
jumlah habitat interior yang kecil dan patch-patch
lingkaran besar memberikan habitat interior terbesar
(Barnes 2000) ................................................

110

Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis
spasial .........................................................

115

Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di
kawasan lanskap Merapi Merbabu .........................

118

Gambar 24.

Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan ………………

119

Gambar 25.

Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan ....

120

Gambar 26.

Total edge setiap kelas penutupan lahan ................

120

Gambar 27.

Edge density setiap kelas penutupan lahan .............

121

Gambar 28.

Mean patch edge setiap kelas penutupan lahan …………

121

Gambar 29.

Mean shape index setiap kelas penutupan lahan ….....

121

Gambar 30.

Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas
penutupan lahan …………………...............................

123

Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna
kuning) hasil query ..........................................

125

Gambar 19.

Gambar 20.
Gambar 21.

Gambar 22.
Gambar 23.

Gambar 31.

viii

PRAGMENTASI HUTAN

82

DAFTAR TABEL

Nomor
Tabel 1.

Teks

Halaman

Implikasi dispersi habitat pada skala berbeda untuk
berbagai atribut lanskap terfragmentasi ....................

33

Klasifikasi faktor-faktor untuk dievaluasi dalam suatu
studi gangguan lanskap ……………...............................

54

Tabel 3.

Komposisi pentutupan lahan AOI Kawasan Merapi-Merbabu

116

Tabel 4.

Hasil patch analyses pada skala lanskap kawasan MerapiMerbabu ............................................................

117

Hasil patch analyses skala kelas kawasan Merapi–Merbabu

117

Tabel 2.

Tabel 5.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

ix

x

PRAGMENTASI HUTAN

1
FRAGMENTASI :
SUATU PENDAHULUAN


PENDAH ULUAN



DEFINISI DAN PENGERTIAN



MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?



DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Mempelajari fragmentasi merupakan bagian dari ilmu ekologi
lanskap. Ekologi lanskap merupakan ilmu baru yang diturunkan dari disiplin
terdahulu sebagai suatu gabungan arsitektur lanskap, zoogeografi, geografi
tumbuhan

dan sinekologi.

Ekologi

lanskap merupakan ilmu

yang

mempelajari respon spesies atau komunitas terhadap pola-pola (patterns)
patch dalam suatu lanskap (Morrison et al. 1992).

Banyak prinsip-prinsip

dasar ekologi lanskap diturunkan dari biogeografi pulau, zoogeografi dan
fitogeografi, yaitu ilmu yang mempelajari penyebaran dan pergerakan
satwa dan tumbuhan melintasi pulau-pulau dan wilayah geografi yang lebih
luas (Morrison et al. 1992).
Ekologi lanskap banyak memfokuskan pada dinamika tumbuhan dan
satwa di dalam patches (kantong habitat), khususnya di pulau-pulau dan
lingkungan terisolasi lainnya.

Teori pulau k lasik menyatakan bahwa di

pulau, dinamika populasi dan struktur komunitas ditentukan oleh beberapa
faktor : ukuran (pulau kecil memiliki resiko kepunahan lokal lebih besar);
jarak dari sumber spesies yang mengkolonisasi (semakin jauh, semakin
tinggi laju kepunahannya); dan atribut spesies meliputi kemampuan

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

1

dispersal,

demografik

(survivorship,

rekrutmen);

dan

spesialisasi

penggunaan habitat (Morrison 1992).
Pemukiman manusia dan kegiatan terkait lainnya, seperti hutan
tanaman dan pertanian telah mengubah lanskap alami menghasilkan suatu
mosaik dari habitat yang terfragmentasi.

Fragmentasi habitat dapat

memberikan pengaruh merugikan pada flora dan fauna dari habitat alami
yang sebelumnya masih utuh dan berkesinambungan.

Ada dua pengaruh

utama dari fragmentasi yaitu : mengurangi total luas dari habitat asal dan
menciptakan wilayah tepi (edge area) di antara habitat asal dengan lanskap
yang terganggu oleh manusia, yang dikenal sebagai efek tepi (edge effects).
Dalam fragmentasi habitat ada enam proses terpisah yang dapat
dipertimbangkan yaitu:


Berkurangnya luas total dari habitat



Meningkatnya jumlah wilayah tepi (edge)



Berkurangnya luasan habitat interior



Terisolasinya suatu fragment (potongan) habitat dari wilayah habitat
lainnya



Terpecahnya satu patch (kantong) habitat menjadi beberapa patch
(kantong) habitat yang lebih kecil



Berkurangnya ukuran rata-rata setiap patch (kantong) habitat

II. DEFINISI DAN PENGERTIAN
A. Ekologi Lanskap
Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang
mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan
distribusi organisme. Ekologi lanskap juga didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, dimana pola di sini
khususnya mengacu pada struktur lanskap.

Dengan demikian secara

lengkap ekologi lanskap dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana struktur lanskap mempengaruhi (memproses dan membentuk)
kelimpahan dan distribusi organisme.
Definisi lain menyebutkan, ekologi lanskap merupakan sub disip lin
ekologi dan geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap

2

PRAGMENTASI HUTAN

yang mempengaruhi proses-proses ekologi seperti distribusi, aliran energi,
materi dan individu dalam lingkungannya (yang pada gilirannya mungkin
mempengaruhi ditribusi elemen-elemen lanskap itu sendiri).

Teori

biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari ekologi
lanskap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi.
Dalam ekologi lanskap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat
mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability).

Dalam

perkembangannya ekologi lanskap banyak meng gunakan teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan banyak data habitat yang tersedia (seperti
citra satelit dan foto udara.
Sebagai bagian dari ekologi, ekologi lanskap ditujukan mempelajari
sebab dan akibat dari heterogenitas spasial (Forman 1995). Heterogenitas
merupakan ukuran bagaimana bagian-bagian suatu lanskap berbeda satu
sama lain.

Ekologi lanskap melihat pada bagaimana struktur spasial

mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala lansk ap, serta perilaku
dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari
pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari
fungsi

organisme (Turner

1989).

Ekologi

lanskap juga

mencakup

geomorfologi dalam penerapannya untuk disain dan arsitektur lanskap
(Allaby 1998). Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana
formasi geologi mempengaruhi struktur lanskap.
B. Fragmentasi
Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung
terpecah menjadi blok-blok

lebih kecil akibat

pembangunan jalan,

pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Akibatnya mengurangi fungsi
hutan

sebagai

habitat

berbagai

spesies

tumbuhan

dan

satwaliar.

Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan
pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah
terbentuk selama

ribuan tahun.

Fragmentasi didefinisikan sebagai

pemecahan habitat organisme menjadi kantong-kantong (patches) habitat
yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari kantong
habitat yang satu ke yang lainnya.
penghilangan vegetasi pada

Fragmentasi dapat disebabkan oleh

areal yang

luas atau oleh jalan yang

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

3

memisahkan habitat bahkan oleh jaringan kabel listrik (Rusak & Dobson
2007).
Fragmentasi adalah proses pemecahan suatu habitat, ekosistem
atau tipe landuse

menjadi bidang-bidang lahan yang lebih kecil dan

fragmentasi juga merupakan sebuah hasil dimana proses fragmentasi
mengubah atribut-atribut habitat dan karakteristik suatu lanskap yang ada.
Fragmentasi habitat mengubah konfigurasi spasial suatu kantong habitat
(habitat patches) besar dan menciptakan isolasi atau perenggangan
hubungan antara kantong-kantong (patches) habitat asli karena terselingi
oleh mosaik yang luas atau tipe habitat lain yang tidak sesuai bagi spesies
yang ada (Wiens 1990).
Franklin et al. (2002) mengembangkan definisi baru tantang
fragmentasi sebagai hasil (outcome) dan proses.

Hasil (outcome) dari

fragmentasi habitat adalah diskontinuitas yang diperoleh dari serangkaian
mekanisme, di dalam distribusi spasial suatu sumberdaya dan kondisi yang
ada dalam suatu areal pada suatu skala

tertentu yang mempengaruhi

okupansi, reproduksi atau survival suatu spesies.
didefinisikan

sebagai

serangkaian

mekanisme

Fragmentasi habitat
yang

mengakibatkan

diskontinuitas distribusi spasial suatu habitat. Ada empat komponen kunci
dari dua definisi tersebut yaitu : (1) diskontinuitas, (2) mekanisme, (3)
distribusi spasial dari suatu sumberdaya dalam suatu area, dan (4) atribut
demografik (Franklin et al. 2002).
Konsep fragmentasi habitat diturunkan dari teori biogeografi pulau
(MacArthur & Wilson 1967), yakni jumlah spesies meningkat dengan
meningkatnya ukuran pulau (Haila 2002).

Fragmentasi penting mendapat

perhatian karena berpengaruh pada kekayaan spesies dari komunitas, trend
populasi beberapa spesies dan keanekaragaman hayati ekosistem secara
keseluruhan (Morrison et al. 1992).
Menurut Wilcove (1987) dalam Morrison et al. (1992) ada empat
cara fragmentasi dapat menyebabkan kepunahan lokal : (1) spesies dapat
mulai keluar dari kantong habitat yang terlindungi; (2) kantong habitat
gagal menyediakan habitat karena pengurangan luas atau hilangnya
heterogenitas internal; (3) fragmentasi menciptakan populasi yang lebih
kecil dan terisolasi yang memiliki resiko lebih besar terhadap bencana,

4

PRAGMENTASI HUTAN

variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4)
fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga
dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci
dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).
C. Patch
Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lanskap
didefinisikan sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda
dengan sekelilingnya (Forman 1995). Patch merupakan unit dasar dari
lanskap yang berubah dan berfluktuasi. Proses perubahan dan fluktuasi ini
disebut sebagai dinamika patch.

Patch memiliki bentuk tertentu dan

konfigurasi spasial, dan dapat digambarkan dalam komposisi variabelvariabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi
pohon, atau variabel lainnya (Forman 1995).
D. Matrix
Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari
suatu lanskap dengan derajat konektifitas yang tinggi. Konektivitas adalah
ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubung
atau

berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lanskap

berhutan (matrix) yang memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan
hutannya berarti memiliki konektifitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi
penting sebagai jalur penghubung antara suatu tipe tutupan lahan yang
berbeda dengan tetangga di kedua sisinya (Forman, 1995). Suatu jaringan
(network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor, sementara
mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang
membentuk suatu lanskap dalam suatu kesatuan (Forman 1995).
E. Boundary dan Edge
Patches bisa memiliki batas (boundary) yang jelas atau tidak jelas
(kabur) (Sanderson & Harris 2000). Suatu zona yang tersusun atas ekosistem
edge di perbatasan disebut boundary (Forman 1995). Edge (tepi) berarti
bagian dari suatu ekosistem yang berdekatan dengan garis kelilingnya
(perimeter), dimana pengaruh-pengaruh dari patch yang berdekatan dapat

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

5

menyebabkan perbedaan lingkungan antara interior suatu patch dengan
tepiannya (edge). Efek tepi (edge effect) ini meliputi perbedaan komposisi
spesies atau kelimpahan di bagian luar patch (Forman 1995).

Sebagai

contoh, ketika suatu lanskap merupakan sebuah mosaik dari tipe-tipe
seperti hutan berdekatan dengan padang rumput, maka edge-nya adalah
lokasi di mana kedua tipe tersebut bergabung.

Dalam lanskap yang

kontinu, seperti dari hutan ke kebun kayu, maka lokasi edge-nya menjadi
kabur dan kadang-kadang dibedakan oleh gradien lokal ketika melampaui
suatu ambang batas, misalnya penutupan pohonnya di bawah 35 persen
(Turner and Gardner 1991).
F. Habitat
Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas
biotik dimana spesies atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah
suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover
dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan
normal hidup dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang
relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall et al. (1997) yaitu
sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan
tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi
organisme.

suatu

Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah

sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al. 1997).

III. MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?
Sampai saat ini para ahli satwa memiliki pandangan tradisioanal
tentang edges dan ekoton sebagai sesuatu yang positif. Dalam buku-buku
teks klasik (Leopold 1933; Thomas et al. 1979; Yoakum & Dasmann 1971
dalam Morrison et al. 1992) merekomendasikan bahwa pengelola satwa
seharusnya meningkatkan jumlah edges, karena satwa melimpah pada
pertemuan habitat (mereka menganggap habitat sebagai vegetasi atau
lingkungan secara umum, bukan habitat spesifik suatu spesies yang
memerlukan syarat khusus). Anggapan bahwa pembukaan dan pembersihan
hutan menguntungkan satwa ternyata tidak selalu benar. Dalam beberapa
dekade

6

terakhir

terbukti

bahwa

banyak

PRAGMENTASI HUTAN

hutan

yang

dulunya

berkesinambungan sekarang terancam karena dibuka untuk membuat
ekoton sehingga berdampak negatif bagi satwa seperti meningkatnya
pemangsaan dan overbrowsing. Anggapan bahwa menciptakan edges dan
membuka hutan itu bermanfaat perlu diteliti lagi dengan seksama (Morrison
et al. 1992).
Jumlah spesies satwa dan tumbuhan berhubungan dengan kondisi
yang ada dalam interior yang relatif luas dari vegetasi matang atau
dipengaruhi oleh vegetasi terganggu dan pengaruh tepi.

Komposisi dan

kelimpahan relatif dari asosiasi spesies dalam komunitas biotik bervariasi
antar lanskap menurut jumlah dan sebaran habitat secara spasial. Dengan
demikian fragmentasi berpengaruh terhadap kekayaan spesies dari suatu
komunitas, kecenderungan populasi spesies tertentu dan keanekaragaman
hayati secara keseluruhan dari suatu ekosistem. Apakah pengaruh tersebut
disukai atau tidak bergantung pada jumlah dan komposisi spesies yang ada
pada suatu area. Hal ini memiliki implikasi kuat untuk pengelolaan lanskap
(Morrison et al. 1992).
Fragmentasi hutan juga menjadi perhatian di dalam hutan tropis.
Klein (1989) dalam Morrison et al. (1992) yang melakukan penelitian
terhadap kumbang bangkai dan organisme pada kotoran (feces) di hutan
bersinambung dan hutan terfragmentasi, menyimpulkan bahwa fragmentasi
menyebabkan berkurangnya spesies pengurai kotoran dan secara tidak
langsung fragmentasi hutan berpengaruh pada

siklus hara dan proses -

proses ekosistem terkait lainnya, dan mungkin mempengaruhi produktivitas
tapak dalam jangka panjang.
Fragmentasi hutan temperate di Amerika Serikat bagian barat
dapat mengurangi atau menghilangkan populasi pengerat kecil pemakan
jamur (mycophagus) yang menjadi agen kunci penyebaran sejumlah spesies
jamur hypogeous (di bawah tanah), khususnya mychorrizae yang penting
bagi hutan konifer (Maser et al. 1978 dalam Morrison et al. 1992).

Jamur-

jamur michorrizae tumbuh di rambut-rambut akar pohon konifer dan
membantu menyerap hara. Pengerat (rodent) kecil yang bertindak sebagai
agen kunci penyebaran membutuhkan tegakan hutan yang tua atau pohon
tumbang yang besar.

Fragmentasi hutan dapat mengurangi ketersediaan

tegakan hutan tua tersebut dan elemen-elemen vegetasi lainnya, yang

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

7

mungkin secara tidak langsung mengurangi produktivitas hutan dalam
jangka panjang (Morrison et al. 1992).
Fragmentasi lingkungan merupakan suatu isu perencanaan dan
konservasi habitat, yakni peningkatan fragmentasi dapat mempengaruhi
ketahanan populasi dan keragaman spesies dan komunitas.

Fragmentasi

dapat mengisolasi individu, unit berkembangbiakan, dan sub populasi dari
spesies-spesies dalam patch interior. Isolasi ini dapat meningkatkan resiko
kepunahan lokal karena peningkatan variasi ukuran populasi dalam peluang
untuk hidup dan kesempatan berkembangbiak; fluktuasi di lingkungan dan
kualitas dan kuantitas sumberdaya; peningkatan kerentanan untuk punah
dari patch yang lebih kecil, lebih terisolasi jika menghadapi bencana seperti
angin badai dan kebakaran (Morrison et al. 1992).
Saat ini di banyak negara, perhatian publik terhadap perencanaan
habitat telah meningkat karena adanya peningkatan isu terkait seperti
penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan fragmentasi lingkungan
yang dianggap berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati dan hilangnya
hutan-hutan tua serta semakin langka dan berkurangnya habitat.

Oleh

karena itu, baik dari perspektif s osial dan perhatian publik maupun
perspektif ilmiah, fragmentasi lingkungan dan pengelolaan habitat dalam
skala lanskap perlu mendapat perhatian dan dipelajari secara benar.

DAFTAR PUSTAKA
Allaby, M. 1998. Oxford Di ctionary of Ecology. Oxford University Press, New
York, NY.
Bailey, J.A. 1984. Princples of Wildlife Management. John Wiley and Sons.
New York.
Forman R.T.T. 1995. Land mosaics: the ecology of landscapes and regions.
Cambridge University Press, Cambridge, 632 pp.
Franklin, A.B., B.R. Noon, And T. L.George. 2002. What Is Habitat
Fragmentation?
Studies in Avian Biology No. 25:20-29.
http://www.
humboldt.
edu/-tlg2/publications/whatis
habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.

8

PRAGMENTASI HUTAN

Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from
island biogeography to landscape ecolog y. Ecological Applications
12:321–334.
Hall, L. S., P. R. Krausman, And M. L.Morrison. 1997. The habitat concept
and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin
25:173–182.
Helms, J.a. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of
American Forestry and CA BI Publishing. Bethesda, MD and Oxon,
UK.
http://www.everything bio.com/g los/definition.php?word=fragmentation.
Diakses Tanggal 17 Oktober 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation.
Oktober 2006.

Diakses Tanggal 17

http://en.wikipedia.org/wiki/Landscape ecology.
Februari 2007.

Diakses Tanggal 24

http://www.carleton.ca/lands-ecol/whatisle.html.
Februari 2007.

Diakses Tanggal 24

MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island
biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey,
USA.
Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wi ldlife-Habitat
Relationships. The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin.
Rusak, H. and C. Dobson. 2007. Forest Fragmentation. www.ontarionature
.org. Diakses tanggal 26 Februari 2007.
Sanderson, J. and L. D. Harris (eds.). 2000. Landscape Ecology: A Top-Down
Approach. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida, USA.
Turner, M.G. and R. H. Gardner (eds.). 1991. Quantitative Methods in
Landscape Ecology. Springer-Verlag, New York, NY, USA.
Wiens, J. A. 1989. Spatial scaling in ecology. Functional Ecology 3:385–397.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

9

2
MASALAH DAN PROSES FRAGMENTASI


MASALAH FRAGMENTASI



PROSES FRAGMENTASI



PENGARUH FRAGMENTASI



MENGUKUR FRAGMENTASI



DAFTAR PUSTAKA

I. MASALAH FRAGMENTASI
Fragmentasi habitat merupakan masalah penting di seluruh dunia.
Penyempitan habitat secara luas memang cukup serius, tetapi ketika
dikombinasikan dengan fragmentasi maka dapat meruntuhkan kesatuan
ekosistem secara keseluruhan. Jalan, urbanis asi dan pertanian merupakan
kegiatan utama manusia yang memecah-mecah wilayah alami yang
seringkali diikuti oleh malapetaka bagi satwa.
merupakan hutan yang

kompak

Wilayah yang sebelumnya

dan utuh menjadi

terpecah-pecah,

berukuran kecil dan terisolasi, sehingga beberapa jenis satwa tidak dapat
melakukan perpindahan atau pergerakan untuk mencari makan atau untuk
berkembang biak.
Di sisi lain, ada beberapa jenis satwa dan tumbuhan yang lebih
menyukai habitat interior berupa hutan yang rapat dan gelap, maka jika
50% hutan tersebut dibabat, misal untuk membuat jalan atau lapangan
parkir dan sisanya terbelah oleh jalan, maka hutan yang lebat, sejuk dan
gelap berubah menjadi terang benderang, kelembaban dan temperaturnya
berubah dan tidak sesuai lagi sebagai habitat satwa dan tumbuhan tersebut.
Dengan demikian, fragmentasi juga meningkatkan efek tepi (edge effect).
Sejalan dengan itu area habitat interior dipengaruhi oleh kondisi berbeda

10

PRAGMENTASI HUTAN

dari habitat lainnya di sekitarnya. Semakin kecil suatu habitat, semakin
besar proporsi yang terkena efek tepi dan hal ini dapat menyebabkan
perubahan yang dramatis bagi komunitas satwa dan tumbuhan.
Bila suatu populasi satwa menjadi kesulitan menyeberangi jalan
raya yang menghalanginya untuk mencapai kantong habitat lainnya yang
berjarak cukup jauh, maka satwa tersebut hanya dapat berkembang biak
terbatas di kantong habitat tempatnya tinggal yang dapat dikatakan sebagai
pulau dan populasinya akan menghadapi resiko inbreeding. Lebih jauh, jika
populasi diserang wabah penyakit atau bencana alam lainnya, maka satwa
tersebut akan mengalami kepunahan lokal dan sulit untuk rekolonisasi dari
populasi lainnya.

Sejalan dengan itu, maka jelas bahwa kesinambungan

atau konektivitas dari hutan sangat penting.
Suatu hutan yang sehat dan cukup besar akan mampu mendukung
organisme dengan jelajah luas, seperti jenis-jenis satwa besar atau satwa
pemangsa. Pengurangan luas dapat memiliki dampak langsung pada spesies
ini dan karena predator sering memainkan peran penting sebagai pengatur
populasi

spesies

lain,

maka

keseimbangan ekosistem

dapat sangat

terganggu. Dalam skala luas, perubahan ik lim juga mungkin memaksa suatu
spesies untuk bermigrasi, jika habitat alaminya sangat terfragmentasi,
banyak di antara mereka tidak dapat bermigrasi dan akan menghadapi
resiko kepunahan. Ini juga membuktikan betapa pentingnya suatu lanskap
yang berkesinambungan.

II. PROSES FRAGMENTASI
Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat (habitat
loss), sebaliknya hilangnya habitat
fragmentasi.

Tetapi

fragmentasi

dapat dipandang sebagai akibat
dapat

disertai

hilangnya

habitat

(berkurangnya jumlah) seiring dengan pemecahan atau pembagian kantong
habitat besar menjadi kantong-kantong habitat berukuran kecil dan lebih
terisolasi (Hunter 1997; Haila 1999; Frank lin et al. 2002; Fahrig 2003). Jika
hilangnya habitat dan fragmentasi dipandang secara terpisah, maka
hilangnya habitat memiliki dampak lebih signifikan bagi kelangsungan hidup
(viability) spesies daripada fragmentasi (Haila 2002; Fahrig 2003). Namun,

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

11

karena fragmentasi dan hilangnya habitat terjadi bersamaan maka sangat
sulit untuk menentukan mana yang lebih penting bagi perubahan habitat
(Haila 1999).
Fragmentasi bekerja dalam empat cara ketika hilangnya habitat dan
fragmentasi

digabung

untuk

menggambarkan

dan

mengkategorikan

prosesnya (Frank lin et al. 2002; Fahrig 2003) : (1) habitat hilang tanpa
fragmentasi; (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan
habitat menjadi patches lebih kecil; (3) pemecahan habitat menjadi patchpatch lebih kecil tanpa kehilangan habitat; dan (4) hilangnya habitat dan
pemecahan habitat menjadi patch-patch lebih kecil serta penurunan
kualitas habitat. Contoh ini berlaku untuk lanskap yang terdiri lebih dari
satu habitat dan dikelilingi oleh matriks di dalam suatu kesatuan lanskap.
Kasus pertama dan kedua berlaku ketika lanskap keseluruhan berisi satu
habitat dan tidak ada matriks di sekelilingnya. Dalam kenyataan, kasus dua
dan empat merupakan cara yang paling umum dalam fragmentasi habitat.
Fragmentasi habitat merupakan satu aspek dari tahapan proses
yang secara spasial dan temporal mengubah habitat dan lanskap yang
diakibatkan oleh sebab-sebab alami maupun antropogenik (Forman 1995).
Tetapi, perubahan habitat tidak dapat dihindari karena tidak ada habitat
atau lanskap yang tetap (Forman 1995).
proses

spasial dengan berbagai

derajat

Lanskap berubah me lalui lima
overlap sepanjang

periode

perubahan lahan (Forman 1995), dan fragmentasi hanyalah satu outcome.
Proses ini dapat diakibatkan oleh penyebab alami dan antropogenik.
Perforasi (Perforation) merupakan proses membuat lubang di dalam
habitat. Pemotongan (Dissection) adalah pemotongan atau pembagian area
menjadi habitat berbeda dengan lebar yang relatif sama.

Fragmentasi

(Fragmentation) adalah pemecahan habitat menjadi potongan-potongan
yang lebih kecil. Penyusutan (Shrinkage) terjadi seiring potongan habitat
berlanjut dengan penurunan luas. Erosi habitat (Attrition) adalah proses
dimana kantong habitat yang tersisa berangsur hilang karena degradasi
habitat atau suksesi.
Fragmentasi dimulai dengan dissection ketika jalan, jaringan
transmisi, sungai dan fitur linear lainnya menjadi penghalang pergerakan.
Kemudian diikuti perforation ketika muncul kantong-kantong habitat

12

PRAGMENTASI HUTAN

(habitat patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek
tepi menjadi nyata.

Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi

ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan
berkurang luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi
mulai mendominasi lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana lahan
alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di
tengah-tengah lanskap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat
yang telah berubah dan terfragmentasi.

Proses fragmentasi membuat

habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan
dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar.

Sebaliknya, jika proses

gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas
habitat berarti tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah teta pi
tidak terfragmentasi (Hunter 1997)

III. PENGARUH FRAGMENTASI
Ada empat cara primer fragmentasi hutan dapat mempengaruhi
keanekaragaman hayati, yaitu: (1) keterwakilan (sample effect); (2) luas
area (area effect); (3) isolasi (isolation effect) dan (4) pengaruh tepi (edge
effect) (Gambar 1). Masing-masing pada gilirannya akan berpengaruh pada
sebaran populasi, komunitas dan proses ekosistem (Kupfer et al. 2004).

Gambar 1. Model konseptual pengaruh fragmentasi (Kupfer et al. 2004).

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

13

Mekanisme

dan

proses

fragmentasi

menghasilkan

tiga

tipe

pengaruh: (1) ukuran patch; (2) pengaruh tepi (edge effect); dan (3)
pengaruh isolasi (Fahrig, 2003).

Ahli satwa harus memperhatikan semua

karena ketiganya terjadi pada fragmentasi habitat dan masing-masing
memerlukan penanganan yang berbeda (Franklin et al. 2002; Fahrig 2003).
Fragmentasi habitat dapat dipandang dari segi positif dan negatif.
Pengaruh positifnya adalah meningkatkan keragaman habitat, menciptakan
penjajaran habitat yang bermanfaat, dan meningkatkan edge yang disukai
spesies satwaliar generalis.

Fragmentasi mem berikan pengaruh negatif

ketika: (1) ada habitat yang hilang; (2) terbentuk kantong habitat lebih
kecil yang mendorong pada kepunahan lokal dan isolasi; (3) habitat-habitat
tidak lagi bersambungan, khususnya jika fragmentasi disebabkan oleh
aktifitas non kehutanan; dan (4) jumlah

edge meningkat sehingga

fragmentasi habitat merugikan spesies interior (Barnes 2000).

IV. MENGUKUR FRAGMENTASI
Mengukur fragmentasi sangat menarik, ada banyak ukuran yang
dapat digunakan untuk mengkuantifikasikan fragmentasi habitat. Sebagai
contoh dalam program FRAGSTATS tersedia 100 matrix fragmentasi habitat
(McGarigal and Marks 1995), tetapi hanya sedikit kesepakatan matrik mana
yang paling sesuai dan bisa diterjemahkan ke dalam tindakan manajemen
konservasi (Garrison 2005).
Indeks-indeks
mengkuantifikasikan

struktur

lanskap

fragmentasi

seringkali

habitat.

digunakan

untuk

Indeks -indeks

telah

dikembangkan untuk mengukur tiga aspek struktur lanskap: (1) komposisi
lanskap; (2) konfigurasi lanskap; dan (3) bentuk patch di dalam lanskap.
Komposisi menunjukkan jumlah dari tipe penutupan (cover) yang berbeda
yang ditemukan dalam lanskap. Konfigurasi menunjukkan bagaimana patch
dari tipe cover yang sama atau berbeda tersusun di dalam lanskap dan
hubungannya satu sama lain.

Lanskap dengan komposisi sama dapat

memiliki konfigurasi yang berbeda, sehingga diperlukan beberapa indeks
aspek untuk menggambarkan suatu lanskap. Harus dicatat bahwa beberapa
indeks tidak sesuai benar untuk ketiga kategori tersebut.

14

PRAGMENTASI HUTAN

Program Patch Anlayst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup
handal

untuk

menghitung

statistik

fragmentasi,

karena

merupakan

modifikasi dari program Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung
statistik spasial, baik file poligon (seperti shape files) dan file raster
(seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999).

Penjelasan dan contoh aplikasi

program Patch Analyst dibahas secara terpisah pada Bab 11.

DAFTAR PUSTAKA
Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems M anagement.
Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of
Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari
2007.
Elkie, P.C., R.S. Rempel and A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual.
Ontario Ministry of Natureal Resources, Northwest Science &
Technology. Thunder Bay. Ontario.
Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual
Reviews of Ecology and Systematics 34:487–515.
Forman, R. T. T. 1995. Some general principles of landscape and regional
ecology. Landscape Ecology 10:133–142.
Franklin, A.B., B.R. Noon, and T. L.George. 2002. What Is Habitat
Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www.
humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis habitat20fragmentation.Pdf.
Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
Garrison, B.A. 2005. Fragmentation of Terrestrial Habitat : An Overview for
Wildlife Biologists. Trans.W.Sect.Wildl. Soc. 41:2005.
Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island
biogeography to landscape ecology. Ecological Applications 12:321–334.
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/what_habitat.asp.
Diakses Tanggal 1 Mei 2007.
Hunter, M. L., JR. 1997. The biological landscape. Pages 57–67 in K. A. Kohm
and J. Franklin (eds). Creating a Forestry for the 21st Century. Island
Press. Washington, D.C.
Kupfer, J.A., G.P. Malanson and S.B. Franklin. 2004. Identifying the
Biodiversity Research Needs Related to Forest Fragmentation. A report
prepared for the National Commission on Science for Sustainable
Forestry (NCSSF) and funded by the National Council for Science and
the Environment (NCSE).
McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis
program for quantifying landscape structure. USDA For. Serv. Gen.
Tech. Rep. PNW-351. http://www.
innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/FRAG_expt.htm.
Diakses Tanggal 12 April 2006.

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

15

3
TEORI BIOGEOGRAFI PULAU vs
FRAGMENTASI HUTAN


PENDAH ULUAN



TIPE-TIPE PULAU



HUBUNGAN SPESIES-AREA



KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS



EFEK ISOLASI



PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU
HABITAT



DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Teori Biogeografi pulau pertama dikemukakan oleh Mac Arthur dan
Wilson (1967). Dalam teorinya mereka memprediksi jumlah spesies yang
mungkin akan bertahan pada suatu pulau yang baru ter bentuk.
biogeografi

pulau

dipelajari

dan

dijelaskan

faktor-faktor

Dalam
yang

mempengaruhi keragaman spesies dari sauatu komunitas tertentu. Dalam
konteks ini, “pulau” dapat berupa areal habitat yang dikelilingi oleh areal
lain yang tidak sesuai untuk spesies dalam “pulau” tersebut; bukan hanya
pulau sesungguhnya yang dikelilingi lautan, tetapi juga gunung yang
dikelilingi oleh gurun pasir, danau yang dikelilingi daratan, dan fragment
hutan yang dikelilingi oleh lanskap yang terganggu oleh manusia.
Model biogeografi pulau adalah suatu model kaidah umum mengenai
penyebaran keanekaragaman hayati yang menjelaskan hubungan antara
luas areal dan jumlah spesies (species-area relationship). Pulau-pulau yang
luas memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dari pada pulau-pulau kecil.
Hal ini karena pulau-pulau yang lebih luas biasanya memiliki tipe habitat

16

PRAGMENTASI HUTAN

dan komunitas yang lebih banyak, menyediakan kemungkinan isolasi
geografis dan jumlah populasi yang lebi h banyak untuk setiap spesies
sehingga

memperbesar

kemungkinan

spesiasi

dan

memperkecil

kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies
yang baru datang (Primack et al. 1998).

Model biogeografi pulau

memperkirakan jika 50% dari wilayah pulau rusak, sekitar 10% spesies yang
hidup di pulau tersebut akan punah. A pabila spesies ini endemik di wilayah
tersebut, maka spesies akan punah. Apabila 90% dari habitat rusak, pulau
akan kehilangan 50% spesiesnya, dan jika 99% habitatnya hilang, maka 75%
spesies alami akan hilang (Primack et al. 1998).
Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lanskap
sebagai model bagaimana “pulau-pulau” habitat kecil dapat berpengaruh
buruk pada keragaman hayati habitat as linya (Harris 1984). Teori ini sangat
penting dalam mendisain kawasan konservasi karena memberikan panduan
kuantitatif tentang luas kawasan dan kesinambungan antara kawasan
konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik ekologi di wilayah
tersebut (Diamond 1975).
Menurut teori biogeografi pulau (Mac Arthur & Wilson 1967),
kekayaan spesies suatu pulau bergantung pada:


Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang
terisolasi atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit dari pada pulau
yang dekat dengan sumber spesies yang mengkolonisasi.

Pulau yang

lebih jauh, lebih sedikit didatangi pengkoloni dibandingkan pulau yang
lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara sumber kolonisasi (daratan
utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu loncatan
(stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang
jauh.

Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari s umber

kolonisasi, maka pulau yang lebih besar akan memiliki laju kolonisasi
yang lebih tinggi karena adanya Target Effect (The bigger targets are
easier to hit).


Luas pulau, karena luas pulau mempengaruhi laju kepunahan.

Pulau

yang besar memiliki jumlah s pesies yang lebih banyak dibandingkan
pulau yang kecil. Pulau kecil memiliki ukuran populasi yang lebih kecil,

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

17

lebih sedikit refugia (area untuk mengungsi) dan memiliki laju
kepunahan lebih tinggi.


Dinamika kolonisasi dan kepunahan, kolonisasi menggantikan spesies
yang punah (species turnover).



Kekayaan spesies mencerminkan suatu keseimbangan (equilibrium)
antara kolonisasi dan kepunahan.

II. TIPE-TIPE PULAU
Pulau adalah daratan yang dikelilingi air.

Kondisi fisik pulau

biasanya sempit, tipe habitatnya sedikit, sedangkan pengaruh laut sangat
besar.

Pulau digunakan oleh para ahli ilmu pengetahuan alam sebagai

laboratorium lapangan untuk menelaah masalah biogeografi.

Darwin dan

Wallace membedakan antara pulau benua (continental island) dan pulau
laut (oceanic island) (Haris 1984).

Pulau laut adalah pulau yang belum

pernah berhubungan dengan daratan lainnya (misalnya : P. Nias, P.
Bawean, P. Natuna, P. Belitung, P. Sumba dan P. Aru). Pulau Benua adalah
pulau yang pada masa lampau mempunyai hubungan dengan daratan atau
benua lainnnya karena turunnya permukaan laut (misalnya : Pulau Sumatra,
P. Jawa, P. Kalimantan, P. Papua, P. Simeulue, P. Enggano, P. Buru, P. Kai
dan P. Tanimbar) (Primack et al. 1998).
Ahli lain membagi pulau menjadi tiga tipe yaitu (Ripley 1985):
1. Pulau benua (continental island) yang dulunya merupakan bagian
daratan benua tetapi sekarang terpisah dari daratan induknya, ciri -ciri
kehidupan serupa dengan benua/daratan utamanya dan dekat dengan
benua.
2. Pulau gunung berapi (volcanic island) yang berasal dari gunung berapi
dan tidak terbentuk sebagai bagian benua. Pulau-pulau gunung berapi
berada di dekat pulau-pulau besar membentuk busur pulau gunung
berapi di laut.

Pulau-pulau gunung berapi di bagian sisi yang

menghadap benua biasanya dikelilingi perairan dangkal sedangkan di
tepi luarnya selalu mempunyai tebing yang terjal yang turun ke bagian
laut paling dalam.

18

PRAGMENTASI HUTAN

3. Pulau samudera (oceanic island) sejati yang terbentuk dari proses
geologi.

Biasanya berukuran kecil dan seringkali letaknya jauh dari

daratan utama.

Pulau ini dapat berbentuk pulau tunggal atau

membentuk kepulauan kecil. Suksesi yang terjadi di pulau ini adalah
suksesi primer
Disamping ketiga tipe pulau tersebut juga ada tipe pulau lain yaitu
(Whitten et al., 1988):
1. Pulau atol. Pulau atol terbentuk dari binatang karang yang telah mati,
berukuran kecil, biasanya berbentuk cincin dan banyak terdapat di
Lautan Pasifik (Contoh : Pulau Takabonerate dan Tukang Besi).
2. Pulau purba (ancient island). Pulau purba telah terpisah dari daratan
utama sejak lama sekali (lebih dari 100 juta tahun) oleh karenanya
memiliki tingkat endemisme tinggi (misalnya P. Madagaskar dan
Kepulauan Selandia Baru).
Pulau-pulau benua memperoleh keanekaragaman hayatinya ketika
pulau-pulau tersebut berhubungan dengan benua. Selanjutnya pulau-pulau
ini memperoleh tambahan dari hasil migrasi hewan/tumbuhan (Primack et
al. 1998). Pulau laut asal mulanya merupakan substrat kosong, komunitas
hewan berkembang dari kolonisasi awal yang kemudian berkembang
semakin kaya dan kompleks (Haris 1984). Dengan perkataan lain, pulaupulau laut hanya dapat memperoleh keanekaragaman hayatinya dari
kemampuan migrasi hewan dan tumbuhan yang berasal dari tempat-tempat
lain (Primack et al. 1998). Laju imigasi dan kolonisasi serta faktor-faktor
lingkungan laut sangat mempengaruhi karakteristik biota pulau-pulau laut,
setidakya pada tingkat hunian awalnya (Haris 1984).

III. HUBUNGAN SPESIES-AREA
Menurut teori biogeografi, jumlah spesies (jumlah equilibrium)
yang terdapat di suatu pulau ditentukan oleh dua faktor, yaitu jarak dari
daratan utama dan ukuran pulau.

Keduanya akan mempengaruhi laju

kepunahan di pulau dan tingkat imigrasi. Pulau-pulau yang dekat dengan
daratan utama kemungkinan menerima imigran dari daratan utama lebih
besar dari pada pulau-pulau yang jauh dari daratan utama.

Pada pulau-

Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan

19

pulau yang lebih kecil peluang kepunahan lebih besar dari pada pulau-pulau
besar. Pulau-pulau besar memiliki jumlah spesies lebih banyak dari pada
pulau-pulau kecil (Mac Arhtur & Wilson 1967).
Kekayaan spesies suatu pulau juga tergantung pada: (1) isolasi,
karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi dan (2) ukuran pulau karena
ukuran pulau mempengaruhi laju kepunahan.

Kolonisasi dan kepunahan

adalah dinamis, kolonisasi menggantikan spesies yang punah, atau disebut
turn over.

Kekayaan spesies suatu pulau menunjukkan keseimbangan

(equilibrium) antara kecepatan kolonisasi dan kecepatan kepunahan (Mac
Arhtur & Wilson 1967).
Hubungan antara jumlah spesies dan luas pulau digambark an
dengan rumus sebagai berikut (Mac Arhtur & Wilson 1967):

Dimana S = jumlah spesies, A = luas pulau, z dan c adalah konstanta yang
diperlukan untuk menyesuaikan data luas (dalam m 2, km2, dll) dengan
jumlah spesies. Hubungan ini dapat dibuat linier dengan menggunakan log
sehingga rumusnya menjadi (Mac Arhtur & Wilson 1967):
Log S = Log c + z log A
Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan
utama karena lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang
re