Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya Para

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Nelayan merupakan profesi yang sering dilupakan karena merupakan profesi yang tidak

memiliki pendapatan yang pasti yang dapat menutupi semua kebutuhan hidup ditambah lagi
dengan stigma masyarakat yang menganggap profesi ini rendah. Tanpa menyadari bahwa
nelayan merupakan salah satu penopang perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS
(Badan Pusat Statistik) sektor perikanan Indonesia menyumbang 244,6 juta dolar Amerika
Serikat pada bulan oktober 2015, dan tidak menyadari bahwa ikan yang berada di rumah
adalah kerja keras para nelayan. Harga ikan menurut nelayan tidak sebanding dengan risiko
yang mereka hadapi terlebih jika nelayan tersebut memiliki perahu dari pinjaman seseorang
maka nelayan tersebut harus menjual ikan yang ia dapatkan kepada pemilik perahu dan
pemodal (tokeh). Harga ikan merah jika dijual kepada tokeh seharga 35 ribu/kg. Pihak – pihak
berseragam yang melindungi pemodal besar yang menggunakan pukat harimau/katrol juga
menjadi penghambat nelayan tradisional dalam menangkap ikan. Banyak harapan yang
disampaikan para nelayan guna mengubah keadaan yang tidak memihak kepada nelayan
tradisional.
B.


RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana kehidupan ekonomi para nelayan Sungai Deli?
2) Bagaimana kehidupan sosial para nelayan Sungai Deli?
3) Bagaimana kehidupan budaya para nelayan Sungai Deli?
4) Bagaimana hubungan sekonomi, sosial dan budaya para nelayan Sungai Deli?
5) Bagaimana peranan wanita nelayan dalam hal ekonomi keluarga?

1

BAB II
KONSEP DAN TEORI
2.1 SPESIFIK TEMA
Gambaran Umum

Sumber : http://1.bp.blogspot.com/-tmnjxZivBE/T_UELqRzz1|//...

2.1.1 Kawasan Daerah Aliran Sungai Deli
2


Sungai Deli merupakan salah satu induk sungai pada Satuan Wilayah Sungai (SWS)
Belawan/ Belumai Ular dengan 5 (lima) anak sungai. Panjang sungai sekitar 73 Km dengan
luas basin 402 Km2. Sungai Deli beserta anak dan ranting sungainya mengalir dari Kabupaten
Karo, Kabupaten Deli Serdang dan melintasi Kota Medan sebelum bermuara ke Selat Malaka.
Bagian hulu sungai pada umumnya berada di Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang,
sedangkan bagian tengah dan hilir berada di Kota Medan.
Table 2.1 Anak Dan Ranting Sungai Deli
Induk Sungai
SUNGAI

Anak Sungai

Daerah Pengaliran

Sei Sikambing

Kota Medan

Sei Babura


Kota Medan

D
E
L

Ranting Sungai

Daerah
Pengaliran
Kota Medan

1. Sei Putih
2. Sei Selayang
Kota Medan
3. Sei batua
Kota Medan
Sei Bekala
Kota Medan*,
Pancur batu**


I

*

Lau Kelimut

Sibolangit ,

Lau Petani

namorambe**
Namorambe*, Deli

Sei Betimus

Sibolangit

Tua**, Simpang
Sei Simai-simai


empat***
Namorambe

1. Sei Bewacih
2. Sei Semantri
3. Sei Bekusah

Namorambe*,
Sibiru-biru**,

sibiru-biru***
Sumber: Dokumen laporan pemantauan kualitas sungai Deli, Bapedalda Sumut
*

Kecamatan pada Kabupaten Deli Serdang

** Kecamatan pada Kabupaten Karo
Sungai Deli dapat digolongkan atas tiga bagian yakni, daerah hulu, tengah dan daerah
hilir.

Table 2.2 Penggolongan Sungai Deli
Bagian Sungai
Hulu

Lokasi
Luas DTA (km2)
Kaki G. Sibayak Pertemuan dengan 159
anak sungai Simei-mei
3

Panjang (km)
30

Tengah

Sampai

pertemuan

dengan


sungai 188

20

Sikambing
Hilir
Sampai ke muara sungai
5
Total
402
Sumber: Dokumen laporan kualitas sungai Deli Bapedalda.

20
73

Daerah pengaliran sungai di Kabupaten Karo terdapat di Kecamatan Simpang Empat
Desa Semangat Gunung dan Desa Doulu sedangkan di Kabupaten Deli Serdang meliputi lima
kecamatan yaitu
(1) Kecamatan Pancur Batu,

(2) Sibolangit,
(3) Namorambe,
(4) Deli Tua,
(5) Sibiru –biru.
Sedangkan di Kota Medan meliputi empat belas kecamatan yaitu
(1) Kecamatan Medan Tuntungan,

(8) Medan Sunggal,

(2) Kecamatan Medan Johor,

(9) Medan Petisah,

(3) Kecamatan Medan Selayang,

(10) Medan Barat,

(4) Kecamatan Medan Polonia,

(11) Medan Deli,


(5) Kecamatan Medan Maimun,

(12) Medan Labuhan

(6) Kecamatan Medan Kota,

(13) Medan Marelan dan

(7) Kecamatan Medan Baru,

(14) Medan Belawan.

Pada beberapa kecamatan sungai ini menjadi bagian batas administrasi.
a. Daerah Hulu
Pada daerah hulu, Sungai Deli mengalir melalui daerah perbukitan dengan topografi
yang beragam, antara landai, terjal dan curam sehingga terdapat beberapa terjunan. Kondisi ini
memberi efek yang baik pada proses self purification karena alirannya cenderung turbulen
sehingga proses aerasi dapat berlangsung dengan baik.
b. Daerah Pertengahan

4

Pada daerah pertengahan topografi daerah pengaliran Sungai Deli cenderung landai
dengan kemiringan 0.31%. Hal ini menyebabkan laju air air sungai lebih lambat dibandingkan
daerah hulu. Pada laju air yang lebih lambat, proses aerasi juga berkurang dengan demikian
self purification juga menurun. Di daerah pertengahan pemanfaatan lahan di sekitar daerah
pengaliran sungai adalah untuk pemukiman, perkantoran dan industri.
c. Daerah Hilir
Topografi daerah hilir Sungai Deli semakin landai dengan kemiringan 0.2 % laju air
pada daerah ini semakin lambat, terutama ke arah muara. Daerah hilir merupakan sentral
industri, terdapat lebih dari 54 (lima puluh empat) kegiatan/ industri disepanjang Sungai Deli ,
termasuk hotel dan rumah sakit, banyak diantara industi ini yang membuang limbahnya ke
Sungai Deli tanpa pengolahan terlebih dahulu.
2.1.2

Iklim
Iklim di daerah air Sungai Deli menunjukkan sedikit perbedaan antara musim kemarau

dan musim hujan. Suhu udara berkisar antara 210 C - 330 C dan suhu rata – rata tahunan
adalah 260 C.

a. Curah Hujan
Curah hujan disebelah selatan daerah pegunungan dan sebelah utara daerah pantai
diperkirakan masing – masing berkisar 2.800 mm/tahun dan 1.700 mm/tahun. Dari catatan
hujan sepanjang tahun, diketahui bahwa curah hujan terendah pada bulan Februari dan
tertinggi pada Bulan September.
(Sumber :Laporan pementauan kualitas dan upaya pencemaran sungai Deli. Dokumen
Bapedalda, 2006)

5

Sumber : Dokumen Bapedalda kegiatan pemantauan dan pengendalian kerusakan tata air
b. Panjang dan Kemiringan DAS Deli
Panjang sungai dan kemiringan pada DAS Deli seluas 32,581 ha dengan kemiringan
lereng < 5%, 7,445 ha dengan kemirigan lereng antara 5-15 %,6,273 ha dengan kemiringan
lereng 15-35 %, 1,521 h dengan kemiringan lereng 35-50 % dan 342 ha dengan kemiringan >
50%.

Sumber: Dokumen Bapedalda 2006, kegiatan pemantauan dan pengendalian tata air

c. Debit Air Sungai Deli
Debit air Sungai Deli dari tahun ke tahun mengalami penurunan, hal ini terutama
karena konversi hutan yang terjadi pada daerah hulu sungai. Pada saat ini terdapat dua stasiun
6

pengukuran debit air sungai Deli yakni di Helvetia pada koordinat 03037’39.1” LU,
098039’53.6” BT dan 21 m dpl serta di simei – mei pada koordinat 030 28’33.6”LU, 0980.
40’36.0” BT dan 59 m dpl.

Grafik berikut menunjukkan debit rata – rata air sungai Deli yang diukur di Titi Gg.
Sejarah dari tahun 1990 –2004.

2.1.3 Sungai Deli Dalam Perspektif Sejarah
Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan
bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan
sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja
Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613,
terhadap Kesultanan Deli.
Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama
Deli sesungguhnya muncul dalam "Daghregister" VOC di Malaka sejak April 1641, yang
7

dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India,
ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.
2.1.4 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang tinggal di daerah tangkapan air Sungai Deli sekitar 1.500.000
jiwa dan 1.200.000 jiwa diantaranya bermukim di Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera
Utara sesuai dengan perincian di bawah ini. Jumlah Penduduk pada kecamatan yang dilalui
Sungai Deli di Kota Medan menurut sensus Tahun
2004 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Kota Medan Pada Basin Sungai Deli
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kecamatan
Medan Tuntungan
Medan Johor
Medan Kota
Medan Maimun
Medan Polonia
Medan Baru
Medan Selayang
Medan Sunggal
Medan Petisah
Medan Barat
Medan Deli
Medan Labuhan
Medan Marelan
Medan Belawan
Jumlah

Jumlah Kelurahan
9
6
6
6
6
6
6
6
6
7
6
5
6
6
86

Jumlah siswa
68.438
108.911
82.901
47.137
49.048
42.221
81.035
106.756
66.037
77.839
141.787
100.184
112.463
93.356
1.178.113

2.2 PROFIL NELAYAN DI SUMATERA UTARA
Sebelum memasuki inti pembahasan terlebih dahulu dibahas pengertian nelayan.
Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan/budidaya di laut, di tempat yang masih
dipengaruhi

pasang – surut laut. Orang – orang yang melakukan hal perikanan

(menangkap/memelihara) yang dalam penangkapan ikan tidak dipengaruhi oleh cuaca bukan
disebut nelayan namun peternak. Berdasarkan sumber pendapatannya, nelayan dapat dibagi
menjadi :
1. Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatan seluruhnya berasal
dari perikanan.
8

2. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal
dari perikanan.
3. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal
dari perikanan.
4. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim – musim tertentu saja aktif sebagai
nelayan.
Berdasarkan perahu/ kapal penangkap yang digunakan nelayan dapat dibagi menjadi :
A. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari :
1. Nelayan jukung
2. Nelayan perahu papan ( kecil, sedang, dan besar )
B. Nelayan berperahu motor temple
C. Nelayan berkapal motor, menurut GT ( Gross Ton ) terdiri dari :
1. Kurang dari 5 GT
2. 5 – 10 GT
3. 10 – 20 GT
4. 20 – 30 GT
5. 30 – 50 GT
6. 50 – 100 GT
7. 100 – 200 GT
8. 200 – 500 GT
9. di atas 500 GT
Alat penangkap yang dipakai nelayan dapat dibagi menjadi pukat harimau (trawl),
pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, pengumpul
kerang/rumput, jala/tombak, dan lain – lain.
Berdasarkan statusnya, nelayan dapat dibagi menjadi :
1. Nelayan pemilik, terbagi menjadi nelayan pemilik perahu tak bermotor, dan nelayan
pemilik kapal motor yang sering disebut “toke”.
2. Nelayan juragan, adalah pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten kapal
motor.
3. Nelayan buruh, adalah pekerja penangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal
motor.
Nelayan di provinsi Sumatera Utara merupakan profesi yang tertinggi yang disusul
oleh profesi petani. Hal ini dikarenakan kondisi geografis provinsi Sumatera Utara dimana
provinsi Sumatera Utara diapit oleh pantai timur dan pantai barat. Nelayan yang berada di
pantai timur (Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu) memiliki 17 alat tangkap
dengan hasil tangkapan 14 jenis ikan berbeda dengan para nelayan yang berada di pantai barat
(Tapsel, Tapteng dan Nias) memiliki 12 jenis alat tangkap dengan hasil tangkapan 36 jenis
ikan dengan berat perahu tertinggi yakni 20 GT. Berdasarkan data dinas perikanan tingkat I
9

Sumatera Utara memperkirakan potensi perikanan daerah di pantai timur mencapai 555.236
dan di pantai barat 263.300 ton.
KONDISI NELAYAN SUMATERA UTARA
Jumlah nelayan di Sumatera Utara pada tahun 1989 adalah 100.752 rumah tangga,
pada tahun 1997 : 116.589 rumah tangga dimana sekitar 60%nya termasuk nelayan tetap.
Banyak nelayan tergolong dalam tingkat pendidikan yang rendah dimana dari 300 nelayan
yang diteliti yang dijadikan sampel pada tahun 1989 didapatkan data yakni tidak
berpendidikan tinggi (rata – rata tidak tamat SD) kecuali daerah Tapanuli Tengah dan Nias.
Dengan umur rata – rata nelayan tergolong muda yakni 40 tahun dan paling muda berumur 33
tahun. Berdasarkan status nelayan, umur rata – rata paling rendah terdapat pada nelayan
buruh, menyusul juragan dan tertinggi adalah nelayan pemilik kapal motor. Tingkatan
pendidikan menurut status nelayan tidak jauh berbeda. Pengalaman sebagai nelayan paling
rendah pada kelompok buruh dan paling tinggi pada nelayan pemilik.
Musim ikan dan musim panceklik juga menjadi penentu pendapatan nelayan. Ketika
musim ikan maka rata – rata hasil tangkapan terbilang tinggi dan demikian sebaliknya pada
musim panceklik rata – rata hasil tangkapan rendah baik dari segi nelayan bermotor maupun
nelayan tak bermotor. Pendapatan nelayan sangat bervariasi yang didasari pada daerah dan
status nelayan. Rata – rata pendapatan nelayan pemilik perahu tak bermotor di Sumatera Utara
(1989) adalah Rp. 570.000,- setahun atau Rp. 47.500,- sebulan. Dibandingkan dengan nelayan
pemilik perahu bermotor memiliki pendapatan yakni 135% dari nelayan tak bermotor,
pendapatan juragan 279%, dan pendapatan pemilik kapal 1.233%. Jadi nelayan misikin
terpadat pada kelompok nelayan pemilik perahu tak bermotor dan nelayan buruh. Sistem bagi
hasil yang didapatkan didasarkan pada ilmu yang sudah diwariskan sejak turun temurun
dengan kelemahan yakni semua jenis hasil bagi itu menolong ke pihak atas tetapi menekan ke
pihak bawah. Hal diatas didukung dengan adanya data proporsional distribusi pendapatan
yakni dengan golongan pendapatan terendah adalah Rp. 0,3 juta dan paling tinggi adalah Rp.
34 juta per tahun.
Model Alternatif Pembangunan Ekonomi Nelayan

10

Dalam hal pembangunan ekonomi nelayan tradisional jauh berbeda (tertinggal) dari
nelayan yang memiliki modal yang besar. Terdapat beberapa ciri – ciri pembangunan ekonomi
pada masa lampau adalah sebagai berikut :









Ukurannya GNP atau pendapatan ( income ) per kapita
Prinsip efisiensi
Berpihak pada konsep center of growth, kurang normal
Bersifat bottom – up strategy
Tidak percaya TDE
Menuju kesejahteraan
Appropriate technology
Pemberdayaan masyarakat
Salah satu ciri khas ekonomi nelayan adalah merebut hasil pada tempat atau laut milik

bersama (common property). Dengan adanya ciri tersebut memungkin setiap orang untuk
mencari ikan tanpa batas – batas tempat kepemilikan. Hal ini berdampak pada tersingkirnya
nelayan – nelayan tradisional. Nelayan yang berkapital kuat dan berteknologi tinggi selalu
mendapat hasil lebih banyak dari pada nelayan tanpa capital dan berteknologi rendah. Oleh
karenanya J.C Marr (1950) mengusulkan agar dibuatnya pemilikan zona perikanan laut. Hal
ini dilakukan guna melindungi para nelayan – nelayan tradisional dimana pemerintah dituntut
untuk membagi lautan dalam beberapa zona. Hal ini sulit dilakukan karena tidak semua
daratan dapat dibatasi dalam hal kepemilikan apalagi lautan samudera. Selanjutnya terdapat
alternatif lain menurut J.C Marr dalang meningkatkan ekonomi nelayan lemah adalah dengan
pencegahan ikan terbuang. Sekitar 30 – 40% hasil tangkapan ikan laut terbuang karena busuk
atau karena tidak diolah. Sehingga diperlukannya penyediaan es dalam jumlah yang cukup
guna mencegah adanya ikan yang terbuang. Pembanguan ekonomi yang diupayakan untuk
membangun perekonomian nelayan tidak hanya didasari dari pendapatan nelayan namun juga
berdasarkan pada kepribadian dan kebiasaan para nelayan yang buruk seperti rajin berhutang
dan rajin melamun. Hal inilah yang harus diubah guna memajukan perekonomian para
nelayan. Konsep pengupahan dari hasil tangkapan nelayan juga harus diubah guna
memperbaharui dan meningkatkan kesejahteraan kehidupan para nelayan tradisional. Karena
konsep awalnya pengupahan didasarkan pada tingkatan namun tidak didasarkan pada risiko
yang diambil nelayan guna mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Diharapkan adanya
organisasi yang mendukung dan memfasilitasi hasil tangkapan nelayan sehingga para nelayna
tidak ditipu oleh pihak – pihak swasta yang berupaya melakukan pasar monopolistik.
11

Nelayan dan Teknologi Alat Tangkap
Upaya modernisasi nelayan tidak terlepas dari upaya modernisasi alat tangkap karena
dari segi nilai ekonomi maka alat tangkap yang berteknologi tinggi menjadi hal yang mutlak
yang harus dimiliki oleh nelayan guna mengangkat harkat dan martabat nelayan tradisional.
Teknologi alat tangkap mengalami nelayan tradisional mengalami perkembangan sesuai
dengan kebutuhannya di laut. Hal di atas terlihat dengan adanya kapal bermotor (mesin)
sedangkan zaman dulu kapal masih digerakkan dengan dayung. Demikian juga dengan jenis
jaring yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan laut. Terlihat degan adanya variasi –
variasi alat tangkap utama yang berbeda dari satu daerah dengan lainnya. Sebagai contoh
Kuala Indah, Asahan, alat tangkap utama nelayan tradisional adalah jaring kepiting karena
ditemukannya banyak kepiting di daerah tersebut. Lain halnya dengan nelayan di daerah
Pangkalan Brandan, Langkat yang menggunakan alat tangkap tiga lapis (jaring Apollo) untuk
menangkap udang. Sementara nelayan di Belawan, Kotamadya Medan, menggunakan jaring
kembung (selapis).
Seiring dengan tuntutan ekonomi, para nelayan yang memiliki modal besar berupaya
untuk memodernisasi alat tangkap mereka yakni dengan menggunakan pukat harimau.
Penggunaan pukat harimau memiliki kemampuan untuk menangkap ikan sebanyak 1 ton per
sekali berlayar. Berbeda halnya dengan para nelayan tradisional yang hanya mendapatkan 1,5
kg per sekali berlayar. Penggunaan pukat harimau berdampak pada kelestarian alam karena
tidak hanya ikan yang masuk ke dalam pukat harimau namun juga karang laut sehingga
berkurangnya jumlah/hasil tangkapan ikan akibat kerusakan lingkungan dan overfishing. Hal
inilah yang dimaksud dengan meningkatnya kemaslahatan hidup manusia namun
menyebabkan kehancuran manusia itu sendiri. Terdapat beberapa prinsip yang sangat penting
dalam hal upaya penyikapan perkembangan alat tangkap yakni :
1. Prinsip berkelanjutan
2. Prinsip keadilan distribusi
Nelayan Tradisional Dari Gerakan Sosial ke Perlawanan
Ketidakadilan terhadap nelayan tradisional memicu kemarahan para nelayan.
Ketidakadilan tersebut meliputi pemakaian pukat harimau oleh oleh oknum – oknum yang
12

tidak bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah telah mengatur peraturan
guna pelarangan penggunaan pukat trawl (harimau) dalam penangkapan ikan. Namun dalam
pelaksanaannya keppres tersebut tidak mampu menghapuskan penggunaan pukat trawl
(harimau) karena telah dilindunginya pihak – pihak pemilik modal besar oleh oknum jajaran
pemerintah yang memberikan izin atau regulasi serta proteksi kepada pengusaha melalui
model trickle down effect (pola menetas ke bawah). Penggunaan pukat trawl (harimau)
dilakukan karena adanya anggapan bahwa lautan adalah milik bersama (Common Property
Resources) dimana setiap orang bebas melakukan penangkapan ikan. Penerapan anggapan
inilah yang membuat banyaknya pihak – pihak yang diatas nelayan (pemodal) mendapatkan
untung lebih banyak dari lautan padahal lautan merupakan sumber daya yang dijadikan
nelayan sebagai penghantar pendapatan mereka. Meluasnya KKN di berbagai instansi
pemerintah juga menjadi alasan mengapa tidak terjadinya pemberantasan pukat trawl
(harimau).
Ketidakkonsistenan pelaksanaan peraturan dan arogansi pemilik pukat membuat hati
nelayan tradisional berang setiap melaut. Sementara pengaduan – pengaduan yang mereka
lakukan atas instansi terkait , DPRD, Lantamal, dan lain – lain hanya dipandang sebelah mata.
Pada akhirnya nelayan pun tak terbendung dengan membakar pukat harimau sebagai reaksi
keras atau wujud penolakan kehadiran pukat harimau. Adannya anggapan bahwa Keppres
yang dikeluarkan hanya sebagai kepentingan politik belaka pada pemilu yang terjadi pada
zaman ORBA (orde baru) dan sebagai alat peredam kegusaran sementara sekaligus menjadi
kendaraan politik kepentingan penguasa dan pada akhirnya para penguasa selanjutnya
berkaloborasi dengan para pengusaha guna meraup keuntungan melalui perizinan pukat.
Tingkat kesadaran yang rendah dari nelayan terhadap perlakuan pemerintah yang
berusaha melindungi namun menekan ke bawah membuat semakin abadinya tingkat
kemiskinan para nelayan. Sehingga sampai pada saat ini persoalan pukat harimau menjadi
momok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan para nelayan.

13

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di sekitar sungai Deli, Kecamatan Medan Labuhan Belawan.
Peneliti memilih lokasi ini karena dekat dengan tempat tinggal peneliti. Kemudian, lokasi
terebut tidak jauh beda menggambarkan keadaan para nelayan pada umumnya. Selain itu,
ditemukannya problema-problema yang dihadapi para nelayan yang memerlukan penanganan
serius.
B. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah masyarakat yang berprofesi
sebagai nelayan di sekitar sungai Deli, Kecamatan Labuhan Belawan guna mengetahui
kehidupan masyarakat nelayan dalam segi sosial, budaya dan ekonomi.
C. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama dua hari satu malam yaitu pada tanggal 26 – 27 Oktober
2016 dimulai pada sore hari sepulang kuliah sampai besok sorenya kembali ketempat masingmasing.
D. Bentuk Penelitian
14

Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif.
Bogdan dan Taylor (dalam Lexy Moleong, 2006:4) mendefenisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata - kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif dalam penelitian ini
digunakan untuk menggali informasi mengenai keadaan sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat nelayan di sekitar sungai Deli.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian. Cara yang dilakukan oleh peneliti adalah :
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benarbenar terlibat dalam keseharian responden (W. Gulo, 2002 :116). Disini, peneliti
langsung terjun ke lapangan yaitu sungai Deli untuk mendapatkan informasi apakah
sesuai dengan teori yang ada.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antar pewawancara dengan informan atau orang
yang ingin diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (Guide)
wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang
relative lama((Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2008 : 83).
Dalam pengumpulan data kami, kami mewawancarai beberapa narasumber, yaitu
beberapa tipe nelayan dan juga istri nelayan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat
atau menganalisis dokumen - dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang
lain tentang subjek (Deddy Mulyana, 2006: 183.
Disamping

Observasi

dan

wawancara

yang

kami

lakukan,

kami

juga

mendokumentasikan hasil observasi dan wawancara melalui rekaman video dan foto.
15

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan
mengetahui gejala - gejala yang diamati. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah peneliti sendiri dimana peneliti langsung sebagai perencana, pelaksana,
pengumpul data, analisis dan menjadi pelopor hasil penelitian.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kehidupan Ekonomi Nelayan
Kehidupan ekonomi para nelayan di daerah pekan labuhan kecamatan medan labuhan
terbilang sudah membaik (rendah menuju menengah) terlihat dari keadaaan saat penulis
menyantap makanan di rumah nelayan. Namun hal ini terjadi hanya jika pada saat keadaan
lautan sedang dalam pasang mati (pasang surut) dan jika pasang besar/naik (tidak melewati
terlalu dekat dengan jembatan). Jika terlalu dekat dengan jembatan maka banyak nelayan akan
menganggur di rumah atau sekedar memperbaiki kapal atau jala (jaring) mereka sambil
menunggu surutnya air laut karena tidak dapatnya kapal melewati perairan sepanjang sungai
deli. Para nelayan deli melakukan pemancingan terhadap hasil laut berupa cumi – cumi.
Pemancingan yang dilakukan para nelayan pada pukul 2 siang sampai pada 2 hari setelah
keberangkatan (kembali ke bantaran sungai) sekitar pukul 9 pagi. Hasil tangkapan berupa
cumi – cumi tadi dijual kepada “toke” dengan harga 35 ribu/kg. Kehidupan ekonomi para
nelayan di daerah pekan labuhan juga bergantung pada cuaca yang sedang melanda di
kawasan laut sama seperti literatur yang menyatakan cuaca menjadi faktor pendapatan hasil
tangkapan para nelayan tradisional selain pukat harimau maupun katrol. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari – hari para nelayan mendapatkan ikan dari hasil sisa penangkapan untuk
diberikan kepada istrinya untuk diolah menjadi makanan keluarga. Pemenuhan kebutuhan
pangan lain (sayur mayur) dan lain – lain didapatkan dari kebun sekitar perumahan nelayan
hal ini tampak dari banyaknya ditemukan berbagai jenis sayur.

16

2. Kehidupan Sosial Nelayan
Kehidupan sosial para nelayan di daerah pekan Labuhan kecamatan Medan labuhan dapat
dikatakan baik, dimana para nelayan mengadakan pertemuan sembari di pondok tempat
mereka beristirahat menunggu surutnya laut. Saat mereka berada pada situasi demikian pokok
bahasan yang mereka bicarakan mulai dari negara, pemerintahan dan lain sebagainya. Kondisi
ini dapat dibilang baik guna mengedukasi para nelayan tentang kebijakan – kebijakan yang
dilakukan pemerintah guna meningkatkan kesejahtraan perekonomian rakyat terlebih terhadap
kebijakan – kebijakan yang pro (mendukung) keberlangsungan hidup nelayan. Kehidupan
sosial nelayan juga tidak hanya bersinggungan terhadap nelayan namun mereka menyediakan
tempat guna wadah untuk bertukar pikiran bersama yang lain profesi dengan mereka. Hal ini
terlihat dengan ditemukannya semacam taman buatan guna menghimpun warga setempat
untuk saling bercengkrama.
3. Kehidupan Budaya Nelayan
Kehidupan budaya para nelayan di daerah pekan Labuhan kecamatan Medan Labuhan
dalam hal pelayaran dan perikanan adalah diadakannya jamu laut. Dalam hal pengadaan
penyelenggaraan jamu laut pendanaannya dihimpun dari tekong maupun toke. Jamu laut
diadakan guna memberikan penghormatan terhadap laut yang sudah memberikan nikmat
sumber daya alam yang dapat mereka gunakan untuk keberlangsungan hidup mereka. Jamu
laut yang dilakukan dengan beberapa prasyarat sebelum melaksanankannya yakni memanggil
para pemuka agama setempat agar di doakan, sebelumnya telah menyediakan hidangan kerbau
untuk dibagikan warga setempat. Namun jamu laut sudah tidak dilakukannya lagi sejak 10
tahun yang lalu tanpa diketahui sebabnya. Hal lain yang menjadi budaya para nelayan di
daerah pekan Labuhan ini adalah dilakukannya acara syukuran jika ada/ditemukannya para
nelayan (toke) yang memiliki perahu/boat baru sebagai rasa ucapan syukur kepada Yang Maha
Kuasa karena masih diberikan rahmat/berkat sehingga dapat membeli perahu/sampan/boat
guna dipakai untuk mencari nafkah.
4. Hubungan Ekonomi Sosial dan Budaya Nelayan
Hubungan ekonomi sosial dan budaya para nelayan terlihat dalam rangka pelestarian
lingkungan. Hubungan tersebut terlihat dari segi ekonomi kehidupan sosial dan budaya para
17

nelayan di bantaran sungai deli pekan labuhan hanya menggunakan jaring, jala, dan pancing,
pukat jaring. Ketika para nelayan melaut, saat menjaring mereka tidak hanya mendapatkan
ikan namun mendapatkan sampah. Sampah – sampah yang terjaring dalam jaring nelayan
tidak dibawa pulang ke rumah namun di kembalikan lagi kelaut. Karena konsepsi melaut dari
para nelayan mencari ikan bukan mencari sampah. Wujud pelestarian lingkungan oleh nelayan
hanya berdasarkan alat tangkap tidak berdasarkan kebersihan lingkungan (daya dukung
lingkungan).

5. Peranan Wanita Nelayan dalam Hal Ekonomi Keluarga
Guna meningkatkan ekonomi keluarga peranan wanita nelayan dianggap sangat penting.
Peranan wanita nelayan dalam hal ekonomi keluarga dalam hal pelayaran maupun perikanan
tidak turut campur tangan secara langsung. Para wanita nelayan dalam hal meningkatkan
(mencukupi) ekonomi keluarga dengan menjalani profesi lain yakni sebagai guru maupun
pedagang kelontong dan lain – lain. Hal ini dikarenakan sudah adanya kesadaran istri sendiri
kodratnya sebagai wanita yakni menjaga dan mendidik anak sembari melakukan hal – hal
yang berguna meningkatkan perekonomian keluarga (pengelolaan dan pengaturan
kerumahtanggaan).
6. Pengaruh Profesi Nelayan terhadap Pendidikan Anak
Profesi sebagai nelayan sangat mempengaruhi pendidikan anak. Terdapat dua dampak
yang ditimbulkan dari profesi sebagai nelayan yang mempengaruhi pendidikan anak baik dari
segi moral maupun dari segi sosial. Adapun dampak positifnya terlihat dari masih banyak
ditemukannya anak – anak sekolah yang sedang bermain. Suasana lingkungan yang cukup
ramah terhadap anak yang mana masih ditemukannya ayunan di beberapa rumah dan masih
adanya taman di lingkungan VI kecamatan Medan Labuhan, Belawan. Rasa persaudaraan
diantara anak anak tampak masih kental dengan adanya bermain bersama. Adapun dampak
negatif dari profesi nelayan terlihat dari adanya orang tua yang kurang memperhatikan
pendidikan anak yang dimungkinkan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor
pekerjaan yang menuntut harus berlayar hingga 2 malam di lautan sehingga waktu untuk
bercengkrama dengan angka sangat sedikit. Di sisi lain jika seorang wanita nelayan (ibu) turut
18

membantu perekonomian keluarga dengan cara menjadi buruh cuci, ataupun menjadi TKI
sehingga berdampak pada psikis si anak dimana pengaruh lingkungan menjadi faktor penentu
karakter anak secara menyeluruh tanpa adanya bimbingan dari kedua orangtuanya.
Ditemukannya anak – anak yang memakai tindik (pierching) pada telinganya merupakan
dampak yang terlihat dari peninggalan anak yang dilakukan orang tuanya.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti tentang “Keadaan para
Nelayan”di sekitar sungai Deli, Belawan, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
 Sungai Deli merupakan salah satu aset penting dalam perekonomian masyarakat
disekitarnya
 Minimnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian sungai Deli sebagai aset ekonomi
yang tampak dengan banyaknya sampah didalam sungai.
 Hubungan Teori dengan Realitas di Lapangan
Antara teori dengan realitas yang ditemukan di lapangan sejalan, dimana keadaan di
lapangan sudah hampir sama dengan yang ada di teori sebab Sungai Deli tetap
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai salah satu sumber perekonomian. Namun
beberapa hal yang dimiliki Sungai Deli sebelumnya sudah tidak tampak dan tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada. Sungai Deli yang dulunya sebagai aset pusat
perdagangan dan pusat transportasi massal sekarang berubah menjadi hanya sebagai
penghantar para nelayan menuju lautan.
 Wanita nelayan memiliki peranan penting dalam perekonomian keluarga meskipun
tidak turut langsung dalam pelayaran maupun perniagaan hasil tangkap yang
didapatkan oleh nelayan.
B. Saran
19

 Kepada Pihak Pemerintah
Disarankan kepada pihak pemerintah untuk menjalankan dengan tegas Keppres No. 38
tahun 1980 tentang penghapusan jaring (pukat harimau) guna melindungi para nelayan
tradisional sehingga yang diuntungkan tidak hanya pihak pemodal namun juga nelayan
itu sendiri agar tidak terjadinya kemiskinan yang kekal nelayan tradisional.

 Kepada Pihak Nelayan
Disarankan kepada pihak nelayan tidak hanya menjual ikan secara mentah namun
diolah menjadi pangan lain guna meningkatkan nilai jual hasil tangkapan yang
ditangkap. Dalam pembenahan lingkungan diharapkan para nelayan untuk menjaga
lingkungan dengan cara mengambil sampah sedikit demi sedikit dari lautan yang
tertangkap di jaring dan membawanya ke daratan untuk dimushkan maupun dikelola.
 Kepada Pembaca
Disarankan kepada pihak pembaca untuk melakukan analisis mendalam terhadap
penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Serta tergerak hatinya untuk turut melakukan
perubahan positif yang berdampak terhadap peningkatan taraf hidup nelayan.
Refleksi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini, kami semakin bersyukur akan kehidupan yang kami
alami saat ini. Dimana kami semakin bisa menghargai kehidupan orang lain dan semakin
mencintai alam yang menjadi sumber kehidupan manusia. Penelitian ini juga mengajarkan
kami bagaimana menghargai pendidikan yang sudah kita dapatkan.
Hambatan dan Kesan
Penelitian ini kami awali dengan berbagai perencanaan. Pada tanggal 26 Oktober 2016,
sepulang kuliah kami melakukan persiapan ke rumah masing - masing. Titik kumpul di rumah
Juanda Gultom pukul 14.00 WIB. Kami berpikir bahwa kami langsung ke tempat tujuan
tetapi ternyata harus berangkat pukul 16.00 WIB. Hal ini dikarenakan kami masih perlu
mempersiapkan segala persiapan yang diperlukan untuk penelitian (pertanyaan maupun
akomodasi kami). Penelitian kami dibantu oleh orang tua Juanda. Beliau mengantarkan kami
ke salah satu sekolah di sekitar sungai deli tersebut untuk mempertemukan kami dengan
20

kepala sekolah. Beliau lah yang menuntun kami dalam melakukan penelitian, seperti
memberitahu rumah nelayan yang ada di sekitar sungai Deli. Sesampainya di sana, kami
diantarkan ke salah satu rumah warga yang menjadi tempat penginapan. Malam harinya, kami
melakukan wawancara ke salah satu Narasumber yaitu Bapak Indan dan keluarganya.
Sebelum melakukan wawancara, kami disuguhkan dengan makan malam bersama keluarga
teristimewa dengan lauk hasil tangkapan nelayan tersebut. Setelah itu, kami pun mulai
melakukan wawancara. Di sana, sebenarnya kami sudah mendapatkan informasi dan
gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan nelayan di kampung tersebut. Setelah informasi
wawancara dirasa sudah cukup kami kembali ke tempat penginapan. Keesokan harinya kami
berencana untuk ikut melaut bersama nelayan. Namun kami mendapatkan hambatan yaitu
kami tidak bisa ikut melaut karena air sungai sedang pasang. Hal ini menyebabkan kami tidak
bisa menyaksikan langsung bagaimana proses penangkapan ikan. Akhirnya kami berjalan kaki
untuk menelusuri sekitar sungai Deli untuk mencari nelayan yang sedang bekerja guna
mencari tahu aktivitas nelayan yang sesungguhnya. Kami bertemu dengan warga sekitar dan
bertanya seputar aktivitas dan kehidupan nelayan. Setelah informasi yang dibutuhkan sudah
jelas, kami kembali ke rumah Bapak Indan sekaligus pamit pulang.

21

DAFTAR PUSTAKA
Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2013. Kabar Dari Laut. Yogyakarta : Ombak
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Peranan Wanita Nelayan dalam
Kehidupan Ekonomi Keluarga di Tegal, Jawa Tengah. Jakarta : Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai
Marbun, Leonardo dan Ika N. Krishnayanti. 2002. Masyarakat Pinggiran Yang Kian
Terlupakan. Medan : Jala
http://1.bp.blogspot.com/-tmnjxZivBE/T_UELqRzz1|//...
( diakses tanggal 01 November 2016 pukul 14.25)

22

23