PENTINGNYA PERAN HAK ASASI BAGI SETIAP W
PENTINGNYA PERAN HAK ASASI BAGI SETIAP WARGA NEGARA
INDONESIA
PENTINGNYA PERAN HAK ASASI BAGI SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.
Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang
bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh
manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian
negara.
Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat
lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku
di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan
manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai
landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga
kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya,
diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang
sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri
manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk
menegakkan hak asasi manusia.
Menurut Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusiasematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai
manusia.
Sementara Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar
bangsa,
ras,
agama,
kelamin
dan
karena
itu
bersifat
universal.
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang
sesuai dengan harkat dan cita-citanya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Slamet Marta
Wardaya yang menyatakan bahwa hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights
merupakan
suatu
kebutuhan
dari
realitas
sosial
yang
bersifat
universal.
Nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional
di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai
universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di
bidang
HAM.
Sementara dalam ketentuan menimbang huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun.
Mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel
Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi
manusia atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi
Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite).
Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling
melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang
lingkup
Ketiga
hak-hak
generasi
yang
hak
asasi
diprioritaskan
manusia
pada
tersebut
satu
dapat
kurun
diuraikan
waktu
tertentu.
sebagai
berikut:
1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup soal prinsip integritas manusia,
kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Termasuk dalam generasi
pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik,
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran,
hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang
berlaku surut dsb.
Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif” karena
negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran
terhadap
hak-hak
dan
kebebasan
tersebut.
2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas
pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.
Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya ‘International
Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi
kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas
pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas
lingkungan yang sehat dsb.
Dalam pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif
(positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai “hak-hak positif”.
3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau “hak
bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga
atas tatanan internasional yang adil.
Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan
terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hakhak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam
sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v) dan hak atas warisan budaya sendiri.
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip
bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan
harkat
dan
martabat
manusia.
Oleh sebab itu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di bidang sosial politik
hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya
serta hak solidaritas juga juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya.
Dengan diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan
ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum ataupun melalui
kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Pentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah
kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada
sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup
mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM.
Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara
institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk
menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi
hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat
sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM
dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan
hukum.
Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga
tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya
upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan
penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM
dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di
pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi
hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan
dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak
berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri
tidak penting.
Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki
kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan
yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan
keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM.
Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara)
berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan
tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin
menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif
bagi penegakan HAM.
Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu
dilakukan, yaitu :
1). Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM.
Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah
memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM.
Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional
tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan
Komnas
HAM
dan
peradilan
HAM.
2) Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP
dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam
berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang
dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim
sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang
atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi
hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling
mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut
protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini
merupakan agenda raksasa.
Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang
memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu
dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3) Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi
lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak
ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi
yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas
hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani
perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM.
Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkaraperkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM
baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita.
Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya,
aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM.
Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat
pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity
building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting
dan
mendesak.
4) Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di
kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan masalah HAM.
Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat
terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya.
Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang
partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan sematamata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang
dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun
aparat
keamanan.
5) Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan
Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki
kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram
dengan baik.
Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat
sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis,
kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk
keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum.
Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah
lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai
masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat
dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.
Referensi:
http://www.gudangmateri.com/2011/03/supremasi-hukum-dalam-perlindungan-ham.html
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/05/definisi-hak-asasi-manusia-ham.html
http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/
INDONESIA
PENTINGNYA PERAN HAK ASASI BAGI SETIAP WARGA NEGARA INDONESIA
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.
Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang
bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh
manusia semata – mata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian
negara.
Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat
lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi. Hak asasi
manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku
di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan
manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai
landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban. Karena itu,selain ada hak asasi manusia, ada juga
kewajiban asasi manusia, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau
tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk
memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia , harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya,
diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang
sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri
manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu usaha untuk
menegakkan hak asasi manusia.
Menurut Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusiasematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya
sebagai
manusia.
Sementara Meriam Budiardjo, berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar
bangsa,
ras,
agama,
kelamin
dan
karena
itu
bersifat
universal.
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh kesempatan berkembang
sesuai dengan harkat dan cita-citanya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Slamet Marta
Wardaya yang menyatakan bahwa hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights
merupakan
suatu
kebutuhan
dari
realitas
sosial
yang
bersifat
universal.
Nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional
di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai
universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di
bidang
HAM.
Sementara dalam ketentuan menimbang huruf b Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara
kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun.
Mengenai perkembangan pemikiran hak asasi manusia, Ahli hukum Perancis, Karel
Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi
manusia atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi
Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite).
Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling
melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang
lingkup
Ketiga
hak-hak
generasi
yang
hak
asasi
diprioritaskan
manusia
pada
tersebut
satu
dapat
kurun
diuraikan
waktu
tertentu.
sebagai
berikut:
1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup soal prinsip integritas manusia,
kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Termasuk dalam generasi
pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik,
kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran,
hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang
berlaku surut dsb.
Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif” karena
negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran
terhadap
hak-hak
dan
kebebasan
tersebut.
2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia
Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan
kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas
pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.
Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya ‘International
Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi
kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas
pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas
lingkungan yang sehat dsb.
Dalam pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif
(positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai “hak-hak positif”.
3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau “hak
bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga
atas tatanan internasional yang adil.
Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan
terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hakhak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam
sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v) dan hak atas warisan budaya sendiri.
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip
bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan
harkat
dan
martabat
manusia.
Oleh sebab itu perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di bidang sosial politik
hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya
serta hak solidaritas juga juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya.
Dengan diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan
ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum ataupun melalui
kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Pentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah
kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada
sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup
mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia,
dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat
dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM.
Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara
institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk
menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi
hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat
sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM
dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan
hukum.
Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga
tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya
upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan
penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM
dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di
pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi
hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan
dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak
berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri
tidak penting.
Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki
kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan
yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan
keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM.
Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara)
berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan
tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin
menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif
bagi penegakan HAM.
Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu
dilakukan, yaitu :
1). Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM.
Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah
memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM.
Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional
tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan
Komnas
HAM
dan
peradilan
HAM.
2) Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP
dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam
berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang
dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim
sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang
atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM.
Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi
hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling
mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut
protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini
merupakan agenda raksasa.
Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang
memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu
dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3) Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi
lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak
ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi
yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas
hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani
perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM.
Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkaraperkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM
baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita.
Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya,
aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM.
Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat
pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity
building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting
dan
mendesak.
4) Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di
kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak
langsung berkaitan dengan masalah HAM.
Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat
terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya.
Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang
partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan sematamata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang
dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun
aparat
keamanan.
5) Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan
Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki
kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram
dengan baik.
Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat
sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis,
kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk
keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum.
Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah
lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai
masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat
dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.
Referensi:
http://www.gudangmateri.com/2011/03/supremasi-hukum-dalam-perlindungan-ham.html
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2010/05/definisi-hak-asasi-manusia-ham.html
http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/